Wednesday, December 29, 2010

Untuk Anak Bangsa

10, 15, 20, 25, 30, hingga beberapa tahun yang lalu, kita belum ada di dunia ini. Tapi, entah kita harus berbicara berkat atau gara-gara kedua orang tua kita, kita terlahir di dunia ini.

Pertama kali, kehadiran kita (di perut ibu) disambut dengan keceriaan dan perasaan senang keduanya. Namun, beberapa bulan setelahnya, barulah pengorbanan itu dimulai. Sang ibu, dimanapun dan kapanpun beliau harus membawa beban yang berat di perutnya. Dan ayah, yang bingung kesana-sini mencari apapun yang diidamkan ibu, menyiapkan pakaian baru, perlengkapan bayi, dan sebagainya.

Setelah lahir, lebih menyusahkan lagi. Kita yang sering mengompol tak mengurangi rasa kasih sayang mereka. Belum bisa berbicara membuat kita tak bisa mengungkapkan apa yang kita inginkan. Sehingga kita hanya menangis, menangis, dan menangis. Dan kedua orang tua yang tak tahu apa yang kita inginkan mencoba melakukan apapun yang kita inginkan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kita inginkan, sehingga tak kadang malah membuat kita lebih menangis dan menangis lagi, kalaupun beruntung mereka tahu apa yang membuat kita menangis dan apa yang kita inginkan. Tapi, itupun karena kebiasaan dan itu tidak membuat mereka marah, malah menambah rasa cinta dan kasih sayang mereka. Begitulah, segala kekurangan kita tak membuat kasih sayang mereka runtuh sedikitpun.

Tak lelah mereka mengajari kita bagaimana cara berbicara, berjalan, dan sebagainya. Setiap keberhasilan sedikitpun yang kita raih, membuat kedua orang tua senang seolah mendapat rezeki yang melimpah. Bahkan lebih dari itu. (Meskipun aku tahu bahwa tak semua orang tua seperti itu.)

Kemudian, sangat disayangkan. Mereka membiasakan dan mengajari kita bahwa kita harus pintar, mendapat nilai 100, mendapat ranking pertama, menjadi juara kelas. lalu mendapatkan kerja yang layak, bahkan kalau bisa mendapat gaji yang banyak, menjanjikan beli mobil, rumah besar, bla bla bla bla. Dengan semua itu, mereka memasukkan sekolah yang paling bagus, terfavorit, dan bergengsi.

Di sekolah, guru kita juga memberi pelajaran yang sama. Menjadi orang yang pintar, terkenal, mendapat ijazah, mengatakan bahwa ijazah itu penting dengan nilai yang baik supaya mudah mendapat pekerjaan. Lalu mudah mendapat kekayaan. Menjanjikan kebahagiaan dengan kekayaan-kekayaan itu. Mereka memberi hadiah bagi yang juara kelas, menjanjikan hadiah bagi yang bisa mengerjakan soal atau menjawab soal yang sulit.

Sehingga kita belajar dan sekolah hanya untuk mendapat ijazah. Disadari atau tidak, pasti dalam hati kita lebih dominan untuk mendapat ijazah. Padahal ilmu itu dicari untuk diAMALkan, bukan untuk diperjualbelikan seperti untuk melamar pekerjaan. Buktinya, banyak umat islam menghafal dan tahu hadits annadzaafatu minal iimaan, tapi nyatanya kehidupan mereka pun seperti tak layak uantuk dihidupi; kumuh, rusuh, penyakitan lagi. Ironisnya mereka malah senang dibicarakan seperti ini. Mereka tak pernah mencoba untuk mengubah pandangan orang lain tentang mereka.

Dan hasilnya jadi begini. Generasi muda yang sangat pintar ……………. berbohong, bahkan mereka (guru dan orang tua) sendiripun dibohongi. Tidak masuk sekolah dengan alasan bla bla bla bla bla, padahal xxx.

(X= variable / narkoba, pacaran, atau pemakain narkotika lainnya). Hasilnya adalah generasi yang menggunakan kepintarannya dengan berbohong, korupsi, tidak peduli pada kemanusiaan, merenggut harga diri orang, banyak pornografi dan pornoaksi, melakukan kekerasan tak peduli pada nilai-nilai norma dan HAM. Menjadi manusia yang tak punya harga diri dan kehormatan, lebih hina dari binatang, membuat para setan senang.

Lingkungan dan kebiasaanpun juga membentuk kepribadian kita. Sejak kecil kita diajari bagaimana berpesta, bersama para teman dan sahabat, berusaha untuk membuat mereka senang dan tidak membuat mereka kecewa. Tapi akhirnya, karena pergaulan dan tidak mau mengecewakan temannya, banyak remaja yang tidak mau menolak keinginan teman atau sahabatnya dengan masuk dalam dunia gelap seperti; narkotika, gonta-ganti pasangan, dan hal-hal negatif lainnya.

Berbohong, korupsi, gonta-ganti pasangan, pacaran di tempat umum, sudah menjadi hal yang wajar di Negara kita. Timbullah pertanyaan di pelosok sana, mereka yang menjadi korban perbuatan itu semua MENGAPA???. Lalu, siapa tersangkanya???

Apakah generasi selanjutnya juga akan seperti ini??? Bagaimana Indonesia mau maju??? Kalau pola berfikirnya saja seperi itu??? Selama ini kita hanya diajarkan untuk meningkatkan kecerdasan dan kepintaran kita (IQ). Tapi mereka tak pernah mengajari kita bagaimana cara meningkatkan kecerdasan emosi (EQ) dan memperdalam dan memahami agama kita sendiri (SQ). pernahkah mereka menjanjikan hadiah pada kita kalau kita jujur? Pernahkah mereka menjanjikan hadiah kepada kita kalau kita tidak menyontek? Pernahkah mereka memberikan hadiah pada kita kalau kita menyingkirkan duri yang ada di tengah jalan? Atau malah merekalah yang mengajari kita berbohong? Yang mengajari kita untuk menyontek? Atau merekalah yang meletakkan “duri” itu di tengah jalan?

Andai generasi ini bisa menggabungkan ketiga kecerdasan itu; IQ, EQ, & SQ. aku yakin bahwa Indonesia akan melebihi Negara maju manapun. Dengan kekayaan budaya, SDA, dan SDMnya.



ولدتك أمك باكيا والناس حولك ضاحكا فا جتهد لنفسك أن تكون اذا باكوا يوم وفاتك ضاحكا مسرورا

Ibumu melahirkanmu dengan menangis, dan orang-orang disekitarmu tertawa, Maka bersunguh-sungguhlah kamu untuk menjadi yang tertawa bahagia saat mereka menangis di hari matimu.



Mari kita menjadi generasi yang dapat membawa Negara kita terangkat dari keterpurukannya selama ini!!! Benar-benar menjadi yang tertawa di hari mati kita, bukan menjadi yang ditertawakan; yakni generasi yang membuat Negara kita semakin terpuruk, dengan banyaknya tikus-tikus di pelosok rumah orang-orang tak mampu hingga “tikus-tikus” di rumah-rumah gubernur dan para atasan. Marilah kita ubah tikus yang ada di rumah orang-orang miskin itu menjadi tanaman atau pepohonan lainnya yang dapat mengurangi global warming dan mengubah tikus-tikus pemerintahan menjadi orang-orang yang tahu PENDIDIKAN, orang yang PEDULI dengan kemiskinan, peduli dengan lingkungan, PEKA terhadap keadaan, dan dengan dilandasi KEIKHLASAN dan KEIMANAN.

1 comment:

  1. Realitas yang tidak terbantahkan bahwa proses pendidikan pada lembaga formal kita, mengedepankan pemberdayaan otak kiri. Sementara otak kanan terabaikan. Maka segeralah aktifasi dan berdayakan sejak kita mulai sadar akan "kekeliruan" ini.

    ReplyDelete