Saturday, May 18, 2013

MENUNGGU MA(SA)-TI(BA)



sebuah tulisan setelah berdiskusi dengan paman dan saudara sepupu, sekaligus untuk persyaratan pendaftaran beasiswa dengan tema aku, Islam dan Indonesia
 
Hampir 20 tahun lamanya aku dilahirkan di dunia. Sudah menjadi kepastian bahwa suatu saat nanti pasti akan tiba saatnya aku harus pergi meninggalkan dunia. Entah akan berapa lama lagi masa itu akan tiba.
Aku terlahir sebagai seorang muslim. Al-Quran yang sebagai pedoman hidup mengatur segala aspek kehidupan dan Muhammad sebagai contoh ideal telah mencontohkan semuanya. Namun, aku sendiri merasa sangat belum mengenali mereka dengan dalam. Aku hanya sedikit menjalankan dan terus mencoba memahami dan meningkatkan agar sesuai dengan pedoman dan sesuai contoh yang ditunjukkan. Lewat Al-Quran, kehidupan ini sudah diatur oleh penciptanya. Baik untuk dunia itu sendiri maupun penghuninya. Semua proses terbentuk dan berjalannya dunia, hukum-hukum yang berlaku di dalamnya; gravitasi, energi, air, api, dan semuanya telah diatur sesuai kadarnya. Begitupun hukum-hukum untuk penghuninya; politik, sosial, ekonomi, dan semuanya juga telah diatur. Kemudian aturan itu disampaikan dan ditunjukkan oleh seorang teladan, Muhammad.
Di samping itu, aku lahir di salah satu pulau besar negara kepulauan Indonesia. Negeri dengan segala kekayaaan dan keindahannya hingga seperti surga yang digambarkan dalam Al-Quran. Negeri yang katanya mayoritas penduduknya beragama Islam tapi mayoritas juga hanya sebatas identitas di atas kertas. Secara fisik Indonesia memang memiliki keunikan khusus hingga hampir menyerupai surga. Indonesia terletak di atas pertemuan tiga lempeng tektonik besar. Petemuan ketiga lempeng itu mengakibatkan adanya peristiwa tektonik dan aktivitas magma. Sehingga menghasilkan banyak sekali sumber daya alam dan menjadikan tanah Indonesia menjadi subur. Letak geografis juga mempengaruhi iklim Indonesia. Dengan semua itu tampilan fisik Indonesia menjadi sangat indah dengan segala keanekaragaman hayati dan keanekaragaman geologinya.
Aku sangat bangga sekaligus sedih dengan keadaan Islam dan Indonesia saat ini. Di satu sisi, mulai berjalan gerakan-gerakan yang menanamkan pendidikan yang dilandasi dengan niat dan adab yang lurus, kesadaran demi kesadaran muncul pada tiap orang. Di sisi lain, kemaksiatan terus merajalela oleh siapapun dan dimanapun. Dari yang melarat sampai konglomerat, di tempat ramai seperti pasar hingga tempat tersembunyi seperti kamar, dari anak jalanan hingga orang kantoran, dari yang memang benar-benar penjahat bahkan sampai tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Sebagai seorang yang bersifat suka mengamati, aku memang bangga dengan mereka yang mulai sadar. Namun, kebanggan itu hanya sementara dan lebih banyak merasakan sedih dan sangat khawatir. Mereka yang sadar tidak atau mungkin belum berani mengungkapkan kesadarannya untuk mengajak mereka yang belum sadar. Mereka yang sudah tahu juga lebih banyak diam dibandingkan mereka yang terus-menerus “mengoarkan” kemaksiatan.
Sebagai seorang pemimpi, seharusnya negara ini dapat menjadi negara yang adidaya. Dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, sumber daya manusia yang banyak, dengan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Namun, sangat disayangkan data-data itu tak banyak mendukung negara ini untuk mencapainya. Islam dengan Al-Quran dan Muhammad sebagai pedoman dan teladan tidak benar-benar digunakan sebagai landasan untuk mengatur semua. Sumber daya manusia hanya tinggi dalam kuantitas bukan kualitas. Sehingga sumber daya alam yang ada justru menjadi santapan lezat bagi negara lain.
Sebagai orang yang dianggap bisa menganilisis dengan baik, kekhawatiranku akan Islam dan Indonesia semakin menjadi. Jika dugaanku benar tentang apa yang kutemui, maka kemungkinan besar Indonesia akan mendapatkan bencana yang sangat besar. Hatiku perih saat kutemui mereka yang bermaksiat justru adalah mereka yang paham agama, kalaupun tidak kebanyakan dari mereka juga menggunakan edentitas islam tapi benar-benar tidak mau mempelajari islam lebih dalam. Padahal sudah menjadi kewajiban bagi orang yang tahu untuk menjalankan apa yang diketahuinya dan bagi orang yan belum tahu untuk belajar dan mencari tahu. Namun, itu tidak dilakukan, justru sebaliknya. Maka, melihat umat yang seperti ini, tak ubahnya seperti umat-umat terdahulu, kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, Aikah, Sodom, Bani Israil, dan Quraisy. Mereka semua telah mendapat adzab masing-masing. Sementara itu, orang-orang yang sudah tahu dan paham tentang agama dan menjalankannya tidak atau mungkin belum berani mengajak mereka untuk bertaubat. Atau mungkin belum menemukan cara yang tepat untuk mengajak mereka berbuat kebaikan dan menjalankan aturan. Atau karena memang mereka menganggap diri dan apa yang diyakininya lah yang paling benar, sehingga masing-masing mereka merasa paling benar dan saling menyalahkan. Selain itu, ditambah lagi letak Indonesia yang di atas tiga lempeng tektonik tadi, selain memberikan banyak kenikmatan, juga mengakibatkan banyak sekali kemungkinan bencana alam. Bencana alam yang sementara ini dapat diramalkan atau sudah banyak diteliti dan sudah terbiasa terjadi adalah seperti gunung merapi, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir. Namun, ada satu kemungkinan yang belum banyak orang melihat dan menelitinya; bahwa Indonesia terletak di daerah “pinggiran” dan sebelah timurnya merupakan samudra luas, Samudra Pasifik. Sementara itu, Indonesia juga merupakan Negara Kepualauan. Ketidaktahuan kita akan Samudra Pasifik, tentang kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya, baik dari atas samudra itu maupun yang ada di bawah atau dalamnya, bencana besar dapat terbayangkan. Kalaupun tidak, semua bencana yang sudah diketahuipun sudah cukup mengkhawatirkan.
Melihat data-data dan ayat-ayat yang kuamati, Islam dan Indonesia menjadi mimpi buruk yang pastinya tidak diinginkan terjadi. Tapi sebagai manusia biasa aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku sadar bahwa seharusnya kekhawatiran tidak menguasaiku melainkan aku yang harus mengendalikannya. Sebenarnya justru tidak perlu merasa khawatir, karena memang semua telah diatur, dan aku hanya sebagai pelaksana salah satu peran yang telah ditentukan. Saat ini aku hanya bisa melakukan yang terbaik baik untuk diri sendiri maupun lingkungan; orang lain dan alam sekitar. Aku akan melaksanakan peranku ini; sebagai seorang muslim dan warga Indonesia, melalui setiap kesempatan dan bidang yang ada; keluarga, lingkungan, akademik, organisasi, sampai saatnya nanti aku harus meninggalkan dunia. Entah kapan masa itu akan tiba.