Wednesday, March 25, 2015

Makna Sosial dalam Ritual Sholat

Sholat merupakan salah satu ibadah ritual yang dilakukan umat islam. Dalam melaksanakan sholat ada aturan-aturan yang mengikat. Ritual sholat ini dilakukan dengan gerakan-gerakan khusus yang dimulai dengan berdiri, ruku’, sujud, duduk, diulangi sesuai jumlah rakaatnya dan ditutup dengan salam. Selain tata cara gerakan, aturan lain yang mengikat adalah untuk laki-laki diwajibkan untuk berjamaah di masjid, yaitu dilakukan dengan bersama-sama, minimal dua orang, yang dipimpin oleh satu orang pemimpin, yang disebut dengan imam sholat. Selain hal-hal rukun yang sudah disebutkan, ada juga syarat dan sunah yang mengiringi. Orang yang akan sholat harus berwudhu terlebih dahulu, membersihkan diri dengan membasuh muka, tangan sampai ke siku, mengusap sebagian wajah, dan membasuh kaki sampai mata kaki. Orang yang sholat sangan dianjurkan memakai pakaian yang terbaik dan disunahkan untuk menggunakan wewangian.
Berikut saya akan menyampaikan beberapa makna sosial yang saya dapatkan dari hasil pemikiran dan perenungan sendiri, serta hasil mendengar dan berdiskusi. Tuilisan ini hanya akan membahas kaitan ritual sholat dalam kehidupan sosial, tidak menjelaskan makna lain dari ritual sholat. Karena tentunya tidak hanya berhubungan dengan sosial, melainkan dengan diri sendiri juga hubungannya dengan Tuhan.
Pertama, dimulai dari sebelum melaksanakan sholat. Orang yang akan sholat harus membersihkan diri terlebih dahulu dan menggunakan pakaian terbaiknya serta menggunakan wewangian. Ada juga yang menyebutkan bersiwak, dalam bahasa sekarang sikat gigi. Apalagi jika sebelumnya memakan makanan yang baunya tajam seperti bawang putih, pete, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan ritual sholat itu sangat berhubungan dengan kehidupan sosial. Jangan sampai kondisi kita saat melaksanakan ritual sholat itu mengganggu orang lain; bau badan yang entah mungkin dari melakukan kegiatan-kegiatan yang menguras keringat, bau mulut dari makanan yang dimakan, wajah kusut dan badan yang lemas disegarkan dengan berwudhu. Semuanya menunjukkan untuk memberikan tampilan yang terbaik ketika bertemu dengan orang-orang lain.,karena sholat bagi laki-laki diwajibkan berjamaah di masjid yang notabene akan bertemu banyak orang.
Kedua, tentang persamaan dan kebersamaan. Orang dengan pangkat apapun, pejabat maupun rakyat, konglomerat maupun melarat, semuanya melakukan gerakan yang sama. Tidak ada gerakan khusus untuk orang yang memiliki kekayaan yang lebih banyak, tidak pula untuk orang yang memiliki pangkat lebih tinggi. Karena dalam kepercayaan islam kedudukan tertinggi bukan diukur menggunakan hal-hal tersebut, melainkan dengan kadar ketaqwaan yang hal ini hanya diketahui oleh Tuhan. Semua orang memiliki hak yang sama. Gerakan-gerakan tersebut juga harus dilakukan dengan bersama-sama. Ketika ruku’ dan sujud, semuanya juga harus ruku’ dan sujud, tidak ada yang berdiri, merasa paling tinggi derajatnya. Pun sebaliknya, ketika berdiri dan duduk, semuanya juga berdiri dan ruku’. Kita semua sama. Bahkan mau yang bermadzhab berbeda-bedapun juga sama. Gerakannya adalah demikian. Tidak ada gerakan tambahan, gerakan utamanya sudah diatur. Tidak boleh menyalahi gerakan yang sudah ditetapkan. Semuanya melakukan gerakan yang sama dan menghadapa ke arah yang satu. Tidak ada yang saling berhadapan ataupun saling membelakangi, atau saling menyimpang (ada yang menghadap ke depan ada yang ke samping). Semuanya sama, tidak ada yang spesial. Hal ini juga ditampakkan ketika posisi ruku’ dan sujud. Kedua posisi ini menunjukkan ketidakberdayaan manusia, bahwa manusia hanyalah seorang hamba, bahwa semua yang dimiliki sejatinya bukan kepemilikan mutlak, tubuh, harta, pangkat, semua bersifat titipan dari Tuhan. Sehingga manusia harus bersyukur atas nikmat dan bijak dalam menggunakan setiap fasilitas yang dimilikinya. Ruku’ dan sujud juga menampakkan rendah hati kepada sesama. Tidak ada yang tahu siapa yang derajatnya paling tinggi. Perbedaan pendapat dan madzhab itu sudah pasti, tetapi dalam sholat diajarkan untuk saling merendahkan hati. Karena tidak ada satupun yang bisa menjamin bahwa pendapatnyalah yang benar. Kita diajarkan untuk saling menghargai perbedaan dan disatukan dengan gerakan-gerakan utama yang sama. Bacaan-bacaan yang berbeda dan teknis lain seperti cara sedekap ketika berdiri dan i’tidal, posisi tangan dan kaki saat duduk dan sujud, biarlah itu menjadi perbedaan yang tidak ditonjolkan. Biarkan semua itu hanya diri sendiri yang tahu berdasar keyakinan atas suatu madzhab tertentu. Namun, gerakan utama tetap sama menunjukkan kebersamaan umat islam yang sesungguhnya.
Ketiga, persatuan dan kesatuan. Dalam berjamaah shaff atau barisan harus lurus dan rapat. Semuanya bergerak dalam satu barisan yang kuat, tidak ada sekat, meski sebenarnya ada yang berbeda pendapat. Lurus dan rapat menunjukkan persatuan dan kesatuan yang bersifat akrab. Perbedaan apapun, kekayaan, pangkat, atapun pendapat bisa disatukan dan dipertemukan untuk satu visi yang sama; menuju kepada Sang Pencipta. Perbedaan apapun itu tak menjadi masalah untuk mencapai satu tujuan yang sama; mengharap pahala dan keridhoan-Nya. Banyak jalan menuju Roma, kata mereka. Terserah jalan mana yang akan dilalui, yang terpenting tujuannya sama. Sehingga ada tuntutan untuk saling membantu dan menguatkan.
Keempat, tentang hak dan kewajiban pemimpin dan umat (imam dan makmum). Dalam ritual sholat, tidak sembarang orang dapat menjadi imam. Dia harus memenuhi syarat tertentu. Ada standar kualifikasinya; bacaan qurannya bagus (bukan banyak hafalannya), banyak mengetahui sunnah, yang lebih tua, dan tuan rumah. Standar kualifikasi ini bersifat prioritas berdasarkan urutan. Yang paling utama adalah yang memenuhi syarat pertama, jika ada dua orang yang sama standarnya atau tidak ada, maka turun ke standar kedua, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih pemimpin itu tidak bisa sembarangan. Harus berdasarkan pertimbangan yang matang. Karena yang mengatur pemimpin adalah langsung dari Tuhan dan akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Tuhan. Pemimpin bertanggung jawab atas kesalahan umatnya, sama dengan Imam yang menanggung kesalahan jika ada kesalahan. Ketika di tengah melaksanakan sholat seorang imam batal (apapun yang membatalkan sholat), maka imam harus tahu diri untuk “mengundurkan diri”. Dia tidak boleh melanjutkan sholat meskipun dia imam jika dia sudah batal. Dan makmum yang di belakangnya harus siap menggantikan. Dalam kehidupan sosialpun juga demikian, ketika seorang pemimpin merasa tak sanggup lagi atau ada suatu hal yang membuat dia tidak bisa memimpin, maka harus disampaikan dan dia harus berani “mengundurkan diri” dan orang yang terdekat harus berani menggantikannya. Ketentuan untuk makmum; harus mengikuti apapun gerakan imam. Ketika imam sudah ruku’, tapi bacaan makmum belum selesai, makmum harus segera menyusul ruku’, tidak perlu menyelesaikan bacaannya terlebih dahulu. Namun, makmum juga berhak bahkan wajib mengingatkan ketika imam melakukan kesalahan; bacaannya salah (terlewat ke ayat berikutnya atau terlewat satu-dua kata), salah gerakannya (harusnya berdiri tapi malah duduk), dsb. Hal inipun dilakukan jika makmum mengetahui kesalahan imam, jika tidak maka makmum tetap harus mengikuti imam. Dan ketika imam salah da makmum tidak mengetahui itu menjadi tangung jawab imam. Begitulah juga dalam kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa umat/yang dipimpin harus patuh dan taat terhadap imamnya (selama hal itu tidak bertentangan).

Ini hanya tulisan dari seorang biasa, bukan ustadz apalagi ahli agama, ini hanya hasil pemikiran dan perenungan seorang hamba yang ilmunya setitik tinta bahkan mungkin lebih kecil darinya. Hanya berupa pendapat peribadi, bukan berdasar ijtihad para ahli. Segala kebenaran hanyalah milik-Nya sejati dan setiap kesalahan tentunya berasal dari kebodohan diri ini. 

Wednesday, March 18, 2015

Jamaah Tumpengan

Manusia membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Di Indonesia ini sungguh merupakan surganya makanan dibandingkan daerah manapun. Aneka macam dan aneka rasa dapat ditemui di negeri ini. Maka kita sebagai warga Indonesia seharusnya bersyukur atas nikmat ini. Hmmm, tapi tulisan ini tidak akan membahas makanan meski nanti akan menggunakannya dalam perumpamaan.
Tulisan ini lebih akan membahas kebutuhan sosial manusia.  Dalam kehidupan sosial manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lain. Mau tak mau manusia akan membutuhkan manusia lainnya. lebih fokus lagi yang akan dibahas adalah kelompok-kelompok dan mengarah pada agama islam. Kelompok merupakan impelementasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Mereka berkumpul karena berbagai macam persamaan.
Berapa kelompok atau golongan islam yang kamu tahu? :D. Akupun tak tahu banyak, hanya beberapa kali sering mendengar, tapi tidak begitu memahami dengan dalam. Kelompok atau golongan antara lain Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA, YATAIN, LDII, dan lain-lainnya. Satu pertanyaan yang muncul jika dihubungkan dengan hadits Rasulullah. Dari sekian golongan yang sudah diramalkan bahwa akan terbagi dalam sekian kelompok, manakah satu diantaranya yang dijanjikan masuk surga? Harus mengikuti manakah agar bisa termasuk golongan tersebut?
Sungguh tak pantas saya membahas dengan terbatasnya ilmu. Karena aku bukanlah ulama atau ahli ilmu hadits yang pantas mengulas hadits-hadits yang akan dibahas ini. Aku juka bukan ahli tafsir, bukan ahli tata bahasa arab, juga bukan ahli nasikh-mansukh turunnya ayat Quran atau hadits nabi. Hadits tetang terbaginya umat nabi muhammad dalam tujuh puluh tiga golongan itu diragukan keshahihanya. Namun terlepas dari itu semua, aku hanya ingin menyampaiakan apa yang aku pikirkan. Jika memang hadits itu benar adanya, bahwa umat islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga golongan, didukung dengan data; banyaknya golongan islam baik di negara kita Indonesia, apalagi jika sedunia, kemudian untuk menjawab pertanyaan golongan mana yang benar, aku akan menjawabnya dengan hadits berikut ini.  
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل ومن يأبى يا رسول الله؟! قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga

Ya, yang masuk surga adalah mereka yang mengikuti Nabi. Dan yang masuk neraka adalah yang tidak taat kepada Nabi. Orang yang taat kepada Nabi adalah mereka yang mengikuti dan melaksanakan sunah-sunahnya yang tentunya melaksanakan setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Melihat realita sosial saat ini dimana umat islam “terpecah belah” dalam berbagai macam kelompok, dan masing-masing kelompok merasa kelompoknyalah yang paling benar. Sungguh miris aku melihatnya. Dalam diriku sendiripun mengakui, golongan-golongan atau kelompok-keompok itu bagus, masing-masing memiliki kelebihan, dan tentunya juga memiliki kekurangan. Satu kelompok memiliki kelebihan dalam satu bidang sedangkan bagian lain kurang maksimal, kelompok lain sebaliknya, begitu seterusnya. Namun, ada satu hal yang paling tidak aku suka, satu hal yang hampir ada di setiap kelompok itu; selalu ada sebagian orang yang sangking fanatiknya, menganggap bahwa kelompok merekalah yang paling benar, menganggap bahwa kelompok lain itu salah dan sesat.
Seperti yang aku bilang tadi, sebenarnya kelompok itu baik, karena memang pada hakikatnya itu merupakan kebutuhan manusia, karena manusia tak akan pernah bisa hidup sendiri. Namun itu semua menjadi masalah ketika masing-masing kelompok tadi merasa kelompoknyalah yang paling benar dan menganggap kelompok lain salah dan sesat. Hal ini lah yang menimbulkan perpecahan dalam umat.
Masing-masing kelompok merasa paling benar, jamaah yang benar, jamaah yang dijanjikan. Padahal secara konsep justru mereka keluar dari konsep jamaah, karena jamaah seharusnya adalah bersama-sama, bersatu, meninggalkan jaket kebanggan pribadi atau kelompoknya. Yang mereka praktekkan melainkan adalah firqoh; pecah.
Poin terpenting adalah berpegang teguh pada tali agama Allah, yang terimplementasi dengan beramal sesuai panduan; Al-Quran dan Hadits. Perbedaan itu sudah lumrah, sudah takdir, memang demikian adanya. Namun dengan perbedaan itu bukan berarti kita bepecah belah, saling menyalahkan, justru dengan perbedaan itu kita diperintah untuk saling mengenal, dan tetap berjamaah. Jamaah yang berarti sebenarnya, bersama-sama menegakkan kalimat Tuhan. Dalam sejarah sudah tercatat bagaimana dulu Islam dapat hidup berdampingan dengan Nasrani dan Yahudi. Namun, saat ini justru antar umat islam sendiri malah saling menyalahkan dan merendahkan.
Aku ingin mengambil pelajaran dari sebuah makanan; nasi tumpeng, atau yang sering disebut dengan tumpengan. Tumpengan adalah nasi yang dibentuk seperti gunung, menjulang tinggi kemudian dikelilingi sayur dan lauk pauk aneka macam. Ada tempe kering, tempe goreng, tahu goreng, ikan, ayam, dan telur. Ada timun, kubis, kangkung, dan sayur-sayuran lain. Aku hanya berpikir ketika berhadapan dengan nasi tumpeng itu. Lihatlah begitu indah konsep tumpengan itu. Semuanya menjadi satu, satu kesatuan yang tak terpisahkan. Nasi, lauk pauk, dan sayur mayur diletakkan dalam satu wadah tampah besar.
Nasi yang diletakkan di bawah, di seluruh bagian tampah menunjukkan islam sebagai rahmata(n) lil-‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Itulah agama kita, islam yang menjadikan tauhid sebagai landasan keimanan. Kemudian pada bagian tengahnya dibentuk seperti gunung yang menjulang tinggi merupakan poros utama, sebagai landasan paling dasar sekaligus tujuan utama. Ketinggian dimaksudkan untuk menunjukkan ke-Maha Besar-an, ke-Maha Agung-an Allah. Dimana seharusnya semua amal dilakukan hanya untuk Dia. Bukan untuk siapapun, apalagi untuk diri sendiri.
Keanekaragaman lauk pauk dan sayur mayur merupakan gambaran umatnya yang juga beraneka ragam. Ada kelompok penggemar ayam bakar, ada yang ayam goreng, ada yang cukup nikmat dengan tahu tempe, ada yang suka telur, ada juga yang malah alergi dengan telur, ada yang nek kalau makan ayam, dan lain sebagainya. Itu sedikit gambaran umat islam yang berkelompok-kelompok membentuk firqoh (pecahan). Yup, semua kelompok itu tidak ada yang salah karena semua toh makan nasi juga, apapun lauknya, apapun sayurnya. Yang mana di awal tadi sudah disebutkan; ada Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA, YATAIN, LDII, dan lain-lainnya. Begitu pula dengan kelompok-kelompok islam, tak ada yang salah selama landasan utama yang digunakan adalah Qur’an dan Hadits, dan niatnya lillah J.
Dalam proses memakannya, tumpengan dimakan dengan cara bersama-sama. Di sekeliling tampah tersebut semua orang berkeliling. Duduk dengan agak sedikit memiringkan badan agar banyak orang yang kebagian. Di sana sudah tak mengenal titel konglomerat atau melarat, pejabat atau rakyat, semua sama, duduk bersama dalam lingkaran memakan nasi tumpengan. Hal ini sama dengan konsep jamaah sholat dalam sholat. Semua dipandang sama. Golongan apapun, ketika berjamaah maka seharusnya bersama-sama dan bersatu. Tidak lagi memperdebatkan keyakinan masing-masing. Sama halnya dengan orang-orang yang makan tumpeng. Orang yang suka makan ayam tak bisa menyalahkan orang yang tidak bisa makan ayam, orang yang nikmat hanya dengan tempe tak bisa menyalahkan orang yang sudah terlanjur menikmati daging dan sudah lupa akan kenikmatan tempe. Yang perlu diyakini dan dipahami adalah bahwa makanan-makanan itu sama-sama halal. Jika yang dimakan itu daging babi, maka bolehlah kita memperingatkan, wajib malah. Dalam kelompok islampun juga sama, perdebatan masalah adanya qunut, penetapan tanggal 1, masalah cara berdakwah, masing-masing orang punya caranya sendiri dan keyakinan sendiri. Yang penting itu tidak menyimpang, mereka berlandaskan Qur’an dan Hadits. Cukup. Tidak perlu diperdebatkan. Kita boleh memperingatkan dan mempermasalahkan jika memang itu sudah keluar dari tema yang ushul, bukan furu’.
Ketika makan tumpengan, sudah tidak ada lagi orang yang mengugnakan piring-piring yang terbuat dari kaca yang banyak hiasannya, dari atom plastik, atau dari gerabah, tidak juga menggunakan mangkok, apalagi kertas minyak. Semua harus melebur menjadi satu bersama-sama dari satu wadah yang sama. Namun, ketika mereka makan sendiri di rumah, di kantor, di kantin, di manapun mereka tetap boleh menggunakannya. Terserah mereka mau memilih yang mana. Toh itu hanyalah wadah belaka. Dalam islam yang dipermasalahkan adalah apa yang di makan, jika yang di makan adalah makanan yang haram itu jelas dilarang. Dalam penggunaan wadahnya, selama didapatkan dari harta yang halal seharsunya tidak menjadi masalah. Mereka tak bisa menganggap dengan wadahnya lah yang paling mulia.

Islam tak akan pernah menang jika dalam umat islam sendiri masih terpecah belah. Padahal sudah sangat dijelaskan bahwa kita diperintah untuk berpegang teguh pada tali agama Allah dan dilarang untuk berpecah belah. Perbedaan pemahaman seharusnya tidak menjadi masalah, dan seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan sebenarnya dengan banyak perbedaan itu dapat saling mengisi dan membuat islam ini semakin indah jika umat islam bisa bersatu, bersama-sama, berjamaah. Bukankah pelangi indah karena banyak warna?

Sunday, March 15, 2015

Sajak Rindu

Aku tak tahu
Apakah karena malu atau cemburu
Apakah benar-benar cinta atau hanya rasa iba
Aku tak tahu
Apakah karena aku atau dia
Ataukah kamu atau mereka
Aku juga tak tahu
Apakah untuk masa depan
Ataukah karena masa silam
Atau jangan-jangan sekarang
Cairan itu hanya sudah tak bisa tertampung lagi
Tetes demi tetes jatuh oleh gravitasi
Hingga mengalir deras di pipi
Terlalu banyak emosi
Terlalu penuh oleh rasa

Hingga mbludak ke mana-mana

Friday, March 13, 2015

(PENG)AKU(AN)

Kaki
Tak pernah ringan menuju kebenaran
Justru terus melangkah ke jalan kesesatan
Tangan
Berat untuk beramal
Justru tak mau lepas dari pelukan setan
Mata
Melihat pemandangan haram
Malah silau melihat cahaya iman
Telinga
Mendengarkan gunjingan
Lalu abai dari nasihat dan ajakan
Mulut
Selalu mengumpat, menghina
Mengeluh dan menyombongkan
Badan
Semua menerjunkan diri dalam jurang kemaksiatan
Hilangkanlah!
Sungguh
Tak pantas lagi kaki ini melangkah
Tak ada untungnya lagi tangan ini bekerja
Sungguh
Lebih baik mata ini buta
Sudah saatnya telinga ini disumpal
Mulut inipun harus dibungkam
Bakarlah!
Sungguh raga ini telah siap dihanguskan

Sungguh jiwa ini tak layak mendapat kenikmatan

Wednesday, March 4, 2015

Menanti Keajaiban

Kerapuhan pondasi
Kebohongan kuli dengan mengganti barang kualitas terbaik
Pembangunan yang asal-asalan
Perawatan yang tidak optimal

Runtuh juga akhirnya benteng itu
Pertahanan paling dalam dari serangan-serangan
Membiarkan lawan menyerbu

Runtuh pula tanggul besar itu
Membiarkan tumpah muatan air suci

Maka tak satupun orang yang mampu mengembalikannya
Membangun kembali benteng dan tanggul yang sudah terlanjur rubuh
Dibutuhkan banyak tenaga
Banyak usaha
Hingga akhirnya bangunan itu kembali sedia kala
Berfungsi layaknya biasa

Saat-saat seperti inilah
Hanya harap dan doa yang melayang
Bukan lagi senjata, tombak, parang, atau peluru
Melainkan menunggu keajaiban
Keajaiban apapun yang tentunya tidak bisa dijelaskan akal manusia

Sehingga kondisi yang terpuruk sekalipun mampu mengalahkan musuh dan lawan