Tuesday, March 15, 2016

Pengemis

Aku pengemis jalanan
Rumahku di kolong jembatan
Kerjaanku minta-minta di perempatan
Kadang juga ke pasar atau persimpangan jalan
Harapku pada mereka yang dermawan
Tapi kau sungguh menawan
Tak akan ada yang bisa melawan
Kau masuk rumahku tanpa sepengetahuan
Berbagai macam makanan kau tinggalkan
Bahkan juga banyak pakaian
Tiap hari kau lakukan
Liciknya hanya dengan surat yang kau selipkan
Kau beri sedikit banyak penjelasan
Tentang apa yang kau rasakan dan inginkan
Kau juga beri petunjuk dan saran
Agar aku tidak terkungkung dalam jurang kemiskinan
Tak jarang kau mengajak bertemu dan berkenalan
Tapi ketika waktu yang kunantikan
Batang hidungmu tak kelihatan
Meski akhirnya ku tahu kau hanya mengintip di depan
Tapi muncul juga keraguan
Kau kah yang mengintip di ujung jalan
Atau yang di sisi jalan
Surat-suratmu membuatku rindu berkepanjangan
Ah, aku tak punya cukup kekuasaan
Untuk memaksa kita bertemuan
Hey, aku sampai lupa bahwa aku pengemis jalanan
Sedang kau kaya dan dermawan
Aku hanya memanfaatkanmu demi kekayaan

Tapi kasihmu penuh dengan ketulusan

Cinta

Cinta
Ah, layakkah ku memanggil cinta?
Aku hanyalah debu di bawah sandal
Sedang sandal tak kau ijinkan bersua
Kau perintahkan agar ia ditinggal

Jangan-jangan cinta ini bertepuk sebelah tangan
Meski ku tahu kau baca sajakku diam diam

Ketika semua orang mencoba menarik perhatian
Berpanas-panasan, berlarian, hingga berdesakan
Seratus kalipun kau minta akan dilakukan
Demi mendapat balasan cinta dan harapan

Tapi tak ada yang akan tahu
Pada siapa mukamu bersemu
Tak terhitung orang yang memperebutkanmu
Kau minta mencium batupun pasti mau

Apa dayalah aku
Belum kuat aku memenuhi permintaanmu
Tentu tak mungkin kau bersemu karena sajakku yang belagu
Apalagi kejantanan dan keperkasaanku
Dengan cinta yang kita lakukan pada malam tertentu
Tapi aku menjadi ragu
Benarkah aku cinta padamu?
Atau hanya karena nafsu?
Aku mendatangimu tak setiap waktu
Hanya untuk berkeluh kesah dan minta pendapatmu
Dan seperti biasa yang selalu kutunggu
Kau memelukku dan meletakkan kepalamu di dadaku

Aku hanya perjaka yang kurang ajar
Hanya mau berduaan denganmu dalam kamar
Melahap habis kenikmatanmu dengan liar
Tapi melupakanmu ketika matahari bersinar

Jika boleh ku meminta
Ijinkanlah aku menghampirimu tiap malam
Ah, tapi aku hanyalah debu di bawah sandal

Sedang kau mau agar sandal dilepas di luar

Monday, March 14, 2016

Kontemplasi II

Ketika banyak hal yang dianggap sebagai masalah. Mau tak mau pikiran dan otak menjadi lelah. Sehingga jalan ke depan seolah tampak tak bisa dipapah. Kakipun menjadi berat untuk melangkah.
Lalu, apakah berhenti menjadi sebuah solusi? Ataukah aku harus terus berlari?
Aku sering termenung sendiri. Memikirkan berbagai macam opsi. Tak jarang aku berpikir untuk berhenti. Tak perlu menyelesaikan apa yang telah lama aku mulai. Tapi ketika tekad berhenti sudah membulat di hati, ada begitu banyak sesi yang menunjukkan bahwa aku tak diridhoi.
Aku tidak dizinkan untuk berhenti. Dia mengirimkan teman-teman yang peduli dan terus memberi motivasi. Dia mempertemukan aku dengan berbagai macam orang yang menunjukkan simpati dan empati. Ada yang mengingatkan akan masa depan dengan mimpi, harapan yang tinggi, mengenal jati diri, tanggung jawab abadi. Ada yang mau menjamin dan menanggung masa depan dengan janji-janji; membiayai sekolah sampai tinggi, membelikan tanah dan rumah untuk ditinggali. Atau dari obrolan dan diskusi. Meski berbeda topik, pendapat dan pola pikirku sendiri menjadi bumerang atas permasalahan yang kuhadapi. Yah, meskipun ini hanyalah persepsi, namun aku tak bisa menganggapnya hanya sekedar kebetulan yang terjadi. Atau lewat lagu yang tak sengaja kudendangkan atau kudengarkan. Liriknya menyindirku dalam-dalam.
Sementara itu, kaki ini sudah terlajur berat untuk diangkat, kesendirian malah menjadi senjata makan tuan, dan harapan kubiarkan hancur berantakan. Aku harus meringankan kakiku sendiri atau mencari alat bantu untuk tegak berdiri. Aku juga harus menyibukkan hati dan meramaikan kesunyian yang terlanjur mencekam. Serta aku harus menyusun kembali harapan yang sudah tercerai berai berserakan.
Ah tidak, tidak. Bukan semua itu sepertinya. Ternyata aku masih terlalu banyak menyalahkan pihak luar. Aku lupa dan tak sadar bahwa sebenarnya masalah itu ada dalam diriku sendiri. Benarkah setiap peristiwa yang terjadi menjadi masalah itu adalah akar dari semua permasalahan? Tentu bukan. Pasti bukan. Masalahnya adalah diriku sendiri yang masih kurang kuat berdiri. Ternyata aku yang tak mau bangkit kembali. Ah, tapi terlalu lama menyalahkan diri sendiri juga tidak menyelesaikan masalah bukan? sudah saatnya aku bangkit dari kejatuhan, sudah tiba masanya aku berjalan atau kalo perlu berlari, berlari sekencang-kencangnya sampai tujuan.

APA INI!!!???

Hamparan sawah membentang sejauh mata memandang. Pada hampir tiap tepinya dipagari oleh pohon-pohon pisang. Kambing-kambing berjalan dan berlarian, beriringan sedang digembalakan. Air mengalir deras di sungai yang panjang. Pemandangan yang sungguh kurindukan. Namun aku tidak benar-benar memperhatikan. Terlalu asyik sendiri dengan berbagai macam hal yang sedang terpikirkan.
Di tengah perjalanan itu sedikit pemandangan yang tertangkap sekejap. Padi-padi itu ada yang masih hijau enak dipandang bagi orang-orang yang galau. Ada beberapa yang mulai menguning dan ada juga yang benar-benar sudah kuning, sudah berisi dan semakin menunduk-nunduk apalagi tertiup angin. Meski kudengar juga ada keluhan sebagian padi yang ditanam ambruk karena angin yang kencang. Padahal panen sudah hampir berkenan. Sayang seribu sayang, pemandangan sawah itu tak seindah dulu, tak seluas dulu mungkin lebih tepatnya. Dulu saja aku masih sering mendengar dari pernyataan warga bahwa sawah saat itu sudah sangat berkurang dibandingkan sebelum aku tinggal di situ. Lalu bagaimana dengan saat ini setelah sekian tahun, pastinya sudah sangat berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya. pemandangan sawah berganti dengan pabrik atau rumah. Polusi semakin banyak dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang atau dari pabrik. Mungkin perbaikan jalan waktu itu tak usah dilakukan saja, meski kurang nyaman tapi tetap nyaman. Bagaimanakah nasib anak cucu kita nanti jika sumber makanan diproduksi berkurang? Inikah yang menyebabkan negara terbesar memproduksi padi tapi malah mengimpor padi, bukan karena ekspor impor yang salah strategi?
Itu hanya pemandangan alam kawan, belum pemandangan sosial. Masyarakat desa itu mungkin terlah terdoktrinasi bahwa kebahagiaan akan tercapai ketika memiliki banyak uang. Aku juga tak lupa bagaimana ketika berbincang-bincang, sungguh mereka mengagumkan orang-orang yang memiliki banyak uang (setelah para kiyai, apalagi kalau sudah pergi haji). Bisa membeli apa saja, bisa melakukan apa saja, untuk diri sendiri, anak-anaknya, dan sebagainya dan sebagainya. Banyak yang merasa minder dengan ‘profesi’ mereka sebagai petani. Hidup susah, capek dan lelah, penghasilan rendah, masih merasa kurang untuk memenuhi kebutuhan serumah. Siapa yang salah? ah, Pak, Bu, lihatlah sendiri! Tanyakan pada remaja-remaja dan kawan-kawannya yang merantau itu, apakah banyak dari mereka yang benar-benar sukses dan bahagia? Memang ada yang demikian, tapi kesuksesannya masih sangat jauh jika dibandingkan orang-orang sukses di luar sana. Pada kenyataannya pak, bu, hidup di kota atau merantau tak semudah dan tak semenjanjikan seperti yang dikatakan orang. Tak ada yang menjamin dengan merantau akan mengubah hidup menjadi bahagia. Justru saat ini malah mengkhawatirkan hidup di perantauan dengan begitu banyak kemaksiatan dan kejahatan yang tak bisa kita kendalikan. Tak usah jauh-jauh melihat orang, mari kita lihat kembali ke desa! Siapa yang nanti mewarisi pengetahuan bercocok tanam dan bertani? Ketika anak-anakmu kau biarkan merantau dan tak kembali, dan mungkin tak banyak yang diketahui saat ini bagaimana bersahabat dengan alam. Kapan saat yang tepat bagi tanah untuk ditanami (tandur), membaca waktu dari matahari dan bintang, dan sebagainya dan sebagainya. Bagaimanakah kehidupan masa depan ketika tak hanya sawah atau ladang yang berkurang tetapi populasi petaninya pun juga berkurang, sedangkan manusia yang mengkonsumsi semakin bertambah bahkan semakin serakah?
Kembali ke pemandangan. Lihatlah kambing-kambing itu, tak ada yang seperti dulu. Sekitar delapan tahun yang lalu ketika aku masih di sini, masih sering kulihat beberapa kambing jantan yang melampiaskan nafsunya di tengah jalan ketika sedang digembalakan. Tapi sekarang tidak, mungkin kini para kambing itu sudah punya malu. Sehingga melampiaskan nafsu itu perlu sembunyi-sembunyi terlebih dahulu. Seperti bebek yang bersembunyi dibalik semak atau di kandang. Atau jangan-jangan tidak malunya itu sudah berpindah pada orang-orang yang lupa atau memang tidak paham dengan aturan. Sehingga mereka tak perlu bersembunyi melampiaskan nafsunya di tengah jalan, di restoran, hotel, sampai direkam dan disebarluaskan. Bahkan ada juga yang tidak perlu malu-malu antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Benar-benar lebih hina daripada hewan. Padahal hewan dan binatang saja tidak ada yang mau dengan jenis yang sama. Kecuali babi yang memang sudah menjadi sifatnya. Hmm, atau mungkin tuhan sedang marah sehingga mengutuk manusia menjadi hewan, dan sebenarnya orang-orang yang melampiaskan nafsu tanpa malu itu adalah siluman(?) sehingga sifat-sifat dan sikap mereka saling bertolak belakang.
Sungguh ironi kawan, kota santri. Bahkan desa itu saja memiliki lebih dari tujuh pondok pesantren, belum terhitung madrasah diniyahnya, ditambah lagi satu madrasah tsanawiyah dan satu madrasah aliyah. Maka jangan tanyakan berapa jumlah kiayi dan ustadznya, apalagi santrinya. Tapi sungguh disayangkan desa itu tak terbebas dari berbagai kemaksiatan. Tak tertinggal degan tren pacaran, bahkan ada yang sampai hamil di luar pernikahan. Pernah juga terjadi kasus tawuran antar pelajar, pernah juga antar kampung. Jangan tanya mabuk-mabukan, hampir tiap ada hajatan, bisa ditemui tak sedikit orang yang mabuk-mabukan. Tak (mau) tertinggal di dunia santripun menjamur kemaksiatan. Dipisahkan berdasar jenis kelamin, maka pelampiasan nafsu terarah pada sesama. Lalu, (si)apa yang sebenarnya salah? pada bagian mana yang salah?
Mari kembali (lagi) ke pemandangan. Setelah sawah dan binatang, ada juga sungai yang panjang. Airnya deras karena hari demi hari terus diguyur hujan. Di atasnya subur pula eceng gondok yang memenuhi permukaan. Ibu-ibu mencuci pakaian sedang anak-anak mandi sambil berenang. Sungai itu benar-benar menjadi sumber kehidupan. Pada bagian-bagian tertentu kadang kau jumpai remaja atau dewasa yang memancing ikan.
Ke manapun aku pergi, tempat manapun yang pernah aku kunjungi, semua memiliki potensi kebaikan dan keburukan, semua memiliki perbedaan dan persamaan. Pebedaannya adalah bahwa masing-masing memiliki potensi sumber daya alam dan lingkungan yang sangat banyak, memiliki potensi kebaikan yang berbeda-beda yang bisa dikembangkan dan diwujudkan. Ada yang dalam bidang pertanian, perikanan, perkotaan, perkebunan, budaya, kesenian, keterampilan, dan sebagainya yang tak bisa disebutkan satu persatu. Namun sayang, satu persamaan yang mengubah segala potensi itu menjadi sia-sia: sumber daya manusia yang masih kurang mumpuni dan saat ini sedang dijajah tapi tak merasa dijajah, sumber daya manusia yang saat ini lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding sesuatu yang lebih penting untuk dipikirkan dan diselesaikan. Masing-masing daerah juga memiliki masa lalu yang suram, keburukan yang seharusnya diredam. Sungguh, kebaikan dan keburukan itu akan saling berdampingan, hingga salah satunya pasti akan menjadi pemenang.
Haha, mungkin memang hidup ini seperti sungai itu, bagai air yang mengalir, kadang tenang, kadang juga deras. Tergantung kelokan sungai atau tingginya curah hujan. Ada batu berbelok. Barang apapun yang terjatuh ke dalamnya akan terbawa mengikuti arusnya. Bahkan walaupun akhirnya membuat air itu tampak keruh; segala kotoran, sampah, atau seperti di sungai itu, tumbuh tetumbuhan eceng gondok yang menutupi permukaannya. Padahal air di bawahnya jernih meski dasarnya keruh lagi karena dasarnya berupa tanah kecoklatan. Kemanapun air jernih dan bersih itu mengalir akan kembali menjadi jernih dan bersih lagi. Entah melalui siklus hujan yang menyaringnya atau nantinya bergabung embali dengan teman-temannya di lautan. Sedangkan kotoran dan sampah atan tetap menjadi kotoran dan sampah. Satupun dari mereka tak akan tergabung dalam populasi air laut di sana, pasti akan selalu dikembalikan ke daratan dengan arus gelombang dan ombaknya.
Begitulah kehidupan kawan, layaknya senda gurau dan permainan. Ada pahlawan, ada juga penjahat yang kejam. Kita hanya menunggu skenario yang berjalan sesuai kehendak sutradara yang membebaskan pemerannya berakting semaunya. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang benar-benar mempercayai bahwa kebenaran yang pasti (akan) menang. Tapi ingat, kita memiliki peran. Peran manakah yang sedang kita jalankan? Apakah dirimu sebagai pahlawan atau penjahat yang kejam itu kawan? Atau malah hanya jadi figuran?
Ah, tulisan apa ini? apa yang sebenarnya dibicarakan? Pemandangan, ngomongin orang, atau tentang kehidupan? berkeluh kesah, menyampaikan kekhawatiran, kepedulian, atau memberi peringatan atau nasehat? Menjelaskan dengan pernyataan atau terus-terusan memberi pertanyaan?

Hey, siapa juga yang mau tahu. Biarlah angin berlalu. Kalian juga tak perlu repot-repot memikirkan itu. Jangan mau terpengaruh oleh kata-kataku yang kaku dan belagu. Jangan sampai terjebak dalam dunia khayal yang isinya tak bermutu.