Saturday, May 24, 2014

KONTRASIRONI

Berawal dari masa transisi dari siswa menjadi mahasiswa. Masa-masa adaptasi dengan lingkungan baru di jogja. Momen-momen penting yang menjadi jejak esok lusa. Ternyata terskenario menempatkan diri ini dalam kondisi dan situasi yang tepat. 1)Perubahan kurikulum yang berupa materi lebih banyak, tugas lebih banyak, metode pengajaran yang hampir selalu tampak  tidak jelas, ketidaksiapan dari perangkat fakultas baik dosen, mahasiswa, maupun karyawannya. 2) harapan dan keinginan berpengalaman di berbagai organisasi. Cita-cita mengembangkan potensi dan menyalurkan minat bakat. 3) belum jelasnya pembiayaan kuliah. Dan ketika sudah jelas dan merasa aman, justru terjadi “momen penting “ lain yang mengharuskan aku mengganti uang 10 juta. 4) kondisi keluarga yang belum tentu arahnya ke depan. Bapak yang “menginginkan” nikah lagi, tetapi anak-anaknya tidak pernah menganggap serius pembahasan tentang ini. Salah satu kakak yang belum lulus, kakak lain yang juga belum jelas kelanjutannya, dan adik-adik yang masih sekolah.
Empat kondisi, dan ketika saling dihubungkan sungguh membuat otak ini terus berputar. Kurikulum/akademik yang menuntut banyak membaca buku dan atau jurnal, juga deadline tugas-tugas yang bertumpukan. Hal ini seharusnya dapat diatasi dengan hanya pergi ke warnet, searching, browsing, baca, ngerjain tugas selesai. Tetapi tak sesimpel itu ketika kondisi kemudian menunjukkan turunnya beasiswa yang tidak jelas kapan, ditambah lagi “momen penting” mengganti uang 10 juta, belum memikirkan kehidupan sehari-hari. Tak mungkin seenaknya aku dapat berpuas ria di warnet. Tak tega juga harus meminta uang orangtua sebanyak itu sedangkan saudara-saudara yang lain juga membutuhkan. Belum lagi kondisi bapak yang sejak ditinggal ibu tampak goyah. Harapan-harapan berorganisasi, mengembangkan potensi dan menyalurkan bakat; seni, musik, fotografi, menulis, dan pecinta alam, semua  harus kutahan, dengan alasan yang sama. Karena aku sadar, semua itu tak dapat dilakukan hanya dengan modal dengkul.
Satu-satunya cara pelampiasanku adalah “terjebak” dalam sebuah organisasi, opsi terakhir dari sekian organisasi yang ingin kumasuki. Daripada suntuk dengan permasalahan yang akhirnya membuat diri tak nyaman. Dengan masuk di organisasi ini, aku dapat melakukan apapun, melakukan “ide kreatif” dari kondisi tertekan sebagai pelampiasan dan “melupakan” sejanak permasalahan. Namun, tak terasa, dampak secara fisiologis aku tak bisa mengontrolnya; susah tidur, ngantuk di kelas, bahkan sampai 4 sks di kelas aku hanya tidur dari masuk kelas sampai keluar lagi. Di kelas manapun. Maka yang terjadi, terjadilah. Di luar sana aku sering sekali diomongkan. Tukang tidur di kelas. Hal ini terjadi hingga hampir 2 semester.
Sebenarnya tak apa aku dicap seperti itu. Sungguh, rasa malupun aku tak peduli. Mereka mungkin tahu kondisiku, tapi mereka hanya tak paham apa yang terjadi padaku. Tapi aku mulai sadar. Aku tak hanya membawa namaku sendiri. Aku juga membawa “jaket organisasi” yang kuikuti. Hmm, bukan, lebih tepatnya “jaket agama” dengan nilai-nilai yang seharusnya kujalankan. Karena pada ujungnya toh aku “tak peduli” dengan organisasi ini, tetapi terlebih karena aku lebih mencintai nilai yang (seharusnya) dibawa organisasi ini.  Akhirnya, di semester 3 aku mencoba mengontrol kantukku. Disamping juga aku harus memanage keuangan dan pikiranku. Kira-kira 75% aku berhasil mengontrol kantukku di kelas ketika sudah semester 4.
Inilah saat-sat itu terjadi. Ketika posisiku yang semakin naik di organisasi ini, juga melihat perkembanganku di kelas. Ada beberapa orang yang mengeluh padaku. “eh, kok si itu gini sih, mbok dikasih tahu”, “eh kok si ini gitu sih, harusnya kan gitu”, “kamu kan temennya, mbok dikasih tahu, biar gak gitu”. Seringkali permasalahan teman-teman organisasiku di kelas diadukan padaku. Entah tidur, telat, maupun tugas ga bener. Keluhan itu tidak terjadi secara langsung. Tetapi satu per satu permasalahan dipampangkan dihadapanku. Kadang sebulan satu permasalahan atau dua bulan tiga permasalahan; random. Beberapa cara telah kulakukan, baik dengan sindiran, diskusi, ngomong secara terbuka, atau langsung memberikan saran/solusi. Namun, tetap saja, atau mungkin belum memberikan dampak yang signifikan. Atau bahkan lebih parah lagi, mereka sudah nyaman dan bangga dengan kecacatan itu.
Sampai saat ini, akhirnya beberapa minggu yang lalu, aku merasakan puncak “teguran” yang amat menyakitkan, meski tidak langsung kepadaku, “ternyata anak ‘organisasi’ itu kayak gini ya? Yang satu tukang tidur, yang satu telatan, tugas ga jelas. Tak kirain anak ‘organisasi’ itu tu baik-baik, soleh-soleh. Eh, ternyata juga bisa kayak gitu semua”.
Pada akhirnya, aku hanya berpikir, selama ini aku berpikir untuk mengubah perilaku mereka. Tapi tidak kali ini. Tugasku hanyalah menyampaikan informasi dan membantu jika dibutuhkan. Mau atau tidak mau berubah, siap atau tidak siap berubah itu urusan mereka. Dan memang hanya dengan keinginan dan usaha mereka sendirilah yang mampu mengubahnya. Percuma jika aku mau dan berusaha mengubah tetapi kemauan dan usaha itu tidak muncuk dari diri mereka sendiri. Pengajaran yang terbaik atau dalam bahasa organisasi itu adalah dakwah adalah dengan memberi contoh. Menjadi teladan dalam berperilaku sehari-hari. Percuma selalu mengatakan tentang kebaikan, percuma selalu mencoba melarang hal yang dilarang, tapi diri sendiri masih banyak cacat yang terlihat. Memang, jika fokus pada cacat, dakwah tak akan terjadi. Namun, itu bisa disiasati dengan saling membantu dan mendukung, saling mengkoreksi mengingatkan, untuk menjadi yang lebih baik lagi. J

Sunday, May 11, 2014

TKK 2014 #Tentang Batu 2



Hidup merupakan ujian. Bahkan dari sebelum lahir, calon manusia (read: sperma) sudah harus bersaing dengan ribuan calon manusia lainnya. Hanya satu yang lolos yang akhirnya masuk ke rahim ibunya. Hidup penuh tantangan. Tak pelak, banyak sekali manusia yang tidak lulus pada ujian-ujian selanjutnya ketika masuk dalam dunia nyata. Ada yang depresi, bahkan sampai bunuh diri. Tulisan ini akan bercerita tentang ujian dan tantangan hidupku selama kurang lebih satu tahun ini, 2014, meski tidak semua aku ceritakan. Namun, ini sudah cukup untuk sekadar pelampiasan dan strategi dalam menghadapi ujian dan tantangan (dalam bahasa psikologi disebut sebagai katarsis dan strategi coping). Dalam pembahasannyapun pastinya terkait dengan tahun sebelum dan sesudahnya, 2013 dan 2015. Selain sebagai katarsis dan strategi coping, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang aku dapatkan yang semoga juga bermanfaat bagi para pembaca. J
Aku akan menggunakan dua analogi; batu dan kertas (bukan suit batu gunting kertas :D). Secara garis besar batu dan kertas ini ada tiga, sesuai dengan judul tulisan ini; sebut saja T, K1, dan K2. Apa arti dari analogi batu dan kertas itu? Oke, bayangkan saja aku adalah seorang pemahat batu atau pelukis. Sehingga batu dan kertas itu adalah bahan utama untuk memahat dan melukis.
Oktober 2013. Baru saja aku selesai membuat satu pahatan batu atau lukisan, sedang juga membantu memahat dan melukis K1, aku mendapat order untuk memahat dan melukis T, sebuah pahatan atau lukisan yang merepresentasikan sebuah taman yang nyaman dengan anak-anak yang bahagia di dalamnya. Buruknya, aku tidak mendapat warisan apapun untuk menjaga dan memperindah batu dan lukisan yang belum jadi itu. Bahkan aku harus memulainya dari nol. Termasuk mencari dan membeli alat, mencari bantuan, dan sebagainya. Jatahku untuk menjaga dan memperindah batu dan lukisan T ini tidak jelas, bisa jadi satu, dua, atau bahkan tiga tahun. Sementara orang-orang sudah terus melihat perkembangan dan membicarakan proses pembuatan pahatan batu dan lukisan T ini.
Januari 2014. Masa membantuku untuk memahat dan melukis K1 telah usai. Aku sedikit lega. Tetapi ternyata sebaliknya. Justru setelah itu aku ditunjuk sebagai penanggung jawab selanjutnya; menjaga dan memperindah pahatan batu dan lukisan itu. Baiknya, aku sudah memiliki alat-alat dan bahan-bahannya. Aku juga sudah tahu konsep pahatan batu dan lukisan itu akan dibuat menjadi apa. Tidak seperti pada batu dan lukisan T. Tantangannya adalah membuat orang-orang yang membantuku memahami cara menggunakan alat dan bahan itu, serta memahamkan konsep akhir batu dan lukisan itu. K1 ini merupakan pahatan dan lukisan yang menggambarkan sebuah keluarga yang disinari oleh cahaya matahari, yang berdiri diatas bumi pada tingkatan tertinggi.
Februari 2014. Aku melakukan kewajibanku sendiri untuk membantu membuat pahatan dan lukisan K2. Sebuah rancangan karya yang fenomenal. Karya ini akan dikirim ke luar pulau, di sebuah kabupaten paling ujung, di sebuah kampung yang mungkin bisa dikatakan terpencil. Sebuah karya yang diharapkan mampu menjadi motivasi bagi penduduk di sana, untuk menjadi masyarakat yang lebih baik, yang mampu berkembang dan bersaing seiring berkembangnya zaman. Karya ini harus dikirim bulan Juli depan. Namun, di tengah perjalanan, April 2014, pemimpin proyek karya ini kehilangan arahnya. Yang pada akhirnya menuntutku untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin, pemahat dan pelukis utama. Tak hanya itu, bahkan pahatan batu dan lukisan yang dalam proses pembuatan ini hampir dihancurkan, pahatan dan lukisan yang semi jadi itu diabaikan, bahkan dibanting dan diinjak-injak. Sungguh betapa menyakitkan. Perjuangan dan pengorbanan, tetes demi tetes keringat yang berjatuhan, tidak dihargai sama sekali. Untung saja, tim pemahat dan lukisan ini mempunyai semangat dan komitmen yang luar biasa. Tim ini berhasil menyusun, memahat dan melukis lagi menjadi baik dan akhirnya mulai dibicarakan positifnya, mulai dipuji, dan dihargai. Namun, perjuangan memang belum usai. Kami harus memperindah lagi setelah pahatan dan lukisan ini hancur berantakan.
Dalam analogi batu dan kertas ini, menggambarkan bahwa posisiku saat ini berada di tengah tiga batu dan lukisan yang harus dijaga dan diperindah. Aku harus melaksanakannya secara bersamaan. Namun sebenarnya tidak hanya tiga batu dan lukisan itu. Tentunya ada juga pahatan batu dan lukisan khusus yang ingin aku buat sendiri, untuk keluargaku, untukku sendiri, atau untuk orang-orang di sekitarku. Pasti ada orang-orang yang meminta bantuan untuk membuatkan pernak pernik kecil, atau lukisan sederhana untuk mereka (ingat bahwa aku sebagai pemahat dan atau pelukis).
Cerita-cerita itu, awalnya aku menganalogikan diriku sebagai tukang angkut dan kolektor batu. Sehingga menunjukkan bahwa aku diminta tolong orang untuk mengangkut tiga batu besar itu dalam waktu yang “bersamaan”. Bayangkan, betapa beratnya jika seorang kolektor batu, yang selalu memunguti batu kerikil yang disukainya, atau ditawarkan orang lain padanya, kemudian meletakkan di karung yang dipikulnya. Kemudian sebagai tukang angkut batu, dia juga diminta tolong oleh tiga pihak untuk mengangkat batu-batunya yang besar. Padahal batu-batu di karung yang dipikulnya tak hanya kerikil yang dia kumpulkan, tetapi juga koleksinya dari dahulu yang pastinya juga beraneka ukuran; beberapa besar, sedang dan kecil. Sungguh betapa berat pundak ini harus memikulnya.
Pada akhirnya aku sadar, aku bukanlah kolektor atau tukang angkut batu. Tetapi aku adalah pemahat batu. Sehingga aku tak harus mengangkut batu itu kemana-mana agar orang lain melihat keindahannya. Tugasku adalah menjaga dan memperindah batu yang ada. Aku dapat meletakkan batu itu, lalu memperindahnya, sehingga orang lainlah yang akan datang menyaksikan keindahannya. Batu-batu kerikil lain yang aku kumpulkan, itu dapat menjadi hiasan pada batu besar itu. Dapat juga menjadi karya sendiri yang memiliki keindahan yang khas. Kemudian, dalam menjaga dan memperindah batu itu, aku sadar bahwa aku tidak sendirian. Aku dapat mengatur shift kerja, membagi peran, dan mengatur komunikasi untuk menjaga dan memperindahnya.
Banyak sekali cerita ketika proses pemahatan batu itu. Ada kalanya terkikis air hujan, terkikis angin yang kencang, salah memahat karena mengantuk, diejek dan diremehkan orang lain, bahkan dirusak dan diinjak-injak. Namun, itu merupakan proses. Justru dengan adanya semua itu, hasil yang didapatkan justru lebih indah, ya, lebih indah daripada yang terbayangkan. :)
Jika kau juga seorang pemahat batu, baik sebagai pemahat utama atau sekedar pemahat batu, bagaimana dengan batu yang kau pahat? Samakah cerita dan prosesnya? :)

Tak Tahu #Tentang Batu 1


Kita tak pernah tahu
Ada apa dibalik sebuah batu
Kita tak pernah paham
Mengapa batu terus menerus diam

Mungkin dia sedang menyimpan sesuatu
Sebuah rahasia, bisa jadi sangat penting
Sesuatu yang mungkin memiliki dampak yang berbeda
Bisa jadi bermanfaat, atau sebaliknya, sangat berbahaya
Dia berpikir..
Dia akan sangat bersyukur jika yang terjadi adalah kebermanfaatan yang dapat dirasakan semua pihak
Suatu proses yang terus berkembang menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran
Dia takut
Jika yang terjadi adalah bahaya yang mematikan
Mengenaskan...
Sebuah malapetaka yang tiada satu orangpun mampu menghentikannya
Atau mungkin sebenarnya dia tak punya apa-apa
Dia hanya salah satu korban dari proses yang terus berjalan
Dia tergores, terkikis, dan terinjak-injak
Dia hanya korban..
Yang tak bisa melakukan apa-apa

Kita  tak pernah tahu
Ada apa dibalik sebuah batu
Kita tak pernah paham
Mengapa batu terus menerus diam

Dasar Mahasiswa Indonesia #1



Sebuah catatan dan pelajaran dari sebuah fenomena. Cerita tentang salah satu proses pra-KKN 2014. Diantara tahapan-tahapan proses pra-KKN 2014 adalah general test. General test (GT) merupakan tes yang dilakukan secara online untuk menguji pemahaman mahasiswa tentang KKN. Mahassiswa dikatakan lulus jika berhasil menjawab dengan benar minimal 505 dari soal yang berikan. Materi tes yang akan diujikan sebelumnya telah disampaikan dalam sesi pembekalan KKN. Bahkan materinya dapat di-download oleh mahasiswa sebelum pembekalan dilakukan.
Sebagai mahasiswa, idealnya mahasiswa harusnya men-download materi pembekalan KKN sebelum pembekalan dilakukan. Mempelajarinya terlebih dahulu, menyiapkan pertanyaan, kemudian menanyakannya ketika pembekalan dilakukan. Setelah itu, harusnya mahasiswa me-review kembali materi tersebut sebelum GT dilakukan. Sehingga GT dapat dilakukan dengan baik dan lancar.
Sungguh, memang dasar mahasiswa Indonesia. Jangankan mempelajari terlebih dahulu dan menyiapkan pertanyaan, bahkan men-download materinya saja belum tentu dilakukan. Ditambah lagi, ketika pembekalan, meskipun belum mempelajari, menyiapkan pertanyaan, atau bahkan men-download materinya, akan lebih mending jika mahasiswa memperhatikan pemateri yang berbusa-busa menjelaskan rincian demi rincian tentang semua seluk beluk, tetek bengek, dan apapun tentang KKN. Namun, jangankan memperhatikan, mahasiswa Indonesia lebih memilih ngobrol sendiri dengan teman, mengerjakan tugas yang lain, bahkan nonton film atau bermain game.
Begitulah mahasiswa Indonesia. Terlebih lagi ketika mengetahui, jika gagal tak ada batasan untuk mengulang kembali GT sampai akhirnya dikatakan lulus. Maka, dengan kondisi di atas tadi, tak heran jika aku mendengar banyak mahasiswa yang tak bisa lulus hanya dengan sekali GT. Ada yang sampai mencoba sampai 3 kali, 5 kali, 7 kali, belasan, bahkan sampai 25 kali hingga akhirnya berhasil lulus GT.
Aku akui, akupun belum bisa menjadi mahasiswa ideal seperti yang aku gambarkan sebelumnya. Aku juga tidak men-download materi, mempelajari materi terlebih dahulu sebelum pembekalan, apalagi menyiapkan pertanyaan. Ketidak-adanya fasilitas untuk melakukan itu semua tidak akan kujadikan alasan. Termasuk keterbatasan managemen finansial yang membuatku terpaksa “malas” ke warnet. Itu bukan sebuah alasan. Tetap saja aku tidak ada inisiatif atau usaha untuk mempersiapkan diri sebelum pembekalan dengan mempelajari materinya terlebih dahulu dan menyiapkan peryanyaan.
Sebelum GT, akupun juga tidak membaca terlebih dahulu materinya. Karena saat pembekalan aku tidak mencatat dengan lengkap karena begitu banyak materi yang diberikan (baca: malas). Dari deskripsi mahasiswa ideal yang kujelaskan sebelumnya, hanya satu yang kulakukan. Inilah metodeku. Aku fokus ketika pemateri menjelaskan di kelas. Dengan satu modal ini, Alhamdulillah, aku termasuk salah satu orang yang berhasil lulus GT hanya dengan satu kali percobaan.
Memang, sulit rasanya mewujudkan dan menjalankan sebagai mahasiswa yang ideal. Banyak sekali alasan yang bisa diungkapkan. Tapi, mau sampai kapan generasi Indonesia akan seperti ini? Setidaknya, kalaupun belum bisa menjadi mahasiswa yang ideal, mari kita lakukan yang terbaik yang kita bisa. Mari kita kurangi budaya-budaya buruk yang seharusnya memang tidak perlu dibudayakan. Untuk berubah memang sulit, sama seperti orang sakit yang minum obat yang sangat pahit. Tapi yakinlah bahwa itu akan membawa kita untuk menjadi yang lebih baik. :)