Thursday, December 30, 2010

...For My Friends...


Maaf kadang mengakhiri…,

tapi tak selamanya!!!

Senyum boleh jadi mengawali…,

tapi tak selamanya!!!

Benci kadang membakar…,

tapi tak selamanya!!!

Angin kadang menyegarkan…,

tapi tak selamanya!!!

Obat kadang menyembuhkan…,

tapi tak selamanya!!!

Teman boleh jadi tempat bernaung kita…,

tapi tak selamanya!!!

Bertambahnya umur boleh jadi merupakan titik balik…,

tapi tak selamanya!!!

Dan harapan kadang beroleh sebuah jawaban…,

tapi tak selamanya!!!

Jika menyadari akan kesemua tak selamanya itu…,

maka carilah tembok lain

untuk kau menyandarkan punggungmu…. .


Buat teman-temanku…

Apabila aku kesepian…,

hiburlah aku dengan suaramu…. .

Apabila aku sakit…,

obati aku dengan kasih sayangmu…. .

Apabila aku mati…,

jangan mandikan aku dengan air matamu…. .

Apabila aku terkubur…,

kuburlah aku dalam hatimu…. .

Dan apabila aku tersesat…,

selamatkanlah aku dengan do’amu…. .


"Some friendships do not last, but some friends are more loyal than brothers."



Selama aku hidup…..

Aku selalu belajar bagaimana cara tersenyum..,

Bagaimana cara menghargai orang..,

Bagaimana cara menyayangi orang..,

Bagaimana cara memahami perasaan teman… .

Tapi, aku takkan pernah belajar

tuk melupakan teman dan sahabat seperti kalian!

HARAM BI HARAM

Gema takbir berkumandang. Merayakan hari kemenangan. Jama'ah shalat membanjiri lapangan. Setelah sebulan puasa Ramadhan. Setelah itu, semua umat muslim (hanya di Indonesia) saling memaafkan, mengucapkan selamat lebaran. Membuat segala penyesalan, mengakui semua kesalahan. Dari keluarga, tetangga, hingga teman-teman.

Di hari Idul Fitri, semua kembali suci, seperti bayi, yang baru lahir di bumi. Umat Isam (1x lagi hanya di Indonesia) kesana-kemari, hanya untuk saling meminta dan memberi; maaf dari hati ke hati. Tapi, bagaimana dengan hari ini? Masihkah dirimu suci atau sudah ternodai?

Satu hal yang disayangkan, semua itu hanya diucapkan; tidak dilaksanakan. Dan.....

TUNGGU!!! kita sudah saling memaafkan, dengan keluarga, tetangga maupun teman-teman. Meskipun beberapa hari kemudian, kita akan kembali melakukan, kesalahan yang sama untuk yang kesekian. Tapi, sudahkah kita meminta maaf kepada Tuhan, yang selalu memberikan apa yang kita butuhkan?

Mungkin kau pernah atau sering beristighfar pada-Nya. Tapi, pernahkah kau menyadari apa yang kau ucapkan?

Allah memberikan kepadamu tangan, kaki, telinga, mata, otak/akal, dan berbagai nikmat lainnya. Tapi, ingatkah kau saat Dia mengundangmu dengan seruan adzan, tapi kau malah mendengarkan musik? atau malah terindahkan dengan komputer atau TV di rumah? Atau malah berduaan dengan yang bukan muhrim? Atau mungkin kau melangkahkan kakimu menuju tempat tidur? Atau bahkan berjudi dan meminum-minuman keras?

Allah memberimu kesehatan. Tapi apa yang kau lakukan dalam keadaan sehatmu? Apakah kau mengunakan tanganmu untuk menolong orang ataukah kau menggunakannya untuk menindas dan merampas hak orang? Apakah kau menggunakan kakimu untuk menuju jalan-Nya, ataukah kau menggunakannya untuk berjalan kepada maksiat? Apakah kau menggunakan mulutmu untuk menyebut nama-Nya, atau kau gunakan untuk memfitnah dan membohongi orang?

Sekarang mari kita tengok ke masjid. Kau masih ingat saat pelaksanaan sholat Idul Fitri lalu, banyak masjid yang tidak muat, hingga jama'ah terpaksa harus sholat di lapangan atau di jalan raya. Tapi, coba lihat sekarang. Bagaimana keadaan masjid ketika sholat dhuhur, ashar, maghrib, dan isya' serta shubuh? Apakah seramai saat sholat Idul Fitri?

Pertanyaannya adalah di mana umat muslim? Apakah mereka muslim di Hari Raya Idul Fitri saja, eh bukan, tepatnya di PAGI HARI RAYA IDUL FITRI, lalu, setelah itu mereka adalah kaum yang tidak memiliki agama? Dan apakah kau termasuk dari mereka?

Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, sibuk dengan hartamu, dan anakmu. Tapi, pernahkah kau menyibukkan dirimu dengan berdzikir pada-Nya? Belum. Karena sebenarnya selama ini kau sedang disibukkan oleh kelalaianmu.

Satu pesan untukmu; percuma kau buat tulisan ini dan kau baca berulang kali. Karena, hal ini tak akan bisa menghapuskan salah dan dosamu pada ilahi. Dan pertanyaan untukmu, sudahkah kau meminta maaf kepada Tuhan yang selalu memberimu nikmat, tapi malah kau gunakan untuk maksiat? Sudahkah kau halal bi halal dengan tuhanmu? Atau malah sebaliknya?

Wednesday, December 29, 2010

RAHASIA

Tak selamanya mendung itu memberi hujan. Kadang, ia sekedar singgah di langit kita. Mengingatkan kita untuk lebih waspada. Tak selalu cerahnya hari menjanjikan gelak tawa kita. Kadang teriknya membuat kita berselisih, bertengkar memperebutkan suatu hal yang sebenarnya sepele. Apakah kau nasih tak mau menatapku, meskipun aku tak tahu apa salahku? Apakah kau masih memendan dendam, meskipun aku telah berusaha meminta maaf padamu?

Kau selalu yang memberi keputusan, merasa sudah dewasa, karena memang kaulah yang lebih tua. Tapi, terkadang aku merasa kau seperti anak kecil saat kau tak mau dianggap anak kecil. Bukankah kita sudah berjanji untuk menjadi sekokoh benteng? Bukankah kita sudah sepakat untuk setinggi bintang?

Aku yakin reruntuhan rumah itu masih menyimpan janji kita berdua, dibalik kayu-kayu yang telah lapuk, atau telah tertimbun genteng-genteng yang berlumut itu, yang menyimpan rahasia kita yang paling gila. Masih ingatkah engkau rahasia itu: setelah menyusun strategi, untuk dapat melarikan diri, lalu kita berhasil keluar, mencari kebebasan dan kepuasan, hingga akhirnya kita lalai, kurang waspada jika diintai. Dan akhirnya kita pun tertangkap, “terkurung”. Lagi.

Ah… . biarlah, rahasia itu hanya milik kita berdua. Tersimpan jauh di bawah masa kanak. Saat kita “menyesatkan” diri ke tempat yang jauh, ketika ktita diungsikan, “diabaikan”, dan “dibuang” di tempat yang asing. Tapi, aku berharap kau masih ingat rahasia itu: rahasia yang sering kita ceritakan setiap malam, mengevaluasi strategi dan memperbaruinya lagiuntuk diulangi pada esok hari. Hingga tak terasa kita tertidur di atas kasur tanpa sedikitpun mendengkur.

Sampai saat ini pun, aku tak tahu apa salahku. Atau mungkin aku tak pernah menyadari bahwa begitu banyak kesalahan dan kekeliruan yang aku lakukan padamu. Atau bahkan aku tak akan pernah sadar. Hingga padaku kau membatu geram, memendam sengkarut dendam.

Akhirnya kau tak lagi secerah matahari. Bersembunyi sendiri dalam sepi. Melisut di balik kabut. Tak ingin kutanya. Tak ingin bicara.

Ah… . sudahlah kau lupakan saja. Seharusnya tak begini. Aku tak ingin hari-hari kita menjadi suram seperi ini. Aku ingin kamu melemparkan tawa dan cahaya seperti dulu. Aku ignin kita bersama-sama lagi. Agar kita bisa berdua, melacak masa tua bersama.

Sudahlah, maafkanlah aku, kalau sempat tatap mataku tak sengaja menamparmu.

Beginilah hidup, langit mendung tak selamanya hujan, bukan? Mungkin, ia hanya ingin mengingatkan kita, untuk lebih dewasa.

1 Muharram 1432

Untuk Anak Bangsa

10, 15, 20, 25, 30, hingga beberapa tahun yang lalu, kita belum ada di dunia ini. Tapi, entah kita harus berbicara berkat atau gara-gara kedua orang tua kita, kita terlahir di dunia ini.

Pertama kali, kehadiran kita (di perut ibu) disambut dengan keceriaan dan perasaan senang keduanya. Namun, beberapa bulan setelahnya, barulah pengorbanan itu dimulai. Sang ibu, dimanapun dan kapanpun beliau harus membawa beban yang berat di perutnya. Dan ayah, yang bingung kesana-sini mencari apapun yang diidamkan ibu, menyiapkan pakaian baru, perlengkapan bayi, dan sebagainya.

Setelah lahir, lebih menyusahkan lagi. Kita yang sering mengompol tak mengurangi rasa kasih sayang mereka. Belum bisa berbicara membuat kita tak bisa mengungkapkan apa yang kita inginkan. Sehingga kita hanya menangis, menangis, dan menangis. Dan kedua orang tua yang tak tahu apa yang kita inginkan mencoba melakukan apapun yang kita inginkan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kita inginkan, sehingga tak kadang malah membuat kita lebih menangis dan menangis lagi, kalaupun beruntung mereka tahu apa yang membuat kita menangis dan apa yang kita inginkan. Tapi, itupun karena kebiasaan dan itu tidak membuat mereka marah, malah menambah rasa cinta dan kasih sayang mereka. Begitulah, segala kekurangan kita tak membuat kasih sayang mereka runtuh sedikitpun.

Tak lelah mereka mengajari kita bagaimana cara berbicara, berjalan, dan sebagainya. Setiap keberhasilan sedikitpun yang kita raih, membuat kedua orang tua senang seolah mendapat rezeki yang melimpah. Bahkan lebih dari itu. (Meskipun aku tahu bahwa tak semua orang tua seperti itu.)

Kemudian, sangat disayangkan. Mereka membiasakan dan mengajari kita bahwa kita harus pintar, mendapat nilai 100, mendapat ranking pertama, menjadi juara kelas. lalu mendapatkan kerja yang layak, bahkan kalau bisa mendapat gaji yang banyak, menjanjikan beli mobil, rumah besar, bla bla bla bla. Dengan semua itu, mereka memasukkan sekolah yang paling bagus, terfavorit, dan bergengsi.

Di sekolah, guru kita juga memberi pelajaran yang sama. Menjadi orang yang pintar, terkenal, mendapat ijazah, mengatakan bahwa ijazah itu penting dengan nilai yang baik supaya mudah mendapat pekerjaan. Lalu mudah mendapat kekayaan. Menjanjikan kebahagiaan dengan kekayaan-kekayaan itu. Mereka memberi hadiah bagi yang juara kelas, menjanjikan hadiah bagi yang bisa mengerjakan soal atau menjawab soal yang sulit.

Sehingga kita belajar dan sekolah hanya untuk mendapat ijazah. Disadari atau tidak, pasti dalam hati kita lebih dominan untuk mendapat ijazah. Padahal ilmu itu dicari untuk diAMALkan, bukan untuk diperjualbelikan seperti untuk melamar pekerjaan. Buktinya, banyak umat islam menghafal dan tahu hadits annadzaafatu minal iimaan, tapi nyatanya kehidupan mereka pun seperti tak layak uantuk dihidupi; kumuh, rusuh, penyakitan lagi. Ironisnya mereka malah senang dibicarakan seperti ini. Mereka tak pernah mencoba untuk mengubah pandangan orang lain tentang mereka.

Dan hasilnya jadi begini. Generasi muda yang sangat pintar ……………. berbohong, bahkan mereka (guru dan orang tua) sendiripun dibohongi. Tidak masuk sekolah dengan alasan bla bla bla bla bla, padahal xxx.

(X= variable / narkoba, pacaran, atau pemakain narkotika lainnya). Hasilnya adalah generasi yang menggunakan kepintarannya dengan berbohong, korupsi, tidak peduli pada kemanusiaan, merenggut harga diri orang, banyak pornografi dan pornoaksi, melakukan kekerasan tak peduli pada nilai-nilai norma dan HAM. Menjadi manusia yang tak punya harga diri dan kehormatan, lebih hina dari binatang, membuat para setan senang.

Lingkungan dan kebiasaanpun juga membentuk kepribadian kita. Sejak kecil kita diajari bagaimana berpesta, bersama para teman dan sahabat, berusaha untuk membuat mereka senang dan tidak membuat mereka kecewa. Tapi akhirnya, karena pergaulan dan tidak mau mengecewakan temannya, banyak remaja yang tidak mau menolak keinginan teman atau sahabatnya dengan masuk dalam dunia gelap seperti; narkotika, gonta-ganti pasangan, dan hal-hal negatif lainnya.

Berbohong, korupsi, gonta-ganti pasangan, pacaran di tempat umum, sudah menjadi hal yang wajar di Negara kita. Timbullah pertanyaan di pelosok sana, mereka yang menjadi korban perbuatan itu semua MENGAPA???. Lalu, siapa tersangkanya???

Apakah generasi selanjutnya juga akan seperti ini??? Bagaimana Indonesia mau maju??? Kalau pola berfikirnya saja seperi itu??? Selama ini kita hanya diajarkan untuk meningkatkan kecerdasan dan kepintaran kita (IQ). Tapi mereka tak pernah mengajari kita bagaimana cara meningkatkan kecerdasan emosi (EQ) dan memperdalam dan memahami agama kita sendiri (SQ). pernahkah mereka menjanjikan hadiah pada kita kalau kita jujur? Pernahkah mereka menjanjikan hadiah kepada kita kalau kita tidak menyontek? Pernahkah mereka memberikan hadiah pada kita kalau kita menyingkirkan duri yang ada di tengah jalan? Atau malah merekalah yang mengajari kita berbohong? Yang mengajari kita untuk menyontek? Atau merekalah yang meletakkan “duri” itu di tengah jalan?

Andai generasi ini bisa menggabungkan ketiga kecerdasan itu; IQ, EQ, & SQ. aku yakin bahwa Indonesia akan melebihi Negara maju manapun. Dengan kekayaan budaya, SDA, dan SDMnya.



ولدتك أمك باكيا والناس حولك ضاحكا فا جتهد لنفسك أن تكون اذا باكوا يوم وفاتك ضاحكا مسرورا

Ibumu melahirkanmu dengan menangis, dan orang-orang disekitarmu tertawa, Maka bersunguh-sungguhlah kamu untuk menjadi yang tertawa bahagia saat mereka menangis di hari matimu.



Mari kita menjadi generasi yang dapat membawa Negara kita terangkat dari keterpurukannya selama ini!!! Benar-benar menjadi yang tertawa di hari mati kita, bukan menjadi yang ditertawakan; yakni generasi yang membuat Negara kita semakin terpuruk, dengan banyaknya tikus-tikus di pelosok rumah orang-orang tak mampu hingga “tikus-tikus” di rumah-rumah gubernur dan para atasan. Marilah kita ubah tikus yang ada di rumah orang-orang miskin itu menjadi tanaman atau pepohonan lainnya yang dapat mengurangi global warming dan mengubah tikus-tikus pemerintahan menjadi orang-orang yang tahu PENDIDIKAN, orang yang PEDULI dengan kemiskinan, peduli dengan lingkungan, PEKA terhadap keadaan, dan dengan dilandasi KEIKHLASAN dan KEIMANAN.