Kelas
enam merupakan tahapan akhir dalam proses pendidikan SD di Indonesia. Tingkat
penentuan apakah siswa dapat melanjutkan menuju tingkat SMP atau masih tetap
tinggal di SD. Kelas enam merupakan tahapan akhir berproses dan berdinamika
bersama teman-teman sekelas dan seangkatan yang sudah lima tahun lamanya
bersama. Bersama belajar menuntut ilmu-ilmu dasar sebagai bekal untuk tingkat
selanjutnya.
Proses
enam tahun selama di SD ternyata bukan waktu yang lama. Justru sungguh sangat
singkat jika fokus pada masa yang mendekati perpisahan. Hingga akhirnya masa
ujian pun tiba. Ujian demi ujian yang akan menentukan. Ujian sekolah, ujian
praktek, dan Ujian Nasional. Namun tulisan ini tidak akan menceritakan tentang
proses belajar mengajar dalam masa SD hingga proses kelulusan. Tulisan ini akan
menceritakan satu scene istimewa yang terjadi dalam setting kelas enam
di tahun 2005.
Angkatan
kelulusan SD 2005 ini berbeda, sejak kelas lima sekolah mengeluarkan kebijakan
untuk memisah murid laki-laki dan perempuan. Angkatan yang dari dulu terdiri
dari dua kelas dan pembagiannya dilakukan secara merata sesuai jumlahnya, saat
itu ketika mereka kelas lima mereka dipisah kelas berdasarkan jenis kelaminnya.
Satu kelas terdiri dari laki-laki semua yang berjumlah 24 anak dan satu kelas
lagi yang terdiri dari perempuan semua yang berjumlah 19 anak.
Fauz
adalah salah satu siswa dari kelas yang laki-laki. Dialah siswa terpintar dari
golongan laki-laki yang mendapat ranking satu setelah kelas dipisah antara
laiki-laki dan perempuan. Dulu saat siswanya masih dicampur antara laki-laki
dan perempuan, dia mendapat ranking dua karena ranking satunya pasti diraih
temannya yang perempuan, Zahra namanya. Salah satu teman laki-laki yang menjadi
saingannya adalah Fahri. Beberapa kali Fahri mengalahkannya dengan meraih
ranking dua sehingga Fauz mendapat ranking tiga, atau pernah juga Fauz mendapat
rangking empat karena peringkat keduanya diraih oleh Tiwi, teman dekat Zahra.
Persaingan empat siswa-siswi ini selalu berubah-ubah, tetapi ranking satu
selalu berhasil dimenangkan oleh Zahra. Namun, ketika kelas dipisah antara
laki-laki dan perempuan, maka Fauz-lah pemenang di kelas laki-laki selama empat
semester semenjak kelas lima hingga kelas enam. Sesuai dengan namanya Fauzi
yang berarti kemanangan.
Fauz
berasal dari keluarga tidak mampu. Tiap hari dia berangkat dari rumahnya yang
berjarak kira-kira 3 km dengan memboncengkan kedua adiknya yang kelas tiga dan
kelas satu. Saat kelas lima, Fauz terkenal dengan siswa yang sering terlambat. Namun
ketika kelas enam, teman-temannya heran karena Fauz sudah tak lagi terlambat
padahal di kelas enam ini dia memboncengkan kedua adiknya. Waktu kelas lima
dulu, dia berangkat sekolah naik sepeda sendiri, kakaknya yang kelas enam
memboncengkan adiknya yang masih kelas dua. Jika ketika berangkat sekolah Fauz
memboncengkan kedua adiknya, ketika pulang Fauz memboncengkan teman sekaligus
sahabatnya, teman sekaligus sahabat kakaknya juga, karena sebenarnya dia dulu
adalah teman sekelas kakaknya. Namun karena dia tidak naik kelas saat kelas
tiga, dia menjadi teman seangkatannya Fauz, dan menjadi teman sekelas ketika
kelas dipisah berdasar jenis kelamin, namanya adalah Harto. Adik-adiknya sudah
pulang duluan dijemput orangtua atau pulang bersama temannya, karena jadwal
pulang kelas satu dan tiga lebih awal dibandingkan kelas enam, apalagi kalau
ada kelas tambahan atau les untuk kelas enam.
Harto
adalah salah satu siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu juga. Rumahnya
sebenarnya tidak sejauh rumah Fauz, tetapi medannya yang naik ke atas menjadi
tantangan tersendiri. Setiap hari berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan
kaki. Fauzlah yang menjadi temannya yang mau memboncengkannya sebentar sampai
persimpangan yang memisahkan tujuan rumah mereka.
Layaknya
dalam kisah-kisah atau cerita-cerita dalam dongeng atau sinetron, mereka
mempunyai semacam musuh bebuyutan, siswa paling nakal dan paling jahil, namanya
adalah Mustafa. Perawakan Mustafa adalah siswa yang paling besar dan berbadan
gemuk. Lagi-lagi seperti dalam kisah-kisah dalam dongeng atau cerita lainnya,
perawakan siswa yang nakal selalu dicitrakan dengan yang besar dan gemuk.
Sangat jauh jika dibandingkan Fauz dan Harto yang berperawakan kecil. Mustafa
sebenarnya juga teman kakaknya Fauz, dulu juga sekelas dengan Harto. Dia tidak
naik kelas ketika kelas lima. Kenakalan Mustafa dilakukan dengan sering memukul
atau meinta dengan paksa uang temannya. Kemudian uang itu digunakan untuk
membeli jajan sendiri. Harto sering menjadi orang yang dirampasnya. Musuh bebuyutan
lain selain Mustafa adalah Awaf, salah satu siswa yang kaya raya tetapi
memiliki sifat kesombongan. Terkadang Awaf merendahkan teman-temannya yang lain
terlebih jika dia tahu sedikit kesalahan atau suatu hal yang memalukan. Maka
dengan percaya diri dia akan mengungkap masa-masa itu untuk mengejek dan
membuat malu siswa lain. Harto sering diejek rambut keriting. Fauz sering
diejek dengan masa kelas satunya yang dulu pernah berak di kelas. Siswa-siswi
yang lain juga sering diejek dengan masa kelas satu atau kelas sebelumnya yang
menurutnya lucu untuk ditertawakan bersama. Atau ejekan-ejekan nama pacar, nama
orantua, dan sebagainya. Awaflah yang selalu menjadi kompor semua ejekan itu. Dinamika
dalam kelas itu tidak selalu menjadi Fauz-Harto vs Mustafa atau Fauz-Harto vs
Awaf. Pernah juga Fauz-Harto-Awaf-dan semua siswa sekelas vs Mustafa, atau
Fauz-Harto-Mustafa-dan beberapa teman sekelas vs Awaf, semua tergantung konteks
permasalahan yang ada. Banyak juga siswa lain yang tidak muncul dalam tokoh
cerita ini yang juga nakal atau baik sifatnya. Pernah juga Awaf-Mustafa-dan
beberapa siswa vs Fauz, karena Fauz tidak mau memberikan contekan ketika
mengerjakan tugas dari guru. Tak jarang juga ketika mereka semua bersatu,
ketika tidak ada sama sekali permasalahan atau ketika mereka memiliki satu
musuh yang sama. Dan kisah ini menceritakan tentang itu, cerita singkat ketika
mereka menghadapi musuh yang sama.
Kisah
ini terjadi ketika waktu mendekati perpisahan, ketika waktu mendekati
ujian-ujian yang siap menunggu kelas enam waktu itu. Bukan, musuh mereka
bukanlah ujian demi ujian itu. Musuh mereka memang belum tampak, dan bisa jadi
musuh mereka adalah teman mereka sendiri. Musuh dalam selimut begitu pepatah
menyebutkannya. Siapakah musuh itu? Dia adalah pencuri. Dalam beberapa waktu
terakhir, banyak siswa yang mengeluh dan mengadu kepada guru kalau mereka
kehilangan uang. Baik siswa laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya tidak
terlalu sering kehilangan itu terjadi, tetapi sudah cukup banyak untuk
dikatakan sebagai sebuah kasus.
Saling
tuduh dan curiga menjadi suasana yang tidak mengenakkan. Guru-gurupun juga
tidak bisa menuduh sembarang orang. Harus ada bukti atau saksi, atau lebih
mudah lagi jika ada yang mengakui. Tetapi, tentu pencuri tak akan mengakui
kesalahannya, bukan? maka permasalahan ini menjadi pelik bagi siswa-siswa kelas
enam saat itu. Awaf dan Mustafa juga menjadi geram. Tak jarang mereka
memberikan ancaman jika sang pencuri ketahuan. Beberapa anak yang dicurigai
sudah sering diinterogasi baik oleh teman-teman atau guru. Sederhana pemikiran
saat itu, mereka yang jajannya banyak ketika kehilangan itu terjadi pasti
dinterogasi. Hanya Fauz yang benar-benar mencoba memahami setiap alasan
teman-temannya ketika diinterogasi; “sudah biasa jajan kayak gini”, “emang uang
sakunya segitu”. Kesulitan lainnya adalah bahwa kehilangan itu tidak terjadi
setiap hari. Seolah dia adalah pencuri yang profesional dan berpengalaman. Ada
jeda tertentu, ada momen tertentu kapan pencurian itu dilakukan. Ketika jam istirahat,
ketika jam olahraga, ketika jam bebas, dan sebagainya dan tidak berturut-turut.
***********
Suatu
hari, orangtua Fauz memberikan uang SPP sekolah untuk dibayarkan. Saat itu
kemalasan Fauz sedang kumat, sehingga dia tidak langsung membayarkan uang SPP
itu kepada guru. Hari-hari berlalu dan Fauz belum membayarkan juga uang itu.
Fauz adalah salah satu diantara teman-temannya yang belum pernah menjadi korban
pencurian karena uang sakunya toh sedikit. Siapa pula yang mengira kalau di
tasnya ada uang SPP? Pikirnya saat itu. Tapi dia juga sedikit ceroboh. Fauz
meletakkan kartu dan uang SPP di dalam tas tempat bagian dia juga meletakkan
air minumnya. Sehingga ketika dia mengambil air minum tentu kartu dan uang SPP
itu terlihat, apalagi kalau ada teman yang meminta air minumnya.
Salah
satu kelebihan Fauz adalah kemampuan mengingatnya, kemampuan mengingat kejadian
detail dalam situasi dan kondisi tertentu. Dia juga orang yang pendiam,
sehingga seringkali menjadi orang yang mengamati keadaan sekitar. Beberapa hari
berlalu setelah orangtua Fauz memberikan uang SPP-nya untuk dibayarkan. Saat
itu sedang mata pelajaran kesenian. Seperti biasa kelas menjadi bebas karena
ditinggal pergi gurunya. Keramaian dan keributan terjadi. Apalagi sebelumnya
adalah jam olahraga, masih ada sisa-sisa semangat atau kelelahan setelah
olahraga. Pada jam itu, Harto meminta minumnya dan Fauz mempersilahkan begitu
saja untuk mengambil sendiri di dalam tasnya. Fauz mengingat dan melihat
teman-temannya yang jajan banyak saat itu; Awaf, Agry, Harto, Mustafa, Hady,
Shiddiq, dan Febri. Terkadang dia juga mengira-ngira sendiri dalam pikir dan
imajinasinya, mencoba menebak siapa pelaku pencuri sebenarnya. Awaf, Agry,
Hady, dan Mustafa tentu bukan. Uang saku mereka memang banyak dibandingkan yang
lainnya. apalagi Agry dan Hady. Mereka adalah orang kaya yang baik, suka
membantu dan peduli terhadap sesama. Awaf meskipun terkadang tampak sombong
tapi juga memiliki banyak kebaikan dari dirinya. Mustafa yang terkenal nakal
pun juga dicoret Fauz dari lis kemungkinan pencuri. Karena sejarah kenakalannya
tidak pernah melakukan pencurian. Shiddiq yang juga salah satu siswa nakal juga
dicoretnya. Dalam sejarah kenakalannya, yang diambil Shiddiq adalah alat tulis
atau barang-barang lain yang kemudian disembunyikannya. Harto dan Febri
termasuk orang yang lumayan sering jajan banyak, tetapi tidak setiap hari. Ah,
pada akhirnya Fauzpun menyerah, toh akhir-akhir ini sudah tidak ada pencurian
lagi.
Hari
itu Fauz memutuskan untuk pergi ke kantor membayarkan SPP-nya yang sudah sekian
lama ia tunda. Pembayaran dilakukan, namun ada sedikit yang membuat Fauz
terkejut. Pak Guru mengatakan bahwa uangnya kurang sepuluh ribu dan memintanya
untuk menambahkan esok hari. Fauzpun hanya mengiyakan saja. Sesampainya di
rumah, Fauz mengadukan kepada ibu perihal pembayaran SPP-nya itu. Ibunya lebih
terkejut.
“Bukankah
waktu itu kamu juga ikut menghitung uangnya, kan uangnya sudah pas? Kok bisa
kurang? Kamu pake buat jajan tidak?” ibunya berkomentar panjang.
“Tidak
bu, ga tahu, kata Pak Gurunya gituu..” keluhnya. Dia juga menjadi sadar. Ada
yang tidak beres. Ya, dia mengingat bahwa saat itu dia juga ikut menghitung dan
memastikan bahwa uangnya sudah pas. Mengapa ketika dibayarkan bisa menjadi kurang
sepuluh ribu?
“Kamu
sih, makanya lain kali kalau sudah disuruh bayar segera dibayarkan, ga usah
ditunda-tunda. Atau coba tanyakan temanmu, mungkin ada yang menemukan.” Nasihat
ibunya saat itu.
***********
Esok
harinya ayah Fauz memberikan uang tambahan untuk melunasi SPP-nya itu. Fauz
menerimanya dan berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun, bukan hal
itu yang membuat dia bertekad dan bersungguh-sungguh. Perbincangan singkat
dengan ibunya kemarin memberikan banyak pencerahan. Tidak mungkin uang sepuluh
ribu itu menguap begitu saja. Pasti ada orang yang mengambilnya. Dan sekarang
dia sudah yakin dan tahu siapa pencuri itu. Bukti dan argumentasi sudah kuat.
Dia bertekad untuk membongkar rahasia pencuri itu.
Sesampainya
di sekolah, tekad dan kesungguhan Fauz tak sekuat di rumah tadi. Dia menjadi
bimbang. Apa yang harus dia lakukan? Mengadu kepada guru? Atau membicarakan
dengan teman-temannya? Ada ketidaktegaan bercampur dengan ketakutan jika dia
membongkar rahasia sang pencuri itu. Waktu berlalu, hingga sampai pulang
sekolahpun tidak ada yang dilakukannya.
Seperti
biasa, Fauz pulang bersama Harto. Suasana hati Fauz masih bimbang dan
ragu-ragu. Namun akhirnya dia membualtkan tekad untuk membahasnya, mengapa
tidak dia bicarakan berdua saja dengan Harto, kan dia adalah teman dan
sahabatnya, pikirnya saat itu. Perbincanganpun dimulai.
“Har,
uang SPP-ku kemarin kurang sepuluh ribu, kayaknya ada yang ngambil deh, kamu
tahu ga siapa yang ngambil?” tanya Fauz membuka pembicaraan.
“Waah,
ya ga tahu” jawab Harto singkat. Fauz menangkap Harto memalingkan pandangan dan
seolah ada yang disembunyikan.
“Kamu
beneran ga tahu siapa yang ngambil, atau jangan-jangan malah kamu yang
ngambil?” desak Fauz.
“Ga
lah, ngapaian aku ngambil uang kamu?” jawab Harto lagi singkat dan malah
memberikan pertanyaan balik.
“Siapa
lagi kalo bukan kamu yang ngambil? Cuma kamu yang tahu aku naruh uang SPP itu
dekat air minumku, cuma kamu yang hari itu minta minumku, dan hari itu kamu
jajan lebih banyak dari biasanya. Siapa lagi kalo bukan kamu yang ngambil?”
bukti dan argumentasi itu keluar semua dari mulut Fauz. Dia sudah tak tahan
lagi memendam semuanya.
Harto
diam seribu bahasa. Dia tak tahu lagi harus berkomentar apa. Rahasia yang
selama ini ia simpan begitu rapat akhirnya terbongkar juga. Dan yang membongkar
adalah sahabat dan teman terdekatnya. Apakah dia harus mengaku? Ataukah akan
terus mengelak dan terus melakukan kebohongan? Fauz teman yang selalu baik
kepadanya, dan tak pernah menyakitinya. Siswa yang terkenal baik dan pintar
itu.
Suasana
menjadi serba salah. dua orang yang biasanya saling tertawa dan bersenda gurau,
kini saling diam mendiamkan. Fauz pun juga merasa bersalah. Bagaimana jika
Harto bukan pencurinya? Dia telah menuduh dan menghilangkan kepercayaan selama
ini yang sudah terbangun diantara mereka. Bagaimana jika Harto marah dan tak
mau lagi menyapanya? Di sisi lain diapun juga tak dapat membayangkan bagaimana
jika Harto benar-benar sebagai pencurinya. Akankah dia ikut diam dan
membiarkannya terus mencuri? Ataukah akan mengadukan kepada wali kelas atau
kepala sekolah? Mungkin ketidaktahuan terasa lebih menenangkan dibandingkan
mengetahui hal sebenarnya. Tapi dia sudah terlanjur mengungkap semua
tuduhannya. Sepanjang perjalanan menjadi menyuramkan sampai pada akhirnya Harto
turun dari boncengan Fauz karena harus berpisah di persimpangan jalan.
************
Keesokan
harinya rutinitas berjalan seperti biasanya. Berangkat sekolah, masuk dalam
sekolah, pelajaran pertama, kedua, dan seterusnya hingga suatu saat diantara
itu Harto mengajak berbicara dengan Fauz berdua. Dalam perbincangan itu Harto
mengakui kesalahannya bahwa dialah yang mengambil uang SPP Fauz. Diapun juga
mengakui bahwa dialah pelaku atas setiap kehilangan yang terjadi sebelumnya.
Sekarang giliran Fauz yang diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus berkomentar apa
atau harus berbuat apa.
“Tapi,
plis, tolong jangan bilangin ke siapapun ya Uz” pinta Harto dengan iba.
Di
tengah kebingungan dan kebimgangannya, Fauz pun merasakan iba juga terhadap
Harto. Tentu dia juga tak akan tega melaporkan pengakuan sahabatnya itu kepada
siapapun apalagi kepada guru. Bukan, bukan karena dia sudah mempertimbangkan
hukuman apa yang nantinya akan diberikan oleh guru, disuruh berdiri, meminta
maaf pada semua orang yang telah dicurinya, tidak boleh mengikuti pelajaran,
atau yang lebih seirus lagi dikeluarkan dari sekolah. Pikiran anak kecil saat
itu tidak sedewasa itu memikirkan masa depan temannya. Kalaupun iya hanya
sebatas hukuman meminta maaf dan mengganti uang yang dicurinya. Hukuman meminta
maaf dan mengganti uang yang dicurinya yang menurut Fauz akan sangat
menyulitkan Harto. Itulah perasaan iba yang dia pikirkan. Anak sekecil itu
tentu tidak sampai ke pemikiran dikeluarkan sekolah dan masa depan temannya,
tidak juga tentang hubungan mereka akan memburuk dan bisa jadi akan saling mendiamkan
terus menerus dan selalu ada prasangka dan curiga dalam dirinya.
Tiba-tiba
Fauz mendapat ide brilian. Dengan spontan tak lama setelah Harto mengiba, Fauz
berkata, “Ok, aku tidak akan mengatakannya pada siapapun, tapi dengan satu
syarat”.
“Apa
itu syaratnya? Apapun permintaanmu akan aku penuhi deh.” Jawab Harto dengan
sedikit berpikir dan mengira-ngira syarat apa yang akan diajukan. Tentu dengan
berharap benar bahwa dia bisa memenuhinya, bukan suatu syarat yang menyulitkan.
“Syaratnya
kau harus berjanji padaku untuk tidak akan mengulangi hal itu lagi, dan jika
itu kau lakukan lagi, aku akan melaporkannya” jawab Fauz tegas.
“Hmmm,
oke, aku janji” kata Harto.
Fauz
menangkap ada nada keberatan dari kata-kata Harto. Namun dia sangat berharap
Harto benar-benar tidak akan mengulanginya lagi. Karena jika Harto melakukan
lagi, diapun belum tentu benar-benar akan melaporkannya. Ada rasa ketidaktegaan
dan iba kepada Harto. Termasuk pendiam dan ketidakberanian dirinya untuk
melaporkan kepada guru atau teman yang lainnya.
***********
Hari
demi hari berlalu hingga ujian demi ujian selesai dilaksanakan oleh semua
siswa. Sekolah juga menyelenggarakan piknik bersama siswa-siswi kelas enam
untuk terakhir kalinya. Perpisahanpun juga diselenggarakan. Tak banyak isak tangis
seperti layaknya perpisahan-perpisahan anak SMA, karena mereka masih terlalu
kecil untuk bisa memahami arti perpisahan. Hanya beberapa anak yang memang
sudah saling menjalin persahabatan dari kelas tiga hingga kelulusan itu.
Persahabatan antara dua laki-laki dan dua perempuan yang gosipnya mereka saling
menyimpan rasa suka.
Bagi
Fauz, ada rasa kebanggan sendiri dalam dirinya. Sejak perjanjiannya dengan
Harto saat itu, tidak ada lagi kasus kehilangan uang di kelas enam. Teman-teman
dan gurunyapun tanpa sadar tak pernah mengungkit kasus itu lagi. Dan hubungan
antara mereka berdua masih seindah seperti sebelum-sebelumnya. Sederhana,
selalu saling membela ketika “berperang” dengan Mustafa atau Awaf, dan selalu
pulang bersama. Fauz hanya bisa berdoa semoga Harto benar-benar tidak akan
mengulangi mencuri lagi sampai dia besar dan dewasa.
sahabat sejati selalu menginginkan dan mengharapkan yang terbaik untuk sahabatnya
memori dalam pintu lorong waktu
15 November 2015
No comments:
Post a Comment