Sunday, November 15, 2015

Detektif Kecil

Kelas enam merupakan tahapan akhir dalam proses pendidikan SD di Indonesia. Tingkat penentuan apakah siswa dapat melanjutkan menuju tingkat SMP atau masih tetap tinggal di SD. Kelas enam merupakan tahapan akhir berproses dan berdinamika bersama teman-teman sekelas dan seangkatan yang sudah lima tahun lamanya bersama. Bersama belajar menuntut ilmu-ilmu dasar sebagai bekal untuk tingkat selanjutnya.
Proses enam tahun selama di SD ternyata bukan waktu yang lama. Justru sungguh sangat singkat jika fokus pada masa yang mendekati perpisahan. Hingga akhirnya masa ujian pun tiba. Ujian demi ujian yang akan menentukan. Ujian sekolah, ujian praktek, dan Ujian Nasional. Namun tulisan ini tidak akan menceritakan tentang proses belajar mengajar dalam masa SD hingga proses kelulusan. Tulisan ini akan menceritakan satu scene istimewa yang terjadi dalam setting kelas enam di tahun 2005.
Angkatan kelulusan SD 2005 ini berbeda, sejak kelas lima sekolah mengeluarkan kebijakan untuk memisah murid laki-laki dan perempuan. Angkatan yang dari dulu terdiri dari dua kelas dan pembagiannya dilakukan secara merata sesuai jumlahnya, saat itu ketika mereka kelas lima mereka dipisah kelas berdasarkan jenis kelaminnya. Satu kelas terdiri dari laki-laki semua yang berjumlah 24 anak dan satu kelas lagi yang terdiri dari perempuan semua yang berjumlah 19 anak.
Fauz adalah salah satu siswa dari kelas yang laki-laki. Dialah siswa terpintar dari golongan laki-laki yang mendapat ranking satu setelah kelas dipisah antara laiki-laki dan perempuan. Dulu saat siswanya masih dicampur antara laki-laki dan perempuan, dia mendapat ranking dua karena ranking satunya pasti diraih temannya yang perempuan, Zahra namanya. Salah satu teman laki-laki yang menjadi saingannya adalah Fahri. Beberapa kali Fahri mengalahkannya dengan meraih ranking dua sehingga Fauz mendapat ranking tiga, atau pernah juga Fauz mendapat rangking empat karena peringkat keduanya diraih oleh Tiwi, teman dekat Zahra. Persaingan empat siswa-siswi ini selalu berubah-ubah, tetapi ranking satu selalu berhasil dimenangkan oleh Zahra. Namun, ketika kelas dipisah antara laki-laki dan perempuan, maka Fauz-lah pemenang di kelas laki-laki selama empat semester semenjak kelas lima hingga kelas enam. Sesuai dengan namanya Fauzi yang berarti kemanangan.
Fauz berasal dari keluarga tidak mampu. Tiap hari dia berangkat dari rumahnya yang berjarak kira-kira 3 km dengan memboncengkan kedua adiknya yang kelas tiga dan kelas satu. Saat kelas lima, Fauz terkenal dengan siswa yang sering terlambat. Namun ketika kelas enam, teman-temannya heran karena Fauz sudah tak lagi terlambat padahal di kelas enam ini dia memboncengkan kedua adiknya. Waktu kelas lima dulu, dia berangkat sekolah naik sepeda sendiri, kakaknya yang kelas enam memboncengkan adiknya yang masih kelas dua. Jika ketika berangkat sekolah Fauz memboncengkan kedua adiknya, ketika pulang Fauz memboncengkan teman sekaligus sahabatnya, teman sekaligus sahabat kakaknya juga, karena sebenarnya dia dulu adalah teman sekelas kakaknya. Namun karena dia tidak naik kelas saat kelas tiga, dia menjadi teman seangkatannya Fauz, dan menjadi teman sekelas ketika kelas dipisah berdasar jenis kelamin, namanya adalah Harto. Adik-adiknya sudah pulang duluan dijemput orangtua atau pulang bersama temannya, karena jadwal pulang kelas satu dan tiga lebih awal dibandingkan kelas enam, apalagi kalau ada kelas tambahan atau les untuk kelas enam.
Harto adalah salah satu siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu juga. Rumahnya sebenarnya tidak sejauh rumah Fauz, tetapi medannya yang naik ke atas menjadi tantangan tersendiri. Setiap hari berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Fauzlah yang menjadi temannya yang mau memboncengkannya sebentar sampai persimpangan yang memisahkan tujuan rumah mereka.
Layaknya dalam kisah-kisah atau cerita-cerita dalam dongeng atau sinetron, mereka mempunyai semacam musuh bebuyutan, siswa paling nakal dan paling jahil, namanya adalah Mustafa. Perawakan Mustafa adalah siswa yang paling besar dan berbadan gemuk. Lagi-lagi seperti dalam kisah-kisah dalam dongeng atau cerita lainnya, perawakan siswa yang nakal selalu dicitrakan dengan yang besar dan gemuk. Sangat jauh jika dibandingkan Fauz dan Harto yang berperawakan kecil. Mustafa sebenarnya juga teman kakaknya Fauz, dulu juga sekelas dengan Harto. Dia tidak naik kelas ketika kelas lima. Kenakalan Mustafa dilakukan dengan sering memukul atau meinta dengan paksa uang temannya. Kemudian uang itu digunakan untuk membeli jajan sendiri. Harto sering menjadi orang yang dirampasnya. Musuh bebuyutan lain selain Mustafa adalah Awaf, salah satu siswa yang kaya raya tetapi memiliki sifat kesombongan. Terkadang Awaf merendahkan teman-temannya yang lain terlebih jika dia tahu sedikit kesalahan atau suatu hal yang memalukan. Maka dengan percaya diri dia akan mengungkap masa-masa itu untuk mengejek dan membuat malu siswa lain. Harto sering diejek rambut keriting. Fauz sering diejek dengan masa kelas satunya yang dulu pernah berak di kelas. Siswa-siswi yang lain juga sering diejek dengan masa kelas satu atau kelas sebelumnya yang menurutnya lucu untuk ditertawakan bersama. Atau ejekan-ejekan nama pacar, nama orantua, dan sebagainya. Awaflah yang selalu menjadi kompor semua ejekan itu. Dinamika dalam kelas itu tidak selalu menjadi Fauz-Harto vs Mustafa atau Fauz-Harto vs Awaf. Pernah juga Fauz-Harto-Awaf-dan semua siswa sekelas vs Mustafa, atau Fauz-Harto-Mustafa-dan beberapa teman sekelas vs Awaf, semua tergantung konteks permasalahan yang ada. Banyak juga siswa lain yang tidak muncul dalam tokoh cerita ini yang juga nakal atau baik sifatnya. Pernah juga Awaf-Mustafa-dan beberapa siswa vs Fauz, karena Fauz tidak mau memberikan contekan ketika mengerjakan tugas dari guru. Tak jarang juga ketika mereka semua bersatu, ketika tidak ada sama sekali permasalahan atau ketika mereka memiliki satu musuh yang sama. Dan kisah ini menceritakan tentang itu, cerita singkat ketika mereka menghadapi musuh yang sama.
Kisah ini terjadi ketika waktu mendekati perpisahan, ketika waktu mendekati ujian-ujian yang siap menunggu kelas enam waktu itu. Bukan, musuh mereka bukanlah ujian demi ujian itu. Musuh mereka memang belum tampak, dan bisa jadi musuh mereka adalah teman mereka sendiri. Musuh dalam selimut begitu pepatah menyebutkannya. Siapakah musuh itu? Dia adalah pencuri. Dalam beberapa waktu terakhir, banyak siswa yang mengeluh dan mengadu kepada guru kalau mereka kehilangan uang. Baik siswa laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya tidak terlalu sering kehilangan itu terjadi, tetapi sudah cukup banyak untuk dikatakan sebagai sebuah kasus.
Saling tuduh dan curiga menjadi suasana yang tidak mengenakkan. Guru-gurupun juga tidak bisa menuduh sembarang orang. Harus ada bukti atau saksi, atau lebih mudah lagi jika ada yang mengakui. Tetapi, tentu pencuri tak akan mengakui kesalahannya, bukan? maka permasalahan ini menjadi pelik bagi siswa-siswa kelas enam saat itu. Awaf dan Mustafa juga menjadi geram. Tak jarang mereka memberikan ancaman jika sang pencuri ketahuan. Beberapa anak yang dicurigai sudah sering diinterogasi baik oleh teman-teman atau guru. Sederhana pemikiran saat itu, mereka yang jajannya banyak ketika kehilangan itu terjadi pasti dinterogasi. Hanya Fauz yang benar-benar mencoba memahami setiap alasan teman-temannya ketika diinterogasi; “sudah biasa jajan kayak gini”, “emang uang sakunya segitu”. Kesulitan lainnya adalah bahwa kehilangan itu tidak terjadi setiap hari. Seolah dia adalah pencuri yang profesional dan berpengalaman. Ada jeda tertentu, ada momen tertentu kapan pencurian itu dilakukan. Ketika jam istirahat, ketika jam olahraga, ketika jam bebas, dan sebagainya dan tidak berturut-turut.
***********
Suatu hari, orangtua Fauz memberikan uang SPP sekolah untuk dibayarkan. Saat itu kemalasan Fauz sedang kumat, sehingga dia tidak langsung membayarkan uang SPP itu kepada guru. Hari-hari berlalu dan Fauz belum membayarkan juga uang itu. Fauz adalah salah satu diantara teman-temannya yang belum pernah menjadi korban pencurian karena uang sakunya toh sedikit. Siapa pula yang mengira kalau di tasnya ada uang SPP? Pikirnya saat itu. Tapi dia juga sedikit ceroboh. Fauz meletakkan kartu dan uang SPP di dalam tas tempat bagian dia juga meletakkan air minumnya. Sehingga ketika dia mengambil air minum tentu kartu dan uang SPP itu terlihat, apalagi kalau ada teman yang meminta air minumnya.
Salah satu kelebihan Fauz adalah kemampuan mengingatnya, kemampuan mengingat kejadian detail dalam situasi dan kondisi tertentu. Dia juga orang yang pendiam, sehingga seringkali menjadi orang yang mengamati keadaan sekitar. Beberapa hari berlalu setelah orangtua Fauz memberikan uang SPP-nya untuk dibayarkan. Saat itu sedang mata pelajaran kesenian. Seperti biasa kelas menjadi bebas karena ditinggal pergi gurunya. Keramaian dan keributan terjadi. Apalagi sebelumnya adalah jam olahraga, masih ada sisa-sisa semangat atau kelelahan setelah olahraga. Pada jam itu, Harto meminta minumnya dan Fauz mempersilahkan begitu saja untuk mengambil sendiri di dalam tasnya. Fauz mengingat dan melihat teman-temannya yang jajan banyak saat itu; Awaf, Agry, Harto, Mustafa, Hady, Shiddiq, dan Febri. Terkadang dia juga mengira-ngira sendiri dalam pikir dan imajinasinya, mencoba menebak siapa pelaku pencuri sebenarnya. Awaf, Agry, Hady, dan Mustafa tentu bukan. Uang saku mereka memang banyak dibandingkan yang lainnya. apalagi Agry dan Hady. Mereka adalah orang kaya yang baik, suka membantu dan peduli terhadap sesama. Awaf meskipun terkadang tampak sombong tapi juga memiliki banyak kebaikan dari dirinya. Mustafa yang terkenal nakal pun juga dicoret Fauz dari lis kemungkinan pencuri. Karena sejarah kenakalannya tidak pernah melakukan pencurian. Shiddiq yang juga salah satu siswa nakal juga dicoretnya. Dalam sejarah kenakalannya, yang diambil Shiddiq adalah alat tulis atau barang-barang lain yang kemudian disembunyikannya. Harto dan Febri termasuk orang yang lumayan sering jajan banyak, tetapi tidak setiap hari. Ah, pada akhirnya Fauzpun menyerah, toh akhir-akhir ini sudah tidak ada pencurian lagi.
Hari itu Fauz memutuskan untuk pergi ke kantor membayarkan SPP-nya yang sudah sekian lama ia tunda. Pembayaran dilakukan, namun ada sedikit yang membuat Fauz terkejut. Pak Guru mengatakan bahwa uangnya kurang sepuluh ribu dan memintanya untuk menambahkan esok hari. Fauzpun hanya mengiyakan saja. Sesampainya di rumah, Fauz mengadukan kepada ibu perihal pembayaran SPP-nya itu. Ibunya lebih terkejut.
“Bukankah waktu itu kamu juga ikut menghitung uangnya, kan uangnya sudah pas? Kok bisa kurang? Kamu pake buat jajan tidak?” ibunya berkomentar panjang.
“Tidak bu, ga tahu, kata Pak Gurunya gituu..” keluhnya. Dia juga menjadi sadar. Ada yang tidak beres. Ya, dia mengingat bahwa saat itu dia juga ikut menghitung dan memastikan bahwa uangnya sudah pas. Mengapa ketika dibayarkan bisa menjadi kurang sepuluh ribu?
“Kamu sih, makanya lain kali kalau sudah disuruh bayar segera dibayarkan, ga usah ditunda-tunda. Atau coba tanyakan temanmu, mungkin ada yang menemukan.” Nasihat ibunya saat itu.
***********
Esok harinya ayah Fauz memberikan uang tambahan untuk melunasi SPP-nya itu. Fauz menerimanya dan berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun, bukan hal itu yang membuat dia bertekad dan bersungguh-sungguh. Perbincangan singkat dengan ibunya kemarin memberikan banyak pencerahan. Tidak mungkin uang sepuluh ribu itu menguap begitu saja. Pasti ada orang yang mengambilnya. Dan sekarang dia sudah yakin dan tahu siapa pencuri itu. Bukti dan argumentasi sudah kuat. Dia bertekad untuk membongkar rahasia pencuri itu.
Sesampainya di sekolah, tekad dan kesungguhan Fauz tak sekuat di rumah tadi. Dia menjadi bimbang. Apa yang harus dia lakukan? Mengadu kepada guru? Atau membicarakan dengan teman-temannya? Ada ketidaktegaan bercampur dengan ketakutan jika dia membongkar rahasia sang pencuri itu. Waktu berlalu, hingga sampai pulang sekolahpun tidak ada yang dilakukannya.
Seperti biasa, Fauz pulang bersama Harto. Suasana hati Fauz masih bimbang dan ragu-ragu. Namun akhirnya dia membualtkan tekad untuk membahasnya, mengapa tidak dia bicarakan berdua saja dengan Harto, kan dia adalah teman dan sahabatnya, pikirnya saat itu. Perbincanganpun dimulai.
“Har, uang SPP-ku kemarin kurang sepuluh ribu, kayaknya ada yang ngambil deh, kamu tahu ga siapa yang ngambil?” tanya Fauz membuka pembicaraan.
“Waah, ya ga tahu” jawab Harto singkat. Fauz menangkap Harto memalingkan pandangan dan seolah ada yang disembunyikan.
“Kamu beneran ga tahu siapa yang ngambil, atau jangan-jangan malah kamu yang ngambil?” desak Fauz.
“Ga lah, ngapaian aku ngambil uang kamu?” jawab Harto lagi singkat dan malah memberikan pertanyaan balik.
“Siapa lagi kalo bukan kamu yang ngambil? Cuma kamu yang tahu aku naruh uang SPP itu dekat air minumku, cuma kamu yang hari itu minta minumku, dan hari itu kamu jajan lebih banyak dari biasanya. Siapa lagi kalo bukan kamu yang ngambil?” bukti dan argumentasi itu keluar semua dari mulut Fauz. Dia sudah tak tahan lagi memendam semuanya.
Harto diam seribu bahasa. Dia tak tahu lagi harus berkomentar apa. Rahasia yang selama ini ia simpan begitu rapat akhirnya terbongkar juga. Dan yang membongkar adalah sahabat dan teman terdekatnya. Apakah dia harus mengaku? Ataukah akan terus mengelak dan terus melakukan kebohongan? Fauz teman yang selalu baik kepadanya, dan tak pernah menyakitinya. Siswa yang terkenal baik dan pintar itu.
Suasana menjadi serba salah. dua orang yang biasanya saling tertawa dan bersenda gurau, kini saling diam mendiamkan. Fauz pun juga merasa bersalah. Bagaimana jika Harto bukan pencurinya? Dia telah menuduh dan menghilangkan kepercayaan selama ini yang sudah terbangun diantara mereka. Bagaimana jika Harto marah dan tak mau lagi menyapanya? Di sisi lain diapun juga tak dapat membayangkan bagaimana jika Harto benar-benar sebagai pencurinya. Akankah dia ikut diam dan membiarkannya terus mencuri? Ataukah akan mengadukan kepada wali kelas atau kepala sekolah? Mungkin ketidaktahuan terasa lebih menenangkan dibandingkan mengetahui hal sebenarnya. Tapi dia sudah terlanjur mengungkap semua tuduhannya. Sepanjang perjalanan menjadi menyuramkan sampai pada akhirnya Harto turun dari boncengan Fauz karena harus berpisah di persimpangan jalan.
************
Keesokan harinya rutinitas berjalan seperti biasanya. Berangkat sekolah, masuk dalam sekolah, pelajaran pertama, kedua, dan seterusnya hingga suatu saat diantara itu Harto mengajak berbicara dengan Fauz berdua. Dalam perbincangan itu Harto mengakui kesalahannya bahwa dialah yang mengambil uang SPP Fauz. Diapun juga mengakui bahwa dialah pelaku atas setiap kehilangan yang terjadi sebelumnya. Sekarang giliran Fauz yang diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus berkomentar apa atau harus berbuat apa.
“Tapi, plis, tolong jangan bilangin ke siapapun ya Uz” pinta Harto dengan iba.
Di tengah kebingungan dan kebimgangannya, Fauz pun merasakan iba juga terhadap Harto. Tentu dia juga tak akan tega melaporkan pengakuan sahabatnya itu kepada siapapun apalagi kepada guru. Bukan, bukan karena dia sudah mempertimbangkan hukuman apa yang nantinya akan diberikan oleh guru, disuruh berdiri, meminta maaf pada semua orang yang telah dicurinya, tidak boleh mengikuti pelajaran, atau yang lebih seirus lagi dikeluarkan dari sekolah. Pikiran anak kecil saat itu tidak sedewasa itu memikirkan masa depan temannya. Kalaupun iya hanya sebatas hukuman meminta maaf dan mengganti uang yang dicurinya. Hukuman meminta maaf dan mengganti uang yang dicurinya yang menurut Fauz akan sangat menyulitkan Harto. Itulah perasaan iba yang dia pikirkan. Anak sekecil itu tentu tidak sampai ke pemikiran dikeluarkan sekolah dan masa depan temannya, tidak juga tentang hubungan mereka akan memburuk dan bisa jadi akan saling mendiamkan terus menerus dan selalu ada prasangka dan curiga dalam dirinya.
Tiba-tiba Fauz mendapat ide brilian. Dengan spontan tak lama setelah Harto mengiba, Fauz berkata, “Ok, aku tidak akan mengatakannya pada siapapun, tapi dengan satu syarat”.
“Apa itu syaratnya? Apapun permintaanmu akan aku penuhi deh.” Jawab Harto dengan sedikit berpikir dan mengira-ngira syarat apa yang akan diajukan. Tentu dengan berharap benar bahwa dia bisa memenuhinya, bukan suatu syarat yang menyulitkan.
“Syaratnya kau harus berjanji padaku untuk tidak akan mengulangi hal itu lagi, dan jika itu kau lakukan lagi, aku akan melaporkannya” jawab Fauz tegas.
“Hmmm, oke, aku janji” kata Harto.
Fauz menangkap ada nada keberatan dari kata-kata Harto. Namun dia sangat berharap Harto benar-benar tidak akan mengulanginya lagi. Karena jika Harto melakukan lagi, diapun belum tentu benar-benar akan melaporkannya. Ada rasa ketidaktegaan dan iba kepada Harto. Termasuk pendiam dan ketidakberanian dirinya untuk melaporkan kepada guru atau teman yang lainnya.
***********
Hari demi hari berlalu hingga ujian demi ujian selesai dilaksanakan oleh semua siswa. Sekolah juga menyelenggarakan piknik bersama siswa-siswi kelas enam untuk terakhir kalinya. Perpisahanpun juga diselenggarakan. Tak banyak isak tangis seperti layaknya perpisahan-perpisahan anak SMA, karena mereka masih terlalu kecil untuk bisa memahami arti perpisahan. Hanya beberapa anak yang memang sudah saling menjalin persahabatan dari kelas tiga hingga kelulusan itu. Persahabatan antara dua laki-laki dan dua perempuan yang gosipnya mereka saling menyimpan rasa suka.

Bagi Fauz, ada rasa kebanggan sendiri dalam dirinya. Sejak perjanjiannya dengan Harto saat itu, tidak ada lagi kasus kehilangan uang di kelas enam. Teman-teman dan gurunyapun tanpa sadar tak pernah mengungkit kasus itu lagi. Dan hubungan antara mereka berdua masih seindah seperti sebelum-sebelumnya. Sederhana, selalu saling membela ketika “berperang” dengan Mustafa atau Awaf, dan selalu pulang bersama. Fauz hanya bisa berdoa semoga Harto benar-benar tidak akan mengulangi mencuri lagi sampai dia besar dan dewasa.

sahabat sejati selalu menginginkan dan mengharapkan yang terbaik untuk sahabatnya

memori dalam pintu lorong waktu
15 November 2015

Tapak Jejak Masa Kanak

Rumah merupakan tempat kembali, karena ia telah begitu banyak menyimpan memori.
Rumah adalah tempat kembali. Kesadaran apalagi yang aku abaikan untuk memahami bahwa rumah adalah tempat kembali? Meski dalam perantauan setingkali kutemui rumah pengganti. Tempat dimana aku kembali ketika penat. Tempat mengadu ketika otak sudah buntu. Seolah tempat itu memberikan kesan sebagai keluarga baru. Teman dan sahabat yang asyik, saling mengerti, memahami, dan saling menyemangati. Teman dan sahabat senasib seperjuangan yang selalu menguatkan. Namun, itu hanyalah rumah pengganti bukanlah rumah tempat kembai yang sejati.
Kepulangan dua hari ini memberikan banyak kesan. Pengalaman dan proses belajar mengembangkan potensi diri bersama kakak pertama. Melatih public speaking dan berbagi inspirasi kepada sesama. Perkumpulan bersama kaka-kakak dan adik, membicarakan apapun yang bisa dibicarakan. Tak hanya obrolan mulut ke mulut, lebih dari itu adalah obrolan dari hati ke hati. Membicarakan berbagai permasalahan, mimpi-mimpi masa depan, atau sekedar obrolan ringan. Bahwa komunikasi dalam keluarga selalu memberikan motivasi yang berbeda dibandingkan motivasi-motivasi teman atau sahabat atau pelatihan-pelatihan sekalipun. Keluarga adalah motivasi tertinggi yang paling nyata yang tidak perlu didapat dengan mengikuti program-program seminar atau pelatihan yang biasanya berbayar.
Rumah adalah tempat yang menyimpan banyak memori. Sehari berputar-putar mengelilingi kota tanpa sengaja membuatku terpaksa mengingat kembali memori lama yang hampir sirna. Masa-masa kanak usia SD kala itu. Kepingan-kepingan itu muncul satu demi satu. Bergantian menampilkan memori demi memori yang lucu dan seru. Masihkah mereka juga mengingat masa-masa itu?
Halaman dan jalan di depan sekolah itu masih sama. Hanya bangunan di kanan-kirinya saja yang sudah tampak berbeda. Ada salah satu temanku, dia yang selalu bersama menunggu orangtua kami menjemput dengan sepeda. Salah satu siswi yang berasal dari keluarga sederhana layaknya keluargaku. Berangkat dan pulang sekolah dijemput dan diantar dengan sepeda. Tak jarang jika salah satu orangtua kami datang duluan sengaja menunggu orangtua yang lain, sehingga kami pulang bersama diboncengkan orangtua kami masing-masing hingga sampai di persimpangan jalan yang memisahkan tujuan. Sering pula kami masih bercengkrama di boncengan kami, tertawa riang hingga kami saling mengucapkan salam perpisahan seperti yang diajarkan guru kami.
Wartel itu sudah tak ada lagi, tapi aku masih mengingatnya. Wartel tempat dia selalu meminta diantarkan setiap pulang sekolah untuk menelpon ibunya agar segera dijemput untuk pulang ke rumah. Dia adalah siswi terpintar yang selalu meraih ranking satu di kelas. Sedang aku hanya selalu tepat berada di bawahnya atau di bawahnya lagi. Dia juga salah satu siswi yang kaya tapi tidak ada kesombongan padanya. Kami selalu menunggu jemputan orangtua di halaman sekolah atau sekitarnya. Tak jarang juga orangtua kami selalu saling menunggu untuk memastikan orangtua yang lain sudah datang menjemput. Bukan pulang bersama yang satu naik sepeda dan yang satu naik motor. Terkadang justru mereka saling menogbrol dulu dan membiarkan kami bermain sebentar sebelum benar-benar pulang.
Hey, ini bukan memori tentang cinta segitiga atau cerita patah hati bak cerita dewasa di film telenovela. Ini hanya memori polos masa kanak yang belum mengenal kata cinta. :D Dua yang sudah disebutkan hanya beberapa diantara kepingan memori diantara memori lain yang akan diceritakan selanjutnya. Kepingan itu tepatnya ketika aku masih kelas satu.
Gapura demi gapura kampung kulewati. Aku masih ingat salah satu diantaranya ada satu rumah, tak terlalu jauh dari sekolah. Teman-temanku bilang rumah itu terkenal dengan rumah angker. Katanya sudah banyak orang yang melihat penampakan di rumah itu. Terkadang saat istirahat kami sengaja pergi ke sana. Dengan penasaran yang sangat tinggi bersama-sama kami ingin membuktikannya. Kepolosan anak-anak SD kelas 2 dan 3, ketakutan yang mendominasi menghiasi suasana dan kondisi. Entah apakah benar-benar melihat atau tidak, ketika salah satu sudah berteriak maka terbirit-biritlah kami berlari. Kami berlari sekencang-kencangnya kembali ke sekolah.
Sungai besar itu masih utuh seperti sedia kala. Perosotan panjang yang membuat air menjadi semi terjun menjadi tempat yang asyik untuk bermain. Dengan tanpa malu karena masih belum punya rasa malu, kami semua melepaskan semua pakaian yang melilit tubuh kami. Tak peduli dengan orang-orang yang di dalam mobil atau membawa motor di atas jalan sana. Kami yakin merekapun memahami kami hanyalah anak-anak yang bermain saja. Berlima sampai berenam kami bermain air, bersama kakakku dan teman-teamnnya, naik ke atas kemudian menerjunkan diri mengikuti perosotan air hingga sampai bawah. Tentunya aku dan kakaku sudah saling berjanji untuk tidak mengakui ketika ditanya orangtua.
Museum Mandhala Bhakti. Salah satu tempat berhenti sejenak ketika pulang, karena jarak rumah kami lumayan jauh dari sekolah. Di halaman museum yang lumayan luas itu bertengger dua tank yang katanya dulu dipakai ketika pertempuran lima hari di Semarang. Museum itu terletak di depan gedung lawang sewu yang kemudian terkenal keangkerannya karena masuk di dalam acara “Dunia Lain”. Gedung lawang sewu bukan berarti benar-benar memiliki pintu sejumlah seribu, hanya sekedar nama saja karena sangking banyaknya pintu dalam gedung itu. Katanya gedung itu adalah buatan Belanda yang digunakan untuk memenjarakan tawanan pahlawan Indonesia. Ah, tapi bukan itu yang kami bicarakan. Logika anak-anak hanya memakai informasi itu untuk bermain saja. Kami, aku bersama kakakku dan teman-temannya, tak bosan bermain dengan tank yang kami kira sudah tak bisa berjalan itu. Kami berimajinasi sesuai pemahaman masing-masing. Pernah kami berperan sebagai pahlawan dan penjajah Belanda. Berlarian, berkejaran, “tembak-tembakan”, saling memperebutkan tank, atau seolah-olah menembaki gedung lawang sewu yang berada di seberang jalan sana.
Ketika aku dan kakakku suda tak lagi sama jadwal sekolahnya, aku juga masih sering bermain di sana bersama dua temanku. Satu siswi yang ku ceritakan tadi (yang berasal dari keluarga sedehana). Karena kelas tiga sudah berani pulang sendiri dengan jalan kaki. Satu lagi adalah teman kakakku yang tidak naik kelas dan menjadi teman sekelasku.
Lawang sewu. Tempat yang terkenal angker bahkan sebelum masuk di acara ‘Dunia Lain”. Pernah beberapa kali aku mendapat pertanyaan dari teman-teman atau tetangga, “apa kamu ga takut lewat situ? Setiap sore pulang sekolah berjalan kaki melewati gedung itu?” haha, aku tak pernah memikirkannya. Meski akupun mengiyakan suasana di sana memang meyeramkan. Sepi, banyak pohon yang tinggi dan rindang, seolah menyimpan banyak hal yang tak diketahui manusia. Tapi tidak dengan sekarang, pembangunan membuat perwajahan lawang sewu tak sesuram saat aku masih SD dulu.

Jejak-jejak masa kanak. Adakah kalian juga masih mengingatnya? Kepingan-kepingan memori itu begitu indah. Dan bagiku semua itu tak sekedar memori. Selalu ada makna dari setiap peristiwa, dan masa kanak tentu juga akan sedikit memiliki pengaruh di masa dewasa. Jejak-jejak masa kanak. Karena setiap waktu yang sudah terlewati tidak bisa hanya berlalu saja, selalu ada alasan tertentu dan penjelasan atau pelajaran dari sana.

Semarang, 8 November 2015
menelusuri jejak masa kanak