Tuesday, April 3, 2012

Psikologi Untuk Kita

Aku tak peduli. Sebanyak apa air mata ini terus mengalir di pipi. Aku tak peduli. Apa yang akan mereka katakan pada diri ini. Aku tak peduli. Dan tetap tak akan peduli. Yang aku tahu tangan ini tak mau berhenti. Menuliskan kata demi kata yang ada di kepala ini. Melampiaskan semua rasa yang ada di hati. Mengungkapkan semua rahasia yang tersimpan dalam peti. Menyingkap hijab yang selama ini menghalangi.
Sebenarnya tak begitu banyak yang membuatku merasa seperti ini. Semua masalah yang kuhadapi merupakan ujian-ujian yang memang diberikan-Nya untuk menguji seberapa sabar diri ini. Seberapa kuat keimanan yang telah tertancap dalam hati.
Semua sikap dan perilaku yang (juga) tak pernah kuharapkan muncul dalam kehidupanku. Apapun yang terjadi dalam keluargaku baik itu masalah pribadi maupun masalah keluarga. Segala perbedaan yang ada di rumah yang kutinggali saat ini. Baik interpersonal maupun masalah yang kita hadapi bersama. Semua keadaan yang tidak diharapkan di kampus, baik dalam ranah akademi, organisasi, maupun kehidupan sosial yang terjadi.
Semuanya terjadi begitu saja. Mengalir bak air, berhembus bagai udara. Menyenangkan, menggelikan, menakutkan, memuakkan, dan segala rasa yang ada. Semuanya terjadi dalam satu kepala. Tertimbun dan dan menumpuk dalam satu suasana. Akhirnya hati inipun merasa tak kuat juga. Ingin mengeluarkan sebagian beban yang ditanggungnya. Menyisihkan sedikit saja rasa yang tak mengenakkannya.
Mungkin aku tak (akan) pernah menceritakan apa-apa yang kuhadapi. Apa yang aku pikirkan. Apa yang aku rasakan. Mengapa aku berbuat yang mungkin tak pernah diharapkan. Aku memang memendamnya sendiri. Menguburnya di lubuk hati. Hingga tertimbun bak gunung yang tinggi.
Bah!!! mungkin semua orang akan merasa demikian. Merasa bahwa dirinyalah yang paling merasa tertekan. Banyak beban. Tak kuat menghadapi segala ujian, cobaan, masalah, ataupun tugas yang mereka emban.
Dibalik semua itu, pernahkah mereka melihat ke luar? Melihat apa yang ada di luar sana? Benarkah bahwa dirinya itu merupakan yang paling tertekan, yang paling banyak beban? Yang lantas merasa layak berteriak-teriak? Merasa patut berwajah merengut? Atau bahkan merasa pantas menyelesaikan hidupnya dengan jalan pintas?
Itulah yang aku lihat. Bahwa masih banyak orang yang layak melakukan itu semua. Yang membuatku merasa tak patut menangisi semua ini. Tak seharusnya aku stress menghadapi ujian-ujian hidup ini. Merekalah yang layak diberi perhatian. Harusnya aku bersyukur masih diberi nikmat hidup bersama dengan keluarga, bisa tinggal di rumah yang nyaman, masih dapat mengecap nikmatnya pendidikan, dan mempunyai banyak sahabat dan teman yang mendampingi (meski semuanya terdapat masalah, namun itulah konsekuensinya). Dibandingan dengan mereka yang mungkin tak merasakan itu semua.
Kemudian aku memutuskan terus berjalan. Melangkahkan kaki ini terus ke depan. Mengacuhkan duri yang terus menusuk kaki. Mengabaikan hujan deras yang terus menghunjam. Karena aku yakin bahwa duri dan mendung itu hanya sementara. Yang harus kulakukan adalah mencari tempat yang dapat menghindar dari duri dan hujan yang terus menusuk seluruh tubuh ini. Tempat di mana aku bisa merencanakan ulang langkah yang harus kutetapkan. Mencari payung dan sepatu yang bisa menemani jalan selanjutnya.
Aku yakin bahwa aku harus mengusap air mata ini. Tak selayaknya aku  menyerah. Tak sepatutnya aku berhenti. Tak sepantasnya aku mengakhiri perjalanan ini. Meski hanya sesaat. Aku harus terus berjalan. Berjalan. Dan berjalan. Atau bahkan berlari. Mengejar garis finish yang masih jauh dari hadapan.
Seolah aku juga ingin memberi tahu. Kepada semua orang disekelilingku. Bahwa psikologi tak hanya untuk kamu. Namun, seharusnya psikologi itu untuk kita; untukku dan untukmu. Yang lalu biarlah berlalu. Toh kita tak akan bisa mengubah itu. Kita tak bisa mengembalikan waktu yang justru terus maju. Mau tak mau memang inilah jalan yang harus dituju.