Monday, March 21, 2011

Emang Kamu Tahu?

Semua orang sibuk merapikan barang. Mencari nomor kursi yang tercantum dalam tiketnya masing-masing. Aku memilih duduk di samping jendela. Berdua dengan temanku, Udin. Tak lama kemudian kereta mulai berjalan, menembus kesunyian malam.
“Fik, coba bandingkan dengan kereta ekonomi! Jauh sekali!” kata Udin. “Di sini kita bisa istirahat langsung. Tidak usah bersusah payah mencari tempat yang nyaman.” tambahnya.
“Iya... berbeda 180 derajat” kataku. Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di kepalaku saat pulang bersama naik kereta ekonomi. Berdesak-desakan. Mencari tempat yang nyaman. Tapi, itu dulu. Kali ini kami ingin berbeda. Setidaknya, setelah wisuda ini kami pulang bersama naik kereta bisnis. Menikmati yang lebih baik daripada kereta ekonomi. Di sini tak ada pedagang asongan yang lalu-lalang di setiap gerbong, di setiap waktu. Mungkin hanya sesekali saja saat berhenti di stasiun. Itupun kalau stasiunnya besar dan berhentinya lama. Kemudian, kemungkinan kecopetan kecil. Karena kami sudah pasti mendapat tempat duduk. Tidak seperti di kereta ekonomi yang harus berdesak-desakan.
Tanpa kusadari Udin telah terlelap. Terbang bersama mimpinya. Kulihat guratan lelah di wajahnya. Ah.... Rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Belajar bersama. Berorganisasi dan sebagainya. Tapi waktu tak pernah ingkar janji. Perpisahan itu pasti ada.
*********************************
Aku turun dari kereta api. Lelah. Punggungku terasa pegal semua. Kereta itu melanjutkan perjalanannya. Melewati rel panjang yang memotong hamparan alam. Aku berfikir, andai saja hidup itu seperti melewati rel, akankah manusia bisa menikmati kehidupannya yang tanpa halangan? Aku tersadar dri lamunnku. Karena semua yang sbelumnya tampak kini mulai menghilang. Gumpalan awan hitam muncul entah dari mana.
Hamparan tanah tergelar di hadapanku. Tak ada satu bangunan pun yang berdiri. Sejauh mata memandang, hanya awan hitam yang menghiasi hamparan ini. Tapi, agak jauh di sana aku melihat setitik sinar. Aku mencoba menuju ke sana. Berjalan dengan hati-hati dalam kegelapan. Karena aka hanya bisa melihat dengan jelas hanya tak sampai satu meter berkat sinar yang memancar dari diriku sendiri. Aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tak berani menolehkan kepalaku. Meski hanya melirik. Perlahan sinar itu kian tampak. Menerangi semua yang ada di sekelilingku. Namun sejauh aku melangkah, semakin lama aku meniti, aku tak pernah bisa mencapai sumber sinar itu. Tapi aku tetap tak menyerah. Aku mengingat semua perbuatan baik yang pernah kulakukan. Dan melupakan sama sekali segala perbuatan buruk dan maksiat yang pernah kulakaukan. Mungkin hal ini dapat membuatku mencapai sumber sinar itu.
Aku terkejut saat mengetahui sinar itu berasal dari sekumpulan orang-orang yang memakai baju putih. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga putih. Mungkin inilah yang dimaksud dengan orang-orang yang terlindungi oleh air wudhunya. Sinarnya sangat terang. Beratus kali lipat dari sinar yang ada pada diriku.
Aku baru sadar. Ternyata yang mengikutiku tadi adalah sekolompok orang yang berbaju hitam. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga hitam. Tak tampak sedikitpun sinar dari mereka. Justru kegelapan dan kemuramanlah yang mengelilingi mereka. Ternyata mereka juga menuju sinar benderang itu dengan bantuan sinar yang ada pada diriku. Memastikan mereka berjalan di jalan yang benar, tidak terpelosok dalam jurang atau lubang yang mungkin ada di tengah kegelapan ini.
Jikalau ada kelompok hitam dan putih, maka aku adalah abu-abu. Jika mereka dalam pancaran sinar benderang dan kegelapan, maka aku berada dalam keremang-remangan. Jika mereka bersenang-senang dan ketakutan, maka akulah si wajah datar, tak berekspresi.
Lama-lama aku mengenali beberapa orang yang ada dalam kelompok itu. Pada kelompok berbaju putih itu, aku melihat kedua orangtuaku, kakak-kakakku, serta seluruh keluargaku dan tetanggaku. Dan banyak orang lagi yang tak aku kenal. Mereka tampak tersenyum, berseri.
Sedangkan pada kelompok baju hitam itu. Aku melihat guru-guruku, teman-temanku seangkatan, bahkan presiden dan wakil presiden beserta para petinggi negara lainnya dan orang-orang yang tak aku kenal. Mereka masih tetap berusaha mencapai sinar yang ada pada kelompok berbaju putih itu. Karena mereka merasa ketakutan berada dalam kegelapan.
Aku mengamati kedua kelompok tersebut. Lalu, pada diriku sendiri. Apa yang membuat kami berbeda dan terpisah? Apa yang membuat kami tak pernah bisa menyatu meski aku dan sekelompok orang berbaju hitam itu berjuang sekuat tenaga? Tempat apa ini? Di mana aku?
“Di sinilah tempat kalain akan dibalas sesuai amal kalian.” Suara itu muncul tiba-tiba. Seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Kalau memang ini adalah tempat pembalasan, apakah Tuhan tidak salah menempatkan? Aku mengenal guru-guruku yang selalu mengajarkan sholat berjamaah, teman-temanku yang rajin sholat, saling membantu dan mengingatklan. Presiden, wakil presiden, dan petinggi-petinggi lainnya yang mencanangkan program pendidikan, BLT, serta bantuan-bantuan lainnya kepada warganya. Tapi, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang gelap?
Aku juga mengenal tetangga-tetanggaku yang sering mencopet, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, menindas yang lain, pokoknya mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya. Lalu, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang berbaju putih itu?
Dan di manakah aku? Termasuk manakah diriku? Apakah aku bukan salah satu dari mereka? Atau lebih ekstrim lagi, apakah aku ini bukan manusia? Sehingga aku tidak termasuk orang-orang yang akan dibalas amalnya? Atau Tuhan memang benar-benar tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sehingga tertukar-tukar menempatkan orang dan tidak menempatkan aku?
Dengan segenap keberanianku, aku berteriak, “Aku meragukan Engkau, TUHAN!!!”
Tak ada jawaban. Kelompok berbaju hitam itu terhenti dari langkahnya. Kaget dengan ucapanku barusan. Begitu juga kelompok berbaju putih. Wajah berserinya hilang. Berganti kebencian karena Tuhannya telah diejek. Melihat reaksi mereka aku semakin berani. Berani meneriakkan kebenaran dan keadilan. Aku berteriak lagi, “Di mana Engkau Tuhan? Di mana Engkau yang katanya ADA? Di mana Engkau yang katanya Maha Tahu? Yang katanya Maha Adil?” aku ngos-ngosan. Aku sendiri kaget. Mengapa kata-kata itu muncul dari mulutku, bukan dari sekelompok orang berbaju hitam itu? Inikah setitik ketidak percayaanku pada-Nya?
Masih tak ada jawaban. Tapi, tiba-tiba muncul layar seperti video. Memperlihatkan negaraku, Indonesia. Pemandangannya yang indah, laut dengan kekayaan alamnya, hutan, barang tambang, dan tanah yang menumbuhkan segala macam tanaman. Lalu menunjukkan sekolahku yang mewah dengan fasilitas yang memadai. Menunjukkan rumahku yang sederhana tapi mencukupi. Dan kehidupan tetangga-tetanggaku yang miskin penuh dengan maksiat dan dosa. Bersamaan berputarnya video itu, suara ghaib itu muncul lagi, menjawab perkataanku tadi.
“Buat apa nikmat yang Aku berikan padamu? Kau dengan seenaknya belajar di sekolah yang gratis menggunakan uang rakyat, tapi apa yang kau berikan pada mereka? Kau membuang-buang makanan sisa, tapi kau lupa dengan tetanggamu yang terlunta-lunta! Jangan bandingkan mereka dengan dirimu dan teman-temanmu atau guru-gurumu bahkan pemimpinmu! Wajar tetanggamu melakukan apa pun yang mereka anggap halal, karena mereka tak diberi pendidikan. Dan mereka melakukannya karena untuk memepertahankan hiduup. Tidak seperti mereka yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya, padahal mereka berpendidikan! Kau mengatakan teman-temanmu rajin sholat. Itu yang kau lihat! Tapi sebenarnya mereka melakukannya karena takut pada gurumu, bukan kepada-Ku. Dan saat kau tak bersamanya, apakah kau yakin kalau mereka masih melakukan sholat? Bahkan saat kau masih bersamanya pun kau tak tahu dari mereka yang tidak takut bahwa Aku melihatnya bersengaja tidur, berpura-pura sakit sedang Aku tengah memanggilnya! Kau mengatakan guru-gurumu selalu mengajarkan kebaikan. Tapi, apa kau yakin mereka juga melakukan apa yang mereka ajarkan padamu? Dan apakah kau tahu dan yakin kalau mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan ajaran-Ku? Bahkan mereka lebih mementingkan kalian daripada memenuhi panggilan-Ku! Apalagi pemimpin-pemimpinmu! Kau tahu sendiri apa yang mereka lakukan! Korupsi, menindas yang lemah dan sebagainya! Itu yang kau tahu! Dan Aku lebih tahu semua yang mereka lakukan!”
Aku terdiam. Aku sadar. Semua yang kulakukan di dunia hanyalah untuk diriku sendiri. Tidak lillahi ta'ala atau memikirkan nasib orang lain. Aku pun tak pernah mau menuruti ibuku yang mengajakku mengajari anak-anak tetanggaku untuk membaca baik membaca buku atau membaca Al-Quran, menulis dan berhitung. Aku juga tidak meniru ayahku yang selalu menyisakan uangnya yang lebih untuk membantu tetangga yang sedang membutuhkan. Ibuku pun tak pernah membuang makanan yang tersisa. Kalau sisa biasanya beliau memberikannya pada tetangga juga. Dan yang aku lakukan selama liburan di rumah hanyalah bermain komputer, tidur, dan makan.
Tiba-tiba sesuatu menampar mukaku. Kemudian badanku. Terus. Berkali-kali. Rasa sakit datang bertubi-tubi mulai dari atas hingga bawah. Sekujur tubuhku merasakan kesakitan luar biasa. Inikah siksa yang Dia berikan padaku?
“Bangun! Sudah subuh!” teriak ayahku.
Aku terbangun. Ayahku sudah putus asa membangunkanku. Dia memukulku dengan kipas yang terbuat dari bambu. Aku langsung lari menghindar pukulan ayahku dan mengambil air wudhu.
Kini, aku sadar. Dia lebih tahu karena memang Dialah Yang Maha Tahu, Yang Maha Adil, Maha segalanya. Aku belum tahu langkah apa yang harus kulakukan untuk menegakkan hukum yang adil di negeri ini. Keadilan yang dinanti-nantikan terutama oleh rakyat jelata yang tidak berpendidikan dan tidak tahu-menahu jalannya pemerintahan. Jangankan berbuat. Hari pertama libur saja sudah telat subuh. Bagaimana mau menegakkan keadilan?

Wednesday, March 9, 2011

Nilai Sebuah Persahabatan

Kawan,
MAN Insan Cendekia menjadi saksi
di sekolah ini kita dipertumukan
tanpa sepadan ikatan kekeluargaan
berbekalkan semangat nan satu membara di jiwa
tekad mencari segunung ilmu di dada

kita tak pernah menduga
pertemuan sesingkat ini
membuahkan rasa cinta
jika dibandingkan kasih Romeo dan Juliet
kisah kita tiada tolak bandingnya

Kawan,
tatkala kekosongan melanda jiwa
kehadiranmu tanpa dipaksa
memenuhi uang hati yang kian membara
berkongsi segala apa yang ada
tanpa curiga dan sakwa sangka

Kawan,
kehadiranmu bagaikan sinar rembulan
menerangi kamar hatiku nan sepi
kasihku padamu ikhlas karena ilahi

sungguhpun tiada ikatan darah antara kita
namun itu bukanlah alasan tuk tidak bersama
malah kuanggap dikau umpama keluarga
tatkala jatuh kita bangkit bersama, tanpa dipaksa

Kawan,
kuucapkan terima kasih atas persaabatan ini
andai dihitung selautan air
tak dapat menyamai kasihku padamu
kita tanami sebuah persahabatan
kita sirami dengan kasih dan rindu
kita bajai dengan kejujuran
kita hilangkan rasa cemburu dan kemarahan
kita cemburui dengan tangisan dan perpisahan

Kawan,
sudah menjadi lumrah hidup manusia di dunia
yang datang pasti kan kembali
begitulah diibaratkan persahabatan ini
andai selepas ini kita tak bersama lagi
memori lama usah dilupakan
aku tahu dan pasti
setelah perpisahan ini
pasti kita menangisi
menangisi sebuah ikatan nan suci
tatkala memori lama diungkap kembali
karena di sisi Tuhan cinta kita bersemadi

Kawan,
selepas perpisahan ini
aku pasti akan merindui
helai tawamu
senyuman manismu
usikan manjamu
yang penuh dengan jalinan indah
menjadi pengobat dikala duka
menjadi azmat cinta kita

Kawan,
pernah suatu ketika kita bersengketa
persengketaan yang tidak dipinta
tanpa diundang dan tanpa dipaksa

namun itu bukanlah menjadi pengakhir persahabatankita
kita berbincang bersama duduk melingkar
mencari seribu satu penyelesaian
yang baik dijadikan tauladan
yang buruk dibuang serta ditinggalkan

Kawan,
aku ridho dengan takdir
asam dan garam sudah menjadi rencah kehidupan
kepasrahan yang harus diterima
untuk masa depan kita bersama
kekal untuk dulu, kini, dan selamanya

Kawan,
kini perpisahan telah tiba
hulurkan salam pemula bicara
zahirkan kabar di mata pena
dengan kabaran berita yang indah
pemula bicara sesama kita...

Wednesday, March 2, 2011

Wilayah Al-Ummah

Khotbah-khotbah yang disampaikan Abdul Jalil di Tajug Agung Lemah Abang sangat digemari oleh para pendengar nya. Ini terlihat saat Abdul Jalil menyampaiakn khotbah lanjutan pada hari berikutnya, jumlah pendengar makin berjejal-jejal memadati Tajug Agung dan tanah lapang yang terhampar di depannya. Warga dari pinggiran Kuta Caruban yang letaknya cukup jauh dari Lemah Abang pun berdatangan. Usai memimpin sembahyang isya, Abdul Jalil memulai khotbahnya.
“Selama berbilang abad telah ditanamkan ke dalam alam pikiran orang-orang beragama Islam bahwa yang disebut berhala adalah batu-batu, kayu-kayu pahatan, pohon keramat, gunung, dan benda-benda alam yang disembah manusia. Selama beratus tahun telah diyakinkan kepada umat Ialam bahwa para penyenbah berhala adalah orang-orang sesat yang akan hidup celaka karena menyekutukan Allah, tuhan sarwa sekalian alam.”
“Tetapi, malam ini aku katakan kepada kalian semua, o saudara-saudaraku, bahwa sesungguhnya berhala yang paling menyesatkan dan berbahaya bagi kehidupan manusia adalah sebentuk makhluk jahat yang dipuja-puja dan disembah-sembah oleh sekalian manusia, termasuk di dalamnya umat beragama Ialam. Dengan suaranya bergemuruh menggetarkan, makhluk jahat itu telah menjadi kiblat sesembahan baru umat manusia. Dengan bayangan dirinya yang kelam dan mengerikan, makhluk jahat itu dipertuhankan oleh manusia. Apakah nama makhluk jahat mengerikan itu? Dari mana makhluk jahat itu berasal? Kejahatan apa yang telkah dilakukannya?”
“Aku katakan kepadamu sekalian, o Saudara-saudaraku. Bahwa yang disebut makhluk jahat yang disembah manusia itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah tatanan hidup manusia yang dinamakan kerajaan atau negara. Itulah tuhan baru. Itulah berhala baru. Itulah makhluk penyesat yang mengerikan. Ingat-ingatlah selalu ucapanku! Di antara berhala-berhala yang paling mnyesatkan dan paling berbahaya bagi manuisa-manusia beriman adalah makhluk bernama: kerajaan! Kerajaan! Kerajaan! Negara!”
“aku beritahukan kepada kalian bahwa yang disebut kerajaan atau negfara sesungguhnya adalah makhluk berdarah dingin yang sangat haus darah. Dia makhluk pemangsa berjiwa ganas melebihi serigala yang paling buas. Darimanakah makhluk pemangsa itu berasal? Kalian semua harus tahu bahwa makhluk jahat yang mengerikan itu merupakan monster ciptaan para pendusta. Rancangan para pembohong. Rekayasa para penipu. Ya, monster ciptaan para pendusta. Tahukah kalian siapa pendusta itu? Mereka adalah manusia-manusiasetengah binatang yang tubuh dan jiwanya tercipta dari bayangan makhluk paling mengerikan: Iblis.”
“Sesungguhnya para pendusta yang telah mencipta monster bernama kerajaan itu adalah makhluk-makhluk yang lemah dan tak berdaya. Mereka jauh lebih lemah daripada cacing-cacing penghuni tanah. Meski lemah, mereka memiliki akal yang jauh lebih licik dan lebih curang dibandingkan akal busuk serigala. Mereka juga memiliki suara geraman dan gongongan yang lebih kuat dibanding anjing. Mereka memiliki pamrih yang jauh melebihi pamrih udang dibalik batu. Mereka memiliki tubuh yang lebih licin dari belut. Mereka dapat terbang tinggi di angkasa laksana burung nazar pemakan bangkai. Mereka bahkan dapat mengubah-ubah warna kulit melebihi bunglon. Dan, yang membuat mereka menjadi kuat melebihi kekuatan harimau adalah kemampuan mereka untuk bersekongkol dalam kejahatan dengan sesamanya.”
“Tahukah kalian apa hasil persengkokolan makhluk-makhluk lemah berjiwa cacing, serigala, anjing, udang, burung nazar, belut, dan bunglon itu? Kerajaan! Negara! Itulah mkhluk pemangsa ganas yang telah mereka cipta dalam persengkokolan yang menjijikkan. Para pendusta bersekongkol membuat dongeng-dongeng palsu yang berisi gantungan harapan bagi manusia. Mereka, para pendusta itu, mendongeng tentang pemangsa ganas bernama kerajaan sebagai tatanan ciptaan Tuhanyang bakal mendatangkan keadilan, keselamatan, dan kemuliaan bagi manusia yang patuh dan setia pada sang pemangsa tersebut.”
“Sungguh, aku katakan kepada kalian, o Saudara-saudaraku, bahwa apa yang mereka dongengkan adalah dusta semua. Dibalik dongeng-dongeng itu mereka memasang jerat yang bakal memerangkap setiap orang yang mempercayai dusta mereka. Kemudian, bagaikan kawanan laba-laba yang melihat mangsa terjerat ke dalam jaring-jaringan kepentingan pribadi yang ditebarnya, para pendusta itu akan memangsa siapa saja diantara manusia yang mempercayai kebohongan mereka. Sesungguhnya para pendusta itumakhluk yang lebih rakus, lebih serakah, lebih ganas, dan lebih mengerikan daripada laba-laba. Dengan dongeng-dongeng ciptaannya para pendusta mengendalikan makhluk bernama kerajaan yang mengerikan itu untuk mencabik-cabik kehidupan manusia yang percaya pada dongen-dongeng mereka.”
“Dengan kerkusan, ketamakan, kelicikan, dan kecurangan tak terbayangkan, para pendusta itu bersekongkol atas nama kerajaan, atas nama negara. Dengan mulut-mulut yang najis mereka berkata kepada komplotannya; 'Marilah kita satukan bahasa kita unutk menetapkan benar dan salah, baik dan buruk, pahlawan dan pengkhianat, anugerah dan hukuman, sah dan tidak sah, keadilan dan kezaliman, bahasa lain yang tidak sesuai dengan kita hendaknya kita singkirkan sebagai bahasa yang rancu. Sesungguhnya, drngan bahasa kita itu, kitalah pemilik kebenaran atas nama negara.'”
“Ketahuilah, o Saudara-saudaraku, dengan bahasa persekongkolan itu para pendusta tengik akan menekuk lutut manusia untuk bersujud di hadapan makhluk ganas yang mereka cipta. Dengan bahasa hasil persekongkolan itu mereka menimbun harta benda dari para manusia taklukan. Kemudian, bagaikan monster kelaparan, mereka mngunyah dan memamah harta benda yang mereka timbun. Sungguh menjijikkan para pendusta itu bagiku. Sungguh najis mulut mereka itu. Apa pun yang keluar dari mulut itu, menurutku, akan ikut menjadi najis.”
“Lihatlah apa yang dilakukan para pendusta itu saat mereka sudah memiliki timbunan harta benda yang mereka peroleh dari sisik, bulu, rambut, dan kotoran makhluk pemangsa ciptaan mereka. Lihatlah apa yang mereka lakukan ketika perut mereka sudah kembung berisi kotoran kerajaan yang najis. Lihatlah apa yang mereka lakukan ketika mereka sudah berkerumun di sekitar tonggak kekuasaan. Dengarkan apa yang mereka ucapkan dengan bahasa dustanya. Lihat! Dengar! Renungkan! Apa yagn diperbuat para pendusta terkutuk di sana!”
“Di sekeliling tonggak kekuasaan itu mereka menyeringai dengan wajah monyet menjijikkan. Mereka memandang ke atas tonggak dengan mata serigala yang menyala penuh hasrat. Mulut mereka berbusa dan meneteskan liur menggelikan menyaksikan gemerlap singgasana yang tergantung di atas tonggak bersalut emas. Mereka tidak kuasa menahan keinginan untuk tidak naik ke atas singgasana.”
“lihat! Lihatlah para pendusta bermulut najis itu! Mereka bagaikan orang tidak waras berebut memanjat ke atas tonggak kekuasaan tempat singgasana gemerlapan tergantung. Lihat, mereka saling menignjak. Mereka saling menyikut. Saling menggigit. Mereka bahkan saling membunuh. Dan lihat, satu di antara para pendusta itu, yaitu dia yang paling kuat dan paling licik, akan sampai di atas singgasana. Dialah sang pemenang. Dialah sang raja yang berhak duduk di atas singgasana yang dikitari bangkai dan kotoran.”
“Raja yang duduk di atas singgasana itulah hasil persekongkolan para pendusta. Sang raja, menurut bahasa mereka, adalah penunggang dan pengendali makhluk pemangsa ganas bernama kerajaan. Kemudian, dengan bahasa dusta yang digunakannya, para pendusta itu berkata: 'Lihatlah, Tuhan Yang Mahakuasa telah turun ke dunia sebagai raja. Dia turun dari langit dan duduk di atas singgasana emas dengan dikelilingi bidadari dan ruh suci para leluhur yang berkata-kata memuji sang raja: Jayalah Sang Raja! Kuduslah Sang Raja! Agunglah Sang Raja! Inilah Sang Raja yang duduk di atas takhta Kebenaran. Raja yang berjalan di atas permadani ketidakbersalahan. Sang Raja yang adil dan bijaksana. Sang Raja yang agung dan mulia. Sang Raja yang menjadi pemilik segala sesuatu yang terhampar di atas bumi yang dikuasainya. Sang Raja yang wajib disembah dengan segala kepatuhan dan ketundukan. Ya, Sang Raja, jelmaan tuhan di dunia'”
“Setelah yakin dusta yang dibangun kaumnya dipercaya banyak manusia maka dengan raungan mengerikan sang raja yang menunggangi makhluk pemangsa mengerikan bernama kerajaan itu bertitah: 'Akulah yang teragung dan termulia di antara segala raja. Akulah titsan Tuhan di jagad raya. Karena itu, berlutut dan bersujudlah kalian menyembah aku! Barang siapa di antara kawula yang menghadap raja tidak berlutut, tidak bersjud, dan tidak menyembah akan dipenggala kepalanya.””
“Aku katakan kepada kalaian, semua itu adalah kepalsuan yang dirancang para pendusta dengan mengatasnamakan keberadaan kerajaan sebagai ketentuan Tuhan. Aku katakan bohong dan dusta kata-kata mereka itu. Sebab, apa yang mereka katakan sangatlah bertentangan dengan kenyataan akan asma' dan shifat Tuhan.”
“Sejak zaman awal hingga akhir nanti Dia, Yang Maha Merajai (al-Malik), tidak pernah ingkar janji dan tidak pernah menyimpang dari asma' dan shifat-Nya. Jika Dia mewajibkan hamba-Nya untuk patuh, tunduk, dan setia kepada-Nya maka Dia akan melimpahkan semua anugerah yang tak terbayangkan kepada hamba tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Hamba-hamba yang tunduk, patuh, dan setia akan dianugerahi-Nya pangkat takwa. Mereka akan dimuliakan dan diagungkan sepanjang masa.”
“Sementara itu, jika kalain mempercayai dongengan para pendusta, dengan menganggap raja-rajamu sebagai jelmaan al-Malik di dunia, justru kesengsaraan dan kehinaan yang terbukti engkau terima. Ketundukan, kepatuhan, dan kesetiaanmu sebagai hamba dari raja-rajamu tidak mendatangkan manfaat apa-apa bagimu kecuali penderitaan. Sebab, engkau yang tunduk, patuh, dan setia kepada rajamu akan ditempatkan sebagai hamba sahaya yang selalu hidup dalam keadaan kekurangan, tertindas, teraniaya, dan dizalimi. Raja-rajamu dengan semena-mena bisa bebas merampas harta benda milikmu, bahkan merampas nyawamu. Engkau sekalian tidak diperkenankan memiliki sesuatu melebihi rajamu. Engkau ditempatkan dalam keadaan serba kekurangan, sedangkan rajamu dalam kelimpahruahan.”
“Penderitaan dan kesengsaraan kalian sebagai kawula akan semakin berat dan tak tertanggungjawawabkan ketika kalian dkuasai raja-raja yang gemar berperang. Saat makhluk pemangsa bernama kerajaan itu ditunggangi untuk menyerang makhluk pemangsa lain, yang paling menderita adalah kalian: kawula. Rumah kalian dibakar. Harta benda kalian dijarah. Anak-anak kalian dirampas untuk dijadikan budak. Nyawa kalian pun akan dirampas oleh makhluk pemangsa yang bertarung. Sehingga, sejak zaman purwakala hingga sekarang, sesungguhnya, kalian selalu jatuh di bawah kekeuasaan makhluk pemangsa satu ke makhluk pemangsa yang lain. Karena itu, o Saudara-saudaraku, salahkah aku jika mengatakan dengan jujur bahwa raja-raja yang menyatakan jelmaan Tuhan di dunia itu adalah pendusta besar? Salahkah aku jika menggambarkan keberadaan kerajaan sebagai makhluk pemangsa yang paling ganas?”
“Sekarang jelas sudah bagi kalian semua bahwa kepercayaan terhadap dongeng-dongeng tentanf raja dan kerajaan yang dirancang para pendusta itu harus diakhiri. Jangan didengar lagi mulut-mulut najis mereka yang menebarkan janji palsu tentang kemakmuran dan keadilan dari makhluk mengerikan yang mereka sebut kerajaan, tunggangan raja-raja yang dikelilingi oleh para pendusta untuk memuaskan nafsu renda mereka. Sebab, raja dan para pendusta itu adalah manusia berjiwa laba-laba ganas yang selalu merancang siasat untuk menjerat manusia-manusia berjiwa keledai, unta, kuda beban, sapi perah, kerbau, dan anjing peliharaan untuk dijadikan mangsanya.”
“Jika kalian masih percaya dengan ucapan para pendusta itu, sesungguhnya selama ini kalian semua telah memakan dusta para pendusta. Kalian telah terpesona karena para pendusta itu telah memperlihatkan kalian sebuah tontonan menakjubkan tentang sang raja yang duduk di atas singgasana emas bertabur permata. Kalian takjub melihat takhta itu memancarkan kilau indah gemerlapan karena diterangi lampu-lampu yang bercahaya. Kalian terbius karena singgasana itu tegak di tengah kepulauan dupa dan kayu gaharu yang wangi. Kalian terheran-heran menyaksikan berderet-deret pejabat dan pendeta peliharaan raja. Kalian terperangah menyaksikan para penari jelita yang melenggak-lenggok di depan sang raja. Sungguh agung dan mulia tontonan itu. Betapa megah dan mewah tontonan itu.”
“Aku tidak menyalahkan kalian yang terpesona oleh tontonan para pendusta itu. Aku hanya meminta, jika kalian adalah orang-orang bijak maka hendaknya kalian bertanya kepada diri: di dalam tontonan yang menakjubkan itu, sesungguhnya di manakah letak kedudukanku? Jika pertanyaan tentang kedudukan diri sudah kalian ajukan maka kalian pun akan segera tahu jawabannya, yaitu kalian akan berkata begini: aku adalah kawula kerajaan. Aku adalah hamba sahaya sang raja. Sebagai kawula, kedudukanku di dalam tontonan agung itu tidak lebih dari sekedar batu-batu pajangan yang hidup tidak mati pun enggan. Batu-batu pajangan yang bisa menyaksikan sang raja berjalan, berlatih memanah, menunggang kuda, berburu, dan menerima sanjungan dan pujian dari kawulanya. Batu-batu pajangan yang setiap saat merelakan dirinya dijadikan alas pijakan bagi para pendusta. Ya, batu-batu pajangan yang dianggap tak bernyawa.”
“sejarang ini, o Saudara-saudaraku, aku beritakan kepada kalian bahwa telah datang zaman baru sehingga tontonan-tontonan megah dan mewah ciptaan para pendusta itu harus ditinggalkan. Pada zaman baru ini orang-orang harus berkata: 'Jangan pecaya lagi kepada para pendusta yang mengatakan dirinya abdi raja, abdi negara, hamba hukum, nayakapraja, punggawa, dan pahlawan kerajaan. Jangan percaya ucapan mereka karena mulut mereka najis. Jangan percaya pada janji-janji mereka karena semuanya mengalir dari mulut yang najis.”
“Kenapa aku katakan mulut-mulut najis? Sebab, lidah mereka palsu. Behkan, tenggorokan, jantung, limpa, dan usus mereka pun palsu. Itu sebabnya, kata-kata yang keluar dari mulut mereka palsu semua. Demikianlah, Kebenaran yang sesungguhnya tentang para pendusta itu.”
“Dengan memahami kepalsuan tubuh dan jiwa para pendusta yang bersekongkol mencipta makhluk pemangsa jahat bernama kerajaan, bukan berarti kalian memiliki hak untuk mencela dan menista, karena makhluk pemangsa jahat ciptaan mereka itu memang merupakan bagian dari kodrat kehidupan di dunia. Ibarat kawanan laba-aba bebas menebar jaring untuk mencari mangsa, begitulah para pendusta itu bebas menebar kebohongan dan janji palsu untuk memerangkap orang-orang lemah dan bodoh yang mempercayai dusta mereka. Sesungguhnya, hanya mereka yang sudah ditundukkan oleh nafsu rendah badani jua yang akan menjadi kawula taklukan pemangsa jahat bikibnan para pendusta itu.”
“Kepada kalian, o adimanusia-admanusia yang menduduki jabatan wakil Allah di muka bumi, diwajibkan bagi kalian untuk sadar diri dan tidak mempercayai dusta yang dibangun para pendusta. Ketika kalian meyakini kebenaran yang dibangun para pendusta sehingga menjadikan kalian tunduk dan patuh, berlutut dan bersujud kepada makhluk jahat bernama kerajaan itu maka 'telunjuk Sang Kebenaran' akan ditudingkan ke arah kalian dengan tuduhan: musyrik!'”
“Jika sebelum ini para 'alim yang menjadi pemimpin kalian mengatakan: jangan berlutut dan bersujud kepada batu-batu dan kayu-kayu yang dipahat! Maka sekarang aku katakan: Jangan kalian berlutut dan besujud kepada raja-rajamu! Jangan menyembah raja-rajamu seperti engkau menyembah Tuhanmu. Sesungguhnya makhluk pemangsa jahat bernama kerajaan yang ditunggangi sang raja itu adalah berhala baru yang bakal menyesatkan kalian dari jalan Kebenaran Sejati.'”


dikutip dari: Sunyoto, Agus. 2004. "Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar". Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.