Thursday, October 16, 2014

Merbabu #2

Kegelapan semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap. Hingga ketika istirahat yang kesekian kalinya, saat terlena dengan bintang, saat mata terasa hapir terpejam, kudengar teriakan dari atas, “Fuztaa!!”.
Fuztaa!!” teriaknya lagi.
Ooiii!!!” jawabku refleks tapi agak terlambat sambil menegakkan badan. Setengah percaya setengah tidak untuk memastikan namakulah yang benar-benar dipanggil.
Kemudian mereka meneriakkan nama kedua temanku. Bisa kurasakan wajah agak sumringah tersungging sedikit pada kedua temanku, sambil membalas teriakan itu. Tetapi dalam benakku, aku tak yakin perjalanan tinggal sebentar lagi sebelum benar-benar pernyataan itu benar keluar dari mulut ketua rombongan kami. Bisa dipastikan suara itu adalah ketua rombongan kami. Ya, akupun yakin, karena dialah yang memposisikan diri sebagi orang yang memastikan rombongan depan dan rombongan belakang sampai di tujuan. Kamipun bertemu. Ketua rombongan kami bersama salah satu temannya (bukan anggota KKN).
Mereka mengabarkan bahwa di atas, sedikit lagi ada dua wanita anggota KKN kami. Mereka sudah menunggu di sana. Dalam benakku berpikir, bukankah ini masih sabana satu? Bukankah rencananya bermalam di sabana dua? Dalam bayanganku, menafsirkan berita mereka, semua anggota berada di sana di dalam tenda termasuk empat orang yang terpisah dari rombongan belakang tadi. Dan dua wanita itu menunggu di “pintu masuk” atas sana. Melihat bawaanku yang banyak, mereka menawarkan diri membawakannya. Awalnya berat hati, tapi karena mereka memintaku ke atas duluan untuk menemui dua wanita itu, aku berpikir bisa mencapai sana duluan. Aku pikir aku bisa menemukan mereka, lalu bisa menuju tenda dan mengabarkan kondisi kami. Ok. Aku melangkah duluan. Tanpa membawa beban, tetap tanpa sandal/sepatu, tetap melepas/tidak mengenakan jaket, dan tanpa senter.
Tidak lama aku mendaki. Ketika hampir sampai, sesuai penafsiranku atas kabar mereka, harusnya dua wanita itu ada di depan. Maka, aku teriakkan nama mereka (memang tidak begitu keras). Sampai di sabana satu, wow, banyak sekali tenda-tenda didirikan di sini, beberapa menyalakan api untuk memasak, atau untuk menghangatkan badan. Namun, tak kutemui satupun dari wanita itu. Aku coba berputar sambil memanggil-manggil nama mereka, tak juga mendapat jawaban. Aku coba dengan “Keerom, Keerom!” (nama kelompok KKN kami), sama juga. Tidak ada jawaban. Ok. Pertanyaanku tadi terjawab. Ini benar-benar sabana satu. Dan mereka mungkin benar-benar mendirikan tenda di sabana dua. Lalu, bagaimana dengan wanita dua tadi? Aku tak yakin jika mereka memutuskan untuk menyusul kami turun lagi ke bawah. Meskipun (mungkin) dengan bumbu cinta:D. Atau jangan-jangan mereka memang sudah mendirikan tenda di sini, hanya saja aku belum menemukan tendanya? Ah, sudahlah, lama-lama bosan aku bermain dengan tebak-tebakanku sendiri J. Aku kembali ke “pintu masuk” sabana satu. Menunggu keempat temanku yang masih di bawah. Biarlah nanti aku tahu cerita yang sebenarnya dari mereka.
Setelah mereka sampai di sabana satu, ternyata sungguh ini kemungkinan buruk yang sempat kubayangkan. Hanya saja aku tak berpikir sampai sejauh ini. Ternyata mereka terpisah dari rombongan pertama. Dan saat ini mereka menumpang di tenda rombongan lain. Dua wanita mendaki tanpa ada pria, dan mungkin merasakan di tengah kegelapan seperti yang kurasakan tadi. Lalu, bagaimana dengan empat orang yang terpisah dari rombongan belakang? Mereka pasti juga sudah bertemu dengan ketua rombongan kami, dan mereka tentunya memilih tetap melanjutkan perjalanan.
Kami melakukan pertimbangan sebentar. Diputuskanlah aku dan temannya ketua rombongan kami berjalan duluan membawa bahan makanan yang ada di tas kami. Dan aku membawakan salah satu tas mereka biar nanti kalau mereka memutuskan melanjutkan perjalanan, mereka agak ringan.
Ada sedikit kelegaan dan kegembiraan dalam diriku. Lega, karena merasa yakin teman-temanku tadi sudah mendapat “pelayanan” yang mereka butuhkan. Gembira, karena akhirnya aku bisa “bebas” menikmati perjalanan pendakian Merbabu ini. Meski sebenarnya sudah kurasakan beberapa menit tadi ketika mencapai sabana satu.
Berdua, kami berjalan dengan bersegera. Menikmati perjalanan layaknya anak mapala. Beberapa meter berjalan kami berpapasan dengan tiga orang yang ternyata temanku se-fakultas. Sedikit sapa-menyapa ternyata terdengar oleh pendaki di depan (baca: atas) kami. Salah satu dari mereka meneriakkan namaku. Ternyata adalah wanita satunya yang juga sempat aku khawatirkan tadi. Ya, mereka adalah rombongan kami yang terpisah tadi. Sehingga akhirnya kami berenam berjalan bersama lagi menuju sabana dua.
Kami sampai di sabana dua dengan selamat. Bergabung dengan rombongan pertama yang sudah mendirikan tiga tenda. Tak peduli lagi dengan mereka yang sudah tidur duluan. Kami mulai memasak bahan makanan untuk mengisi perut yang keroncongan. Tapi sepertinya yang keroncongan hanya aku saja :D. Sambil memasak, teman-teman kami akhirnya menyusul juga. Kecuali dua orang wanita yang akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di tenda (tumpangan) sabana satu. Selesai makan, kami segera mencari tempat tidur masing-masing. Menunggu esok fajar menuju puncak.
Meski perut sudah kenyang, badan kecapean, tapi ternyata mata tak mau terpejam. Padahal suasana sudah cukup nyaman. Terus menerus membolak-balikkan badan, hingga akhirnya bunyi alarmpun berdentang. Meski semua anggota sudah dibangunkan, namun perjalanan tak kunjung dilaksanakan. Saling menunggu dan beralasan. Lagi-lagi kami terpecah, ada yang duluan, ada yang belakangan.
Bersama banyak orang, sulit menyamakan satu jalan. Terlebih karena tak ada aturan yang jelas yang mengikat keanggotaan. Bagaimana mau pake aturan? Kami bukan dalam keorganisasian yang punya target dan tahapan yang jelas. Kami hanya segelintir orang biasa yang melakukan pendakian untuk senang-senang. Tak seperti MAPALA yang benar-benar sesuai dengan standar operasional prosedur pendakian. Terlebih aku, sungguh jauh dari apa yang disebut standar operasional.
Sesuai permintaan, aku berjalan mengiringi wanita yang kemarin terus mengeluh, khawatir dalam perjalanan. Dia yang mengaku fobia ketinggian, tetap nekat melakukan pendakian. Masih ingat bukan, tentang motivasi yang mendorong perilaku seseorang (?) Namun perjalanan kali ini tidak sesulit perjalanan sebelumnya. Wanita ini sudah cukup banyak belajar. Tak lagi banyak istirahat, tak lagi banyak komentar. Tekat yang bulat sudah terkumpul dalam nadinya. Semangat yang berkobar-kobar membakar raganya. Terus berpacu mengejar waktu. Tetap melangkah meskipun lelah. Target sudah tampak di depan mata. Ada hadiah yang ingin dipersembahkan untuk orang tercinta. Pelajaran ketiga: sungguh, cinta bisa jadi sumber motivasi terkuat melakukan sebuah tekat.
Lihatlah, akhirnya kami mencapai puncak dengan selamat. Euforia pendaki pemula mencapai puncak sungguh terasa. Keharuan, setengah ketidak-percayaan, kebahagiaan, tergambar pada ekspresi dan suasana. Tak kalah juga meski bukan pendaki pemula. Ada kebahagiaan tersendiri mencapai ketinggian sebuah puncak. Apalagi wanita yang mengaku fobia tinggi tadi. Atau wanita yang tampak tak banyak komentar, tetapi sesungguhnya benar-benar merasakan keharuan. Berbeda dengan perempuan, laki-laki memang tak begitu dominan dalam perasaan. Tetapi lihatlah, masing-masing pendaki mempunyai caranya tersendiri untuk mengekspresikannya. Photo-photo, menyanyikan “lagu kebangsaan”, berteriak, menancapkan bendera, atau sekedar menikmati alam.

Satu pelajaran berharga dalam perjalanan pendakian; teruslah berpijak, karena perjalanan menuju puncak terus menanjak J

Wednesday, October 15, 2014

Merbabu #1

Sebuah perjalanan panjang yang sudah lama aku inginkan. Pengalaman pertama kali mendaki gunung jika Nglanggeran tidak dihitung sebagai perjalanan pendakian. Sebagai salah satu cara refreshing sekaligus melihat kemampuan diri atau sebuah pelampiasan karena dulu tidak jadi mendaftar menjadi anggota Mapala di fakultas.
Cerita ini akan dimulai langsung melompat ketika perjalanan pendakian ke gunung. Melewatkan cerita-cerita seru lainnya selama perjalanan menuju base camp pendakian, seperti ban bocor, motor mogok, motor ngepot/jatuh gara-gara (tidak melihat) pasir, dan motor-motor yang tidak kuat naik ke atas dengan boncengan. Atau proses persiapan berupa latihan fisik dan perlengkapan seperti jogging bersama, membeli konsumsi, peminjaman peralatan dan perlengakapan, serta koordinasi keberangkatan. Sebuah catatan perjalanan yang tentunya tidak mungkin semua (mau) aku ceritakan. Hanya ringkasan perjalanan satu hari dalam pendakian.
Cerita ini dimulai dari briefing sebelum keberangkatan perjalanan pendakian benar-benar dilaksanakan. Pelajaran pertama yang bisa didapat adalah bahwa seseorang bisa mendadak menjadi puitis ketika kondisi dan situasi yang dibutuhkan. Teringat ketika ketua rombongan pendakian ini mengatakan saat briefing, “Tujuan kita bukanlah puncak, tetapi tujuan kita adalah kembali dengan selamat”. Atau kata-kata yang intinya seperti ini, “buat apa kalau kita sampai puncak, tetapi kita tidak bersama-sama”, diringi dengan kata-kata motivasi dan penyemangat selama perjalanan menuju puncak.
Ketika briefing, standar operasional umum yang aku ketahui dalam sebuah perjalanan adalah penentuan leader dan sweeper. Tentunya sama dengan perjalanan pendakian ini. Dengan mudahnya ketua rombongan menunjuk salah satu orang sebagai leader; tentunya orang yang sudah mengetahui seluk beluk jalan menuju ke puncak, sudah sering atau punya pengalaman mendaki Merbabu ini. Berbeda dengan penentuan sweeper, ketua rombongan kami tidak langsung dapat menentukan orang sebagai sweeper. Dia menawarkan siapa yang suka rela mau menjadi sweeper. Secara refleks, hampir tanganku mengangkat tangan, tetapi hal itu aku urungkan. Melihat komposisi dan jumlah orang dalam pendakian ini, instingku mengatakan bahwa aku harus jadi sweeper, tapi bukan sweeper resmi yang ditunjuk oleh ketua rombongan. Karena jika aku yang mengangkat tangan, kemungkinan yang menjadi sweeper hanya aku. Berbeda jika yang ditunjuk orang lain, maka aku bisa membantu sebagai sweeper kedua atau ketiga. Bahkan aku hampir yakin ketua rombongan ini juga memikirkan hal yang sama, bahwa dia juga akan menjadi sweeper. Pada akhirnya ketua rombongan kami  menunjuk dua orang sebagi sweeper, sehingga aku memposisikan diriku sebagai “sweeper ketiga”.
Selesai melakukan briefing, dilanjutkan dengan doa bersama, dan perjalananpun dimulai. Sebelum lebih jauh menceritakan perjalanan, terlebih dahulu aku jelaskan maksud komposisi dan jumlah orang dalam kelompok ini. Kami adalah orang-orang yang dipertemukan dalam kelompok KKN beberapa bulan lalu. Dari 21 anggota KKN, ada 14 orang yang akhirnya bisa melakukan perjalanan ini sebagai perjalanan bersama untuk lebih mengakrabkan dan tetap menjalin hubungan. Ditambah 3 orang dari teman dari ketua rombongan kami (meskipun salah satunya adalah temannya teman ketua rombongan kami). Jadi, total kelompok pendakian ini adalah 17 orang. Dari jumlah 17 orang ini, kebanyakan dari kelompok KKN kami adalah pemula, dalam artian ini merupakan perjalanan pertama pendakian gunung yang dilakukan, sama seperti aku. Sedangkan ketua rombongan kami dan teman-temannya serta 3 anggota KKN kami yang juga anak Mapala atau orang-orang yang setidaknya sudah pernah dan mempunyai pengalaman melakukan perjalanan pendakian gunung. Namun, ada juga beberapa anggota wanita yang sebelumnya sudah menjelaskan mempunyai penyakit ini dan itu.
Inilah perjalanan kami. Ternyata dugaanku salah, ketua rombongan kami bukan menjadi sweeper, ada satu lagi posisi yang aku lupa namanya. Tugas dia adalah memastikan jarak antar orang tidak terlalu jauh, dia berada di posisi tengah, agar perjalanan tetap bisa dilakukan bersama-sama. Sesuai dugaanku, kelompok ini terpecah menjadi dua kelompok, orang-orang yang sudah berpengalaman mendaki gunung pasti terbawa oleh ritme mereka seperti biasa; sesegera mungkin mencapai puncak. Dengan cepatnya mereka melaju bak berjalan di jalan biasa saja. Hal ini membuat bingung ketua rombongan kami. Terlebih terkait barang bawaan dalam tas masing-masing yang juga berisi barang kebutuhan kelompok, seperti tenda dan konsumsi. Setelah mempertimbangkan berkali-kali, dan tentu saja juga berganti-ganti keputusan, akhirnya ketua rombongan kami memutuskan untuk menyusul rombongan yang sudah jauh di depan. Ingin sekali bisa memberikan solusi atau saran, tetapi aku hanya orang yang tidak tahu medan. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Maka, sepenuhnya yang dapat aku lakukan adalah percaya pada ketua rombongan kami. Dia meninggalkan dan mempercayakan pada tim sweeper untuk memastikan rombongan yang terdiri dari 7 orang; 3 wanita dan 4 pria ini dapat menyusul rombongan depan.
Sebenarnya ingin rasanya “berlari” mengikuti dan menyusul rombongan yang depan. Tetapi tidak, aku sudah memutuskan untuk mengikuti di rombongan belakang. Meski aku tahu, lebih tepatnya menduga segala kemungkinan termasuk resiko apa yang akan aku rasakan mengikuti rombongan belakang ketika dalam perjalanan pendakian.
Langkah demi langkah kami lalui bersama. Jalan berpasir menjadi tantangan kami untuk menentukan pijakan kaki. Debu-debu terhempas oleh angin yang bertampias di muka. Diiringi semangat dari pendaki lain yang tak putus asa untuk berhenti. Pos satu, pos dua, dan pos tiga. Sedang senja sudah mulai tiba. Hembusan angin mulai menelusuk masuk ke sela-sela jaket dan setiap pakaian yang dikenakan teman-teman. Sedangkan tujuan selanjutnya adalah sabana satu dan sabana dua, masih lama pikirku. Seingatku, dalam pendengaran setengah tidurku, rencana ketua rombongan kami adalah bermalam di sabana dua. Kami yang awalnya bertujuh pun terpecah menjadi dua. Aku bersama sweeper satu dan satu wanita. Sedangkan sweeper dua bersama dua wanita lainnya dan satu pria. Aku tak tahu apakah rombongan depan mengalami hal yang sama atau mereka masih tetap bersama.
Bertiga, ritme kami menjadi semakin lama. Wanita yang sedari tadi aku tawarkan mengurangi bebannya akhirnya mau juga melawan egonya untuk tidak sungkan demi kebaikan bersama. Bertiga, sweeper satu berjalan menuntun wanita itu, dan aku membawakan tasnya serta tak lupa tetap membawa tas/bawaanku. Ritme kami relatif lebih cepat meski juga lebih sering istirahat. Aku tak lagi mengkhawatirkan wanita satunya yang sudah berempat mendahului kami, karena aku lihat meskipun tadi terlihat sama dengan wanita ini, tetapi dia sudah dapat menyesuaikan dan tampak memiliki semangat yang besar. Sehingga aku sudah yakin esok dia akan berhasil mencapai puncak meski tadi sempat mengeluh kakinya terasa sakit lagi. Sedangkan melihat nafas dan cara berjalan wanita ini, aku menghilangkan kemungkinan buruk yang terlintas di benakku. Di sisi lain, aku melihat keinginannya dan ada sesuatu yang aku belum tahu. Satu hal yang dapat membuatnya tetap bisa bertahan dan terus berjalan sampai saat ini. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti ritmenya dan mendukung “sweeper satu” yang terus tetap memberikan semangat dan kata-kata yang positif. Pelajaran kedua; setiap orang memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sesuatu, dan motivasi itu memberikan kekuatan yang tak terhingga dan tak pernah terduga sebelumnya. Tinggal bagaimana setiap orang mengenali dan mendalami motivasinya.
Kegelapan semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap.

Thursday, October 9, 2014

Baiknya Sebuah Keburukan Dan Buruknya Sebuah Kebaikan

Apa yang tampak tak selalu memberikan arti sesuai penampakannya. Banyak sekal hal yang tak tampak yang justru memberikan arti yang sebenarnya. Sehingga sering kali kita mendengar apa yang tampak baik tak selamanya baik. Apa yang tampak buruk tak selamanya buruk. Terlebih lagi pada manusia. Manusia memiliki dua kecenderungan baik dan buruk. Dalam perjalanan hidupnya, dapat dipastikan manusia memiliki pengalaman melakukan kebaikan dan keburukan. Manusia memiliki kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah dipahami orang lain, ada pula kebiasaan-kebiasaan baik yang hanya dia sendiri (dan Tuhan) yang mengetahuinya. Sementara itu manusia juga memiliki perbuatan buruk yang hanya diketahui oleh dirinya, orang-orang yang bersamanya ketika melakukan perbuatan itu (dan tentu saja oleh Tuhan).
Dinamika kebaikan dan keburukan manusia sungguh sangat kompleks. Setiap hal-hal baik yang pernah dilakukan manusia tentunya akan mendapat balasan juga di dunia dengan kebaikan-kebaikan yang datang pada dirinya. Seringkali manusia tak sadar bahwa kebaikan-kebaikan yang sedang datang pada dirinya merupakan balasan dari kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukannya. Atau mungkin kebaikan itu berupa terjaganya rahasia keburukan tentang dirinya. Begitu juga sebaliknya; setiap keburukan yang pernah dilakukan mendapatkan balasan pula berupa keburukan yang menipa dirinya. Meski hanya terjatuh, sariawan, dan hal kecil lainnya. Lagi-lagi manusiapun sering kali tak menyadari bahwa setiap keburukan-keburukan yang sedang menimpa dirinya merupakan balasan dari kesalahan atau keburukan yang dulu pernah dia lakukan. Atau mungkin keburukan itu pada akhirnya memberikan kebaikan yang merupakan balasan dari kebaikan yang pernah dilakukan sekaligus balasan dari kesalahan atau keburukan yang juga pernah dia lakukan. Sungguh kompleks, bukan? Kau akan lebih dapat memahaminya jika kau sesekali menghubungkan sendiri kebaikan dan keburukan yang pernah kau lakukan dengan kebaikan dan keburukan yang baru saja kau dapatkan.
Kekompleksan kebaikan dan keburukan manusia tidak berhenti sampai di situ saja. Karena kebaikan dan keburukan tak selamanya berupa balasan atas apa yang pernah dilakukan. Bisa juga kebaikan dan keburukan itu menjadi sebuah ujian dan cobaan manusia untuk menaikkan derajat mereka di hadapan Tuhan. Jika manusia berhasil melewati ujian dan cobaan tersebut, manusia akan dinaikkan derajatnya. Bisa juga karena kebaikan yang berupa ujian, karena manusia tak berhasil melewatinya dengan baik, manusia dapat menjadi hina baik dihadapan manusia maupun Tuhannya.
Kebaikan dan keburukan yang dihadapi manusiapun dapat merupakan kombinasi antara keduanya. Kebaikan dan keburukan itu menjadi balasan atas apa yang pernah dilakukan sekaligus menjadi cobaan atau ujian agar mereka dapat meningkatkan derajatnya di hadapan Tuhan. Bisa jadi gara-gara keburukanmu kau mendapatkan suatu penyakit, sekaligus karena kebaikanmu, keburukanmu atau aibmu itu tidak tersebar ke semua orang dan tetap tersembunyi dalam memorimu. Maka, cobalah maknai apa yang sedang kau hadapi, apa yang sedang kau jalani. Karena selalu ada makna dalam setiap peristiwa. Dunia ini, dengan segala kejadian dan peristiwa yang terjadi di dalamya, tidak diciptakan secara sia-sia. Meski tak dipungkiri bahwa dunia ini hanya permainan dan senda gurau belaka.

Mati Sendiri

Sendiri bukanlah hal yang benar-benar aku inginkan
Meskipun terkadang aku pernah menginginkannya
Namun, kesendirian itu selalu datang menghampiriku pada saat-saat yang aku tidak menginginkannya
Sedang ketika aku menginginkan kesendirian, aku tak pernah puas dengan dengan kesendirianku..


Seandainya ada kematian yang Engkau halalkan, aku akan melakukan itu meskipun aku tahu bahwa dosa-dosa dan akhlak burukku lebih banyak daripada pahala dan akhlak baikku..
Aku rela masuk nerakamu meski aku tahu bahwa aku tak akan kuat di dalamnya..
Meskipun aku pernah menginginkan surga, tapi sungguh tak pantas hamba-Mu yang sangat hina dan kotor ini masuk dalam surga-Mu..
2010

Asrama MAN Insan Cendekia

Tanpa Ujung

Tahukah kau bagaimana susahnya menggambarkan suasana di saat-saat tertentu? Semua orang mungkin pernah mengalaminya. Ketika kata tak bisa mewakili apapun yang sedang dirasakannya. Beginilah dunia nyata. Bersanding dengan bermacam-macam orang, bertubrukan dengan berbagai keyakinan, bergabung dengan aturan-aturan, dan sebagainya.
Lihatlah, banyak sekali orang yang membutuhkan bantuan, sedangkan tak semua orang menyadarinya, padahal mereka mengetahuinya. Saksikanlah, banyak orang yang mampu membantu yang lainnya, tetapi tidak semua menyadarinya, sedangkan mereka terlena dengan berfoya-foya. Ketahuilah, banyak orang yang berpendidikan, memiliki banyak pengetahuan dalam banyak hal, tetapi kebanyakan dari mereka justru hanya diam.
Hei, tulisan ini sungguh tak beraturan. Sama halnya dengan kondisi otak ini yang tak tahu apa yang sebenarnya terpikirkan. Random. Berputar-putar, meliuk-liuk seolah-olah benar-benar tampak di depan mata. Melingkar-lingkar, berpilin-pilin menekan ubun-ubun kepala. Fokus tak bisa, tidurpun tak bisa.
Keluarga, akademik, organisasi, relasi, kesehatan diri, itu semua berkaitan dengan kehidupan. Penyesalan, dosa-dosa, amalan harian, kemaksiatan, peribadatan, dan ini semua berkaitan dengan akhirat. Padahal aku rasa semua sungguh sangat memiliki hubungan dan keterikatan. Semua yang seolah sangat tidak teratur padahal sesungguhnya sangat teratur. Karena sesungguhyna ketaraturan adalah ketidakteraturan itu sendiri. Sama halnya dengan ketiadaan akan keabadiaan. Semua pasti akan berubah. Karena pada hakikatnya yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Bingung, bukan? Karena aku sendiri sebenarnya sungguh sangat kebingungan.