Saturday, September 20, 2014

Pernahkah Terpikirkan? #Abu Kelud 2

Efek dari abu Kelud sungguh luar biasa dirasakan. Meski kiriman sudah lagi tak datang, namun abu yang sudah terlanjur menumpuk banyak tetap saja membuat suasana berbeda. Jalan raya yang penuh debu, pepohonan penuh debu, atap rumah, semuanya penuh dengan abu yang menumpuk. Yang paling menggila adalah ketika angin yang menghamburkan debu itu ke mana-mana. Tak hanya mengganggu pernafasan, tetapi juga mengganggu pandangan. Yaah, tapi kalo membahas ini hanya akan menjadi keluhan manusia-manusia yang tak bersyukur. Oleh karena itu, aku coba berkeliling, mengamati, dan melihat lingkungan dengan pandangan yang berbeda, dengan pengamatan yang lebih tajam, mencari pemahaman lebih yang tak hanya memaknai peristiwa ini sekedar sebagai nikmat, ujian, ataupun adzab. Mungkin di luar sana akan kudapati banyak makna, ayat lain yang disampaikan melalui peristiwa.
Lihatlah pohon-pohon itu. Seluruh batang dan daunnya dipenuhi abu. Apakah mereka masih bisa bernafas seperti biasanya? Apakah lentisel dan stomata mereka tersumbat oleh abu? Jangan-jangan mereka juga membutuhkan masker. Angin yang kencang pun tak mampu untuk membersihkan mereka. Bahkan hujan yang lebat pun belum tentu dapat membersihkan abunya. Karena air tidak selalu mengalirkan abu itu, tapi justru semakin membuat abu itu tambah menempel pada pohon tersebut. Perlu diterpa angin dan hujan berkali-kali untuk membersihkannya. Sedangkan manusia tidak ada yang inisiatif untuk segera membersihkan mereka.
Hei, aku menemukan ulat yang terjatuh dari daunnya. Dia menggeliat dengan susah payahnya di atas abu yang tebal di jalanan. Tentu saja. Bagaimana dia bisa berjalan di atas abu? Bagaimana dia bisa makan jika seluruh daun dipenuhi dengan abu?
Lihatlah di bawah sana. Para semut yang tertatih-tatih berjalan di atas debu. Berkali-kali terjatuh ketika mencoba mendaki tembok yang ber-abu Kelud. Sedang dibawahnya banyak lubang-lubang kecil yang mereka buat untuk jalan mereka. Mereka mempunyai usaha yang lebih keras hanya untuk berjalan melewati abu yang menggumpal, apalagi untuk mendapatkan makanannya.
Perhatikan. Aku temui banyak lalat yang mati. Capung juga mati. Mungkin mereka tak sempat berlindung ketika hujan abu. Badannya pernuh dengan abu, terbujur kaku atau tertimbun abu. Bisa dipastikan mereka tak dapat terbang bebas seperti biasanya. Udara yang penuh abu sungguh mengganggu kehidupan mereka. Akupun baru sadar, tak kutemukan serangga-serangga lain yang terbang. Tak kutemui kupu-kupu, lebah, atau belalang yang biasanya ke sana kemari. Di sana sini hanya abu yang beterbangan. Bagaimana kabar burung di atas pohon sana? Apakah sarang mereka dipenuhi dengan debu? Sudahkah mereka membersihkan sarang mereka? Kalaupun sudah, tentunya tak cukup berarti. Karena pohon yang penuh dengan abu itu akan kotor lagi ketika angin meniupnya. Menyebarluaskan lagi abu-abu yang tersimpan, yang singgah sejenak di permukaannya.
Pernahkah terpikir oleh kita bagaimana nasib hewan dan tumbuhan di sekeliling kita? Bukankah manusia dikaruniai akal untuk berpikir? Bukankah manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi? Dengan adanya peristiwa ini, manusialah yang seharusnya memiliki peran penting menghadapi peristiwa ini. Hanya manusialah yang dengan akalnya mampu membuat sebuah gerakan sebagai solusi atas abu-abu yang beterbangan. Apalagi di zaman yang modern ini. Tapi, sungguh sayang, tak banyak manusia yang aktif menanggapi peristiwa ini. Dengan egoisnya memikirkan diri sendiri. Kalaupun bersih-bersih, yang dibersihkan hanya sebatas rumah dan pekarangannya. Yang ternyata tak begitu memberikan dampak bagi kebersihan mereka. Karena abu yang masih tertumpuk di jalan akan tertiup lagi oleh angin yang mengembalikan abu itu ke rumah mereka. Sungguh, bukankah dengan akalnya, manusia seharusnya bisa melakukan hal kreatif dan inovatif? Seharsunya manusia dapat memanfaatkan abu yang banyak ini untuk hal yang lebih berguna, lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Tapi sayang, manusia sekarang tak lagi punya empati. Tak lagi peduli. Jangankan binatang dan tumbuhan di sekitar mereka pernah terlintas di benak mereka. Bahkan, para pengemis dan orang jalanan saja mungkin tak pernah singgah di benak mereka. Bagaimana mereka tinggal di jalanan yang dipenuhi dengan abu, apalagi ketika mobil-mobil justru dengan kencangnya membuat udara semakin berabu.

Februari, 2014

No comments:

Post a Comment