Saturday, September 20, 2014

Pernahkah Terpikirkan? #Abu Kelud 2

Efek dari abu Kelud sungguh luar biasa dirasakan. Meski kiriman sudah lagi tak datang, namun abu yang sudah terlanjur menumpuk banyak tetap saja membuat suasana berbeda. Jalan raya yang penuh debu, pepohonan penuh debu, atap rumah, semuanya penuh dengan abu yang menumpuk. Yang paling menggila adalah ketika angin yang menghamburkan debu itu ke mana-mana. Tak hanya mengganggu pernafasan, tetapi juga mengganggu pandangan. Yaah, tapi kalo membahas ini hanya akan menjadi keluhan manusia-manusia yang tak bersyukur. Oleh karena itu, aku coba berkeliling, mengamati, dan melihat lingkungan dengan pandangan yang berbeda, dengan pengamatan yang lebih tajam, mencari pemahaman lebih yang tak hanya memaknai peristiwa ini sekedar sebagai nikmat, ujian, ataupun adzab. Mungkin di luar sana akan kudapati banyak makna, ayat lain yang disampaikan melalui peristiwa.
Lihatlah pohon-pohon itu. Seluruh batang dan daunnya dipenuhi abu. Apakah mereka masih bisa bernafas seperti biasanya? Apakah lentisel dan stomata mereka tersumbat oleh abu? Jangan-jangan mereka juga membutuhkan masker. Angin yang kencang pun tak mampu untuk membersihkan mereka. Bahkan hujan yang lebat pun belum tentu dapat membersihkan abunya. Karena air tidak selalu mengalirkan abu itu, tapi justru semakin membuat abu itu tambah menempel pada pohon tersebut. Perlu diterpa angin dan hujan berkali-kali untuk membersihkannya. Sedangkan manusia tidak ada yang inisiatif untuk segera membersihkan mereka.
Hei, aku menemukan ulat yang terjatuh dari daunnya. Dia menggeliat dengan susah payahnya di atas abu yang tebal di jalanan. Tentu saja. Bagaimana dia bisa berjalan di atas abu? Bagaimana dia bisa makan jika seluruh daun dipenuhi dengan abu?
Lihatlah di bawah sana. Para semut yang tertatih-tatih berjalan di atas debu. Berkali-kali terjatuh ketika mencoba mendaki tembok yang ber-abu Kelud. Sedang dibawahnya banyak lubang-lubang kecil yang mereka buat untuk jalan mereka. Mereka mempunyai usaha yang lebih keras hanya untuk berjalan melewati abu yang menggumpal, apalagi untuk mendapatkan makanannya.
Perhatikan. Aku temui banyak lalat yang mati. Capung juga mati. Mungkin mereka tak sempat berlindung ketika hujan abu. Badannya pernuh dengan abu, terbujur kaku atau tertimbun abu. Bisa dipastikan mereka tak dapat terbang bebas seperti biasanya. Udara yang penuh abu sungguh mengganggu kehidupan mereka. Akupun baru sadar, tak kutemukan serangga-serangga lain yang terbang. Tak kutemui kupu-kupu, lebah, atau belalang yang biasanya ke sana kemari. Di sana sini hanya abu yang beterbangan. Bagaimana kabar burung di atas pohon sana? Apakah sarang mereka dipenuhi dengan debu? Sudahkah mereka membersihkan sarang mereka? Kalaupun sudah, tentunya tak cukup berarti. Karena pohon yang penuh dengan abu itu akan kotor lagi ketika angin meniupnya. Menyebarluaskan lagi abu-abu yang tersimpan, yang singgah sejenak di permukaannya.
Pernahkah terpikir oleh kita bagaimana nasib hewan dan tumbuhan di sekeliling kita? Bukankah manusia dikaruniai akal untuk berpikir? Bukankah manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi? Dengan adanya peristiwa ini, manusialah yang seharusnya memiliki peran penting menghadapi peristiwa ini. Hanya manusialah yang dengan akalnya mampu membuat sebuah gerakan sebagai solusi atas abu-abu yang beterbangan. Apalagi di zaman yang modern ini. Tapi, sungguh sayang, tak banyak manusia yang aktif menanggapi peristiwa ini. Dengan egoisnya memikirkan diri sendiri. Kalaupun bersih-bersih, yang dibersihkan hanya sebatas rumah dan pekarangannya. Yang ternyata tak begitu memberikan dampak bagi kebersihan mereka. Karena abu yang masih tertumpuk di jalan akan tertiup lagi oleh angin yang mengembalikan abu itu ke rumah mereka. Sungguh, bukankah dengan akalnya, manusia seharusnya bisa melakukan hal kreatif dan inovatif? Seharsunya manusia dapat memanfaatkan abu yang banyak ini untuk hal yang lebih berguna, lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Tapi sayang, manusia sekarang tak lagi punya empati. Tak lagi peduli. Jangankan binatang dan tumbuhan di sekitar mereka pernah terlintas di benak mereka. Bahkan, para pengemis dan orang jalanan saja mungkin tak pernah singgah di benak mereka. Bagaimana mereka tinggal di jalanan yang dipenuhi dengan abu, apalagi ketika mobil-mobil justru dengan kencangnya membuat udara semakin berabu.

Februari, 2014

Sejenak

Sebelum waktumu terasa terburu
Sebelum lelahmu menutup mata
Adakah langkahmu terisi ambisi
Apakah kalbumu terasa sunyi
Sebelum waktu (hidup)mu terasa terburu. Ketika hari tidak bisa diulang lagi. Ketika malaikat maut sudah hampir menjemput ajal. Ketika tiba saatnya bumi digoncangkan, gunung dihambur-hamburkan seperti kapas yang beterbangan. Sebelum tubuhmu terasa lelah tak berdaya. Sebelum ragamu terbaring dengan enaknya.
Adakah langkahmu terisi ambisi. Adakah langkah-langkahmu hanya untuk ambisi dunia? Harta, tahta, wanita, atau ambisi apa yang menjadi jejak langkahmu? Sudahkah ambisi-ambisimu itu tercapai? Sudahkah cita-citamu kau dapatkan? Dan setelah semua cita-citamu tercapai, setelah ambisi-ambisimu sudah berada di tanganmu, apakah hatimu merasa bahagia? Apakah kau merasa senang? Atau, justru hatimu terasa sunyi. Sepi. Senyap. Seolah apa yang telah kau dapatkan itu masih kurang. Masih belum cukup untuk mengobati kehausan ambisimu? Lalu, apa yang sebenarnya kau cari di dunia ini? Atau untuk siapa ambisi-ambisimu itu kau persembahkan?
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta
Ya, sebelum semua itu terjadi. Sebelum hari akhir tiba. Sebelum kesuksesanmu tercapai. Luangkanlah! Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu. Rinduilah denting waktu yang terus bergulir disisimu. Nikmatilah setiap denting waktu. Jangan pernah menyesal, karena waktu tak akan pernah terulang. Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu. Di tengah kesibukanmu mengejar cita-cita; akademik, pekerjaan, organisasi, dan hal-hal lain dalam kesibukanmu, luangkanlah! Lihatlah sejenak warna kemesraan dan cinta. Lihatlah sendiri betapa proses itu menyenangkan. Nikmatilah prosesmu mencapai cita-citamu. Rasakanlah setiap rasa dalam menjalani hidupmu. Suka duka, canda tawa, dan setiap rasa yang mengiringi dan mewarnai jalan hidupmu. Rasakanlah cinta pada setiap orang yang berada di sekelilingmu. Orang-orang yang menyayangimu dan yang kau sayangi. Orang-orang yang mencintai dan kau cintai. Ya, sebelum hari akhir tiba. Sebelum masa kesuksesanmu ada. Sebelum semua terasa sunyi. Karena warna dan cinta itulah yang akan menemani ketika kesunyian menghampiri. Karena warna dan cinta itulah yang akan mengisi kalbu yang sunyi.
Sebelum hidungmu terhalang nafasmu
Sesudah nafsumu tak terbelenggu
Indahnya membisu tandai yang berlalu
Bahasa tubuhmu mengartikan rindu
Sebelum hidungmu tak lagi bernafas. Sebelum kau benar-benar tak lagi bernafas. Sesudah kau memenuni nafsumu, karena nafsumu tak terbelenggu. Membisu menjadi hal yang sangat akrab. Merenungkan atas segala pelampiasan nafsu yang tak terkendali. membisu dan merenung menjadi hal yang indah untuk dilakukan. Melihat kembali masa lalu saat-saat nafsu bergejolak. Tak disadari bahasa tubuh menggambarkan kerinduan. Rindu untuk kembali ke masa lalu. Masa-masa memenuhi nafsu. Atau rindu pada sesuatu yang dapat memberikan efek lebih dari sekedar memenuhi nafsu.
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta
Luangkanlah! Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu. Rinduilah denting waktu yang terus bergulir disisimu. Nikmatilah setiap denting waktu. Jangan pernah menyesal, karena waktu tak akan pernah terulang. Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu. Di tengah kesibukanmu, luangkanlah! Lihatlah kemesraan dan cinta. Tak hanya dari orang-orang di sekitarmu. Rasakanlah kemesraan dan cinta dari Tuhan yang setiap langkah mengiringimu. Karena dimanapun Tuhan selalu mendampingimu, memberikan kasih sayang-Nya, memberikan cinta-Nya, yang sering kali dilupakan oleh hamba.
Yang tlah semu
Yang tak semu
Dan tak semudah itu
Lihatlah! Rasakanlah! Kebahagiaan manakah yang telah semu? Kebahagiaan manakah yang tak semu? Apakah kebahagiaan mengejar ambisimu? Apakah kebahagiaan menjalani kesibukanmu? Apakah kebahagiaan memenuhi nafsu? Atau cinta dari orang-orang yang mencintai dan kau cintai? Ataukah kemesraan dan cinta dari Sang Pemilik Cinta? Manakah yang semu? Manakah yang tak semu? Mana yang menjadi kebahagiaan sejati? Mana yang menjadi cinta yang hakiki? Dan tentu, untuk merasakannya tak semudah kau mengatakannya. Tak semudah kau membalik telapak tangan. Sungguh, tak semudah itu.

Masjid A-Taqwa Swakarya, 2014

Nikmat, Ujian, Atau Adzab? #Abu Kelud 1

Peristiwa abu Kelud adalah peristiwa keluarnya au dari Gunung Kelud. Beberapa kota di sekitarnya mendapatkan kiriman abu yang keluar dari gunung tersebut. Kabarnya, kota yang paling banyak menerima kiriman abu Kelud adalah Kota Yogyakarta. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa ini merupakan nikmat atau adzab dari Allah? Atau sekedar untuk menguji hamba-Nya? Mengapa harus Kota Yogyakarta yang mendapat kiriman abu paling banyak?
Sungguh, jawaban dari alasan Kota Yogyakarta mendapat kiriman paling banyak dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Tentang lokasi berdasarkan letak dan jarak dari gunung, arah abu yang keluar dari gunung, dan arah angin yang berhembus. Namun, kita tak akan membahas itu. Kita akan mencoba memformulasikan jawaban apa maksud peristiwa ini terjajdi di Kota Yogyakarta. Padahal kota-kota terdekat dan kota tempat gunung itu berdiri bisa dikatakan malah tidak terjadi apa-apa. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa peristiwa ini dapat menjadi nikmat, ujian, sekaligus adzab bagi warga Yogyakarta.
Nikmat. Peristiwa ini menjadi momen terpenting bagi beberapa golongan yang pandai melihat situasi sebagai kesempatan mereka mendapat rizki. Ya, peristiwa ini menjadi lahan rizki bagi para penjual bagor, cuci motor, sewa genset air, jual masker, dan hal-hal lain yang berguna untuk membersihkan dan atau menghindar dari efek abu Kelud. Peristiwa ini merupakan ladang rizki bagi mereka sehingga mereka mendapatkan keuntungan karenanya.
Ujian. Peristiwa ini menjadi uji kesabaran bagi warga Yogyakarta. Kondisi biasa yang sudah menjadi zona nyaman warga Yogyakarta terusik oleh adanya abu kiriman dari Kelud. Ketidaknyamanan karena adanya abu Kelud ini menguji kesabaran warga Yogyakarta bagaimana mereka menghadapainya. Dalam kondisi yang tidak nyaman seperti ini, juga memberikan kesempatan bagi yang berhasil untuk meningkatkan derajat.
Adzab. Sebenarnya terlalu jauh jika mengatakan persitiwa ini sebagai adzab. Allah masih terlalu sayang kepada hamba-Nya sehingga peristiwa ini hanya sebatas sebagai peringatan bagi hamba-Nya yang melampaui batas. Bagi mereka yang melakukan kemaksiatan dengan sukarela di tanah Yogyakarta. Lihatlah, tak hanya Kota Yogyakarta yang diuji dengan abu Kelud. Banyak juga kota-kota lain yang saat itu mengalami banjir, dan gunung Sinabung yang masih batuk-batuk.
Teras masjid At-Taqwa Swakarya

Februari 2014

Friday, September 19, 2014

Si Miskin Yang Kaya Dan Si Kaya Yang Miskin

Sudah sembilan tahun lamanya aku hidup dalam perantauan. Tahun ke 4, aku mengazamkan diri untuk tidak banyak meminta uang pada orang tua. Mau minta uang untuk apa? Bea sekolah sudah gratis, tempat tinggal di asrama, makan sudah ditanggung. Paling Cuma biaya transportasi. Memang biasanya orang tua hanya memberi uang transportasi, uang saku seadanya, akupun tak protes. Tiga ratus ribu untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Itu jumlah uang yang diberikan ketika keberangkatan. Padahal hanya boleh pulang ketika pulang semester. Bagiku tak jadi masalah. Toh tidak ada tanggungan lain-lain. Paling hanya butuh peralatan mandi atau ke warnet kalo banyak tugas, karena di asrama fasilitas komputer dan internet terkadang terbatas.
Masa-masa di SMA terlewati begitu saja tanpa banyak masalah keuangan yang berarti. Atribut angkatan, pakaian dan atribut untuk wisuda, dan pendaftaran kuliah bisa diatasi tanpa meminta orang tua. Hingga sampai akhirnya aku benar-benar diterima jadi mahasiswa dengan beasiswa. Aku membulatkan tekadku untuk tidak meminta uang orang tua. Bahkan ketika aku menghilangkan uang temanku sebesar 10 juta pun aku tak bilang orang tua. Aku cari usaha sendiri, hidup sendiri menyelesaikan masalahku sendiri. Ya, ujian mengganti uang 10 juta itu cukup memberikan banyak pelajaran yang berarti.
Meski begitu, aku tetap bertekad. Setelah selesai mengganti, kebutuhan yang lain menanti, tibalah masa KKN yang dalam situasi “terjebak” dalam kelompok yang pergi jauh dan tidak dibiayai pendanaannya. Lagi, aku harus mengeluarkan banyak uang di sini. Tentu saja, aku masih tetap dengan pendirianku; tidak meminta tetapi menerima kalo diberi. Segala administrasi dan keuangan dalam KKN yang notabene sangat membutuhkan laptop dan uang yang banyak alhamdulillah bisa terselesaikan. Tak perlu ditanya bagaimana otak ini terus bekerja mencari tiap solusi atas semua permasalahan.
Hingga masuk tahun ke-4 kuliah ini, aku masih juga tidak memiliki laptop. Padahal banyak tuntutan, tugas, dan lain-lain yang membuat laptop harus menjadi kebutuhan mahasiswa. Dari awal kuliah sampai sekarang, dengan uang terbatas, fasilitas terbatas, aku tetap bisa mencapai IP > 3. Aku masih bisa hidup, bahkan tak jarang meminjami atau memberi uang teman yang membutuhkan karena kehabisan uang atau belum daat kiriman. Tugas-tugas kuliah dan organisasi pun dapat terselesaikan meski banyak kekurangan.
Aku bangga bisa meringankan beban orang tua. Aku bangga bisa bermanfaat kepada teman. Dalam tulisan ini aku sengaja menyombongkan diri, bahwa aku adalah orang yang tak punya banyak tetapi bisa memberi sesuai kemampuan. Bermanfaat kepada lingkungan. Daripada mereka yang punya banyak uang tapi sukanya berfoya-foya. Daripada mereka yang punya laptop keren, canggih, tapi tugas keteteran, kuliah banyak yang ngulang, sedangkan duit masih minta orang tua. Ada pengemis atau pengamen seringnya diusir. Ada orang minta sumbangan dikiranya cari alasan.
Silakan saja bilang aku orang miskin, karena memang aku tak punya banyak uang seperti kalian. Tetapi aku banyak memberikan manfaat untuk sekitar. Aku tak peduli, meski hanya meringankan orang tua dan sedikit membantu teman, bagiku itu sudah luar biasa. Memang tak sehebat orang yang mendirikan panti asuhan, atau membagi-bagikan makanan di pinggir jalan seperi para artis, bukan juga membuka lapangan pekerjaan atau mengentaskan kemiskinan. Tapi hal baik ini perlu disombongkan. Buat apa merasa sok ikhlas dengan diam, hingga akhirnya kebaikan terkubur terpendam. Lihatlah, yang sering muncul justru kemaksiatan dan segala model kejahatan. Pencurian, korupsi, pelecehan seksual, tawuran, dan segala kebohongan dan kecurangan.
Lihatlah orang-orang kaya di sana, mereka yang memainkan uang, merasa bebas dan merasa aman. Tapi tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Kenyamanan mereka tak akan bertahan lama. Tapi, bukan ini yang seharusnya diekspos. Media menjadi modeling bagi penontonnya. Seolah hanya keburukan yang ada di Indonesia. Perhatikanlah hal-hal baik, sebarkan nilai-nilai kebijaksanaan, tanamkan pada anak-anak, praktekkan mulai dari diri sendiri, lakukan dari hal yang kecil, dan mulailah dari sekarang.
Jangan pernah biarkan nilai-nilai kebenaran terkubur dan terpendam, terkikis oleh keburukan-keburukan orang yang tak tahu aturan. Sebarluaskan kebaikan melalui apapun yang bisa dilakukan, baik perkataan, tindakan, ataupun persetujuan dan harapan.
Di kegelapan kamar

19 September 2014

(ORANG) LURUS

“Benarkah garis lurus itu ada di dunia?” tebakan dari kakakku ketika aku masih SD.
Aku menjawab, “Ada lah, semua juga bisa membuat garis lurus (sambil mempraktekkan menggaris lurus dengan tangan)”.
“Coba jawab, apakah kamu yakin meja ini lurus?” tantang kakakku.
Dengan lantang aku menjawab”yakin!”
“Sekarang coba kamu bayangkan. Meja ini kamu susun teruus menerus sampai nanti pada akhirnya ketemu di meja pertama. Bukankah bumi itu bulat? Jadi ketika kamu terus menjejerkan meja ini sampai di titik semula, berarti meja ini tidak lurus, tetapi bulat, atau ada sekian persen yang bengkok. Meski hanya 0,00000 sekian persen” jelasnya.
Aku hanya terdiam. Mendengarkan penjelasan yang cukup masuk akal. Ada satu argumentasi lagi sebenarnya. Tapi tidak aku sampaikan. Aku menyimpan argumen itu, hingga sampai masa SMA ketika perdebatan tentang garis lurus itu terulang antara kedua temanku. Dan aku hanya mendengarkan, bahkan sedikit mendukung temanku yang “menjebak” bahwa tidak ada garis lurus di dunia ini. Aku sudah lupa dengan argumentasiku dulu yang belum aku ungkapkan.
Akupun merasakan asyiknya suasana membuat orang berpikir ulang. Mengotak-atik logika yang entah benar atau salah. Beberapa kali aku menanyakan dan menjelaskan tentang garis lurus pada teman-temanku. Hingga terakhir sekitar sebulan yang lalu aku menanyakannya pada temanku. Ada yang berpikir ulang, ada yang manggut-manggut mendengarkan logika bumi bulat sehingga tidak ada garis lurus. Tapi ada satu orang yang membantah yang akhirnya membuat kesimpulan bahwa garis lurus itu memang lurus. Dia berkata, “Logikamu itu salah, garis lurus itu tidak mengikuti bumi yang bulat, tapi harus berada di ketinggian yang sama”. Beberapa teman ada juga yang mengangguk dan mengiyakan. Tetapi itu sebuah tamparan bagiku. Hey, bukankah itu argumen yang dulu tidak pernah aku sampaikan? Bukankah itu penjelasan yang benar-benar menyatakan bahwa garis lurus itu lurus? Ya, jadi dapat kita simpulkan bahwa garis lurus itu memang lurus. Dia harus pada ketinggian yang sama, bukan diukur dari bumi, melainkan satu ketinggian yang konsisten. Pokoknya sepeti itulah, aku yakin kalian paham. J
So what? Apakah pencarian penjelasan garis lurus itu berhenti? Tidak. Tidak bagiku. Banyak fenomena yang bisa dijelaskan dari dua konsep tentang garis lurus tadi. Aku menghubungkannya dengan orang-orang yang menilai bahwa aku adalah orang yang lurus. Sungguh, ada gejolak ketika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah orang yang lurus. Dan banyak orag yang mengiyakannya. Selurus apakah diriku? Akupun tak tahu, bagaimana penilaian mereka, aspek apa yang mereka gunakan sampai pada akhirnya membuat kesimpulan bahwa aku adalah orang yang lurus. Karena aku sendiri menilai bahwa aku bukanlah orang yang lurus, banyak sekali bengkokan-bengkokan dalam hidupku. Ya, selalu begitu. Penilaian orang lain hanya melihat pada hal yang tampak. Karena apa yang dilihat orang lain dengan apa yang dilihat diri sendiri pastilah berbeda.
Ok. Pemahaman tentang dua konsep garis lurus di awal tadi bisa menjelaskannya. Kita asumsikan bahwa hidup manusia ini bagai menorehkan garis. Sehingga bisa dinilai apakah garis yang ditorehkan itu lurus atau tidak. Sayangnya tak ada manusia yang sempurna, tak ada manusia yang tidak menapakkan kakinya di bumi. Jadi, mau selurus apapun garis yang dia torehkan, dia akan terus mengikuti arah lingkar bumi. Manusia tak akan pernah bisa membuat garis lurus yang sempurna. Hanya malaikat yang mampu melakukannya. Karena memang malaikat diciptakan untuk mematuhi perintah-Nya. Kalaupun manusia bisa, dia harus memakai perlengkapan dan peralatan yang bisa digunakan di luar angkasa, bahkan mungkin mencapai luarnya luar angkasa.
Lalu, mengapa orang lain masih menilai sebagian orang itu lurus? Ya, karena mereka juga manusia. Sudut pandang mereka terbatas pada apa yang mereka lihat. Bukankah meja yang disusun terus-menerus sampai ketemu lagi pada ujungnya berarti memiliki kebengkokan sekian derajat? Butuh sudut pandang yang lebih luas dan lebih jauh untuk melihat kebengkokan tersebut.
Secara religius, ketika berdiskusi dengan salah seorang teman, dia menjawab, “Hanya ada dua kemungkinan; Allah menutupi aibnya atau Allah menunggu saat yang tepat untuk membalasnya”. Begitulah kiranya, karena tentu dalam melaksanakan sebuah tugas (membuat garis lurus), jika melakukan kesalahan pasti ada konsekuensinya. Dan karena manusia selalu salah, tak pernah bisa membuat garis lurus secara utuh, banyak sekali kemungkinan sebenarnya. Bisa jadi Tuhan menutup kesalahanya, menunda membalasnya, atau memaafkannya. Atau bisa jadi salah dua diantaranya. 
Dalam konsep penciptaan-Nya, Tuhan tak hanya menciptakan manusia. Kaitannya dengan tugas membuat garis lurus tersebut, Tuhan juga menciptakan malaikat dan jin sebagai pembantu atau penghalang bagi manusia. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah. Malaikat diciptakan dari nur atau cahaya, sedangkan iblis diciptakan dari api. Dari unsur-unsur itu bisa kita lihat, malaikat (cahaya) akan membantu dan memberi petunjuk kepada manusia (tanah) dengan cahayanya sesuai tugasnya masing-masing. Sedangkan iblis (api) akan merusak manusia (tanah), membengkokkan arah manusia agar tidak lurus. Cahaya menimbulkan efek terang sehingga tanah bisa membuat garis yang lurus sesuai petunjuk. Sedangkan api juga bisa memberikan cahaya, namun api juga menimbulkan efek panas yang membakar tanah menjadi kering kerontang.
Maka, hai manusia, fokuslah pada tujuanmu untuk membuat garis lurus, sadarlah bahwa manusia selalu diawasi oleh malaikat dan iblis di manapun manusia berada. Manusialah yang memilih untuk mengikuti malaikat atau iblis.
Ruang kecil KMP, Fakultas Psikologi UGM


19 September 2014