Fuzta
Fauzal Muttaqin, nama pemberian orangtuaku. Ayah mengartikannya “beruntunglah
kau seperti keberuntungan orang yang bertakwa”. Namun, menurut pencariannku
sendiri, arti namaku adalah “kau telah menang seperti kemenangannya orang yang
bertakwa”. Fuzta, begitulah panggilanku, jika diartikan berarti “kau telah
menang” tapi sering kali orang memanggilku dengan “Fuz” yang jika diartikan
berarti “Menanglah kau..!” atau jika menurut versi arti ayahku menjadi
“beruntungkah kau...!”.
Aku
sangat merasa senang saat mengetahui arti namaku. Hal ini membuatku berpikir
bahwa salah satu faktor yang membuatku menjadi saat ini merupakan nama itu.
Setiap hari, setiap orang memanggilku, entah berapa kali banyaknya, mereka
secara tidak langsung mendoakanku.
Sejak
kecil, aku mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang aku tak bisa
mendefinisikannya. Kasih sayang yang diberikan kedua orangtuaku sangat beragam
caranya. Tak jarang aku mendapatkan kemarahan dari mereka tapi sering pula aku
mendapatkan pelayanan mereka yang begitu ikhlas nan setia.
Saat
mau masuk TK/RA dan SD/MI aku belum bisa menentukan pilihan. Aku bersekolah di
sekolah pilihan orang tuaku. Begitu juga saat masuk SMP/MTs, aku hanya ditanya
dan menjawab “aku mau sekolah sambil mondok”. Namun, tetap saja yang memilih
sekolah dan pesantren itu orangtuaku. Bahkan, saat aku mau naik tingkat SMA/MA,
aku telah membulatkan niat untuk masuk di salah satu sekolah di Demak, namun
mungkin karena doa orangtua dan guruku yang lebih diterima, akhirnya aku
bersekolah di salah satu MAN di Tangerang.
Masa
kecil kujalani dengan berbagai macam rasa dan warna. Menjadi adik sampai
menjadi yang tertua di rumah, karena semua kakak-kakakku di pesantren. Hingga
akhirnya aku juga menyusul mereka, hidup merantau jauh dari rumah. Saat-saat
inilah masa kritisku, tak hanya menimba ilmu tapi juga mencari identitasku.
Semua pengalaman dan lingkungan membentuk kepribadianku.
Aku
tetap sebagai orang pendiam, bahkan di dalam keluargaku sendiri. Aku menjadi
tipe orang yang suka mengamati dan membaca keadaan di sekitar; tingkah laku
orang, suasana alam, dsb. Hingga aku mempunyai tanda-tanda khusus sendiri untuk
menebak atau mengidentifikasikan seseorang atau keadaan.
Setelah
dua belas tahun berturut-turut terus ditempa baik di sekolah maupun di rumah,
aku mendapatkan banyak pengalaman dan menemukan identitas diriku. Hingga
akhirnya menuntunku menuju salah satu universitas negeri ternama di Indonesia,
yakni Universitas Gadjah Mada. Bahkan lolos dalam salah satu jurusan yang
katanya memiliki passing grade yang
tergolong tinggi, yaitu Psikologi. Di dunia perkuliahanpun tempaan dan ujian
tak kalah hebatnya. Entah itu dari kurikulum, organisasi, maupun masalah dari
luar.
Berdasarkan
pengalaman saat kenaikan tingkakatku ke SMA, aku tak pernah lagi merencanakan
masa depan. Aku hanya menggarisbawahi keinginanku saat ini, yaitu fokus pada
psikologi sosial dan atau psikologi pendidikan. Namun, sekali lagi, aku tak
akan mendaftarkan itu sebagai cita-cita atau jalan hidupku. Sekarang ini aku
lebih suka menjalani hidup ini sesuai dengan takdir yang telah digariskan,
namun tetap diringi dengan usaha dan doa yang terus kulakukan dan kupanjatkan.
No comments:
Post a Comment