Rumah
merupakan tempat kembali, karena ia telah begitu banyak menyimpan memori.
Rumah
adalah tempat kembali. Kesadaran apalagi yang aku abaikan untuk memahami bahwa
rumah adalah tempat kembali? Meski dalam perantauan setingkali kutemui rumah
pengganti. Tempat dimana aku kembali ketika penat. Tempat mengadu ketika otak
sudah buntu. Seolah tempat itu memberikan kesan sebagai keluarga baru. Teman
dan sahabat yang asyik, saling mengerti, memahami, dan saling menyemangati.
Teman dan sahabat senasib seperjuangan yang selalu menguatkan. Namun, itu
hanyalah rumah pengganti bukanlah rumah tempat kembai yang sejati.
Kepulangan
dua hari ini memberikan banyak kesan. Pengalaman dan proses belajar
mengembangkan potensi diri bersama kakak pertama. Melatih public speaking
dan berbagi inspirasi kepada sesama. Perkumpulan bersama kaka-kakak dan adik,
membicarakan apapun yang bisa dibicarakan. Tak hanya obrolan mulut ke mulut,
lebih dari itu adalah obrolan dari hati ke hati. Membicarakan berbagai permasalahan,
mimpi-mimpi masa depan, atau sekedar obrolan ringan. Bahwa komunikasi dalam
keluarga selalu memberikan motivasi yang berbeda dibandingkan motivasi-motivasi
teman atau sahabat atau pelatihan-pelatihan sekalipun. Keluarga adalah motivasi
tertinggi yang paling nyata yang tidak perlu didapat dengan mengikuti
program-program seminar atau pelatihan yang biasanya berbayar.
Rumah
adalah tempat yang menyimpan banyak memori. Sehari berputar-putar mengelilingi
kota tanpa sengaja membuatku terpaksa mengingat kembali memori lama yang hampir
sirna. Masa-masa kanak usia SD kala itu. Kepingan-kepingan itu muncul satu demi
satu. Bergantian menampilkan memori demi memori yang lucu dan seru. Masihkah
mereka juga mengingat masa-masa itu?
Halaman
dan jalan di depan sekolah itu masih sama. Hanya bangunan di kanan-kirinya saja
yang sudah tampak berbeda. Ada salah satu temanku, dia yang selalu bersama
menunggu orangtua kami menjemput dengan sepeda. Salah satu siswi yang berasal
dari keluarga sederhana layaknya keluargaku. Berangkat dan pulang sekolah
dijemput dan diantar dengan sepeda. Tak jarang jika salah satu orangtua kami
datang duluan sengaja menunggu orangtua yang lain, sehingga kami pulang bersama
diboncengkan orangtua kami masing-masing hingga sampai di persimpangan jalan
yang memisahkan tujuan. Sering pula kami masih bercengkrama di boncengan kami,
tertawa riang hingga kami saling mengucapkan salam perpisahan seperti yang
diajarkan guru kami.
Wartel
itu sudah tak ada lagi, tapi aku masih mengingatnya. Wartel tempat dia selalu
meminta diantarkan setiap pulang sekolah untuk menelpon ibunya agar segera
dijemput untuk pulang ke rumah. Dia adalah siswi terpintar yang selalu meraih
ranking satu di kelas. Sedang aku hanya selalu tepat berada di bawahnya atau di
bawahnya lagi. Dia juga salah satu siswi yang kaya tapi tidak ada kesombongan
padanya. Kami selalu menunggu jemputan orangtua di halaman sekolah atau
sekitarnya. Tak jarang juga orangtua kami selalu saling menunggu untuk
memastikan orangtua yang lain sudah datang menjemput. Bukan pulang bersama yang
satu naik sepeda dan yang satu naik motor. Terkadang justru mereka saling
menogbrol dulu dan membiarkan kami bermain sebentar sebelum benar-benar pulang.
Hey,
ini bukan memori tentang cinta segitiga atau cerita patah hati bak cerita
dewasa di film telenovela. Ini hanya memori polos masa kanak yang belum
mengenal kata cinta. :D Dua yang sudah disebutkan hanya beberapa diantara
kepingan memori diantara memori lain yang akan diceritakan selanjutnya. Kepingan
itu tepatnya ketika aku masih kelas satu.
Gapura
demi gapura kampung kulewati. Aku masih ingat salah satu diantaranya ada satu
rumah, tak terlalu jauh dari sekolah. Teman-temanku bilang rumah itu terkenal
dengan rumah angker. Katanya sudah banyak orang yang melihat penampakan di
rumah itu. Terkadang saat istirahat kami sengaja pergi ke sana. Dengan
penasaran yang sangat tinggi bersama-sama kami ingin membuktikannya. Kepolosan
anak-anak SD kelas 2 dan 3, ketakutan yang mendominasi menghiasi suasana dan
kondisi. Entah apakah benar-benar melihat atau tidak, ketika salah satu sudah
berteriak maka terbirit-biritlah kami berlari. Kami berlari
sekencang-kencangnya kembali ke sekolah.
Sungai
besar itu masih utuh seperti sedia kala. Perosotan panjang yang membuat air
menjadi semi terjun menjadi tempat yang asyik untuk bermain. Dengan tanpa malu
karena masih belum punya rasa malu, kami semua melepaskan semua pakaian yang
melilit tubuh kami. Tak peduli dengan orang-orang yang di dalam mobil atau
membawa motor di atas jalan sana. Kami yakin merekapun memahami kami hanyalah
anak-anak yang bermain saja. Berlima sampai berenam kami bermain air, bersama
kakakku dan teman-teamnnya, naik ke atas kemudian menerjunkan diri mengikuti
perosotan air hingga sampai bawah. Tentunya aku dan kakaku sudah saling
berjanji untuk tidak mengakui ketika ditanya orangtua.
Museum
Mandhala Bhakti. Salah satu tempat berhenti sejenak ketika pulang, karena jarak
rumah kami lumayan jauh dari sekolah. Di halaman museum yang
lumayan luas itu bertengger dua tank yang katanya dulu dipakai ketika
pertempuran lima hari di Semarang. Museum itu terletak di depan gedung lawang
sewu yang kemudian terkenal keangkerannya karena masuk di dalam acara “Dunia
Lain”. Gedung lawang sewu bukan berarti benar-benar memiliki pintu sejumlah
seribu, hanya sekedar nama saja karena sangking banyaknya pintu dalam gedung
itu. Katanya gedung itu adalah buatan Belanda yang digunakan untuk memenjarakan
tawanan pahlawan Indonesia. Ah, tapi bukan itu yang kami bicarakan. Logika
anak-anak hanya memakai informasi itu untuk bermain saja. Kami, aku bersama
kakakku dan teman-temannya, tak bosan bermain dengan tank yang kami kira sudah
tak bisa berjalan itu. Kami berimajinasi sesuai pemahaman masing-masing. Pernah
kami berperan sebagai pahlawan dan penjajah Belanda. Berlarian, berkejaran,
“tembak-tembakan”, saling memperebutkan tank, atau seolah-olah menembaki gedung
lawang sewu yang berada di seberang jalan sana.
Ketika
aku dan kakakku suda tak lagi sama jadwal sekolahnya, aku juga masih sering bermain
di sana bersama dua temanku. Satu siswi yang ku ceritakan tadi (yang berasal
dari keluarga sedehana). Karena kelas tiga sudah berani pulang sendiri dengan
jalan kaki. Satu lagi adalah teman kakakku yang tidak naik kelas dan menjadi
teman sekelasku.
Lawang
sewu. Tempat yang terkenal angker bahkan sebelum masuk di acara ‘Dunia Lain”.
Pernah beberapa kali aku mendapat pertanyaan dari teman-teman atau tetangga,
“apa kamu ga takut lewat situ? Setiap sore pulang sekolah berjalan kaki
melewati gedung itu?” haha, aku tak pernah memikirkannya. Meski akupun
mengiyakan suasana di sana memang meyeramkan. Sepi, banyak pohon yang tinggi
dan rindang, seolah menyimpan banyak hal yang tak diketahui manusia. Tapi tidak
dengan sekarang, pembangunan membuat perwajahan lawang sewu tak sesuram saat
aku masih SD dulu.
Jejak-jejak
masa kanak. Adakah kalian juga masih mengingatnya? Kepingan-kepingan memori itu
begitu indah. Dan bagiku semua itu tak sekedar memori. Selalu ada makna dari
setiap peristiwa, dan masa kanak tentu juga akan sedikit memiliki pengaruh di
masa dewasa. Jejak-jejak masa kanak. Karena setiap waktu yang sudah terlewati
tidak bisa hanya berlalu saja, selalu ada alasan tertentu dan penjelasan atau
pelajaran dari sana.
Semarang, 8 November 2015
menelusuri jejak masa kanak
No comments:
Post a Comment