Wednesday, November 23, 2011

Ada Apa Dengan Islam?


FM: Menurut Anda, apakah yang dimakan islam itu?
KN: Islam adalah dari mashdar salamah, salamah itu artinya selamat. Secara simple islam itu agama temuan.
FM: Alasan apa yang membuat Anda memegang islam?
KN: kenapa saya memegang islam? Saya sedih menjawab pertanyaan ini. Kenapa Anda beragama islam? Apakah hanya karena Anda dilahirkan dari keluarga islam. Saya rasa tidak...... Karena saya yakin bahwa ini adalah rumah terbaik. Karena saya merasa bahwa saya berada dalam rumah, rumah yang saya sebut islam ini, penuh dengan cahaya, penuh dengan benderang lampu, penuh dengan keindahan. Setelah saya menengok ke rumah samping-samping saya, rumah kristen, rumah budha, rumah hindu. Kok.., tidak masuk akal gitu... Kenapa mereka menganggap Tuhan trinitas, bahwa Tuhan itu penuh dengan berhala-berhala, patung-patung. Kok tidak begitu rasionalis. Nah saya sudah putuskan di sini, kenapa menurut Anda memegang islam? bahwa islam itu benar. Kenapa? Karena saya merasa ajaran yang dibawa alquran yang dipake itu membawa ketenangan. Contoh; lentera dalam hati. Aku yakin seperti itu.... Apakah Anda merasa agama-agama lain itu tidak begitu? saya rasa tidak, tidak seperti itu. Kok bisa? Saya bandingkan dengan kristen. Apa mungkin Tuhan itu tiga? Kita contoh simpel saja, jika ada orang tua, Bapa, Ibu, dan anak. Bapa merasa senang pada seseorang, anak tidak. Anak merasa senang dengan seseorang, Ibu tidak, Bapa tidak. Apakah ini akan terjadi keseimbangan? Saya kira tidak. Jika Tuhan Bapa senang pada seseorang, sedangkan Tuhan anak tidak, ini tidak akan selaras. Secara rasional ga masuk akalnya di situ. Di saat Tuhan Anak senang pada seseorang, sementara Tuhan Ibu dan Tuhan Bapa tidak senang, ga mungkin dunia ini akan berlangsung dengan baik dan benar. Kadang seseorang menantu yang dicintai anaknya yang tidak begitu direstui oleh orangtua, yaa... lama-kelamaan akan terjadi konflik. Akhirnya Tuhan salah satu yang bisa dikatakan memaksa, contoh Tuhan anak senang pada seseorang, sementara Tuhan Bapa dan Tuhan Ibu mengalah, lhoo!! Tuhan kok mengalah, Tuhan ga mungkin kalah, Tuhan ga ada istilah mengalah, Tuhan tak mengalah pada anaknya. Ya tidak rasional.
FM: terus bagaimana menurut Anda tentang pandangan bahwa semua agama itu benar??
KN: yo, ga bisa. Syariat boleh benar. Ga ada agama yang menyuruh seseorang melaksanakan hal-hal yang tidak baik itu ga ada. Semua agama, syariat, artinya aturan syariat semua itu semuanya menyuruh hal-hal kebaikan, hal-hal kebajikan. Tapi yang paling penting dalam agama itu adalah tauhid, ketuhanan, ga ada yang sama.
FM: kadang umat islam kalo mendapat pertanyaan seperti itu menjadi bingung. Bagaimana menurut Anda?
KN: kalo saya simpel saja, kalo kita tidak bisa membandingkan mana agama yang benar dan mana agama yang salah, kalo di lihat dari segi syariat, itu memang ga akan; semua agama benar; untuk syariat. Cara aturan dalam kehidupan umat itu, ga ada agama yang menyuruh umatnya melakukan hal-hal yang jelek pun ga ada. Ga ada agama sejelek apapun menyuruh umatnya untuk berzina, merampok itu ga ada.
FM: lalu, bagaimana cara berdakwah, memahamkan kepada orang lain?
KN: Kalo ingin memahamkan, pahami prinsip ketuhanan setiap agama. Kayanya itu, yang mampu membandingkan secara jelas antar agama.
FM: bagaimana pendapat tentang yang mengaku islam, tapi kelakuannya tidak sesuai dengan syariat?
KN: itu memang problem interen umat. Jadi, bukan cuma untuk umat islam sebenarnya. umat kristiani, budha, hindu. Dalam aturannya, seperti mencuri, merampok, berzina, atau yang lain itu menurut agama mereka sebenernya juga dosa, tapi mereka juga melakukan. Bukan cuma umat islam. Sama saja.
Jika kita memang benar ingin menjelaskan islam itu agama yang benar, yang paling bisa dijadikan pegangan prinsip ketuhanan, Allah itu adalah Maha Kamil, Maha Sempurna. Kenapa Sempurna? Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, dst. Hanya Allah yang memiliki sifat itu. Tuhan selain islam tidak memiliki sifat itu. Jadi yang dibandingkan prisnsip. Itu yang membuat kita yakin kenapa islam itu benar. Bukan yang paling benar. Karena jika yang paling benar, ada kemungkinan agama lain juga benar. Jadi islam adalah agama yang benar.
Kesimpulan
Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa islam adalah agama yang benar. Agama yang patut dijadikan prinsip kehidupan. Bahwa dengan agama islam kita akan mendapatkan ketenangan. Sedangkan agama-agama lain selain islam, mereka juga benar, tapi hanya dalam hal syariatnya saja. Karena pada hakikatnya tidak ada agama yang menyuruh umatnya berbuat hal-hal maksiat, seperti mencuri, merampok, berzina, dan sebagainya. Namun, yang membedakan antara agam islam dengan yang lain adalah prinsip ketuhanan. Hanya agama islam yang memiliki Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kamil, Maha Sempurna, dan seterusnya. Dari wawancara tersebut juga dapat dipelajari bagaimana cara menyampaikan kebenaran kepada orang lain.

Psikologi Rumah Kita


Dahulu kala hiduplah sebuah keluarga yang bahagia di sebuah desa. Keluarga itu beranggotakan empat orang, yakni seorang ayah, ibu beserta anaknya. Sang ayah bernama Psikologi Sosial, ibunya bernama Psikologi Perkembangan, dan kedua anaknya masing-maisng bernama Psikologi Industri dan Organisasi yang sering dipanggil PIO dan Psikologi Klinis. Keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang ramah dan baik hati karena mereka selalu membantu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakatnya.
Di lain pihak, ada keluarga yang merasa iri dan benci pada warga lain karena mereka belum mempunyai anak. Mereka adalah Persepsi dan Ilusi. Mereka sangat ingin mempunyai anak. Namun, bertahun-tahun mereka belum juga dikaruniai anak.
****************************
Suatu saat, pasangan Persepsi dan Ilusi mulai memikirkan untuk membuat warga merasa susah. Mereka membuat virus-virus yang membuat keluarga berantakan. Virus itu mengakibatkan kenakalan anak dan remaja. Mereka menyebarkannya melalui sebuah keluarga. Dia mempersepsikan cara mendidik anak dengan kekerasan menjadi persepsi yang baik untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian virus itu mulai menyebar. Virus persepsi ini menyebar dengan cepat ke seluruh desa. Sehingga banyak anak yang sering kabur dari rumah. Begitu juga remaja-remaja yang semakin parah kelakuannya. Banyak remaja yang sering mabuk-mabukan, mencuri, dan sebagainya.
Virus persepsi ini gampang tersebar disebabkan oleh orangtua yang tidak begitu memahami kondisi anak-anaknya. Ada orangtua yang sangat protektif terhadap anaknya, sehingga anaknya tidak pernah diijinkan bermain bersama teman-temannya, bahkan untuk belajar kelompokpun sang anak tidak diijinkan. Ada juga orangtua yang sering memaksa anaknya untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah. Sehingga sang anak tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan bermain.
Akhirnya virus itu benar-benar menyebar ke seluruh desa. Lalu muncullah kekhawatiran masyarakat akan virus itu. Masyarakat mulai khawatir akan masa depan anaknya. Bahkan si Persepsi sendiri menjadi korban. Meski dia belum dikaruniai anak, dia juga sering menjadi korban kebrutalan tingkah laku remaja yang mabuk-mabukan dan aksi pencurian.
Satu-satunya anak yang selamat dari virus tersebut adalah PIO. Karena dia selalu mendapat pendidikan yang baik dari orangtuanya. Selain itu, pergaulannya di desa tidak mempengaruhinya karena dia lebih sering bekerja di perusahaan. Perusahaan tersebut sangat membutuhkan PIO untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Mulai dari karyawan yang mogok kerja, minta kenaikan gaji, dan sebagainya. Begitu juga Psikologi Klinis. Anak ini sedang sibuk bersksperimen di luar kota. Sehingga dia tidak tahu masalah yang terjai di desanya.
Suatu malam, saat PIO pulang dari kerjanya, secara tidak sengaja dia melihat teman-teman di desanya yang mabuk-mabukan dan mencuri. Selama ini, PIO hanya mendengar isu-isu tersebut yang dikiranya tidak nyata. PIO segera pulang dan langsung masuk rumah. Dan dia juga langsung menutup pintu, lalu bergegas menemui orangtuanya di ruang makan.
“PIO...!!! ada apa dengan kamu? Mengapa kamu masuk rumah tanpa salam?” tanya ibunya.
“Iya PIO, tumben sekali kamu pulang dengan tampang seperti itu. Kayak orang kesurupan aja. Memangnya ada apa?” tambah ayahnya sambil meletakkan piringnya yang sudah kosong.
Dengan tergesa-gesa, PIO menceritakan apa yang dilihatnya. Lalu dia berkata, “Ayolah Yah, Ma, cari solusi biar warga desa ini menjadi orang-orang yang berguna hidupnya. Kalau dibiarkan, lama-kelamaan desa ini tidak seperti desa lagi.” Dengan iba, PIO terus mendesak dan meminta.
“Iya PIO, kamu benar, nanti kita akan bicarakan.” Jawab sang ayah.
Dalam kondisi yang darurat ini, suami istri Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan langsung mengambil langkah. Mereka tidak bisa tinggal diam. Tanpa menunggu perintah dari lurah desa, sang istri, Psikologi Perkembangan mulai melakukan bimbingan singkat kepada orangtua-orangtua lewat obrolan ringan saat berbelanja, bergosip, arisan dan sebagainya. Begitu juga sang suami, Psikologi Sosial. Dia mulai merancang tiga kegiatan yang akan diajukan ke lurah desa. Dia merancang penyuluhan yang akan diberikan kepada orangtua, kepada anak-anak dan remaja, dan kepada seluruh warga.
Setelah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Psikologi Sosial dan juga obrolan-obrolan rutin yang dilakukan Psikologi Perkembangan, virus itu sedikit demi sedikit mulai mereda. Desa itu kini menjadi desa yang damai dan tenteram. Setiap kali ada permasalahan yang timbul, warga desa tersebut tak segan-segan meminta bantuan kepada suami istri tersebut.
Pasangan Persepsi dan Ilusi menjadi semakin dendam. Usahanya selama ini gagal. Bahkan malah mencelakakan diri sendiri. Kini mereka merasa benci pada keluarga Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan.
****************************
Ilusi yang juga menguasai ilmu hipnosis mencoba mempraktikkannya pada Psikologi Perkembangan. Dengan ilusi dan hipnosisnya Ilusi berhasil menipu dan merampas banyak harta yang dimiliki Psikologi Perkembangan.
Beberapa hari setelah itu, Persepsi bertemu dengan Psikologi Sosial yang sedang ngopi di warung. Dengan berhati-hati, Persepsi berkata, “Maaf Pak Psikologi Sosial, bukannya saya menganggu rumah tangga bapak, tapi sepertinya bapak sedang ada masalah? Mungkin saya bisa membantu?”
Psikologi Sosial merasa ragu-ragu untuk menceritakan. Tapi akhirnya dia berkata juga, “Iya Pak, beberapa hari yang lalu istri saya ditipu orang, katanya dia dihipnotis, dan dia tidak tahu siapa orang itu.” Jelas Psikolohi Sosial tanpa merasa curiga.
“Oooo.... gitu,” kata Persepsi manggut-manggut. “Eh, Pak, sebelumnya saya minta maaf, apa Bapak merasa percaya dengan istri bapak? Mungkin saja dia yang menipu bapak. Mungkin saja hartanya itu dijual untuk selingkuh. Maaf kalo saya menyinggung.” Cerocos Persepsi. Dia sangat menginginkan keluarga itu berantakan.
Psikologi Sosial hanya diam. Dua menit kemudian dia langsung beranjak pulang tanpa kata-kata lagi. Persepsi tersenyum sendiri. Meski dia belum yakin persepsi yang dia berikan akan berhasil mengubah persepsinya Psikologi Sosial terhadap istrinya, Psikologi Perkembangan.
Sesampainya di rumah, Psikologi Sodial langsung menanyakan kejelasannya terhadap Psikologi Perkembangan. Karena tak bisa menahan emosi terjadilah pertengkaran besar antara keduanya. PIO yang kebetulan di rumah merasa kaget. “Ada apa Yah, Ma!” tanya PIO. Tapi tak ada yang menjawab. Ayahnya langsung masuk kamar, sedangkan ibunta ke dapur tanpa berkata apa-apa.
Keesokan harinya, sarapan pagi terasa hampar. Tak ada perbincangan antara ketiganya. PIO khawatir terhadap kondisi keluarganya itu. Tapi, dia tak bisa melakukan apa-apa. Dia sadar bahwa psikologi itu untuk anda, bukan untuk kami. Sehingga hampir tak mungkin jika orangtuanya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri jika mereka saja sudah tak mau berkomunikasi. PIO juga tak bisa membantu banyak hal. Dia tak begitu paham dengan masalah yang akan dihadapinya.
“Aha...!!!” teriaknya tiba-tiba. PIO langsung mengambil hp di sakunya dan menulis sms untuk saudaranya, Psikologi Klinis yang sedang di luar kota.
Assalamu’alakum.. saudaraku, semoga keselamatan tetap menyertaimu... sekarang orangtua kita sedang ada masalah, aku mengharap kepulanganmu untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Tak lama kemudian, hpnya berdering. PIO membacanya:
Wa’alaikumussalam... ada gerangan apakah kira-kira? Ok.. insya Allah aku segera pulang
PIO mulai agak lega. Selain itu, dia merasa aneh pada kehidupan keluarga Persepsi dan Ilusi yang tampak kaya secara tiba-tiba. Tapi dia segera menghilangkan prasangka itu.
****************************
Setibanya di rumah, Psikologi Klinis dan PIO mencoba mengajak kedua orangtuanya berbincang-bincang. Kemudian sang ibu, Psikologi Perkembangan menceritakan musibah yang telah terjadi. Kemudian sang ayah, Psikologi Sosial juga menceritakan persepsinya atas kejadian itu. Tak lupa dia juga menyampaikan obrolannya dengan Persepsi.
PIO terlonjak kaget. Dia yang baru mengetahui duduk permasalahannya langsung menyampaikan kecurigaannya pada Persepsi dan Ilusi yang diulihatnya beberapa hari yang lalu. Bahwa kehidupan mereka ada perubahan yang signifikan.  Setelah mendengar cerita dari ketiga pihak tersebut, Psikologi Klinis mulai paham. Dia mengajak orangtuanya untuk menemui keluarga Persepsi dan Ilusi. Meminta setiap penjelasan yang terjadi.
Akhirnya, Persepsi dan Ilusi mengakui perbuatannya. Mereka menjelaskan semua yang dilakukan. Tak lupa, mereka juga mengonsultasikan masalah mereka yang menyebabkan mereka berbuat demikian. Mereka menjadi sadar meminta maaf atas kesalahannya. Mereka juga dinasehati oleh Psikologi Klinis dalam masalah mereka.
Kini, keluarga Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan hidup rukun kembali. Begitu juga pasangan Persepsi dan Ilusi, kini mereka dapat menerima apa yang mereka dapatkan. Dan beberapa minggu setelah masalah itu terselesaikan, akhirnya Ilusi mengandung juga. Dan akhirnya tak ada lagi perasaan iri dan benci diantara mereka. Mereka hidup rukun, tenteram, dan bahagia bersama. Di desa yang semakin indah suasananya.

Sunday, August 28, 2011

Aku Ingin Pulang I

Demak, 1-12 Agustus 2011
1-12 Ramadhan 1432
AKU INGIN PULANG
“Aku ingin pulang”. Kata yang sering terucap saat pertama kali tinggal di pesantren atau asrama. Pertama kali hidup jauh dari keluarga. Namun, itu tak berlaku bagiku. Justru aku merasakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Lapang. Luas. Bebas. Dan justru timbul dalam benakku untuk menjelajah dunia.
Kini, aku ingin mengenang kembali. Mengenang semua perjalanan yang telah kulakukan. Baik perjalanan panjang yang kulalui maupun perjalanan singkat yang kulewati. Kaset memoriku mulai berputar. Berputar. Enam kali ke belakang. Lalu kedepan, secara perlahan.
Putaran satu, dua dan tiga. Awal dari perantauanku. Pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini. Kamis, 14 Juli 2005. Kali pertama aku jauh dari rumah. Bebas. Tak ada lagi yang mengatur; suruh makanlah, tidurlah, suruh inilah, itulah. Ah, semua itu sudah takkan ada lagi. Aku bisa melakukan apa saja, kapan saja, di mana saja sesuai kehendakku. Di sini aku mengenal apa itu kitab kuning, makna sorogan, arab pegon, nahwu, shorof, dan belajar agama. Pun aku juga mengenal persahabatan juga permusuhan. Memahami perbedaan karakter teman dari desa yang satu dengan desa yang lain.
Di akhir putaran ke-2 sampai akhir putaran 3, hampir tiap malam aku naik ke genteng musholla atau genteng kamar. Menghindari polusi cahaya, menikmati indahnya malam. Mencandu hembusan angin malam. Aku mulai terbiasa bangun malam hanya sekedar naik ke genteng. Menunggu kumandang adzan. Sambil mendengarkan suara lirih para santri yang mendaras hafalan kitab maupun quran.
Putaran keempat dan kelima. Ahad, 14 Juli 2008. Aku pergi lebih jauh lagi. Mengenal dan memahami lebih banyak karakter teman dari berbagai kota. Mempelajari kebersamaan dan organisasi. Pertama kali aku tak memiliki musuh dan tak mengenal persaingan. Kecuali persaingan dalam belajar. Aku mulai mengecap rasa penat. Dan saat-saat penat itu tiba, bagian tengah asrama yang tak tertutupi, sudah cukup tuk mengingat kembali; dingin dan indahnya malam hari.
Putaran keenam. Matahari mulai cemburu. Merajuk ingin dirayu. Hingga tak lupa saban pagi dan sore aku selalu menunggu; kehadiran dan kelenyapannya, meski hanya semu. Namun aku tetap ingat pada malam. Dan mulai berkencan pada bintang. Di teras asrama, sawung, hingga lapangan. Tak peduli kata-kata orang. Yang menganggapku kesurupan.
Putaran ketujuh. Aku mulai dengan mengenali kota yang akan kutuju. Kota selanjutnya untuk mencari ilmu. Mencari setitik modal untuk terus melaju. Selanjutnya, seminggu di rumah aku sudah tak betah. Mencari seribu satu alasan agar bisa keluar rumah. Namun tanpa susah payah, alasan itu menghampiriku dengan pasrah. Membawaku terus menjelajah ke sudut-sudut kota dengan lincah. Mengajariku mengenal masalah. Menambah pemahaman dan keyakinan tentang hakikah pendidikan dan ilmu yang cerah.
“Aku ingin pulang” menjadi suatu kalimat yang haram bagiku. Tapi bukan berarti aku tak pernah mengucapkannya. Pernah satu dua kali aku mengatakannya. Hanya sekedar obrolan ringan agar akrab dengan teman, atau merasakan empati, mencoba memaksakan diri ini mencicipi. Namun tak pernah jua aku menikmati.
Namun, tidak kali ini. Aku tak lagi menikmati kepergianku. Kata “Aku ingin pulang” begitu sangat akrab di telingaku. Saat ini, kala ku menikmati malam. Kulihat langit yang begitu lengang tanpa awan. Bulan sabit bak tergigit scorpion dengan capit(nya). Atau saat menjelang purnama dan altostratus mengerubunginya. Atau saat orion dan bintangku gemini muncul di waktu sahur. Juga kala matahari mencapai cakrawala. Meringkuk, melisut, malu karena terus dirayu. Di tengah sawah ini aku baru menyadarinya. Aku ingin pulang. Secepatnya.
Kuputar lagi enam putaran ke belakang. Dan dengan cepat kembali ke depan. Di genteng musholla, genteng kamar, di asrama, teras, sawung, dan lapangan. Aku baru sadar. Kata-kata “Aku ingin pulang” pernah bahkan terlalu sering datang. Menengok diriku dalam sendiri. Mengajakku berimajinasi; bercengkerama dengan keluarga, teriakan orang tua yang menyuruh ini-itu, canda tawa kakak dan adik yang ceria. Tapi aku selalu mengindahkannya. Lebih asyik dengan hafalan-hafalan kitab, nadzam, dan pelajaran baru yang di dapat. Rumus matematika, unsur-unsur kimia, nama ilmiah biologi, tabel akuntansi, prinsip geografi, keserasian sosiologi, dsb. Lebih tertarik dengan kebersamaan, keorganisasian, dan janji-janji masa depan.
Aku juga tak dapat memungkiri. Bahwa aku juga ingin kembali; menggeluti kitab-kitab kuning itu, membahas dan diskusi masalah-masalah fiqh, nahwu, dan shorof. Aku juga ingin kembali ke asrama. Menjalani kebersamaan, berorganisasi, membuat ide-ide besar, menagih janji-janji masa depan. Tapi, lebih jauh dari itu semua. Aku ingin pulang. Pulang ke rumah. Meski kutahu aku akan sedikit “menderita” di sana. Tapi, aku tetap ingin pulang. Hidup kembali bersama keluarga.

putaran ketujuh, derajat 60

Tuesday, August 16, 2011

17 Ramadhan

17 ramadhan diturunkan qur'an
sebagai pedoman bagi yang beriman
agar sejahtera aman sentosa
bahagia di akhirat dan di dunia
bahagia, sekali bahagia tetap bahagia
selama qur'an jadi pedoman
kita tetap setia tetap sedia
menjadikan al-qur'an pedoman
kita tetap setia tetap sedia
menjadikan qur'an pedoman

oleh : M. Wahid

Sunday, August 14, 2011

Kesadaran Burung

Kesadaran burung adalah kesadaran yang diperoleh seorang penempuh (salik) selama tahap-tahap perjalanan ruhani melampaui kedudukan (maqamat) menuju Kesatuan (Tauhid). Bagaikan seekor burung, seorang salik yang sudah mencapai tahap ini akan menyaksikan dunia sebagai tempat hinggap sementara dan dapat ditinggalkan kapan pun dikehendaki. Segala sesuatu yang terkait dengan kecintaan terhadap dunia (hubb ad-dunya) sudah menyingsing bagaikan matahari menyeruak di tengah gumpalan awan hitam. Dunia telah menjadi sesuatu yang rendah di bawahnya. Pada tahap ini sang salik akan merasakan getar-getar cinta (hubb) seorang pecinta (muhibb) untuk mengarahkan pandangan kepada Kekasih (Mahbub) sehingga yang lain (ghair) akan terabaikan.
Kesadaran adalah kesadaran sang salik melihat dunia sebagai tempat berpijak untuk hinggap, makan, istirahat, bermadu kasih, tidur, dan bersarang. Atau, kesadaran makhluk berkedudukan tinggi yang selalu mengarahkan pandangan ke hamparan kehidupan di bawahnya. Atau, kesadaran untuk selalu melimpahkan segala sesuatu dari atas tanpa pernah menengadah dari bawah. Atau, kesadaran selalu memberi tanpa meminta. Atau, kesadaran seorang yang sudah berada di ambang batas antara alam kasatmata dan alam tak kasatmata. Atau, kesadaran untuk memaknai angkasa kosong sebagai Tujuan akhir dari Kebebasan yang didambakannya, meski sayap-sayapnya telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai di muka bumi. Di atas semua gambaran itu, mereka yang sudah memliki kesadaran burung adalah cermin dari jiwa merdeka yang tak sudi bertekuk lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan sangkar emas dan limpahan makanan.
Meski kesadaran burung nilainya lebih tinggi disbanding kesadaran hewan melata dalam rentang perjalanan ruhani seorang salik, kesadaran burung masih terjenjang berdasarkan tingkat-tingkat kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna keburungan. Ada kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan (al-wahmi) memunguti serpihan-serpihan bangkai kemalasan dan cepat diri jika dipuji-puji. Ada kesadaran burung merak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang cenderung membusungkan dada dan membentangkan bulu-bulu untuk memamerkan keindahan citra dirinya sebagai yang terbaik dan terindah di antara segala burung. Ada pula kesadaran bangau yang pintar bertutur kata, namun cenderung memuji diri dan elalu memanfaatkan “udang-udang” yang percaya pada ucapannya.
Pada tingkatan-tingkatan selanjutnya ada yang disebut kesadaran burung beo, yang cenderung bangga dan berpuas diri bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu maknanya. Ada kesadaran burung pipit yang cenderung berbangga diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian membanggakan kawanannya sebagai yang paking baik dan benar. Ada kesadaran burung merpati yang meski mampu terbang tinggi dan jauh, cenderung gampang terbujuk oleh kemapanan sehingga menjadi hewan peliharaan yang jinak. Yang gagah dan terperkasa diantara kesadaran-kesadaran burung itu adalah kesadaran burung rajawali: sebuah kesadaran yang terbang tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa, berkawan kesunyian dan keheningan, bersarang tinggi di puncak tebing karang, tidak makan jika tidak lapar, tidak minum jika tidak haus, dan selalu bertasbih memuji Penciptanya dengan suara garang digetari makna rahasia: haqq… haq… haq!

Di angkasa saat ini, penuh dilintasi kelebatan burung yang mengepakkan sayap-sayapnya dengan suara gemuruh; burung gagak yang hitam, burung bangau yang putih, burung merak yang aneka warna, burung beo yang hitam dengan jambul kuning, burung pipit yang coklat, burung merpati yang kelabu, dan burung rajawali yang coklat bersalut putih.
Di tengah kelepak sayap burung-burung yang terbang memenuhi angkasa itu, tanpa terduga dan terbayangkan sebelumnya tampaklah bayangan Sang Maut membentangkan sayap di atas angkasa Nusa Jawa bagaikan bayangan burung raksasa yang mengerikan. Sepanjang jalanan, baik dengan perahu maupun dengan berjalan kaki, terdengan berbagai cerita tentang Sang Maut yang rakus dan tak kenal puas menghirup napas kehidupan yang berpusar-pusar di tengah kelebatan pedangm tombak, panah, dan keris pusaka yang tersebar di gunung, lembah, bukit, hewan, sawah, desa, dan kuta di Nusa Jawa.
Para pelaut menuturkan, meski Sang Maut tidak segenas dan serakus tahun-tahun sebelumnya, napas kehidupan yang dihirup-Nya pada tahun-tahun belakangan masih menggemakan tembang Kematian di berbagaisudut Nusa Jawa. Keberadaan-Nya laksana hamparan mendung kelabu tersalut cahaya subuh dengan berjuta sayap Kematian mengambang di cakrawala.
Sejak zaman purwakala Sang Maut telah menampakkkan kesetiaan dan kecintaan pada Nusa Jawa. Kesetiaan Sang Maut laksana kesetiaan burung raksasa Kematian di alam dongeng yang setia menunggu Pohon Kehidupan tempatnya bersarang. Selama puluhan abad Sang Maut dengan keganasan tiada tara nyaris tak pernah beranjak dari pohon Kehidupan yang disebut Nusa Jawa. Ddari waktu ke waktu, Sang Maut dengan kerakusan menakjubkan menggelar pesta darah, menyantap penghuni Nusa Jawa bagaikan burung raksasa Kematian menyantap kawanan ulat yang memenuhi penjuru pohon.
Aneh, tutur orang bijak, manusia-manusia penghuni Nusa Jawa yang bagaikan kawanan ulat itu secara ajaib tidak pernah habis, meski dijadikan santapan dalam pesta darah Sang Maut. Ulat-ulat it uterus berdatangan ke Pohon Kehidupan Nusa Jawa. Dengan beriap-riap mereka bermunculan dari pohon-pohon sekitar, seolah-olah sengaja menyuguhkan diri untuk disantap. Demukianlah, sang burung raksasa Kematian akhirnya tak pernah beranjak pergi dari Pohon kehidupan yang menyuguhkan santapan lezat. Sambil berkicau dan menjerit-jerit garang sang burung raksasa Kematian menyantap dengan lahap manusia-manusia ulat penghuni Pohon Kehidupan Nusa Jawa sebagai makanan kesukaannya.
Sejak zaman purwakala Sang Maut telah beribu-ribu kali menjadikan penghuni Nusa Jawa sebagai hidangan lezat dalam pesta darah. Tidak satupun penghuni Nusa Jawa ingat berapa kali perhelatan pesta darah dilakukan. Mereka hanya bisa menandai bahwa citra Kematian bagi penghuni Nusa Jawa adalah berwarna merah laksana darah yang tumpah dalam pesta tersebut. Sejak zaman purwakala, kegemaran Sang Maut menyantap penghuni Nusa Jawa itu digambarkan sebagai kegemaran penghuni Nusa Jawa mengunyah buah pinang dan sirih yang mengeluarkan cairan warna merah. Kematian mereka gambarkan sama merahnya dengan air kunyahan sirih dan pinang. Kematian adalah darah. Kematian adalah air kunyahan sirih. Kematian adalah air kunyahan air pinang. Kematian adalah merah. Lantaran itu, kata pejah (Jawa Kuno: mati), mengandung perlambang yang sama dengan kata peja (Jawa Kuno: pinang) yang jika dikunyah menghasilkan air berwarna merah. Kata seda (Jawa Kuno: mati) pun mengandung makna perlambang yang sama dengan kata sedah (Jawa Kuno: sirih) yang jika dikunyah mengalirkan air berwarna merah. Bagi penghuni Nusa Jawa, Kematian adalah darah merah. Darah adalah Kematian. Kematian adalah merah. Merah adalah Kematian.

dikutip dari: Sunyoto, Agus. 2004. "Suluk Malang Sungsang Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar". Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Friday, July 29, 2011

MAAF

saat malam mulai menjelang
dengan bulan dan gugsan bintang
kau selalu datang
menunggu keinginan seseorang

hingga kala malamku yang gelisah
aku datang padamu dengan pasrah
kemudian aku mendesah
dan dirikupun basah

isak tangis tak terhentikan
tersedu dan pilu penuh penyesalan
tak bisa berharap kau memaafkan
pasti akan minta pertanggungjaawaban

aku merasa hina
menjadi tak berharga
dihadapan sang pencipta
tak lebih mulia dari makhluk lainnya

akupun merunduk malu
merasakan sayat sembilu
bisakah kau memaafkanku
meski begitu besar salahku?

LOVE U

dari timur sampai barat
akhirnya hatiku terpikat
aku slalu ingin dekat
sampai nyawa tercekat

...dari utara ke selatan
kini tlah kutemukan
sesosok damba dan pujaan
membuat jantung deg-degan

apalah arti kata-kata
meski terus memuja
namun tak dapat dipercaya
bahkan kadang tak bermakna

tapi mulutku tak mau berhenti
mengucap puja dan puji
yang kadang tak berarti
untukmu, hai kasih hati

Wednesday, June 15, 2011

UNTUK KITA RENUNGKAN

Pagi itu, Ahad, sang surya baru saja bersinar. Udara Jakarta yang biasa berselimut polusi, masih terasa agak segar. Supriono (38 th.) dan putera sulungnya, Nuriski Saleh (6 th.), bergegas mendorong gerobaknya meninggalkan lorong rel keretaapi Cikini, tempat mereka biasa memejamkan mata tiap malam menjelang. Gerobak itu berjalan pelan menuju Manggarai. Di dalamnya tergeletak lemah putri Supriono, Nur Khairunnisa (3 th.). Sudah empat hari ini adik Nurizki berjuang melawan muntaber. Meski begitu, mereka tak surut mendorong gerobaknya menelusuri jalan-jalan ibu kota, keluar masuk komplek permahan, perkampungan, pasar dan tempat-tempat lain. Mereka berharap masih ada sekeping rezeki dari mengumpulkan kardus bekas, botol plastik, dan barang bekas lainnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Supriono berharap kardus dan barang-barang loak yang terkumpul hari ini, bisa digunakanya untuk biaya si kecil berobat ke puskesmas esok hari. Nisa memang sudah dibawa ke Puskesmas Setia Budi, Jakarta Pusat, tiga hari yang lalu. Tapi, ketika obatnya sudah habis, derita Nisa belum berkurang juga. Biaya berobat ke puskesmas memang cuma empat ribu, tapi uang sebanyak itu oleh Supriono terasa berat mencariya. Beralas karton kotor, berselimut sarung dekil, tanpa bantal dan guling, tubuh mungil gadis kecil itu terguncang-guncang ketika gerobak melintasi jalan berlubang. Sesekali kakaknya, Nurizki, mengajaknya bermain, tapi Nisa tidak menanggapinya. Paling-paling ia merengek pada kakaknya minta minum, satu-satunya yang tersisa untuk mengganjal perut di kala pagi.
Tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan Manggarai. Jarum jam menunjukkan angka 07.00 WIB. Supriono terkesima melihat putri kecilnya, tiba-tiba terdiam tak bergerak. Mata mungilnya juga tak berkedip dan desah nafasnya berhenti. Supriono bergegas menghentikan gerobaknya, dirabanya urat nadi di pergelangan tangan, terus bergeser meraba urat nadi di leher, namun tak ada denyutnya lagi. Spontan bibir pria yang sudah lama menduda ini bergetar mengucap kalimat Innaalilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Sambil memeluk jasad puteri tercintanya, air mata Suoriono bercucuran membasahi wajahnya yang terlihat kian berat menanggung beban hidup. Setelah berjuang melawan ganasnya bakteri penyebab muntaber, Nisa akhirnya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa siapapun di sampingnya, kecuali ayah dan kakaknya. Ibundanya, Turiyem (30 th.),sejak berpisah dengan Supriono setahun lalu, tak diketahui di mana rimbanya. Perempuan ini tak sanggup menjalani hidup penuh derita bersama suaminya. Ia lebih memilih berpisah dan meninggalkan kedua anaknya.
Supriono masih memeluk putrinya. Sementara itu, Nurizki masih asyik bermainpmain dan tak mengerti mengapa ayahnya menangis sambil memeluk adiknya. Uang di saku Suriono hanya tinggal Rp. 6000. Uang dalam jumlah itu terntu tidak cukup untuk membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan dan biaya penguburannya. Pikiran Supriono terambing-ambing mencari pijakan dalam mengambil keputusan. Setelah meletakkan mayat Nisa di gerobak, Supriono mengajak Nurizki mendorong gerobaknya menuju stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan jasad buah hatinya ini di perkampungan pemulung, Kramat, Bojong Gede, Bogor. Pria yang hanya tamat Sekoolah Dasar ini berharap akan memperoleh bantuan dari para rekannya, sesama pemulung.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Matahari mulai menyengat kulit. Supriono, Nurizki, jasad Nisa dan gerobaknya tiba di stasiun Tebet. Sarung kumal dan bau yang selama ini menyelimuti tubuh Nisa digunakannya untuk menggendong mayat. Meski begitu, kepalanya dibiarkan terbuka dan kakinya terbujur kaku. Dengan bermandikan peluh, Supriono dan Nurizki terus mengayunkan langkah mencapai tujuan.
Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berdiri di stasiun menunggu datangnya KRL jurusan Bogor. Ketika KRL datang, tiba-tiba seorang pedagang teh botol, menanyakan keadaan putrinya itu. Dengan polos, Supriono menjawab bahwa puterinya sudah meninggal dunia dan akan dikuburkan di kampung Kramat, Bogor. Mendengar penuturan itu, puluhan calon penumpang dan para pedagang asongan pun geger. Seseorang kemudian menghubungi Pos Polisi Tebet. Supriono diperiksa di Pos Polisi itu selama lebih dari empat jam. Ia hanya pasrah dengan keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian terhadap dirinya. Jasad Nisa kemudian dibawa ke RSCM untuk keperluan otopsi.
Sementara itu, Nurizki masih saja belum mengerti bahwa adiknya telah meninggal dunia. Ia tetap bermain-main sambil memegangi tangan adiknya yang terbujur kaku. Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berjalan kaki menggendong mayat putrinya keluar dari kamar mayat. Beberapa warga yang melihat langsung jatuh iba. Mereka kemudian memberikan bantuan ala kadarnya kepada Supriono. Supriono masih berniat menguburkan puterinya di kampung Kramat, Bogor dengan menumpang KRL. Namun akhirnya ia memutuskan menguburkan jasad Nisa di Manggarai. Dengan bantuan dari beberapa orang rekan, akhirnya Supriono berhasil menguburkan jasad Nisa. Ia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada para sahabatnya dan seluruh warga yang telah turut serta pada proses penyelenggaraan fardu kifayah Nisa. Ia tidak bisa membalas kebaikan warga. Yang bisa ia berikan hanyalah do’a keselamatanagar Allah senantiasa membukakan pintu rezeki kepada mereka.
Kisah Supriono ini perlu untuk menjadi renungan bagi kita semua. Dia dan kedua anaknya adalah salah satu contoh dari orang-orang kecil yang bertarung melawan tajamnya taring-taring kehidupan. Sesungguhnya masih banyak kasus yang sama kita temukan di berbagai sudut kehidupan. Nur Khairunnisa, puteri Supriono, adalah salah satu contoh dari seorang anak yang nyawanya direnggut ganasnya bakteri muntaber. Ironisnya, sejarah hidup mereka yang kelam harus dijalani di tengah para hartawan yang bergelimang materi, cerdik cendekiawan yang berilmu tinggi, para pejabat yang bisa menghitam dan memutihkan kebijakan, atau para rohaniwan yang begitu dekat dengan Tuhannya.
Orang-orang seperti Supriono sering dianggap sebagai sebuah obyek mati yang selalu menjadi konsumsi hangat di seminar-seminar, dialog kemiskinan, pengajian, atau santapan empuk menjelang pemilu. Setelah semuanya usai, Supriono pun ditelan derasnya arus kehidupan kota metropolitan. Ia tidak lagi dilirik, apalagi diperhatikan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia merupakan salah satu korban keganasan “singa-singa” intelektual dan spiritual yang selalu menyanyikan kepedulian sosial, tapi di sisi lain mengkhianatinya.
Jika potensi yang terdapat pada para hartawan, cerdik cendekia, para pejabat, dan para rohaniwan disatukan untuk mengatasi kasus-kasus Supriono, kita optimis, kasus itu tidak akan kita temui lagi, minimal dapat ditekan. Persoalannya hanya terletak pada tekad yang bulat dan kemauan keras untuk menjalankannya. Masing-masing tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Ibarat kata pepath, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Betapapun beratnya beban hidup yang dijalani oleh orang-orang seperti Supriono, semuanya akan dapat dipikul asal ada kebersamaan.
Jauh sebelum orang-orang seperti Spuriono dan kedua anknya dibicarakan secara hangat di berbagai forum resmi, Rasulullah ddan para sahabatnya sudah melakukannya. Nabi yang mulia meletakkan mereka laksana sebuah mutiara yang begitu berharga. Mereka juga dianggap sebagai tangga suci untuk mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci. Rasulullah amat mencintai orang miskin seperti Supriono. Beliau ama senang berada di tengah komunitas mereka. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku dalam keadaan miskin. Dan kumpulkan aku pada hari kiamat beserta orang-orang miskin.” Rasulullah juga melihat bahwa jasa yang diberikan oleh orang-orang miskin amat besar. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, “Bukankah kalian ditolong Alah karena jasa orang-orang miskin?”
Pada suatu hari Rasulullah bercerita tentang orang-orang yang mencapai derajat tinggi. Karena orang itu, Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Jika mereka datang ke suatu tempat, Allah akan menyelamatkan tempat itu dari tujuh puluh bencana. Setelah itu Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian bagaimana mereka bisa mencapai derajat sampai setinggi itu? Mereka mencapainya bukan karena banyaknya shalat dan haji, mereka mencapai derajat itu karena dua hal; pertama, al-sakhawah (kesederhanaan) dan kedua, al-nashihah lil Muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama Muslim).”
Setiap tahun kaum Muslimin melaksanakan ibadah haji. Mereka khawatir, jika belum haji, kelak mereka mati dalam keadaan seperti orang Majusi dan Nasrani. Seharusnya mereka juga berfikir, bagaimana jika mereka mati sebelum membantu Supriono dadn rekan-rekannya yang lain? Mungkin mereka akan mati seperti orang Majusi dan Nasrani, atau lebih hina lagi. Melalui ucapannya yang suci Rasulullah bersabda, “Memenuhi keperluan seorang Mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar.” Dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Jika seorang Muslim berjalan memenuhi keperluan seorang Muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Supriono dan kedua anknya, Nurizki Saleh dan Nur Khairunisa, bukan kelompok manusia yang harus kita benci. Mereka bukan sampah pembangunan yang harus kita kubur seperti barang loak yang lain. Mereka bukan pila kotoran-kotoran Ibu Kota yang membuat wajah kita malu jika ada tamu kenegaraan berkunjung. Rasulullah menyebut mereka sebagai mutiara berharga dan tangga suci menuju Allah. Marilah kita memuliakan mereka. Marilah kita beribadah kepada Allah dengan membantu mereka, seperti keikhlasan kita mendekatkan diri kepada Allah dengan menunaikan shalat dan haji. Kisah sedih Supriono itu hendaknya bisa kita jadikan renungan berharga kini dan mendatang. Wa Allahu a’lam.

Qarib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal: 55-62.

Tuesday, June 14, 2011

DEKONSTRUKSI IBLISISME

“Saya atas nama iblis, dengan ini menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa. Keputusan ini saya ambil dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan dan intimidasi dari manapun. Saya merasa sedih bukan karena saya harus kehilangan profesi untuk menggoda manusia, tetapi amat ngeri melihat manusia yang telah sukses besar melakukan transformasi budaya dengan mengadopsi nilai-nilai keiblisan secara sempurna. Bahkan kesempurnaan itu, merela tidak lagi membutuhkan mentor dan fasilitator kejahatan semacam saya, iblis yang celaka ini.”
“Saya sangat sedih, bukan karena bangsa manusia itu meninggalkan saya. Tetapi justru karena para manusia itu kini sudah memiliki izin resmi untuk membuka kursus, bimbingan-bimbingan belajar, dan sekolah kepribadian bagaimana seharusnya menjadi iblis yang handal. Dan yang paling mengagumkan, nilai-nilai iblisisme itu sudah menjadi kepribadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi yang lengkap dengan kurikulum serta juklak dan juknisnya.”
“Manusia kini telah jauh melangkahi saya. Pemikiran mereka jauh lebih cemerlang. Segala tindak penyimpangan mereka jauh lebih rapi dan lebih sestematis. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan mengapa manusia tidak lagi takut kepada iblis semacam saya. Iblis sudah menjadi masa silam dalam sejarah peradaban dan sejarah kebiadaban manusia. Ahli waris satu-satunya, untuk meneruskan estafetnya, adalah manusia. Oleh sebab itu, sekali lagi saya tegaskan, atas nama iblis saya menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa.”
“Maklumat” itu merupakan kisah fiktif yang seolah-olah menunjukkan kekecewaan besar iblis kepada manusia. Iblis merasa bahwa manusia merupakan saingan utamanya yang secara nyata sudah jauh melampauinya. Benarkah manusia merupakan “saingan utama” iblis untuk menggoda manusia dalam berbuat dosa dan pelanggaran?
Jika kita menelaah salah satu firman Allah di dalam al-Qur’an, ternyata manusia disebutkan sebagai salah satu jenis jkin yang buruk (iblis) yang selalu menebarkan waswas (bisikan) ke dalam dada manusia lainnya (QS. An-Naas/114:4-5). Berdasarkan ayat itu tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa manusia merupakan saingan iblis. Bahkan di dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa manusia yang boros merupakan saudara-saudara setan (iblis) (QS. Al-Israa/17:27). Dengan demikian, secara karakteristik, benar adanya manusia adalah saingan dan saudara-saudara iblis. Keduanya berlomba-lomba dalam keburukan. Apakah semua manusia demikian?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua jenis makhluk yang sifat-sifatnya perlu dipahami. Makhluk yang pertama bersifat pasti dan yang kedua bersifat mungkin. Malaikat dan iblis adalah makhluk yang bersifat pasti. Melaikat pasti bersifat benar sedangkan iblis pasti bersifat salah. Bagaimana dengan manusia? Manusia adalah makhluk yang bersifat mungkin. Mungkin ia benar dan mungkin ia salah.
Sebagai makhluk kemungkinan, manusia diberikan otoritas penuh untuk mengarahkan visi hidupnya. Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan manusia mungkin bisa benar dan mungkin bisa salah. Jika manusia bisa memanfaatkan kesempurnaan pencitaannya untuk mengabdi kepada Allah maka ia akan benar. Sebaliknya, jika kesempurnaan itu tidak dapat deberdayakan secara baik maka ia akan menjadi makhluk yang hina (QS. At-Tin/95:4-5).
Dari kemungkinan-kemungkinan itu, manusia yang akan menjadi saingan dan saudara-sadara iblis adalah yang mempunyai sifat tercela sebagai berikut; Manusia yang menimbulkan kekacauan (QS.al-Baqarah/2:11-12),; manusia yang selalu menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya dan amat sombong ketika berjalan di muka bumi (QS. Al-Baqarah/2:34); manusia yang enggan bersujud dan enggan melaksanakan perintah Allah (QS. Al-Hijr/15:28);manusia yang mendukung dan cinta kepada kesesatan (QS. Al-Hijr/15:44); manusia yang merasa lebih baik daripada yang lain (QS. Shad/38:76); manusia yang selalu mengajak orang lain berbuat maksiat (QS. Shad/38:82); manusia yang terlalu bangga dengan status sosialnya (QS. Al-A’raaf/7:12); manusia yang terlalu cinta dengan harta benda (QS. Al-Israa’/17:64); manusia yang selalu mengumbar janji namun tidak pernah ditepati (QS. Al-An’aam/6:112); manusia yang lari dari tanggung jawab (QS. Al-Hasyr/59:16); manusia yang selalu mencela orang lain dan memberikan gelar buruk kepada orang lain (QS. Al-Hujuraat/49:11); manusia yang selalu berburuk sangka dan manusia yang selalu menggunjingkan keburukan orang lain(QS. Al-Hujuraat/49:12); manusia yang selalu mengungkit pemberiannya kepada orang lain serta manusia yang selalu merendahkan orang lain (QS. Al-Humazah/104:1).
Jika berbagai macam sifat tercela itu ada di dalam diri manusia, sudah bisa dipastikan bahwa ia merupakan saingan dan saudara-saudara iblis. Iblis, bagaimanapun, akan selalu mengarahkan manusia agar memiliki “ideologi” yang sama seperti dirinya. Barbagai macam cara upaya dihalalkan, mulai dari yang samar sampai yang jelas. Tujuanya agar nilai-nilai iblisisme (paham keiblisan) bersemayam dengan kokoh di dalam dada manusia. Lebih parah lagi, terkadang iblisisme disampul rapi dengan muatan moral-spiritual. Hal itu hanyalah untuk menampilkan wajah iblisisme agar terlihat ramah dan menjanjikan.
Sejalan dengan hal ini, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam diri manusia ada sebuah kekuatan yang ia istilahkan dengan quwwatun syaithaniyah (kekuatan setan). Kekuatan setan itu seperti anak bayi yang menyusu kepada ibunya. Jika sang ibu tidak menyapihnya, maka sang bayi akan menjadi besar dan kuat. Begitu pila dengan quwwatun syaithaniyah, jika ia tidak segera dibersihkan maka ia akan menjadi besar dan boleh jadi menjadi darah daging di dalam diri seseorang. Upaya membersihkan quwwatun syaithaniyah itulah yang disebut dengan dekonstruksi iblisisme.manusia yang sanggup untuk mendekonstruksi iblisisme merupakan “lawan politik” iblis. Pada tataran ini, manusia mungkin bersifat benar.
Tuhan mempunyai sifat-sifat terpuji sebagai kebalikan dari sifat-sifat iblis yang tercela. Sifat-sifat ke-Tuhanan itu disebut dengan lahut. sifat lahut harus ditanamkan di dalam jiwa manusia agar ia bisa melawan sifat-sifat iblis secara maksimal. Apakah di antara sifat lahut tersebut? Tuhan adalah Zat Yang bersifat Pengasih dan Maha Penyayang (QS. Al-Fatihah/1:1); Dia Maha Pemberi Maaf dan Maha Penerima Taubat (QS. Al-Baqarah/2:37); Dialah Sang Pemberi ketentraman dan keamanan (QS. Al-Hasyr/59:23); Dia Sang Pemberi rezeki (QS. Az-Dzaariyyaat/51:58); Dia Yang Maha Mrmuliakan (QS. Ali-Imran/3:26); Dialah Yang Maha Penyantun (QS. At-Taubah/9:114); Dialah Yang Maha Pembalas Jasa (QS. Faathir/35:30); Dialah Yang Maha Bijaksana (QS. Al-An’aam/6:83).
Beberapa sifat Tuhan (lahut) yang disebutkan itu harus ditransformasikan secara kokoh di dalam kepripadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem-sistem yang lain. Dengan demikian dekonstruksi atas nilai-nilai iblisisme menjadi kenyataan. Iblis kelihatannya amat sedih karena perannya diambi alih oleh manuia. Sebenarnya tidak demikian. Ia malah merasa amat bahagia karena berhasil melahirkan “para tokoh pergerakan” seperti dirinya. Sifat iblis itu digambarkan seperti Pindar, seorang ahli hikmah, sebagai orang yang selalu menolak kejelekan secara lisan, tetapi mencarinya dalam tindakan dan memuji keindahan secara lisan namun menghindarinya dalam tindakan. Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 41-46.

UJIAN-UJIAN ALLAH

Sesungguhnya Allah menjadikan kegembiraan dan kesedihan, kekayaan dan kemiskinan, keramaian dan kesendrian, kehidupan dan kematian, kecintaan dan kebencian, keberanian dan ketakutan, kekurangan dan kecukupan, sebagai ujian kepada manusia. Ujian bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas diri seseorang. Ujian bukan sesuatu yang mesti dikhawatirkan. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah rasa takut untuk menghadapinya. Ketakutan dalam menghadapi ujian merupakan preseden buruk bagi diri seseorang. Sebaliknya, keberanian dan ketabahan merupakan preseden yang akan mengantarkan seseorang merasakan kebahagiaan sejati.
Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan diri seseorang. Ujian akan diberikan berdasarkan tingkat keimanannya. Seperti dalam dunia pendidikan, siswa kelas satu Sekolah Dasar tidak mungkin mendapatkan materi ujian yang seharusnya diberikan kepada siswa Sekolah Menengah Pertama, begitulah seterusnya.materi ujian amat ditentukan oleh tingkat pendidikan mereka. Begitu pula dengan ujian dari Allah, materinya amat ditentukan oleh kualitas keimanan seseorang kepada Allah. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang, semakin berat pula ujian yang akan dihadapinya. Rasulullah bersabda, ”Manusia yang paling berat ujiannya adalah Nabi, kemudian orang-orang sholeh yang meneladaninya. Seseorang akan diuji berdasarkan kekuatan imannya, apabila imannya kuat maka dia diuji menurut kadar kekuatannya; dia akan diuji terus sehingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih.”
Ujian Allah berwujud dalam dua hal; kesedihan dan ada kesenangan duniawi. Keduanya amat berat, namun jika kita mampu untuk mengawasi salah satu atau keduanya, maka kualitas diri kita akan semakin baik di hadapan Allah. Perlu untuk kita renungkan pula, ujian kesedihan banyak yang mengantarkan seseorang semakin dekat dengan Allah. Sebagai contoh, orang yang salah satu anggota keluarganya atau orang-orang yang tercinta meninggal dunia, biasanya dia amat merasa dekat demgan Allah. Dia berdoa mudah-mudahan amalan almarhum/almarhumah diterima dengan layak di sisi-Nya. Seseorang yang menderita suatu penyakit, selain berusaha menghilangkan penyakit itu dengan pergi ke dokter, dia juga akan berdoa kepada Allah agar penyakit itu cepat dihilangkan.
Bagaimana dengan ujian Allah yang berwujud kesenangan duniawi? Banyak yang berhasil menghadapinya, tapi tidak sedikit di antara orang-orang itu yang lupa diri. Dia tidak sadar bahwa kesenangan duniawi yang ada di tangannya itu merupakan ujian dari Allah. Masih ingatkah kita dengan ujian kemiskinan yang dihadapi sahabat Rasulullah Tsa’labah? Ketika miskin, ia selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kaya, ia jarang sekali bahkan lupa shalat berjamaah di masjid. Kesenangan duniawi menyebabkan ia lupa bersimpuh di hadapan Tuhanyna. Tsa’labah adalah salah satu contoh dari orang-orang yan gagal menghadapi ujian Allah. Pada zaman modern ini, Tsa’labah Tsa’labah lain mudah sekali kita jumpai. Mereka memang tidak bernama Tsa’labah, namun sikap dan perilakunya sama seperti Tsa’labah yang sebenarnya. Hanya nama dan zamannya saja yang berbeda. Ketika masih miskin ia hamba Allah yang sejati. Namun ketika sudah kaya ia menjadi hamba harta.
Benarlah yang difirmankan Allah bahwa kesenangan hidup duniawi (baca:harta) itu merupakan fitnah yang harus diwaspadai. Fitnah di sini bukan berarti berita bohong yang disampaikan seseorang untuk menyudutkan orang lain, “Sesungguhnya harta kamu, dan anak-anak kamu adalah ujian....” (QS. At-Taghabun/64:15). Kita tidak boleh membenci harta duniawi, bahkan harta itu harus dikejar. Tapi bukan berarti harta itu tujuan utama. Tujuan mengejar harta dunia adalah agar kita dapat menjadikan harta itu sebagai mediator (penghubung) antara kitra dengan Allah. Bukan berarti setelah harta kita dapatkan, harta itu semakin melalaikan kita kepada-Nya.
Allah selalu memberikan ujian kepada kita dalam berbagai bentuk. Ada ujian berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda dunia, kekurangan jiwa, dan kekurangan buah-buahan. Ujian ketakutan bisa berwujud dalam berbagai hal; takut kematian, takut kehilangan orang-orang yang dicintai, takut kehilangan jabatan, takut kehilangan harta benda, takut kehilangan rekan-rekan bisnis. Ujian kelaparan bisa berwujud melalui kekhawatiran akan kekurangan bahan makanan, kehilangan pekerjaan, sehingga tidak bisa memberi makan anak istri, keluarga, maupun karib kerabat. Ujian kekurangan harta benda dunia bisa berwujud dalam sedikitnya harta yang berada di tangan, rugi dalam berdagang, terkena bencana kebakaran, maupun banjir. Ujian kekurangan jiwa bisa berwujud keresahan hati, dalam segala keadaan. Sementara kekurangan buah-buahan bisa berwujud dalam kekurangan buah-buahan dalam arti sesungguhnya atau kiasan, tidak terwujudnya cita-cita yang diharapkan.
Ragam ujian Allah itu harus disikapi dengan penuh ketabahan. Tidak akan mampu menyikapi ujian-ujian itu dengan baik kecuali orang-orang yang memang kualitas dirinya terjamin. Terkait dengan hal ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Sungguh, Kami pasti akan menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaalillahi wa inna ilaihi raaji’un / sesungguhnya kami adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dari rahmat Tuhan (Pendidik dan Pemelihara) mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Orang arif dan bijak adalah mereka yang mampu untuk mengambil berbagai butiran hikmah yang terbesar di sebalik ujian-ujian Allah. Bagi mereka, ujian-ujian Allah bukan merupakan peristiwa-peristiwa mati yang berlalu begitu saja tanpa pelajaran berarti. Sebaliknya di sebalik taring-taring ujian, dalam beragam bentuknya, menunggu kebahagiaan terdalam yang dibentangkan Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melaluinya. Di ujung ujian-ujian itu pula, Allah memberikan penghargaan yang begitu tinggi atas keberhasilan mereka. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang shaleh akan diberikan mushibah berat (ujian) atas mereka. Dan tidaklah orang mukmin tertimpa suatu mushibah, tertusuk duri atau lebih ringan dari itu kecuali akan dihapuskan dosa-dosanya dan akan ditinggikan derajatnya.”
Kesabaran adalah modal dasar dalam menghadapi berbagai macam ujian. Kesabaran bukan merupakan sesuatu yang hanya indah diucapkan lewat perkataan dan dibahas secara mendalam dalam berbagai keadaan. Lebih dari itu, kesabaran harus dibuktikan secara konkrit dalam menghadapi ragam ujian Allah. Pembuktian itu merupakan cermin kualitas kemanan seseorang. Selain derajat tinggi, Allah juga menjanjikan kemudahan dalam segala hal bagi orang-orang yang sabar. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan (ujian) itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah:5). Setiap kesulitan pasti ada kegembiraannya. Ahli hikmah mengatakan, “Banyak kenikmatan yang dilipat diantara taring-taring bencana. Banyak kegembiraan yang menghadap arah dimana di sana beberapa mushibah telah menanti. Maka bersabarlah atas beberapa ujian yang terjadi pada masa-masamu, karena segala sesuatu ada hikmahnya. Setiap kesusahan itu ada kegembiraannya.”
Dalam menyampaikan dakwahnya, Rasulullah kerap menerima ujian yang amat berat; mulai dari kehilangan orang-orang tercinta sampai dilempari batu dan kotoran unta. Dalam keadaan demikian, beliau tulus ikhlas menerimanya. Setelah ia wafat, sebagai konsekuensinya, islam tersebar luas di seluruh dunia. Tidak hanya pengikut beliau, orang-orang yang pada awalnya memusuhi Islam bertekuk lutut dengan kebesaran dan kesabarannya. Begitu pula dengan Rasul Allah yang lain, Nabi Sulaiman, yang tidak lekang di panas dan lapuk di hujan di saat menerima berbagai macam kebesaran da kelebihan harta duniawi. Kesenangan itu tidak melengahkannya untuk selalu mensyukuri nikmat Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Nabi Sulaiman sadar, kekuasaan dan segala kesenangan yang ada di tangannya adalah ujian untuk meningkatkan derajat dirinya di hadapan Allah. Tidak ada ucapan apapun selain perkataan mulia yang terlontar dari lidahnya yang suci, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kepada kedua orang tuaku dan agar aku mngerjakan kebajikan yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. An-Naml/27:19).
Boleh jadi ujian kesedihan yang diberikan Allah kepada kita memberikan kebahagiaan hakiki, walaupun ujian itu tidak kita harapkan atau mungkin amat kita benci. Sebaliknya, harta benda yang selalu kita anggap sebagai sesuatu yang memberikan kebahagiaan dan kesenangan, boleh jadi akan menjerumuskan diri kita sendiri. Karena kita lalai, sesungguhnya harta benda itu merupakan ujian yang menuntut kewaspadaan kita. Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2:216). Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 17-24.

Monday, June 13, 2011

MOMENT

Detik berdetak. Roda waktu terus berputar. Menceritakan takdir yang telah ditentukan. Menguak rahasia yang tersembunyi. Waktu telah mempertemukan kita. Di tempat yang tak pernah kita sangka bahwa kita dapat mencapainya. Tempat dimana kita mencari segunung ilmu bersama, mendapat pengalaman yang tak terduga-duga. Kebahagiaan, kebersamaan, kesedihan, kita lalui bersama. Terus bersama-sama. Hingga kita tak sadar waktu.
Tapi, waktu tetap berputar. Tak pernah berhenti. Menampakkan semua ketidakpastian. Tak mengenal toleransi. Tak mengindahkan keinginan terus bersama. Dan kini dia pula yang memisahkan kita.

Mungkin aku tak ikut merasakan bagaimana rasanya dimarahin dan diteriakin kakak-kakak tatib. Tidak menikmati pengalaman PTS yang katanya serba tujuh menit. Sampai-sampai aku banyak melakukan pelanggaran di hari pertamaku; makan di meja cewek, nginjek rumput, ngga’ salam, bahkan ngga’ ke masjid.
Hari-hari selanjutnya kita bersama-sama menempuh dan menjalani matrikulasi, post-test, dan pre-test. Kita belajar di tengah kesibukan baru kita. Mulai mencari teman yang cocok, mengikat ikatan-ikatan baru yang sebelumnya kita tak tahu bahwa ikatan itu akan sulit dilepas. Saling membantu dan mengingatkan saat-saat TB, remed, MID, UAS, dsb. Saling memotivasi, memberi nasehat, dan saran untuk masuk IPA/IPS. Dan pada tahun pertama ini, kita harus sudah berpisah dengan lima orang teman kita.
Tahun kedua, ikatan itu semakin berakar banyak dan semakin kuat. Kita mulai berkecimpung dalam organisasi. Menghadapi dan menyelesaikan masalah, mencari solusi yang terbaik. I-Fun, dengan bidadari-bidadarinya, CIRENG, dimana NASACOM vs SOSCOM, AXIVIC Cup, dengan hujan yang mengganggunya, GAKIC, Sonlis, dengan bomber man-nya, I-Care, PTS, dsb. Katanya di tahun inilah masa-masa indah anak remaja. Setelah saling kenal dan mengelompok, terjalinlah ikatan-ikatan yang ingin lebih direkatkan, yang pada akhirnya kita harus berpisah lagi dengan dua orang teman kita. Dan di tahun ini, kita berpisah ladi dengan enam orang teman kita.
Tahun ketiga, kita masih membuat masalah dengan “festifal ramadhan”. Dan kita menerima hukuman atas nama angkatan. Tapi, setelah itu kita berjanji untuk tetap berseratus sembilan. Berjuang bersama menghadapi hari-hari yang penuh belajar, belajar, dan belajar.
Kawan. Begitu banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan bersama AXIVIC. Kebersamaan dalam kesusahan, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai rasa lainnya. Baru kemarin kita berpisah, tapi rasanya telah berabad-abad lamanya. Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Penyesalan jangan dipikirkan. Hari ini memori baru. Persiapkanlah yang terbaik untuk masa depan.
Kawan. Pasti kau pernah berjalan-jalan. Entah bersama teman atau keluarga. Bertamasya ke puncak gunung atau pantai. Menikmati keindahan alam ini.
Kawan. Mungkin kau bisa mengatakan aku adalah pemandangan laut dan gunung itu. Dari kejauhan begitu tampak indah memesona. Tapi saat kau melihatnya lebih teliti lagi, pasti kau akan membalikkan muka. Tak sudi menatapnya atau bahkan mendekatinya. Bukankah banyak orang yang mengagumi indahnya laut beserta ombaknya dari kejauhan? Tapi saat mencoba mendekatinya, mereka takut. Lalu menjauh. Tak berani mendekat lagi. Bukankah orang-orang juga mengagumi keindahan gunung dari kejauhan? Tapi sejatinya, saat mereka menghampirinya, mendakinya, gunung itu tak lain hanyalah seonggok batuan yang tidak rata. Sehingga semua orang hanya menginjak-injaknya. Justru menikmati keindahan di luar gunung itu sendiri. Bahkan semua orang akan lebih senang jika dia telah berhasil menginjakkan kakinnya tepat di kepalanya.
Bahkan semua orang mengetahui bunga mawar itu indah. Tapi bagi orang yang belum mengenalnya, dia akan melempar mawar itu saat memetiknya. Karena terkena duri-duri yang tajam dibalik keindahannya.
Begitulah hakikatnya diriku. Jika kau ingin mengenalku, maka jangan kaget saat melihat duri pada diriku. Dan cobalah mengenali keindahan-keindahan lain yang berada di luar sana. Yang membuat hatimu bahagia. Karena sebenarnya jika mau merenungi dan menikmati, keindahan itu berada dalam hati masing-masing manusia. Tidak hanya keindahan, tapi juga kebahagian yang selama ini mereka cari.
Kawan. Kini perpisahan telah tiba. pertemuan dan perpisahan sudah menjadi lumrah kehidupan. Tanpa pertemuan, tidak akan terjadi perpisahan. Perpisahan juga membuka peluang untuk pertemuan yang lain.
Pertemuan selalunya mewujudkan perkenalan. Tetapi perpisahan tidak semestinya memutuskan persahabatan.
Setiap pertemuan berlaku meninggalkan kenangan. Tetapi setiap perpisahan tidak semestinya memadamkan memori lalu.
Kadang-kadang, pertemuan yang sebentar lebih memberi makna berbanding pertemuan yang tiada kesudahan. Namun, perpisahan dalam tempo singkat menghadirkan rasa rindu yang berkepanjangan.
Ketika tiba saat perpisahan, janganlah kalian berduka. Meski sebenarnya diriku pun tak bisa juga menahan tetes air mata. Sebab apa yang paling kalian kasihi darinya, akan lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung yang nampak lebih agung, terlihat dari padang dan dataran.
Kawan. Kini aku ingin berpesan padamu. Aku ingin engkau benar-benar menggunakan jembatan-jembatan emas ini untuk terus maju ke depan. Melacak sendiri masa tua. Jembatan-jembatan yang akan menuntun kalian menuju masa yang telah dijanjikan. Dan janganlah mengubahnya menjadi tembaga yang tiada guna. Yang akan menyesatkanmu dari jalan yang sebenarnya. Tapi, aku juga tak ingin engkau berkecil hati. Sebab emas akan tetap emas meski di dalam lumpur. Tetap menjadi yang berharga bagi yang memilikinya.
Dan terakhir kawan... aku ingin berkata padamu. Kuucapkan terima kasih atas kebersamaan kita selama ini. Persahabatan kita selama ini. Aku sadar begitu banyak segala salah dan dosa di balik langkah hitamku. Maka tak ada kata yang tepat untuk aku katakan, selain; Maafkanlah aku,,, kalau sempat tatap mataku tak sengaja menamparmu.

Monday, March 21, 2011

Emang Kamu Tahu?

Semua orang sibuk merapikan barang. Mencari nomor kursi yang tercantum dalam tiketnya masing-masing. Aku memilih duduk di samping jendela. Berdua dengan temanku, Udin. Tak lama kemudian kereta mulai berjalan, menembus kesunyian malam.
“Fik, coba bandingkan dengan kereta ekonomi! Jauh sekali!” kata Udin. “Di sini kita bisa istirahat langsung. Tidak usah bersusah payah mencari tempat yang nyaman.” tambahnya.
“Iya... berbeda 180 derajat” kataku. Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di kepalaku saat pulang bersama naik kereta ekonomi. Berdesak-desakan. Mencari tempat yang nyaman. Tapi, itu dulu. Kali ini kami ingin berbeda. Setidaknya, setelah wisuda ini kami pulang bersama naik kereta bisnis. Menikmati yang lebih baik daripada kereta ekonomi. Di sini tak ada pedagang asongan yang lalu-lalang di setiap gerbong, di setiap waktu. Mungkin hanya sesekali saja saat berhenti di stasiun. Itupun kalau stasiunnya besar dan berhentinya lama. Kemudian, kemungkinan kecopetan kecil. Karena kami sudah pasti mendapat tempat duduk. Tidak seperti di kereta ekonomi yang harus berdesak-desakan.
Tanpa kusadari Udin telah terlelap. Terbang bersama mimpinya. Kulihat guratan lelah di wajahnya. Ah.... Rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Belajar bersama. Berorganisasi dan sebagainya. Tapi waktu tak pernah ingkar janji. Perpisahan itu pasti ada.
*********************************
Aku turun dari kereta api. Lelah. Punggungku terasa pegal semua. Kereta itu melanjutkan perjalanannya. Melewati rel panjang yang memotong hamparan alam. Aku berfikir, andai saja hidup itu seperti melewati rel, akankah manusia bisa menikmati kehidupannya yang tanpa halangan? Aku tersadar dri lamunnku. Karena semua yang sbelumnya tampak kini mulai menghilang. Gumpalan awan hitam muncul entah dari mana.
Hamparan tanah tergelar di hadapanku. Tak ada satu bangunan pun yang berdiri. Sejauh mata memandang, hanya awan hitam yang menghiasi hamparan ini. Tapi, agak jauh di sana aku melihat setitik sinar. Aku mencoba menuju ke sana. Berjalan dengan hati-hati dalam kegelapan. Karena aka hanya bisa melihat dengan jelas hanya tak sampai satu meter berkat sinar yang memancar dari diriku sendiri. Aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tak berani menolehkan kepalaku. Meski hanya melirik. Perlahan sinar itu kian tampak. Menerangi semua yang ada di sekelilingku. Namun sejauh aku melangkah, semakin lama aku meniti, aku tak pernah bisa mencapai sumber sinar itu. Tapi aku tetap tak menyerah. Aku mengingat semua perbuatan baik yang pernah kulakukan. Dan melupakan sama sekali segala perbuatan buruk dan maksiat yang pernah kulakaukan. Mungkin hal ini dapat membuatku mencapai sumber sinar itu.
Aku terkejut saat mengetahui sinar itu berasal dari sekumpulan orang-orang yang memakai baju putih. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga putih. Mungkin inilah yang dimaksud dengan orang-orang yang terlindungi oleh air wudhunya. Sinarnya sangat terang. Beratus kali lipat dari sinar yang ada pada diriku.
Aku baru sadar. Ternyata yang mengikutiku tadi adalah sekolompok orang yang berbaju hitam. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga hitam. Tak tampak sedikitpun sinar dari mereka. Justru kegelapan dan kemuramanlah yang mengelilingi mereka. Ternyata mereka juga menuju sinar benderang itu dengan bantuan sinar yang ada pada diriku. Memastikan mereka berjalan di jalan yang benar, tidak terpelosok dalam jurang atau lubang yang mungkin ada di tengah kegelapan ini.
Jikalau ada kelompok hitam dan putih, maka aku adalah abu-abu. Jika mereka dalam pancaran sinar benderang dan kegelapan, maka aku berada dalam keremang-remangan. Jika mereka bersenang-senang dan ketakutan, maka akulah si wajah datar, tak berekspresi.
Lama-lama aku mengenali beberapa orang yang ada dalam kelompok itu. Pada kelompok berbaju putih itu, aku melihat kedua orangtuaku, kakak-kakakku, serta seluruh keluargaku dan tetanggaku. Dan banyak orang lagi yang tak aku kenal. Mereka tampak tersenyum, berseri.
Sedangkan pada kelompok baju hitam itu. Aku melihat guru-guruku, teman-temanku seangkatan, bahkan presiden dan wakil presiden beserta para petinggi negara lainnya dan orang-orang yang tak aku kenal. Mereka masih tetap berusaha mencapai sinar yang ada pada kelompok berbaju putih itu. Karena mereka merasa ketakutan berada dalam kegelapan.
Aku mengamati kedua kelompok tersebut. Lalu, pada diriku sendiri. Apa yang membuat kami berbeda dan terpisah? Apa yang membuat kami tak pernah bisa menyatu meski aku dan sekelompok orang berbaju hitam itu berjuang sekuat tenaga? Tempat apa ini? Di mana aku?
“Di sinilah tempat kalain akan dibalas sesuai amal kalian.” Suara itu muncul tiba-tiba. Seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Kalau memang ini adalah tempat pembalasan, apakah Tuhan tidak salah menempatkan? Aku mengenal guru-guruku yang selalu mengajarkan sholat berjamaah, teman-temanku yang rajin sholat, saling membantu dan mengingatklan. Presiden, wakil presiden, dan petinggi-petinggi lainnya yang mencanangkan program pendidikan, BLT, serta bantuan-bantuan lainnya kepada warganya. Tapi, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang gelap?
Aku juga mengenal tetangga-tetanggaku yang sering mencopet, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, menindas yang lain, pokoknya mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya. Lalu, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang berbaju putih itu?
Dan di manakah aku? Termasuk manakah diriku? Apakah aku bukan salah satu dari mereka? Atau lebih ekstrim lagi, apakah aku ini bukan manusia? Sehingga aku tidak termasuk orang-orang yang akan dibalas amalnya? Atau Tuhan memang benar-benar tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sehingga tertukar-tukar menempatkan orang dan tidak menempatkan aku?
Dengan segenap keberanianku, aku berteriak, “Aku meragukan Engkau, TUHAN!!!”
Tak ada jawaban. Kelompok berbaju hitam itu terhenti dari langkahnya. Kaget dengan ucapanku barusan. Begitu juga kelompok berbaju putih. Wajah berserinya hilang. Berganti kebencian karena Tuhannya telah diejek. Melihat reaksi mereka aku semakin berani. Berani meneriakkan kebenaran dan keadilan. Aku berteriak lagi, “Di mana Engkau Tuhan? Di mana Engkau yang katanya ADA? Di mana Engkau yang katanya Maha Tahu? Yang katanya Maha Adil?” aku ngos-ngosan. Aku sendiri kaget. Mengapa kata-kata itu muncul dari mulutku, bukan dari sekelompok orang berbaju hitam itu? Inikah setitik ketidak percayaanku pada-Nya?
Masih tak ada jawaban. Tapi, tiba-tiba muncul layar seperti video. Memperlihatkan negaraku, Indonesia. Pemandangannya yang indah, laut dengan kekayaan alamnya, hutan, barang tambang, dan tanah yang menumbuhkan segala macam tanaman. Lalu menunjukkan sekolahku yang mewah dengan fasilitas yang memadai. Menunjukkan rumahku yang sederhana tapi mencukupi. Dan kehidupan tetangga-tetanggaku yang miskin penuh dengan maksiat dan dosa. Bersamaan berputarnya video itu, suara ghaib itu muncul lagi, menjawab perkataanku tadi.
“Buat apa nikmat yang Aku berikan padamu? Kau dengan seenaknya belajar di sekolah yang gratis menggunakan uang rakyat, tapi apa yang kau berikan pada mereka? Kau membuang-buang makanan sisa, tapi kau lupa dengan tetanggamu yang terlunta-lunta! Jangan bandingkan mereka dengan dirimu dan teman-temanmu atau guru-gurumu bahkan pemimpinmu! Wajar tetanggamu melakukan apa pun yang mereka anggap halal, karena mereka tak diberi pendidikan. Dan mereka melakukannya karena untuk memepertahankan hiduup. Tidak seperti mereka yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya, padahal mereka berpendidikan! Kau mengatakan teman-temanmu rajin sholat. Itu yang kau lihat! Tapi sebenarnya mereka melakukannya karena takut pada gurumu, bukan kepada-Ku. Dan saat kau tak bersamanya, apakah kau yakin kalau mereka masih melakukan sholat? Bahkan saat kau masih bersamanya pun kau tak tahu dari mereka yang tidak takut bahwa Aku melihatnya bersengaja tidur, berpura-pura sakit sedang Aku tengah memanggilnya! Kau mengatakan guru-gurumu selalu mengajarkan kebaikan. Tapi, apa kau yakin mereka juga melakukan apa yang mereka ajarkan padamu? Dan apakah kau tahu dan yakin kalau mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan ajaran-Ku? Bahkan mereka lebih mementingkan kalian daripada memenuhi panggilan-Ku! Apalagi pemimpin-pemimpinmu! Kau tahu sendiri apa yang mereka lakukan! Korupsi, menindas yang lemah dan sebagainya! Itu yang kau tahu! Dan Aku lebih tahu semua yang mereka lakukan!”
Aku terdiam. Aku sadar. Semua yang kulakukan di dunia hanyalah untuk diriku sendiri. Tidak lillahi ta'ala atau memikirkan nasib orang lain. Aku pun tak pernah mau menuruti ibuku yang mengajakku mengajari anak-anak tetanggaku untuk membaca baik membaca buku atau membaca Al-Quran, menulis dan berhitung. Aku juga tidak meniru ayahku yang selalu menyisakan uangnya yang lebih untuk membantu tetangga yang sedang membutuhkan. Ibuku pun tak pernah membuang makanan yang tersisa. Kalau sisa biasanya beliau memberikannya pada tetangga juga. Dan yang aku lakukan selama liburan di rumah hanyalah bermain komputer, tidur, dan makan.
Tiba-tiba sesuatu menampar mukaku. Kemudian badanku. Terus. Berkali-kali. Rasa sakit datang bertubi-tubi mulai dari atas hingga bawah. Sekujur tubuhku merasakan kesakitan luar biasa. Inikah siksa yang Dia berikan padaku?
“Bangun! Sudah subuh!” teriak ayahku.
Aku terbangun. Ayahku sudah putus asa membangunkanku. Dia memukulku dengan kipas yang terbuat dari bambu. Aku langsung lari menghindar pukulan ayahku dan mengambil air wudhu.
Kini, aku sadar. Dia lebih tahu karena memang Dialah Yang Maha Tahu, Yang Maha Adil, Maha segalanya. Aku belum tahu langkah apa yang harus kulakukan untuk menegakkan hukum yang adil di negeri ini. Keadilan yang dinanti-nantikan terutama oleh rakyat jelata yang tidak berpendidikan dan tidak tahu-menahu jalannya pemerintahan. Jangankan berbuat. Hari pertama libur saja sudah telat subuh. Bagaimana mau menegakkan keadilan?