Sunday, November 15, 2015

Tapak Jejak Masa Kanak

Rumah merupakan tempat kembali, karena ia telah begitu banyak menyimpan memori.
Rumah adalah tempat kembali. Kesadaran apalagi yang aku abaikan untuk memahami bahwa rumah adalah tempat kembali? Meski dalam perantauan setingkali kutemui rumah pengganti. Tempat dimana aku kembali ketika penat. Tempat mengadu ketika otak sudah buntu. Seolah tempat itu memberikan kesan sebagai keluarga baru. Teman dan sahabat yang asyik, saling mengerti, memahami, dan saling menyemangati. Teman dan sahabat senasib seperjuangan yang selalu menguatkan. Namun, itu hanyalah rumah pengganti bukanlah rumah tempat kembai yang sejati.
Kepulangan dua hari ini memberikan banyak kesan. Pengalaman dan proses belajar mengembangkan potensi diri bersama kakak pertama. Melatih public speaking dan berbagi inspirasi kepada sesama. Perkumpulan bersama kaka-kakak dan adik, membicarakan apapun yang bisa dibicarakan. Tak hanya obrolan mulut ke mulut, lebih dari itu adalah obrolan dari hati ke hati. Membicarakan berbagai permasalahan, mimpi-mimpi masa depan, atau sekedar obrolan ringan. Bahwa komunikasi dalam keluarga selalu memberikan motivasi yang berbeda dibandingkan motivasi-motivasi teman atau sahabat atau pelatihan-pelatihan sekalipun. Keluarga adalah motivasi tertinggi yang paling nyata yang tidak perlu didapat dengan mengikuti program-program seminar atau pelatihan yang biasanya berbayar.
Rumah adalah tempat yang menyimpan banyak memori. Sehari berputar-putar mengelilingi kota tanpa sengaja membuatku terpaksa mengingat kembali memori lama yang hampir sirna. Masa-masa kanak usia SD kala itu. Kepingan-kepingan itu muncul satu demi satu. Bergantian menampilkan memori demi memori yang lucu dan seru. Masihkah mereka juga mengingat masa-masa itu?
Halaman dan jalan di depan sekolah itu masih sama. Hanya bangunan di kanan-kirinya saja yang sudah tampak berbeda. Ada salah satu temanku, dia yang selalu bersama menunggu orangtua kami menjemput dengan sepeda. Salah satu siswi yang berasal dari keluarga sederhana layaknya keluargaku. Berangkat dan pulang sekolah dijemput dan diantar dengan sepeda. Tak jarang jika salah satu orangtua kami datang duluan sengaja menunggu orangtua yang lain, sehingga kami pulang bersama diboncengkan orangtua kami masing-masing hingga sampai di persimpangan jalan yang memisahkan tujuan. Sering pula kami masih bercengkrama di boncengan kami, tertawa riang hingga kami saling mengucapkan salam perpisahan seperti yang diajarkan guru kami.
Wartel itu sudah tak ada lagi, tapi aku masih mengingatnya. Wartel tempat dia selalu meminta diantarkan setiap pulang sekolah untuk menelpon ibunya agar segera dijemput untuk pulang ke rumah. Dia adalah siswi terpintar yang selalu meraih ranking satu di kelas. Sedang aku hanya selalu tepat berada di bawahnya atau di bawahnya lagi. Dia juga salah satu siswi yang kaya tapi tidak ada kesombongan padanya. Kami selalu menunggu jemputan orangtua di halaman sekolah atau sekitarnya. Tak jarang juga orangtua kami selalu saling menunggu untuk memastikan orangtua yang lain sudah datang menjemput. Bukan pulang bersama yang satu naik sepeda dan yang satu naik motor. Terkadang justru mereka saling menogbrol dulu dan membiarkan kami bermain sebentar sebelum benar-benar pulang.
Hey, ini bukan memori tentang cinta segitiga atau cerita patah hati bak cerita dewasa di film telenovela. Ini hanya memori polos masa kanak yang belum mengenal kata cinta. :D Dua yang sudah disebutkan hanya beberapa diantara kepingan memori diantara memori lain yang akan diceritakan selanjutnya. Kepingan itu tepatnya ketika aku masih kelas satu.
Gapura demi gapura kampung kulewati. Aku masih ingat salah satu diantaranya ada satu rumah, tak terlalu jauh dari sekolah. Teman-temanku bilang rumah itu terkenal dengan rumah angker. Katanya sudah banyak orang yang melihat penampakan di rumah itu. Terkadang saat istirahat kami sengaja pergi ke sana. Dengan penasaran yang sangat tinggi bersama-sama kami ingin membuktikannya. Kepolosan anak-anak SD kelas 2 dan 3, ketakutan yang mendominasi menghiasi suasana dan kondisi. Entah apakah benar-benar melihat atau tidak, ketika salah satu sudah berteriak maka terbirit-biritlah kami berlari. Kami berlari sekencang-kencangnya kembali ke sekolah.
Sungai besar itu masih utuh seperti sedia kala. Perosotan panjang yang membuat air menjadi semi terjun menjadi tempat yang asyik untuk bermain. Dengan tanpa malu karena masih belum punya rasa malu, kami semua melepaskan semua pakaian yang melilit tubuh kami. Tak peduli dengan orang-orang yang di dalam mobil atau membawa motor di atas jalan sana. Kami yakin merekapun memahami kami hanyalah anak-anak yang bermain saja. Berlima sampai berenam kami bermain air, bersama kakakku dan teman-teamnnya, naik ke atas kemudian menerjunkan diri mengikuti perosotan air hingga sampai bawah. Tentunya aku dan kakaku sudah saling berjanji untuk tidak mengakui ketika ditanya orangtua.
Museum Mandhala Bhakti. Salah satu tempat berhenti sejenak ketika pulang, karena jarak rumah kami lumayan jauh dari sekolah. Di halaman museum yang lumayan luas itu bertengger dua tank yang katanya dulu dipakai ketika pertempuran lima hari di Semarang. Museum itu terletak di depan gedung lawang sewu yang kemudian terkenal keangkerannya karena masuk di dalam acara “Dunia Lain”. Gedung lawang sewu bukan berarti benar-benar memiliki pintu sejumlah seribu, hanya sekedar nama saja karena sangking banyaknya pintu dalam gedung itu. Katanya gedung itu adalah buatan Belanda yang digunakan untuk memenjarakan tawanan pahlawan Indonesia. Ah, tapi bukan itu yang kami bicarakan. Logika anak-anak hanya memakai informasi itu untuk bermain saja. Kami, aku bersama kakakku dan teman-temannya, tak bosan bermain dengan tank yang kami kira sudah tak bisa berjalan itu. Kami berimajinasi sesuai pemahaman masing-masing. Pernah kami berperan sebagai pahlawan dan penjajah Belanda. Berlarian, berkejaran, “tembak-tembakan”, saling memperebutkan tank, atau seolah-olah menembaki gedung lawang sewu yang berada di seberang jalan sana.
Ketika aku dan kakakku suda tak lagi sama jadwal sekolahnya, aku juga masih sering bermain di sana bersama dua temanku. Satu siswi yang ku ceritakan tadi (yang berasal dari keluarga sedehana). Karena kelas tiga sudah berani pulang sendiri dengan jalan kaki. Satu lagi adalah teman kakakku yang tidak naik kelas dan menjadi teman sekelasku.
Lawang sewu. Tempat yang terkenal angker bahkan sebelum masuk di acara ‘Dunia Lain”. Pernah beberapa kali aku mendapat pertanyaan dari teman-teman atau tetangga, “apa kamu ga takut lewat situ? Setiap sore pulang sekolah berjalan kaki melewati gedung itu?” haha, aku tak pernah memikirkannya. Meski akupun mengiyakan suasana di sana memang meyeramkan. Sepi, banyak pohon yang tinggi dan rindang, seolah menyimpan banyak hal yang tak diketahui manusia. Tapi tidak dengan sekarang, pembangunan membuat perwajahan lawang sewu tak sesuram saat aku masih SD dulu.

Jejak-jejak masa kanak. Adakah kalian juga masih mengingatnya? Kepingan-kepingan memori itu begitu indah. Dan bagiku semua itu tak sekedar memori. Selalu ada makna dari setiap peristiwa, dan masa kanak tentu juga akan sedikit memiliki pengaruh di masa dewasa. Jejak-jejak masa kanak. Karena setiap waktu yang sudah terlewati tidak bisa hanya berlalu saja, selalu ada alasan tertentu dan penjelasan atau pelajaran dari sana.

Semarang, 8 November 2015
menelusuri jejak masa kanak 

No comments:

Post a Comment