Tuesday, February 22, 2011

kamis, 29 januari

“Teng tong, teng tong” bel pergantian pelajaran telah berbunyi. Menunjukkan waktu TB I kimia telah selesai. Membiarkan semua siswa berhenti memikirkan soal demi soal. Ah… . Lagi-lagi aku tak bisa berkonsentrasi. Padahal aku sangat menguasai bab itu. Sama seperti dua hari yang lalu. Pada saat TB I biologi, aku hanya melihat satu soal essay yang seharusnya ada lima soal.
Kelas kembali rebut. Membahas soal-soal tadi. Ah. Kembali aku sendiri. Kuletakkan kepalaku di atas meja. Tak kuat aku mengangkat kepala yang semakin berat ini. Aku ingat mimpiku. Aku bertemu ibu. Dia berkata padaku,”jaga bapak ya, ingetin kalau makan kacang dan atau emping. Jangan banyak-banyak.”
Aku tak paham apa maksudnya. Dan baru kali ini aku merasa ingin pulang. Padahal,waktu MTs dulu aku tak pernah begini. Tapi justru setahun pertamaku di MA ini, aku merasakan apa itu homesick. Aku berfikir mungkin ini memang kondisi normal.
ʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘ
Semua siswa keluar dari kelasnya. Bak pasukan semut yang siap mencari makanan. Aku menuju masjid, bersama hampir semua teman dan kakak-kakak kelasku untuk sholat ashar berjama’ah. Meskipun sebenarnya aku masih tak tahu mengapa hanya segilintir guru yang ikut bejama’ah di masjid. Bodoh amat, mungkin mereka lebih memilih sholat di rumah setelah pulang sekolah. Tapi, aku tak mau berprasangka, aku masih termasuk murid baru di sini, baru setengah tahun.
“Zal, ngerjakno Kn yuk, karo Rahmat”1 ajak Rasyid dengan logat Kudusnya yang kental. Dia juga nk2 Kn. Aku berfikir, sepertinya dia baik-baik saja, tidak merasakan seperti yang kualami sekarang.
“Oh, yuk… neng ndi?”3 jawabku singkat. Seenggaknya aku harus menyibukkan diri agar tidak terlalu lama homesick.
“Neng samping masjid. Tapi, aku neng kopinma sek yo…., ngko aku nyusul”4
Aku menuju samping masjid. Rahmat sudah di sana, mengerjakan tugas yang haus dikumpulkan sekarang. Aku tidak akrab dengannya. Mungkin belum. Yang aku tahu dia berasal dari Lumajang. Sekelas dengan Rasyid. Melihatnya, aku merasa tak perlu memikirkan rumah. Banyak teman senasib seperjuangan di sini. Sama-sama nk. Sama-sama orang Jawa. Sama-sama murid baru. Aku seperti menemukan semangat baru. Dan aku terus menuliskan kata demi kata menyelesaikan soal-soal itu. Hingga saat aku membaca soal terakhir.
“Assalamu’alaikum…” sapa seseorang sambil menepuk pundakku dari belakang.
“Wa’alaikumussalam …” jawabku. Ternyata dia saudara sepupuku yang rumahnya agak dekat dari sini. Lagi-lagi aku terhibur dengan kedatangannya.
“Cepet beres-beres. Ibumu sakit di rumah sakit. Bapak suruh kamu pulang sekarang. Aku mau sholat dulu” bisiknya.
Tunggu! Tapi tak sempat aku berkata, dia segera masuk masjid mengejar jama’ah yang sedang sholat. Entah cloter ke berapa. Tapi, ibuku? Sakit? Rumah sakit? Segera semua pertannyaan itu memenuhi kepalaku. Menghapuskan rasa semangat yang baru kutemukan.
Ibu. Seingatku dia tak pernah mau dibawa ke rumah sakit. Mahal katanya. Dan kalaupun sakit, dia hanya menelponku. Menanyakan kabarku. Tak pernah dia mengeluh. Tapi sekarang. Rumah sakit? Lalu, sakit apa ibuku? Ku tutup bukuku. Membereskan barang-barang dan memakai sepatu.
“Mat, aku nitip ngumpulno iki yo…”5 aku sudah tak bisa berkonsentrasi lagi sekarang. Soal terakhir tadipun belum kujawab.
“Oh yo gampang…. Sopo Zal? Ono opo?”6
“Iku masku, jarene ibuku lara, aku dikon balik sak iki.”7
“Oh…” aku tak tahu apakah dia benar-benar bertanya dan bersimpati atau sekedar formalitas saja. Ah, ngga penting.
Seleasai sholat, aku bertanya pada kakakku, “Emang ibu sakit apa, mas?”
“ngga tahu. Tadi bapak cuma bilang kalau ibumu di rumah sakit. Dan kamu disuruh pulang sekarang. Dia ngga ngasih tahu ibumu sakit apa.”
Ah. Tidak. Tidak mungkin. Aku belum siap menerima kenyataan ini. Aku menangkap “bahasa” itu. Itu bukan bahasa pemberitahuan. Itu bahasa isyarat. Aku tahu bahasa ayahku. Aku diam seketika.
“Sudah cepet beres-beres. Oh iya…, kalau ngurusin izin kamu di mana?”
Aku mengantarnya ke kantor wakamad keasramaan. Di sana, ada Pak Hadi, wali asramaku.
“Mungkin, Rizal beres-beres saja dulu biar ntar ngga terburu-buru” kata kakakku.
Entah mengapa aku hanya menurut saja. Satu isyarat lagi aku tangkap. Kakakku masih ingin menyembunyikan sesuatu dariku. Aku ke kamar. Mengeluarkan semua buku. Mengambil pakaian secukupnya. Lalu, kembali lagi ke kantor wakamad.
“Rizal, udah siap-siap? Kartu inkus (izin khusus) kamu mana?” kata pak Hadi.
“Di kamar pak.”
“Ambil dulu, tasnya dibawa sekalian, biar ngga bolak-balik”
Aku kembali mengambil tas dan kartu inkus. Dan satu isyarat lagi aku tangkap. Tak mungkin semudah dan secepat itu mendapat izin khusus, karena aku dengar dari guru dan beberapa teman, katanya sangat susah untuk mendapat izin khusus hanya karena masalah sepele.
“Ini pak, kartu inkusnya” beliau menandatanganinya sambil bertanya, “kamu punya adik berapa Rizal?" pertanyaan basa-basi sederhana. Tapi itu menjadi satu isyarat lagi bagiku.
“Saya punya adik empat, pak. Tapi sudah meninggal satu”
“Oh… kakak kamu sudah di ADM sama Pak Rozi. Ati-ati ya…”
Ramai. Saat ini sedang diadakannya GAKIC, Gelar Antar Kelas MAN Insan Cendekia, pertandingan olahraga dan atletik antar kelas. Ah, sebenarnya banyak hal menyenangkan di sini.
“Ke mana Zal?” Tanya Alvin, anaka kamarku. Mungkin dia merasa aneh aku membawa kartu inkus di hari sekolah.
“Mau pulang, katanya ibuku sakit” sangat sakit sebenarnya mengucapkan hal yang belum tentu benar itu. Tapi aku berkata ”katanya”. Aku mencoba untuk tidak berbohong. Begitulah ajaran ibuku.
Aku bisa melihat dari luar kakakku sedang duduk di sofa di depan Pak Rozi. Dia juga melihatku. Dan saat aku sampai di pintu ADM, aku masih sempat mendengar Pak Rozi berkata, “O… jadi, si Rizal tadi belum tahu kalau…” uacapannya dihentikan kakakku dengan isyarat tangannya, karena kakakku melihat aku sedang masuk ADM.
“Tidak ada yang aku tidak mengetahuinya. Perasaan seorang anak lebih mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi. Entah bagaimanapun kalian menyembunyikannya” ucapku dalam hati. Meskipun aku sendiri belum tahu dan sangat berharap apa yang kurasa ini tidak terjadi. Tapi ini sudah isyarat yang keempat.
Sesaat setelah aku masuk ADM, Pak Hidayat keluar dari kantornya dan menyilahkan kakakku masuk. Aku dipersilahkan Pak Rozi duduk di sofa, tempat kakakku duduk tadi.
“Kamu punya adik berapa, Rizal?” Tanya Pak Rozi. Basa-basi yang sama dan kujawab dengan jawaban yang sama. Orang tua biasanya memikirkan seberapa besar tanggung jawab yang mereka tanggung. Apalagi jika sendirian. Ah, tentunya kau tak akan paham mengapa pertanyaan basa-basi itu menjadi satu isyarat bagiku.
Tak lama kemudian, Pak Hidayat dan kakakku keluar dari kantornya. Pak Hidayat menyalamiku dan hanya berkata, “Hati-hati ya…, semoga selamat di jalan” aku tak menjawab atau mengucap terima kasih. Aku berfikir, hanya satu orang ini yang berhasil menyembunyikan tanpa meberikan satu isyarat pun padaku. Ah, ngga pentinng.
Di dalam taksi aku hanya diam. Berkata jika ditanya. Kakakku mengalihkan pembicaraan kepada masa depanku. Dia bertanya bagaimana sekolahku, rencana selanjutnya. Ah, pusing. Aku menundukkan kepalaku. Pura-pura tidur, dan hanya mengangguk saat kakakku bertanya, “capek?”
Beberapa saat kemudian hp-nya berdering. Aku mencoba menangkap pembicaraan. Tapi aku tak bisa mendengar lawan bicaranya. Aku hanya mendengar dia berkata, “ya… ntar aja. Ngga enak. Anaknya disebelahku kok. Ntar aja telpon lagi”
Satu isyarat lagi. Begitu bodohnya diriku yang tak meminjam hp-nya untuk menelepon ayahku, menanyakan sakit apa sebenarnya ibuku? Atau? Biasanya dia menawarkan hp-nya tapi kali ini tidak. Mungkin ini juga bisa menjadi salah satu isyarat.
ʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘ
Malam telah tiba. Anginnya mendesirkan kedinginan. Menusuk. Merasuk hingga ke tulang. Gerimis. Tetes-tetes air hujan. Mengalir begitu saja. Ramai. Para penumpang lainnya juga menunggu. Sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tapi tetap saja suram. Keramaian. Gerimis. Dingin. Sempurna, membuat suasana kelam. Seperti hati ini.
Menunggu. Lama juga aku menunggu. Hanya ada satu kereta yang masih tersisa. Berangkat jam sepuluh. Dan sekarang baru jam delapan. Kakakku ke masjid. Aku sudah men-jama’ sholat tadi.
Di seberang meja sana, aku melihat seorang ibu, bersama suami dan anaknya. Mereka orang-orang kaya. Terlihat penampilan dan perilaku lainnya. Orang kota. Tapi, lama-lama aku mendengar mereka berbicara dengan Bahasa Jawa. “Bisakah Ibuku, keluargaku menjadi seperti mereka?” pikirku. Tidak. Ibuku tak pernah tertarik hanya dengan kekayaan.
Tak terasa, satu titik air mataku meleleh. Tapi, segera aku menghapusnya. Takut kalau tiba-tiba kakakku datang. Mengetahui bahwa aku berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pura-pura? Bukannya memang aku tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?
ʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘ
Dingin. Baru kali ini aku menaiki kereta eksekutif. Aku mengenakan selimut yang telah disediakan. Aku melihat keluar jendela. Gelap. Basah. Kenangan-kenangan bersama ibuku. Banyak sekali salah yang kulakukan. Dan aku belum minta maaf padanya.
Akhirnya air mataku menetes. Tetes demi tetes. Hingga akhirnya mengalir deras. Sama seperti hujan di luar sana.
06.25. Aku terbangun oleh suara yang mengatakan bahwa kereta telah akan sampai di semarang beberapa menit lagi. Aku bersiap-siap dan menuju pintu. Lalu turun. Aku merasa ada yang mengawasiku dari balik kereta. Dan aku tidak kaget saat melihat paman beserta teman ayahku di sana. Terlihat habis mondar-mandir menungguku. Khawatir, mungkin. Aku juga tak kaget saat tangan pamanku menggenggam erat tanganku. Itu bukan berarti dia menganggapku seperti anak kecil. Tapi satu isyarat lagi bagiku.
Sebelum keluar stasiun, aku berkata, “Pak, tak sholat riyen, kulo dereng subuhan”8 pintaku. “daripada di rumah ngga bisa sholat?” tambahku dalam hati.
“Neng ndi? Mushollane neng jero. Ngko wae neng omah.”9 Katanya.
Perjalanan menuju rumah. Di atas sepeda motor pun aku diam. Mengharap mereka mengatakan apa yang sebenarnya terjadi ternyata salah. Karena tak satupun dari mereka yang mengatakannya. Mereka juga diam.
Aku bisa melihat. Di kejauhan sana, ada sebuah tenda. Semakin dekat, aku tahu tenda itu benar-benar di depan lengkong sebelum masuk rumahku. Ada tiga kemungkinan jika tenda itu berada di situ. Dan aku berharap itu bukan disewa keluargaku.
Aku turun dari sepeda motor. Di Musholla samping rumahku, telah terbujur sesosok mayat. Sementara belum ada yang menjelaskan secara langsung. Ramai. Banyak orang. Dan aku mendengar surat yaasiin dibaca berjama’ah.
Aku masuk lengkong rumahku. Aku melihat Mbah Darmi, tetangga depan rumahku. Aku melihat dia tersenyum padaku. Sama seperti biasa saat dia menyambut kedatanganku. Tapi senyum itu langsung berubah saat jarak kami sudah dekat. Dia memelukku sambil menangis san berkata dengan sesenggukan, “Seng sabar yo nang, hiks hiks, mesakne adikmu seng cilik, hiks hiks, seng sabar yo,”10
Kali ini aku tak bisa menahan air mataku. Mengalir deras. Lebih deras dari saat aku d kereta. Aku mendapat penjelasan yang sebenarnya justru dari tetanggaku. Bukan dari keluargaku; kakak sepupuku atau pamanku. Tapi itulah ayahku. Aku tahu bagaimana dia.
Aku iri pada kakakku, yang bisa berbakti di akhir hidupnya. Menemaninya saat sakit, saat membutuhkan bantuan. Aku iri pada saudara-saudaraku yang masih sempat memandikan jenazah ibuku. Sedangkan aku? Apa yang aku lakukan? Tak ada. Aku hanya menangisinya.
ʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘʘ
Bertujuh, kami berkumpul. Mengenang seorang ibu yang selama hidupnya tak pernah menyerah. Ibu yang selalu merendahkan diri bahkan kepada anaknya sendiri. Dia sering berkata, “dadio wong seng pinter, ojo koyok ibumu seng wes kadung goblok ngene.”11 Seorang ibu yang sangat sabar mengahadapi ketujuh anaknya yang bandel. ibu yang di setiap adukan masakannya, di setiap adukan saat membuat minuman unutk keluarga, tamu ataupun jama’ah pengajiannya, dia selalu membaca bismillah. Ibu yang selalu setia menunggu suaminya di malam hari dengan tadarus. Seorang ibu yang lugu tapi ia seorang guru bagiku. Selalu mencontohkan terlebih dahulu apa yang ia perintahkan. Dan jika dia belum melakukannya, dia mengajak anak-anaknya untuk mengerjakannya bersama-sama.
Beberapa saat kemudian kami mendapat sms;
Kau adalah istri sholihah, walau hidup susah, kau tak pernah resah, selalu sabar dan pasrah, dalam sakit parah, kau masih sempat beri amanah, dengan mutiara hikmah, pada anak-anakmu agar jadi orang qona’ah, dalam mensyukuri nikmat Allah yang melimpah, yang terkadang kita lengah. Tapi kini kau telah almarhumah. Ya Allah berikanlah maghfirah, kepada ibu Siti Mukaromah.

Subhanallah, selama hidup penuh akhlakul karimah, walau sudah almarhumah, tetapi namamu terpahat kuat dalam hati jama’ah, terbukti ribuan orang bertakziyah, ratusan orang sholat jenazah, semoga kau benar-benar husnul khotimah, keluargamu bisa istiqomah, dalam menghadapi musibah, hati mereka tabah, tak mudah menyerah, terus jihad fi sabilillah, selamat jalan ibu Siti Mukaromah
Tak terasa air ini sudah mengalir deras. Menetes demi setetes di bantalku. Membentuk samudra. Lalu kuhapuskan aliran itu. Agar tidak membaniri pulau-pulau di sekitarnya.
Cukup. Itu dua tahun yang lalu. Aku tahu, siapa saja akan menyusulnya. Dan tak ada yang tahu kapan dan di mana. Banyak sekali pelajaran dan hikmah yang didapat dari sejarah. Aku berpesan padamu, baktilah kepada orang tuamu, sebelum nantinya menyesal. Gunakanlah kesempatan yang ada untuk membahagiakan orang tuamu. Jangan sampai membuatnya menangis, kecuali karena bangga padamu.

footnote:
1.“Zal, ngerjain Kn yuk, sama Rahmat juga”
2.Nk=nilai kurang. Nilai raport yang kurang dari KKM. Setiap siswa harus me-remed-nya untuk menjadikan nilai itu memenuhi KKM.
3.“Oh, yuk….. di mana?”
4.“di samping masjid. Tapi, aku ke Kopinma dulu ya…, ntar aku nyusul”
5.“Mat, aku nitip ngumpulin ini, ya…”
6.“Oh ya gampang…. Siapa Zal? Ada apa?”
7.“itu kakakku, katanya ibuku sakit. Aku disuruh pulang sekarang”
8.“Pak, tak sholat dulu, aku belum subuhan.”
9.“Di mana? Mushollanya di dalam tadi. Ntar aja di rumah.”
10.“Yang sabar ya nak, hiks hiks, kasihan adikmu yang kecil, hiks hiks, yang sabar ya,”
11.“Jadilah orang yang pinter, jangan seperti ibumu yang sudah terkanjur bodoh seperti ini”