Sunday, November 23, 2014

Aku lebih suka... tapi tidak juga

Aku tak pandai berbicara di depan banyak orang. seringkali artikulasi menjadi tidak jelas dan kecepatan berbicara menjadi meningkat. Sehingga ketika berbicara di depan banyak orang, mungkin banyak sekali hal yang kulupakan yang seharusnya aku sampaikan. Kalaupun sudah semua aku sampaikan, tidak benar-benar bisa menjelaskan seluruh konsep dalam pikiran. Maka, akupun lebih suka berbicara personal. Namun, ketika berbicara personal pun tak berarti aku bisa bebas berbicara. Bisa menyampaikan dengan jelas ide-ide dalam pikiran. Terkadang artikulasi masih tidak jelas, kecepatan berbicara sudah bisa terkontrol, tetapi kejelasan apa yang dibicarakan masih kurang. Sehingga tetap saja ada beberapa hal yang terlupakan yang seharusnya aku sampaikan. Atau kalupum ingat, tak dapat menyampaikan dengan runtut dan jelas. Maka, akupun lebih suka menyampaikan lewat tulisan (termasuk sms). Dengan tulisan aku lebih bisa runtut dalam menjelaskan banyak hal, bisa hapus sana hapus sini untuk editing jika ada kesalahan sebelum akhirnya disampaikan. Namun terkadang hasil tulisanku seringkali juga masih berantakan. Ide-ide berlompatan sehingga tak runtut diceritakan. Bahasanya mutar-muter tak karuan. Susunannyapun hancur berantakan, sungguh jauh dari Ejaan Yang Disempurnakan. Maka, seringkali aku hanya terdiam. Berpikir sendiri, berputar-putar dalam dunia khayal. Menggulung dan mengulur ide yang seperti benang kusut minta diuraikan.
Begitulah gambaran besar diriku. Meski sebenarnya tak mutlak seperti itu. Terkadang, aku sangat jago berbicara di depan banyak orang. Dalam beberapa hal, aku dapat menyampaikan ide-ideku dengan cara personal. Tulisan-tuilisankupun tak semua berantakan, ada yang rapi dan bagus untuk disebarkan. Sebenarnya pikiranku pun dapat difokuskan.

Tak ada penilaian yang mutlak pada diri seseorang. Entah penilaian diri sendiri ataupun dari orang sekitar. Karena manusia adalah makhluk yang terus berkembang. Manusia bukanlah makhluk yang stagnan. Dia mampu berubah dan menyesuaikan. Tinggal arahan perubahan dan penyusaian itu, akankah ke arah kebaikan atau kesalahan?

Thursday, October 16, 2014

Merbabu #2

Kegelapan semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap. Hingga ketika istirahat yang kesekian kalinya, saat terlena dengan bintang, saat mata terasa hapir terpejam, kudengar teriakan dari atas, “Fuztaa!!”.
Fuztaa!!” teriaknya lagi.
Ooiii!!!” jawabku refleks tapi agak terlambat sambil menegakkan badan. Setengah percaya setengah tidak untuk memastikan namakulah yang benar-benar dipanggil.
Kemudian mereka meneriakkan nama kedua temanku. Bisa kurasakan wajah agak sumringah tersungging sedikit pada kedua temanku, sambil membalas teriakan itu. Tetapi dalam benakku, aku tak yakin perjalanan tinggal sebentar lagi sebelum benar-benar pernyataan itu benar keluar dari mulut ketua rombongan kami. Bisa dipastikan suara itu adalah ketua rombongan kami. Ya, akupun yakin, karena dialah yang memposisikan diri sebagi orang yang memastikan rombongan depan dan rombongan belakang sampai di tujuan. Kamipun bertemu. Ketua rombongan kami bersama salah satu temannya (bukan anggota KKN).
Mereka mengabarkan bahwa di atas, sedikit lagi ada dua wanita anggota KKN kami. Mereka sudah menunggu di sana. Dalam benakku berpikir, bukankah ini masih sabana satu? Bukankah rencananya bermalam di sabana dua? Dalam bayanganku, menafsirkan berita mereka, semua anggota berada di sana di dalam tenda termasuk empat orang yang terpisah dari rombongan belakang tadi. Dan dua wanita itu menunggu di “pintu masuk” atas sana. Melihat bawaanku yang banyak, mereka menawarkan diri membawakannya. Awalnya berat hati, tapi karena mereka memintaku ke atas duluan untuk menemui dua wanita itu, aku berpikir bisa mencapai sana duluan. Aku pikir aku bisa menemukan mereka, lalu bisa menuju tenda dan mengabarkan kondisi kami. Ok. Aku melangkah duluan. Tanpa membawa beban, tetap tanpa sandal/sepatu, tetap melepas/tidak mengenakan jaket, dan tanpa senter.
Tidak lama aku mendaki. Ketika hampir sampai, sesuai penafsiranku atas kabar mereka, harusnya dua wanita itu ada di depan. Maka, aku teriakkan nama mereka (memang tidak begitu keras). Sampai di sabana satu, wow, banyak sekali tenda-tenda didirikan di sini, beberapa menyalakan api untuk memasak, atau untuk menghangatkan badan. Namun, tak kutemui satupun dari wanita itu. Aku coba berputar sambil memanggil-manggil nama mereka, tak juga mendapat jawaban. Aku coba dengan “Keerom, Keerom!” (nama kelompok KKN kami), sama juga. Tidak ada jawaban. Ok. Pertanyaanku tadi terjawab. Ini benar-benar sabana satu. Dan mereka mungkin benar-benar mendirikan tenda di sabana dua. Lalu, bagaimana dengan wanita dua tadi? Aku tak yakin jika mereka memutuskan untuk menyusul kami turun lagi ke bawah. Meskipun (mungkin) dengan bumbu cinta:D. Atau jangan-jangan mereka memang sudah mendirikan tenda di sini, hanya saja aku belum menemukan tendanya? Ah, sudahlah, lama-lama bosan aku bermain dengan tebak-tebakanku sendiri J. Aku kembali ke “pintu masuk” sabana satu. Menunggu keempat temanku yang masih di bawah. Biarlah nanti aku tahu cerita yang sebenarnya dari mereka.
Setelah mereka sampai di sabana satu, ternyata sungguh ini kemungkinan buruk yang sempat kubayangkan. Hanya saja aku tak berpikir sampai sejauh ini. Ternyata mereka terpisah dari rombongan pertama. Dan saat ini mereka menumpang di tenda rombongan lain. Dua wanita mendaki tanpa ada pria, dan mungkin merasakan di tengah kegelapan seperti yang kurasakan tadi. Lalu, bagaimana dengan empat orang yang terpisah dari rombongan belakang? Mereka pasti juga sudah bertemu dengan ketua rombongan kami, dan mereka tentunya memilih tetap melanjutkan perjalanan.
Kami melakukan pertimbangan sebentar. Diputuskanlah aku dan temannya ketua rombongan kami berjalan duluan membawa bahan makanan yang ada di tas kami. Dan aku membawakan salah satu tas mereka biar nanti kalau mereka memutuskan melanjutkan perjalanan, mereka agak ringan.
Ada sedikit kelegaan dan kegembiraan dalam diriku. Lega, karena merasa yakin teman-temanku tadi sudah mendapat “pelayanan” yang mereka butuhkan. Gembira, karena akhirnya aku bisa “bebas” menikmati perjalanan pendakian Merbabu ini. Meski sebenarnya sudah kurasakan beberapa menit tadi ketika mencapai sabana satu.
Berdua, kami berjalan dengan bersegera. Menikmati perjalanan layaknya anak mapala. Beberapa meter berjalan kami berpapasan dengan tiga orang yang ternyata temanku se-fakultas. Sedikit sapa-menyapa ternyata terdengar oleh pendaki di depan (baca: atas) kami. Salah satu dari mereka meneriakkan namaku. Ternyata adalah wanita satunya yang juga sempat aku khawatirkan tadi. Ya, mereka adalah rombongan kami yang terpisah tadi. Sehingga akhirnya kami berenam berjalan bersama lagi menuju sabana dua.
Kami sampai di sabana dua dengan selamat. Bergabung dengan rombongan pertama yang sudah mendirikan tiga tenda. Tak peduli lagi dengan mereka yang sudah tidur duluan. Kami mulai memasak bahan makanan untuk mengisi perut yang keroncongan. Tapi sepertinya yang keroncongan hanya aku saja :D. Sambil memasak, teman-teman kami akhirnya menyusul juga. Kecuali dua orang wanita yang akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di tenda (tumpangan) sabana satu. Selesai makan, kami segera mencari tempat tidur masing-masing. Menunggu esok fajar menuju puncak.
Meski perut sudah kenyang, badan kecapean, tapi ternyata mata tak mau terpejam. Padahal suasana sudah cukup nyaman. Terus menerus membolak-balikkan badan, hingga akhirnya bunyi alarmpun berdentang. Meski semua anggota sudah dibangunkan, namun perjalanan tak kunjung dilaksanakan. Saling menunggu dan beralasan. Lagi-lagi kami terpecah, ada yang duluan, ada yang belakangan.
Bersama banyak orang, sulit menyamakan satu jalan. Terlebih karena tak ada aturan yang jelas yang mengikat keanggotaan. Bagaimana mau pake aturan? Kami bukan dalam keorganisasian yang punya target dan tahapan yang jelas. Kami hanya segelintir orang biasa yang melakukan pendakian untuk senang-senang. Tak seperti MAPALA yang benar-benar sesuai dengan standar operasional prosedur pendakian. Terlebih aku, sungguh jauh dari apa yang disebut standar operasional.
Sesuai permintaan, aku berjalan mengiringi wanita yang kemarin terus mengeluh, khawatir dalam perjalanan. Dia yang mengaku fobia ketinggian, tetap nekat melakukan pendakian. Masih ingat bukan, tentang motivasi yang mendorong perilaku seseorang (?) Namun perjalanan kali ini tidak sesulit perjalanan sebelumnya. Wanita ini sudah cukup banyak belajar. Tak lagi banyak istirahat, tak lagi banyak komentar. Tekat yang bulat sudah terkumpul dalam nadinya. Semangat yang berkobar-kobar membakar raganya. Terus berpacu mengejar waktu. Tetap melangkah meskipun lelah. Target sudah tampak di depan mata. Ada hadiah yang ingin dipersembahkan untuk orang tercinta. Pelajaran ketiga: sungguh, cinta bisa jadi sumber motivasi terkuat melakukan sebuah tekat.
Lihatlah, akhirnya kami mencapai puncak dengan selamat. Euforia pendaki pemula mencapai puncak sungguh terasa. Keharuan, setengah ketidak-percayaan, kebahagiaan, tergambar pada ekspresi dan suasana. Tak kalah juga meski bukan pendaki pemula. Ada kebahagiaan tersendiri mencapai ketinggian sebuah puncak. Apalagi wanita yang mengaku fobia tinggi tadi. Atau wanita yang tampak tak banyak komentar, tetapi sesungguhnya benar-benar merasakan keharuan. Berbeda dengan perempuan, laki-laki memang tak begitu dominan dalam perasaan. Tetapi lihatlah, masing-masing pendaki mempunyai caranya tersendiri untuk mengekspresikannya. Photo-photo, menyanyikan “lagu kebangsaan”, berteriak, menancapkan bendera, atau sekedar menikmati alam.

Satu pelajaran berharga dalam perjalanan pendakian; teruslah berpijak, karena perjalanan menuju puncak terus menanjak J

Wednesday, October 15, 2014

Merbabu #1

Sebuah perjalanan panjang yang sudah lama aku inginkan. Pengalaman pertama kali mendaki gunung jika Nglanggeran tidak dihitung sebagai perjalanan pendakian. Sebagai salah satu cara refreshing sekaligus melihat kemampuan diri atau sebuah pelampiasan karena dulu tidak jadi mendaftar menjadi anggota Mapala di fakultas.
Cerita ini akan dimulai langsung melompat ketika perjalanan pendakian ke gunung. Melewatkan cerita-cerita seru lainnya selama perjalanan menuju base camp pendakian, seperti ban bocor, motor mogok, motor ngepot/jatuh gara-gara (tidak melihat) pasir, dan motor-motor yang tidak kuat naik ke atas dengan boncengan. Atau proses persiapan berupa latihan fisik dan perlengkapan seperti jogging bersama, membeli konsumsi, peminjaman peralatan dan perlengakapan, serta koordinasi keberangkatan. Sebuah catatan perjalanan yang tentunya tidak mungkin semua (mau) aku ceritakan. Hanya ringkasan perjalanan satu hari dalam pendakian.
Cerita ini dimulai dari briefing sebelum keberangkatan perjalanan pendakian benar-benar dilaksanakan. Pelajaran pertama yang bisa didapat adalah bahwa seseorang bisa mendadak menjadi puitis ketika kondisi dan situasi yang dibutuhkan. Teringat ketika ketua rombongan pendakian ini mengatakan saat briefing, “Tujuan kita bukanlah puncak, tetapi tujuan kita adalah kembali dengan selamat”. Atau kata-kata yang intinya seperti ini, “buat apa kalau kita sampai puncak, tetapi kita tidak bersama-sama”, diringi dengan kata-kata motivasi dan penyemangat selama perjalanan menuju puncak.
Ketika briefing, standar operasional umum yang aku ketahui dalam sebuah perjalanan adalah penentuan leader dan sweeper. Tentunya sama dengan perjalanan pendakian ini. Dengan mudahnya ketua rombongan menunjuk salah satu orang sebagai leader; tentunya orang yang sudah mengetahui seluk beluk jalan menuju ke puncak, sudah sering atau punya pengalaman mendaki Merbabu ini. Berbeda dengan penentuan sweeper, ketua rombongan kami tidak langsung dapat menentukan orang sebagai sweeper. Dia menawarkan siapa yang suka rela mau menjadi sweeper. Secara refleks, hampir tanganku mengangkat tangan, tetapi hal itu aku urungkan. Melihat komposisi dan jumlah orang dalam pendakian ini, instingku mengatakan bahwa aku harus jadi sweeper, tapi bukan sweeper resmi yang ditunjuk oleh ketua rombongan. Karena jika aku yang mengangkat tangan, kemungkinan yang menjadi sweeper hanya aku. Berbeda jika yang ditunjuk orang lain, maka aku bisa membantu sebagai sweeper kedua atau ketiga. Bahkan aku hampir yakin ketua rombongan ini juga memikirkan hal yang sama, bahwa dia juga akan menjadi sweeper. Pada akhirnya ketua rombongan kami  menunjuk dua orang sebagi sweeper, sehingga aku memposisikan diriku sebagai “sweeper ketiga”.
Selesai melakukan briefing, dilanjutkan dengan doa bersama, dan perjalananpun dimulai. Sebelum lebih jauh menceritakan perjalanan, terlebih dahulu aku jelaskan maksud komposisi dan jumlah orang dalam kelompok ini. Kami adalah orang-orang yang dipertemukan dalam kelompok KKN beberapa bulan lalu. Dari 21 anggota KKN, ada 14 orang yang akhirnya bisa melakukan perjalanan ini sebagai perjalanan bersama untuk lebih mengakrabkan dan tetap menjalin hubungan. Ditambah 3 orang dari teman dari ketua rombongan kami (meskipun salah satunya adalah temannya teman ketua rombongan kami). Jadi, total kelompok pendakian ini adalah 17 orang. Dari jumlah 17 orang ini, kebanyakan dari kelompok KKN kami adalah pemula, dalam artian ini merupakan perjalanan pertama pendakian gunung yang dilakukan, sama seperti aku. Sedangkan ketua rombongan kami dan teman-temannya serta 3 anggota KKN kami yang juga anak Mapala atau orang-orang yang setidaknya sudah pernah dan mempunyai pengalaman melakukan perjalanan pendakian gunung. Namun, ada juga beberapa anggota wanita yang sebelumnya sudah menjelaskan mempunyai penyakit ini dan itu.
Inilah perjalanan kami. Ternyata dugaanku salah, ketua rombongan kami bukan menjadi sweeper, ada satu lagi posisi yang aku lupa namanya. Tugas dia adalah memastikan jarak antar orang tidak terlalu jauh, dia berada di posisi tengah, agar perjalanan tetap bisa dilakukan bersama-sama. Sesuai dugaanku, kelompok ini terpecah menjadi dua kelompok, orang-orang yang sudah berpengalaman mendaki gunung pasti terbawa oleh ritme mereka seperti biasa; sesegera mungkin mencapai puncak. Dengan cepatnya mereka melaju bak berjalan di jalan biasa saja. Hal ini membuat bingung ketua rombongan kami. Terlebih terkait barang bawaan dalam tas masing-masing yang juga berisi barang kebutuhan kelompok, seperti tenda dan konsumsi. Setelah mempertimbangkan berkali-kali, dan tentu saja juga berganti-ganti keputusan, akhirnya ketua rombongan kami memutuskan untuk menyusul rombongan yang sudah jauh di depan. Ingin sekali bisa memberikan solusi atau saran, tetapi aku hanya orang yang tidak tahu medan. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Maka, sepenuhnya yang dapat aku lakukan adalah percaya pada ketua rombongan kami. Dia meninggalkan dan mempercayakan pada tim sweeper untuk memastikan rombongan yang terdiri dari 7 orang; 3 wanita dan 4 pria ini dapat menyusul rombongan depan.
Sebenarnya ingin rasanya “berlari” mengikuti dan menyusul rombongan yang depan. Tetapi tidak, aku sudah memutuskan untuk mengikuti di rombongan belakang. Meski aku tahu, lebih tepatnya menduga segala kemungkinan termasuk resiko apa yang akan aku rasakan mengikuti rombongan belakang ketika dalam perjalanan pendakian.
Langkah demi langkah kami lalui bersama. Jalan berpasir menjadi tantangan kami untuk menentukan pijakan kaki. Debu-debu terhempas oleh angin yang bertampias di muka. Diiringi semangat dari pendaki lain yang tak putus asa untuk berhenti. Pos satu, pos dua, dan pos tiga. Sedang senja sudah mulai tiba. Hembusan angin mulai menelusuk masuk ke sela-sela jaket dan setiap pakaian yang dikenakan teman-teman. Sedangkan tujuan selanjutnya adalah sabana satu dan sabana dua, masih lama pikirku. Seingatku, dalam pendengaran setengah tidurku, rencana ketua rombongan kami adalah bermalam di sabana dua. Kami yang awalnya bertujuh pun terpecah menjadi dua. Aku bersama sweeper satu dan satu wanita. Sedangkan sweeper dua bersama dua wanita lainnya dan satu pria. Aku tak tahu apakah rombongan depan mengalami hal yang sama atau mereka masih tetap bersama.
Bertiga, ritme kami menjadi semakin lama. Wanita yang sedari tadi aku tawarkan mengurangi bebannya akhirnya mau juga melawan egonya untuk tidak sungkan demi kebaikan bersama. Bertiga, sweeper satu berjalan menuntun wanita itu, dan aku membawakan tasnya serta tak lupa tetap membawa tas/bawaanku. Ritme kami relatif lebih cepat meski juga lebih sering istirahat. Aku tak lagi mengkhawatirkan wanita satunya yang sudah berempat mendahului kami, karena aku lihat meskipun tadi terlihat sama dengan wanita ini, tetapi dia sudah dapat menyesuaikan dan tampak memiliki semangat yang besar. Sehingga aku sudah yakin esok dia akan berhasil mencapai puncak meski tadi sempat mengeluh kakinya terasa sakit lagi. Sedangkan melihat nafas dan cara berjalan wanita ini, aku menghilangkan kemungkinan buruk yang terlintas di benakku. Di sisi lain, aku melihat keinginannya dan ada sesuatu yang aku belum tahu. Satu hal yang dapat membuatnya tetap bisa bertahan dan terus berjalan sampai saat ini. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti ritmenya dan mendukung “sweeper satu” yang terus tetap memberikan semangat dan kata-kata yang positif. Pelajaran kedua; setiap orang memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sesuatu, dan motivasi itu memberikan kekuatan yang tak terhingga dan tak pernah terduga sebelumnya. Tinggal bagaimana setiap orang mengenali dan mendalami motivasinya.
Kegelapan semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap.

Thursday, October 9, 2014

Baiknya Sebuah Keburukan Dan Buruknya Sebuah Kebaikan

Apa yang tampak tak selalu memberikan arti sesuai penampakannya. Banyak sekal hal yang tak tampak yang justru memberikan arti yang sebenarnya. Sehingga sering kali kita mendengar apa yang tampak baik tak selamanya baik. Apa yang tampak buruk tak selamanya buruk. Terlebih lagi pada manusia. Manusia memiliki dua kecenderungan baik dan buruk. Dalam perjalanan hidupnya, dapat dipastikan manusia memiliki pengalaman melakukan kebaikan dan keburukan. Manusia memiliki kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah dipahami orang lain, ada pula kebiasaan-kebiasaan baik yang hanya dia sendiri (dan Tuhan) yang mengetahuinya. Sementara itu manusia juga memiliki perbuatan buruk yang hanya diketahui oleh dirinya, orang-orang yang bersamanya ketika melakukan perbuatan itu (dan tentu saja oleh Tuhan).
Dinamika kebaikan dan keburukan manusia sungguh sangat kompleks. Setiap hal-hal baik yang pernah dilakukan manusia tentunya akan mendapat balasan juga di dunia dengan kebaikan-kebaikan yang datang pada dirinya. Seringkali manusia tak sadar bahwa kebaikan-kebaikan yang sedang datang pada dirinya merupakan balasan dari kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya. Atau mungkin kebaikan itu berupa terjaganya rahasia keburukan tentang dirinya. Begitu juga sebaliknya; setiap keburukan yang pernah dilakukan mendapatkan balasan pula berupa keburukan yang menipa dirinya. Meski hanya terjatuh, sariawan, dan hal kecil lainnya. Lagi-lagi manusiapun sering kali tak menyadari bahwa setiap keburukan-keburukan yang sedang menimpa dirinya merupakan balasan dari kesalahan atau keburukan yang dulu pernah dia lakukan. Atau mungkin keburukan itu pada akhirnya memberikan kebaikan yang merupakan balasan dari kebaikan yang pernah dilakukan sekaligus balasan dari kesalahan atau keburukan yang juga pernah dia lakukan. Sungguh kompleks, bukan? Kau akan lebih dapat memahaminya jika kau sesekali menghubungkan sendiri kebaikan dan keburukan yang pernah kau lakukan dengan kebaikan dan keburukan yang baru saja kau dapatkan.
Kekompleksan kebaikan dan keburukan manusia tidak berhenti sampai di situ saja. Karena kebaikan dan keburukan tak selamanya berupa balasan atas apa yang pernah dilakukan. Bisa juga kebaikan dan keburukan itu menjadi sebuah ujian dan cobaan manusia untuk menaikkan derajat mereka di hadapan Tuhan. Jika manusia berhasil melewati ujian dan cobaan tersebut, manusia akan dinaikkan derajatnya. Bisa juga karena kebaikan yang berupa ujian, karena manusia tak berhasil melewatinya dengan baik, manusia dapat menjadi hina baik dihadapan manusia maupun Tuhannya.
Kebaikan dan keburukan yang dihadapi manusiapun dapat merupakan kombinasi antara keduanya. Kebaikan dan keburukan itu menjadi balasan atas apa yang pernah dilakukan sekaligus menjadi cobaan atau ujian agar mereka dapat meningkatkan derajatnya di hadapan Tuhan. Bisa jadi gara-gara keburukanmu kau mendapatkan suatu penyakit, sekaligus karena kebaikanmu, keburukanmu atau aibmu itu tidak tersebar ke semua orang dan tetap tersembunyi dalam memorimu. Maka, cobalah maknai apa yang sedang kau hadapi, apa yang sedang kau jalani. Karena selalu ada makna dalam setiap peristiwa. Dunia ini, dengan segala kejadian dan peristiwa yang terjadi di dalamya, tidak diciptakan secara sia-sia. Meski tak dipungkiri bahwa dunia ini hanya permainan dan senda gurau belaka.

Mati Sendiri

Sendiri bukanlah hal yang benar-benar aku inginkan
Meskipun terkadang aku pernah menginginkannya
Namun, kesendirian itu selalu datang menghampiriku pada saat-saat yang aku tidak menginginkannya
Sedang ketika aku menginginkan kesendirian, aku tak pernah puas dengan dengan kesendirianku..


Seandainya ada kematian yang Engkau halalkan, aku akan melakukan itu meskipun aku tahu bahwa dosa-dosa dan akhlak burukku lebih banyak daripada pahala dan akhlak baikku..
Aku rela masuk nerakamu meski aku tahu bahwa aku tak akan kuat di dalamnya..
Meskipun aku pernah menginginkan surga, tapi sungguh tak pantas hamba-Mu yang sangat hina dan kotor ini masuk dalam surga-Mu..
2010

Asrama MAN Insan Cendekia

Tanpa Ujung

Tahukah kau bagaimana susahnya menggambarkan suasana di saat-saat tertentu? Semua orang mungkin pernah mengalaminya. Ketika kata tak bisa mewakili apapun yang sedang dirasakannya. Beginilah dunia nyata. Bersanding dengan bermacam-macam orang, bertubrukan dengan berbagai keyakinan, bergabung dengan aturan-aturan, dan sebagainya.
Lihatlah, banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan, sedangkan tak semua orang menyadarinya, padahal mereka mengetahuinya. Saksikanlah, banyak orang yang mampu membantu yang lainnya, tetapi tidak semua menyadarinya, sedangkan mereka terlena dengan berfoya-foya. Ketahuilah, banyak orang yang berpendidikan, memiliki banyak pengetahuan dalam banyak hal, tetapi kebanyakan dari mereka justru hanya diam.
Hei, tulisan ini sungguh tak beraturan. Sama halnya dengan kondisi otak ini yang tak tahu apa yang sebenarnya terpikirkan. Random. Berputar-putar, meliuk-liuk seolah-olah benar-benar tampak di depan mata. Melingkar-lingkar, berpilin-pilin menekan ubun-ubun kepala. Fokus tak bisa, tidurpun tak bisa.
Keluarga, akademik, organisasi, relasi, kesehatan diri, itu semua berkaitan dengan kehidupan. Penyesalan, dosa-dosa, amalan harian, kemaksiatan, peribadatan, dan ini semua berkaitan dengan akhirat. Padahal aku rasa semua sungguh sangat memiliki hubungan dan keterikatan. Semua yang seolah sangat tidak teratur padahal sesungguhnya sangat teratur. Karena sesungguhyna ketaraturan adalah ketidakteraturan itu sendiri. Sama halnya dengan ketiadaan akan keabadiaan. Semua pasti akan berubah. Karena pada hakikatnya yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Bingung, bukan? Karena aku sendiri sebenarnya sungguh sangat kebingungan.

Saturday, September 20, 2014

Pernahkah Terpikirkan? #Abu Kelud 2

Efek dari abu Kelud sungguh luar biasa dirasakan. Meski kiriman sudah lagi tak datang, namun abu yang sudah terlanjur menumpuk banyak tetap saja membuat suasana berbeda. Jalan raya yang penuh debu, pepohonan penuh debu, atap rumah, semuanya penuh dengan abu yang menumpuk. Yang paling menggila adalah ketika angin yang menghamburkan debu itu ke mana-mana. Tak hanya mengganggu pernafasan, tetapi juga mengganggu pandangan. Yaah, tapi kalo membahas ini hanya akan menjadi keluhan manusia-manusia yang tak bersyukur. Oleh karena itu, aku coba berkeliling, mengamati, dan melihat lingkungan dengan pandangan yang berbeda, dengan pengamatan yang lebih tajam, mencari pemahaman lebih yang tak hanya memaknai peristiwa ini sekedar sebagai nikmat, ujian, ataupun adzab. Mungkin di luar sana akan kudapati banyak makna, ayat lain yang disampaikan melalui peristiwa.
Lihatlah pohon-pohon itu. Seluruh batang dan daunnya dipenuhi abu. Apakah mereka masih bisa bernafas seperti biasanya? Apakah lentisel dan stomata mereka tersumbat oleh abu? Jangan-jangan mereka juga membutuhkan masker. Angin yang kencang pun tak mampu untuk membersihkan mereka. Bahkan hujan yang lebat pun belum tentu dapat membersihkan abunya. Karena air tidak selalu mengalirkan abu itu, tapi justru semakin membuat abu itu tambah menempel pada pohon tersebut. Perlu diterpa angin dan hujan berkali-kali untuk membersihkannya. Sedangkan manusia tidak ada yang inisiatif untuk segera membersihkan mereka.
Hei, aku menemukan ulat yang terjatuh dari daunnya. Dia menggeliat dengan susah payahnya di atas abu yang tebal di jalanan. Tentu saja. Bagaimana dia bisa berjalan di atas abu? Bagaimana dia bisa makan jika seluruh daun dipenuhi dengan abu?
Lihatlah di bawah sana. Para semut yang tertatih-tatih berjalan di atas debu. Berkali-kali terjatuh ketika mencoba mendaki tembok yang ber-abu Kelud. Sedang dibawahnya banyak lubang-lubang kecil yang mereka buat untuk jalan mereka. Mereka mempunyai usaha yang lebih keras hanya untuk berjalan melewati abu yang menggumpal, apalagi untuk mendapatkan makanannya.
Perhatikan. Aku temui banyak lalat yang mati. Capung juga mati. Mungkin mereka tak sempat berlindung ketika hujan abu. Badannya pernuh dengan abu, terbujur kaku atau tertimbun abu. Bisa dipastikan mereka tak dapat terbang bebas seperti biasanya. Udara yang penuh abu sungguh mengganggu kehidupan mereka. Akupun baru sadar, tak kutemukan serangga-serangga lain yang terbang. Tak kutemui kupu-kupu, lebah, atau belalang yang biasanya ke sana kemari. Di sana sini hanya abu yang beterbangan. Bagaimana kabar burung di atas pohon sana? Apakah sarang mereka dipenuhi dengan debu? Sudahkah mereka membersihkan sarang mereka? Kalaupun sudah, tentunya tak cukup berarti. Karena pohon yang penuh dengan abu itu akan kotor lagi ketika angin meniupnya. Menyebarluaskan lagi abu-abu yang tersimpan, yang singgah sejenak di permukaannya.
Pernahkah terpikir oleh kita bagaimana nasib hewan dan tumbuhan di sekeliling kita? Bukankah manusia dikaruniai akal untuk berpikir? Bukankah manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi? Dengan adanya peristiwa ini, manusialah yang seharusnya memiliki peran penting menghadapi peristiwa ini. Hanya manusialah yang dengan akalnya mampu membuat sebuah gerakan sebagai solusi atas abu-abu yang beterbangan. Apalagi di zaman yang modern ini. Tapi, sungguh sayang, tak banyak manusia yang aktif menanggapi peristiwa ini. Dengan egoisnya memikirkan diri sendiri. Kalaupun bersih-bersih, yang dibersihkan hanya sebatas rumah dan pekarangannya. Yang ternyata tak begitu memberikan dampak bagi kebersihan mereka. Karena abu yang masih tertumpuk di jalan akan tertiup lagi oleh angin yang mengembalikan abu itu ke rumah mereka. Sungguh, bukankah dengan akalnya, manusia seharusnya bisa melakukan hal kreatif dan inovatif? Seharsunya manusia dapat memanfaatkan abu yang banyak ini untuk hal yang lebih berguna, lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Tapi sayang, manusia sekarang tak lagi punya empati. Tak lagi peduli. Jangankan binatang dan tumbuhan di sekitar mereka pernah terlintas di benak mereka. Bahkan, para pengemis dan orang jalanan saja mungkin tak pernah singgah di benak mereka. Bagaimana mereka tinggal di jalanan yang dipenuhi dengan abu, apalagi ketika mobil-mobil justru dengan kencangnya membuat udara semakin berabu.

Februari, 2014

Sejenak

Sebelum waktumu terasa terburu
Sebelum lelahmu menutup mata
Adakah langkahmu terisi ambisi
Apakah kalbumu terasa sunyi
Sebelum waktu (hidup)mu terasa terburu. Ketika hari tidak bisa diulang lagi. Ketika malaikat maut sudah hampir menjemput ajal. Ketika tiba saatnya bumi digoncangkan, gunung dihambur-hamburkan seperti kapas yang beterbangan. Sebelum tubuhmu terasa lelah tak berdaya. Sebelum ragamu terbaring dengan enaknya.
Adakah langkahmu terisi ambisi. Adakah langkah-langkahmu hanya untuk ambisi dunia? Harta, tahta, wanita, atau ambisi apa yang menjadi jejak langkahmu? Sudahkah ambisi-ambisimu itu tercapai? Sudahkah cita-citamu kau dapatkan? Dan setelah semua cita-citamu tercapai, setelah ambisi-ambisimu sudah berada di tanganmu, apakah hatimu merasa bahagia? Apakah kau merasa senang? Atau, justru hatimu terasa sunyi. Sepi. Senyap. Seolah apa yang telah kau dapatkan itu masih kurang. Masih belum cukup untuk mengobati kehausan ambisimu? Lalu, apa yang sebenarnya kau cari di dunia ini? Atau untuk siapa ambisi-ambisimu itu kau persembahkan?
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta
Ya, sebelum semua itu terjadi. Sebelum hari akhir tiba. Sebelum kesuksesanmu tercapai. Luangkanlah! Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu. Rinduilah denting waktu yang terus bergulir disisimu. Nikmatilah setiap denting waktu. Jangan pernah menyesal, karena waktu tak akan pernah terulang. Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu. Di tengah kesibukanmu mengejar cita-cita; akademik, pekerjaan, organisasi, dan hal-hal lain dalam kesibukanmu, luangkanlah! Lihatlah sejenak warna kemesraan dan cinta. Lihatlah sendiri betapa proses itu menyenangkan. Nikmatilah prosesmu mencapai cita-citamu. Rasakanlah setiap rasa dalam menjalani hidupmu. Suka duka, canda tawa, dan setiap rasa yang mengiringi dan mewarnai jalan hidupmu. Rasakanlah cinta pada setiap orang yang berada di sekelilingmu. Orang-orang yang menyayangimu dan yang kau sayangi. Orang-orang yang mencintai dan kau cintai. Ya, sebelum hari akhir tiba. Sebelum masa kesuksesanmu ada. Sebelum semua terasa sunyi. Karena warna dan cinta itulah yang akan menemani ketika kesunyian menghampiri. Karena warna dan cinta itulah yang akan mengisi kalbu yang sunyi.
Sebelum hidungmu terhalang nafasmu
Sesudah nafsumu tak terbelenggu
Indahnya membisu tandai yang berlalu
Bahasa tubuhmu mengartikan rindu
Sebelum hidungmu tak lagi bernafas. Sebelum kau benar-benar tak lagi bernafas. Sesudah kau memenuni nafsumu, karena nafsumu tak terbelenggu. Membisu menjadi hal yang sangat akrab. Merenungkan atas segala pelampiasan nafsu yang tak terkendali. membisu dan merenung menjadi hal yang indah untuk dilakukan. Melihat kembali masa lalu saat-saat nafsu bergejolak. Tak disadari bahasa tubuh menggambarkan kerinduan. Rindu untuk kembali ke masa lalu. Masa-masa memenuhi nafsu. Atau rindu pada sesuatu yang dapat memberikan efek lebih dari sekedar memenuhi nafsu.
Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta
Luangkanlah! Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu. Rinduilah denting waktu yang terus bergulir disisimu. Nikmatilah setiap denting waktu. Jangan pernah menyesal, karena waktu tak akan pernah terulang. Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu. Di tengah kesibukanmu, luangkanlah! Lihatlah kemesraan dan cinta. Tak hanya dari orang-orang di sekitarmu. Rasakanlah kemesraan dan cinta dari Tuhan yang setiap langkah mengiringimu. Karena dimanapun Tuhan selalu mendampingimu, memberikan kasih sayang-Nya, memberikan cinta-Nya, yang sering kali dilupakan oleh hamba.
Yang tlah semu
Yang tak semu
Dan tak semudah itu
Lihatlah! Rasakanlah! Kebahagiaan manakah yang telah semu? Kebahagiaan manakah yang tak semu? Apakah kebahagiaan mengejar ambisimu? Apakah kebahagiaan menjalani kesibukanmu? Apakah kebahagiaan memenuhi nafsu? Atau cinta dari orang-orang yang mencintai dan kau cintai? Ataukah kemesraan dan cinta dari Sang Pemilik Cinta? Manakah yang semu? Manakah yang tak semu? Mana yang menjadi kebahagiaan sejati? Mana yang menjadi cinta yang hakiki? Dan tentu, untuk merasakannya tak semudah kau mengatakannya. Tak semudah kau membalik telapak tangan. Sungguh, tak semudah itu.

Masjid A-Taqwa Swakarya, 2014

Nikmat, Ujian, Atau Adzab? #Abu Kelud 1

Peristiwa abu Kelud adalah peristiwa keluarnya au dari Gunung Kelud. Beberapa kota di sekitarnya mendapatkan kiriman abu yang keluar dari gunung tersebut. Kabarnya, kota yang paling banyak menerima kiriman abu Kelud adalah Kota Yogyakarta. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa ini merupakan nikmat atau adzab dari Allah? Atau sekedar untuk menguji hamba-Nya? Mengapa harus Kota Yogyakarta yang mendapat kiriman abu paling banyak?
Sungguh, jawaban dari alasan Kota Yogyakarta mendapat kiriman paling banyak dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Tentang lokasi berdasarkan letak dan jarak dari gunung, arah abu yang keluar dari gunung, dan arah angin yang berhembus. Namun, kita tak akan membahas itu. Kita akan mencoba memformulasikan jawaban apa maksud peristiwa ini terjajdi di Kota Yogyakarta. Padahal kota-kota terdekat dan kota tempat gunung itu berdiri bisa dikatakan malah tidak terjadi apa-apa. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa peristiwa ini dapat menjadi nikmat, ujian, sekaligus adzab bagi warga Yogyakarta.
Nikmat. Peristiwa ini menjadi momen terpenting bagi beberapa golongan yang pandai melihat situasi sebagai kesempatan mereka mendapat rizki. Ya, peristiwa ini menjadi lahan rizki bagi para penjual bagor, cuci motor, sewa genset air, jual masker, dan hal-hal lain yang berguna untuk membersihkan dan atau menghindar dari efek abu Kelud. Peristiwa ini merupakan ladang rizki bagi mereka sehingga mereka mendapatkan keuntungan karenanya.
Ujian. Peristiwa ini menjadi uji kesabaran bagi warga Yogyakarta. Kondisi biasa yang sudah menjadi zona nyaman warga Yogyakarta terusik oleh adanya abu kiriman dari Kelud. Ketidaknyamanan karena adanya abu Kelud ini menguji kesabaran warga Yogyakarta bagaimana mereka menghadapainya. Dalam kondisi yang tidak nyaman seperti ini, juga memberikan kesempatan bagi yang berhasil untuk meningkatkan derajat.
Adzab. Sebenarnya terlalu jauh jika mengatakan persitiwa ini sebagai adzab. Allah masih terlalu sayang kepada hamba-Nya sehingga peristiwa ini hanya sebatas sebagai peringatan bagi hamba-Nya yang melampaui batas. Bagi mereka yang melakukan kemaksiatan dengan sukarela di tanah Yogyakarta. Lihatlah, tak hanya Kota Yogyakarta yang diuji dengan abu Kelud. Banyak juga kota-kota lain yang saat itu mengalami banjir, dan gunung Sinabung yang masih batuk-batuk.
Teras masjid At-Taqwa Swakarya

Februari 2014

Friday, September 19, 2014

Si Miskin Yang Kaya Dan Si Kaya Yang Miskin

Sudah sembilan tahun lamanya aku hidup dalam perantauan. Tahun ke 4, aku mengazamkan diri untuk tidak banyak meminta uang pada orang tua. Mau minta uang untuk apa? Bea sekolah sudah gratis, tempat tinggal di asrama, makan sudah ditanggung. Paling Cuma biaya transportasi. Memang biasanya orang tua hanya memberi uang transportasi, uang saku seadanya, akupun tak protes. Tiga ratus ribu untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Itu jumlah uang yang diberikan ketika keberangkatan. Padahal hanya boleh pulang ketika pulang semester. Bagiku tak jadi masalah. Toh tidak ada tanggungan lain-lain. Paling hanya butuh peralatan mandi atau ke warnet kalo banyak tugas, karena di asrama fasilitas komputer dan internet terkadang terbatas.
Masa-masa di SMA terlewati begitu saja tanpa banyak masalah keuangan yang berarti. Atribut angkatan, pakaian dan atribut untuk wisuda, dan pendaftaran kuliah bisa diatasi tanpa meminta orang tua. Hingga sampai akhirnya aku benar-benar diterima jadi mahasiswa dengan beasiswa. Aku membulatkan tekadku untuk tidak meminta uang orang tua. Bahkan ketika aku menghilangkan uang temanku sebesar 10 juta pun aku tak bilang orang tua. Aku cari usaha sendiri, hidup sendiri menyelesaikan masalahku sendiri. Ya, ujian mengganti uang 10 juta itu cukup memberikan banyak pelajaran yang berarti.
Meski begitu, aku tetap bertekad. Setelah selesai mengganti, kebutuhan yang lain menanti, tibalah masa KKN yang dalam situasi “terjebak” dalam kelompok yang pergi jauh dan tidak dibiayai pendanaannya. Lagi, aku harus mengeluarkan banyak uang di sini. Tentu saja, aku masih tetap dengan pendirianku; tidak meminta tetapi menerima kalo diberi. Segala administrasi dan keuangan dalam KKN yang notabene sangat membutuhkan laptop dan uang yang banyak alhamdulillah bisa terselesaikan. Tak perlu ditanya bagaimana otak ini terus bekerja mencari tiap solusi atas semua permasalahan.
Hingga masuk tahun ke-4 kuliah ini, aku masih juga tidak memiliki laptop. Padahal banyak tuntutan, tugas, dan lain-lain yang membuat laptop harus menjadi kebutuhan mahasiswa. Dari awal kuliah sampai sekarang, dengan uang terbatas, fasilitas terbatas, aku tetap bisa mencapai IP > 3. Aku masih bisa hidup, bahkan tak jarang meminjami atau memberi uang teman yang membutuhkan karena kehabisan uang atau belum daat kiriman. Tugas-tugas kuliah dan organisasi pun dapat terselesaikan meski banyak kekurangan.
Aku bangga bisa meringankan beban orang tua. Aku bangga bisa bermanfaat kepada teman. Dalam tulisan ini aku sengaja menyombongkan diri, bahwa aku adalah orang yang tak punya banyak tetapi bisa memberi sesuai kemampuan. Bermanfaat kepada lingkungan. Daripada mereka yang punya banyak uang tapi sukanya berfoya-foya. Daripada mereka yang punya laptop keren, canggih, tapi tugas keteteran, kuliah banyak yang ngulang, sedangkan duit masih minta orang tua. Ada pengemis atau pengamen seringnya diusir. Ada orang minta sumbangan dikiranya cari alasan.
Silakan saja bilang aku orang miskin, karena memang aku tak punya banyak uang seperti kalian. Tetapi aku banyak memberikan manfaat untuk sekitar. Aku tak peduli, meski hanya meringankan orang tua dan sedikit membantu teman, bagiku itu sudah luar biasa. Memang tak sehebat orang yang mendirikan panti asuhan, atau membagi-bagikan makanan di pinggir jalan seperi para artis, bukan juga membuka lapangan pekerjaan atau mengentaskan kemiskinan. Tapi hal baik ini perlu disombongkan. Buat apa merasa sok ikhlas dengan diam, hingga akhirnya kebaikan terkubur terpendam. Lihatlah, yang sering muncul justru kemaksiatan dan segala model kejahatan. Pencurian, korupsi, pelecehan seksual, tawuran, dan segala kebohongan dan kecurangan.
Lihatlah orang-orang kaya di sana, mereka yang memainkan uang, merasa bebas dan merasa aman. Tapi tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Kenyamanan mereka tak akan bertahan lama. Tapi, bukan ini yang seharusnya diekspos. Media menjadi modeling bagi penontonnya. Seolah hanya keburukan yang ada di Indonesia. Perhatikanlah hal-hal baik, sebarkan nilai-nilai kebijaksanaan, tanamkan pada anak-anak, praktekkan mulai dari diri sendiri, lakukan dari hal yang kecil, dan mulailah dari sekarang.
Jangan pernah biarkan nilai-nilai kebenaran terkubur dan terpendam, terkikis oleh keburukan-keburukan orang yang tak tahu aturan. Sebarluaskan kebaikan melalui apapun yang bisa dilakukan, baik perkataan, tindakan, ataupun persetujuan dan harapan.
Di kegelapan kamar

19 September 2014

(ORANG) LURUS

“Benarkah garis lurus itu ada di dunia?” tebakan dari kakakku ketika aku masih SD.
Aku menjawab, “Ada lah, semua juga bisa membuat garis lurus (sambil mempraktekkan menggaris lurus dengan tangan)”.
“Coba jawab, apakah kamu yakin meja ini lurus?” tantang kakakku.
Dengan lantang aku menjawab”yakin!”
“Sekarang coba kamu bayangkan. Meja ini kamu susun teruus menerus sampai nanti pada akhirnya ketemu di meja pertama. Bukankah bumi itu bulat? Jadi ketika kamu terus menjejerkan meja ini sampai di titik semula, berarti meja ini tidak lurus, tetapi bulat, atau ada sekian persen yang bengkok. Meski hanya 0,00000 sekian persen” jelasnya.
Aku hanya terdiam. Mendengarkan penjelasan yang cukup masuk akal. Ada satu argumentasi lagi sebenarnya. Tapi tidak aku sampaikan. Aku menyimpan argumen itu, hingga sampai masa SMA ketika perdebatan tentang garis lurus itu terulang antara kedua temanku. Dan aku hanya mendengarkan, bahkan sedikit mendukung temanku yang “menjebak” bahwa tidak ada garis lurus di dunia ini. Aku sudah lupa dengan argumentasiku dulu yang belum aku ungkapkan.
Akupun merasakan asyiknya suasana membuat orang berpikir ulang. Mengotak-atik logika yang entah benar atau salah. Beberapa kali aku menanyakan dan menjelaskan tentang garis lurus pada teman-temanku. Hingga terakhir sekitar sebulan yang lalu aku menanyakannya pada temanku. Ada yang berpikir ulang, ada yang manggut-manggut mendengarkan logika bumi bulat sehingga tidak ada garis lurus. Tapi ada satu orang yang membantah yang akhirnya membuat kesimpulan bahwa garis lurus itu memang lurus. Dia berkata, “Logikamu itu salah, garis lurus itu tidak mengikuti bumi yang bulat, tapi harus berada di ketinggian yang sama”. Beberapa teman ada juga yang mengangguk dan mengiyakan. Tetapi itu sebuah tamparan bagiku. Hey, bukankah itu argumen yang dulu tidak pernah aku sampaikan? Bukankah itu penjelasan yang benar-benar menyatakan bahwa garis lurus itu lurus? Ya, jadi dapat kita simpulkan bahwa garis lurus itu memang lurus. Dia harus pada ketinggian yang sama, bukan diukur dari bumi, melainkan satu ketinggian yang konsisten. Pokoknya sepeti itulah, aku yakin kalian paham. J
So what? Apakah pencarian penjelasan garis lurus itu berhenti? Tidak. Tidak bagiku. Banyak fenomena yang bisa dijelaskan dari dua konsep tentang garis lurus tadi. Aku menghubungkannya dengan orang-orang yang menilai bahwa aku adalah orang yang lurus. Sungguh, ada gejolak ketika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah orang yang lurus. Dan banyak orag yang mengiyakannya. Selurus apakah diriku? Akupun tak tahu, bagaimana penilaian mereka, aspek apa yang mereka gunakan sampai pada akhirnya membuat kesimpulan bahwa aku adalah orang yang lurus. Karena aku sendiri menilai bahwa aku bukanlah orang yang lurus, banyak sekali bengkokan-bengkokan dalam hidupku. Ya, selalu begitu. Penilaian orang lain hanya melihat pada hal yang tampak. Karena apa yang dilihat orang lain dengan apa yang dilihat diri sendiri pastilah berbeda.
Ok. Pemahaman tentang dua konsep garis lurus di awal tadi bisa menjelaskannya. Kita asumsikan bahwa hidup manusia ini bagai menorehkan garis. Sehingga bisa dinilai apakah garis yang ditorehkan itu lurus atau tidak. Sayangnya tak ada manusia yang sempurna, tak ada manusia yang tidak menapakkan kakinya di bumi. Jadi, mau selurus apapun garis yang dia torehkan, dia akan terus mengikuti arah lingkar bumi. Manusia tak akan pernah bisa membuat garis lurus yang sempurna. Hanya malaikat yang mampu melakukannya. Karena memang malaikat diciptakan untuk mematuhi perintah-Nya. Kalaupun manusia bisa, dia harus memakai perlengkapan dan peralatan yang bisa digunakan di luar angkasa, bahkan mungkin mencapai luarnya luar angkasa.
Lalu, mengapa orang lain masih menilai sebagian orang itu lurus? Ya, karena mereka juga manusia. Sudut pandang mereka terbatas pada apa yang mereka lihat. Bukankah meja yang disusun terus-menerus sampai ketemu lagi pada ujungnya berarti memiliki kebengkokan sekian derajat? Butuh sudut pandang yang lebih luas dan lebih jauh untuk melihat kebengkokan tersebut.
Secara religius, ketika berdiskusi dengan salah seorang teman, dia menjawab, “Hanya ada dua kemungkinan; Allah menutupi aibnya atau Allah menunggu saat yang tepat untuk membalasnya”. Begitulah kiranya, karena tentu dalam melaksanakan sebuah tugas (membuat garis lurus), jika melakukan kesalahan pasti ada konsekuensinya. Dan karena manusia selalu salah, tak pernah bisa membuat garis lurus secara utuh, banyak sekali kemungkinan sebenarnya. Bisa jadi Tuhan menutup kesalahanya, menunda membalasnya, atau memaafkannya. Atau bisa jadi salah dua diantaranya. 
Dalam konsep penciptaan-Nya, Tuhan tak hanya menciptakan manusia. Kaitannya dengan tugas membuat garis lurus tersebut, Tuhan juga menciptakan malaikat dan jin sebagai pembantu atau penghalang bagi manusia. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah. Malaikat diciptakan dari nur atau cahaya, sedangkan iblis diciptakan dari api. Dari unsur-unsur itu bisa kita lihat, malaikat (cahaya) akan membantu dan memberi petunjuk kepada manusia (tanah) dengan cahayanya sesuai tugasnya masing-masing. Sedangkan iblis (api) akan merusak manusia (tanah), membengkokkan arah manusia agar tidak lurus. Cahaya menimbulkan efek terang sehingga tanah bisa membuat garis yang lurus sesuai petunjuk. Sedangkan api juga bisa memberikan cahaya, namun api juga menimbulkan efek panas yang membakar tanah menjadi kering kerontang.
Maka, hai manusia, fokuslah pada tujuanmu untuk membuat garis lurus, sadarlah bahwa manusia selalu diawasi oleh malaikat dan iblis di manapun manusia berada. Manusialah yang memilih untuk mengikuti malaikat atau iblis.
Ruang kecil KMP, Fakultas Psikologi UGM


19 September 2014

Sunday, June 22, 2014

Indonesia Tidak Membutuhkan Pertengkatan Untuk Bisa Maju



Politik Indonesia sungguh memprihatinkan. Indonesia sudah lepas dari nilai-nilai dasar Negara yang telah disusun dan ditekankan oleh para pendirinya. Nilai-nilai itu seolah bak uap yang sudah tak ada wujudnya. Lihatlah orang-orang di sekitar kita. Masing-masing menjelek-jelekkan pihak yang lain. Seolah pihak yang didukungnya adalah yang paling benar.
Pernahkah terpikirkan, bagaimana jika isu-isu yang disebar itu tidak menjadi kenyataan? Missal jika Jokowi jadi presiden, tapi mengangkat Jalaludin Rahmat mjd mentri Agama, menghlngkan kolom agama di KTP, menghapus praturan ttg pndirian rmh ibadah, dl situ tidak dilakukan Jokowi. Apa yang akan dilakukan oleh para penyebear isu itu? Atau jika Prabowo jadi presiden, tetapi mengembalikan negara ini ke zaman orde baru, menghalangi kebebasan pers, dl situ tidak terjadi. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yangmenyebar isu-isu tersebut? Cuek sajakah? Merasa malu lalu mau meminta maaf pada orang yang bersangkutan? Atau bagaimana? Bukankah ini termasuk fitnah? Dan tidaklah kita ingat bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Kalaupun meminta maaf, yakinkah orang yang bersangkutan akan memaafkan? Terlebih lagi, yakin kah Allah akan memaafkan kita?[1]
Sungguh, diri ini mendambakan Indonesia yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara. Coba kita bayangkan. Jika para calon pemimpin kita ini benar-benar mengerti dan memahami Indonesia sebagai suatu Negara, Negara yang tidak hanya untuk kekuasaan saja, maka seharusnya mereka menjiwai nilai-nilai dasar Negara Indonesia. Nilai-nilai dasar yang dimaksud di sini tak lain dan tak bukan adalah pancasila dan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Cukup dengan dua nilai ini, perpolitikan di Indonesia tidak akan seperti yang kita saksikan saat ini.
Kita coba mulai dari sila pertama, bahwa seharusnya apapun yang ada di Indonesia itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, seharusnya tokoh-tokoh Negara menunjukkan hal ini dalam setiap harinya. Apapun yang dilakukan berdasar pada keimanannya pada Tuhannya. Berdasar pada apa yang telah diajarkan oleh agamanya.
Lalu, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bahkan, tokoh-tokoh di belakang capres-cawapres kita sangat tidak menunjukkan keadilan dan keberadaban sebagai manusia. Mana ada manusia yang menjelek-jelekkan sesama manusia, apakah mereka sudah cukup suci hingga pantas merendahkan derajat manusia lainya? Mana keadilan dan keberadaban yang selalu mereka koar-koarkan? Bahkan dalam dirinya saja tidak pernah terwujud keadilan dan keberadaban itu.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan semboyan yang dijunjung tinggi Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. “Pertikaian” kedua belah pihak sama sekali tidak menunjukkan adanya persatuan Indonesia. Karena persatuan sejatinya tidak hanya dalam masalah perbedaan agama, suku, ras, bahasa, tetapi juga dalam perbedaan pendapat. Maka seharusnya, dengan persatuan pihak-pihak terkait tidak begitu mempersalahkan siapapun yang akan memimpin nantinya. Hey, bukankah kedua-duanya sama-sama menginginkan kemajuan Indonesia? Jika sama-sama memiliki tujuan itu, bukankah seharusnya perbedaan pendapat dalam cara mewujudkannya merupakan hal biasa? Lalu kenapa hanya terfokus pada perbedaan itu? Bukankah akan lebih baik jika fokus pada misi untuk memajukan Indonesia? Siapapun pemimpinnya nanti, kalau memang tujuannya untuk memajukan Indonesia, ya kita dukung aja, masalah caranya ya sesuaikan dengan kemampuan apa yang bisa dilakukan.
Sila keempat dan kelima silahkan bahas sendiri. Yang menjadi garis bawah dalam tulisan ini adalah bahwa sangat disayangkan jika nilai-nilai dasar Negara ini hanya tergantung begitu saja di lambang Negara, Garuda. Lambang yang hanya menjadi pajangan indah di gedung-gedung pemerintahan dan istana Negara. Karena saking indahnya lambang itu, orang-orang di dalamnya merasa tak perlu lagi memperindahnya dengan mengimplementasikan nilai-nilai itu dalam keseharian. Jangan-jangan memang Garuda itu sudah cukup dibiarkan bertengger di sana. Menyaksikan orang-orang di dalamnya yang sudah melupakan bahwa dia menjadi saksi bisu ditinggalkannya nilai-nilai dasar itu di bawah naungannya. Mungkin jika aku kesana, aku akan menemukan tetes air pada mata Garuda itu, menyaksikan semakin bobroknya perilaku orang-orang di sana. Merasa sedih karena ditinggalkan dan dilupakan keberadaannya.
Mungkin, Garuda itu tengah berbisik, “Jangan sampai kata tunggal ika yang ada di ekorku ini terhapus, sungguh negeri ini sudah jauh melangkah, sampai-sampai menginjak-injak ekornya sendiri yang seharusnya menjadi dasar persatuan. Jangan sampai kelima nyawa ini berpudar dan benar-benar menghilang. Karena jika kelima nyawa ini benar-benar menghilang, maka tunggulah saatnya hingga badan ini tak bisa lagi terbang menuju kemakmuran”.


[1] Status fb temennya temenku

pojokan masjid At-Taqwa Swakarya
23 Juni 2014
02.06 WIB