Saturday, January 31, 2015

Let’s Move On

Apa yang sedang kau lakukan?
Beristirahat, merebahkan badan?
Tahukah kau, ada orang di luar sana yang bahkan tak sempat hanya untuk menyandarkan badannya barang sebentar
Apa yang sedang kau katakan?
Ungkapan mengeluh berkepanjangan?
Atau umpatan karena ketidakpuasan?
Tahukah kau, ada orang di luar sana yang bahkan tak bisa mengeluh, tak tahu harus mengumpat pada siapa, terus melakukan apapun untuk mempertahankan hidupnya
Apa yang kau makan?
Apakah sepiring nasi dan sepotong tahu tempe masih kau bilang kurang?
Atau malah ayam panggang dan ikan bakar, lengkap dengan sayur mayur beraneka macam?
Lihatlah, di luar sana bahkan orang mendapatkan makanan dari mengumpulkan remah-remah sisa makanan dari  sampah
Kau bilang malas belajar, bosan sekolah atau kuliah?
Hey, masih banyak di luar sana yang menginginkan pendidikan yang layak, masih banyak yang memimpikan belajar banyak hal dengan nyaman
Pikirkanlah!
Benarkah dirimu yang menghadapi permasalahan yang begitu berat?
Apakah dirimu benar-benar tidak bisa menghadapi semua permasalahan itu?
Berhentilah sejenak!
Renungkanlah!
Bukankah banyak sekali kenikmatan yang kau punya?
Anggota tubuh beserta ogan-organ yang melengkapinya, kemampuan-kemampuan baik softsklill atau hardskill, lingkungan mulai dari keluarga, tetangga, dan teman.
Bukankah banyak hal yang sebenarnya bisa kau lakukan?
Satu hal yang perlu kau sadari, bahwa seberat apapun permasalahanmu, setinggi apapun batu rintangan yang menghadang, sadarlah! Bahwa pasti di luar sana ada yang lebih berat tanggungannya, ada yang lebih rumit permasalahannya, ada yang lebih tinggi rintangannya..

Tenanglah, karena dengan tenang kau lebih bisa fokus pada suatu permasalahan, carilah akarnya, selesaikan satu per satu, uraikan sedikit demi sedikit, sabarlah, nikmati prosesnya, dengan begitu kau akan berkembang..

Penjajahan Belum Selesai, Perjuangan Pun Juga Tak Pernah Selesai

Tahukah kau indonesia belum sepenuhnya merdeka? Sadarkah kau bahwa negeri kita tercinta ini sedang dihancur-leburkan sedikit demi sedikit? Pahamkah kau bahwa justru seolah rakyat kita malah menikmati kehancuran ini?

Sebuah tulisan. Hasil analisis amatiran dari diskusi dengan satu dua tiga orang dan mencuri pikiran dari beberapa artikel dan ceramah orang.

Saya akan mulai dari sistem penghancur-leburan negeri ini. “Oknum Penghancur” (yang selanjutnya akan saya sebut sebagai OP) ini sangat pandai dalam mengatur strategi dan menentukan target sasarannya. Target sasaran OP adalah para wanita dari segi individu dan keluarga dari segi kelompok. Namun, dampaknya sungguh luar biasa. Gerakannya sungguh sangat efektif merebak ke mana-mana hingga menyeluruh pada masyarakat Indonesia.

Lanjut ke strategi, strategi OP dilakukan dengan sangat teliti, teratur, dan terkoordinasi dengan rapi. Dan kunci kesuksesan OP adalah kesabaran dengan proses strateginya. Dimulai dari isu emansipasi wanita. Wanita ditanamkan bahwa wanita juga berhak dalam hal-hal tertentu yang pada saat itu kurang didapatkan, seperti pendidikan. Setelah menjiwai emansipasi tersebut, digiringlah dengan keseteraan gender. Wanita juga berhak bekerja, punya kesempatan untuk mencari uang, sekolah ke luar negeri, mengembangkan potensinya, dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, nilai-nilai tentang kecantikan dan keindahan wanita juga digencarkan. Meski bekerja, penampilan juga tetap mempesona. Tidak hanya itu, di sisi lain, teknologi dimajukan, gadget-gadget seperti HP dan laptop beserta fitur-fiturnya seperti WA, BBM, Line, dan media sosial lainnya digencarkan. Begitulah kiranya gambaran strategi yang mereka lakukan. Dan satu hal yang pasti, satu hal yang akan mendukung semua strategi itu adalah bahwa mereka (harus) menguasai media.

Kemudian, bagaimana dengan dampaknya? Sungguh luar biasa. Ketika para ibu-ibu sudah menjiwai emansipasi dan kesetaraan gender, maka dipastikan sudah mereka akan memilih ikut bekerja mencari uang. Siapa (orang Indonesia) yang tidak tergiur ketika diiming-imingi gaji tinggi mengingat kebutuhan keluarga yang juga tinggi (?). Apa yang terjadi ketika bekerja? Yang berbahaya adalah ketika tempat bekerjanya suami dan istri tidak sama. Masing-masing bisa memberikan alasan palsu dan menikmati malam dengan orang lain yang notabene kebiasaan itu juga ditanamkan, dibiasakan. Maka tak heran muncul kecemburuan, ketidakpuasan, prasangka, hingga perpecahan dan perpisahan. Korban tidak langsung adalah anak mereka, bingung sendiri dengan orangtuanya; sudah sering ditinggal pergi, saat bertemu malah terus bertengkar.

Dampak lain, setelah ibu-ibu sibuk dengan pekerjaannya, apalagi bapaknya, sang anak difasilitasi dengan HP atau gadget lain (yang awalnya dengan alasan) untuk tetap menjaga komunikasi antar keluarga. Namun, karena gengsi, mengikuti zaman, pengen gaul, tidak diremehkan orang, gadget yang diberikan tidak hanya yang berfungsi sebagai komunikasi. Banyak sekali fitur-fitur lain yang bisa digunakan. Buruknya lagi, tidak ada kontrol dalam penggunaan gadget tersebut. Padahal dalam saat yang bersamaan pula, media telah diatur sedemikian rupa untuk mengekspos game-game online dan tentang seks. Sedangkan penguasa media sudah sangat paham bahwa game online itu membuat candu, ketagihan. Apalagi seksual. Sungguh bukan sekedar perencanaan biasa, dimulai dengan gambar, disusul dengan video dan film porno. Maka proses yang selanjutnya yang diharapkan adalah mempraktekkannya. Setelah banyak yang mempraktekkan, media muncul lagi sebagai penyebar informasi, yang ternyata para pelaku mendapat hukuman yang tak sebegitu berapa, atau malah sebagai motivasi bagi yang lain untuk ikut melakukannya. Maka, setelah kasus-kasus tersebar di media, buka menjadi peringatan malah semakin banyak yang terjadi.

Dan inilah target kedua mereka. Anak-anak dan pemuda. Setelah wanita atau ibu sebagai target utama, bahwa wanita adalah pondasi utama dalam sebuah negara, sedangkan para pemuda dan anak-anak adalah tiangnya. Sehingga jika diibaratka sebagai rumah, sudah banyak sekali pondasi dan tiang yang roboh dalam rumah ini. Bahkan yang merobohkan adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Maka, tinggal tunggu saja kehancurannya.

Sementara para bapak-bapak sudah disibukkan dengan permasalahan politik dan negara. Harta, kekuasaan, dan wanita. Ketiga hal ini tak dipungkiri menjadi orientasi hidup. Anak-anak mereka diarahkan untuk sekolah agar mendapat pekerjaan yang jelas, jodoh yang pas, dan kedudukan yang dipandang. Seolah nilai pendidikan diukur dengan penghasilan dan kekuasaan. Mereka sendiripun sibuk sendiri dengan perbutan kekuasaan. Jika ada yang salah saling menjatuhkan. Dari posisi yang paling tinggi sampai posisi sampai terendah sekalipun. Orang-orang diatas sibuk dengan rebutan uang yang tidak kelihatan. Orang-orang di bawah merasakan tak mendapatkan uang sehingga meneriakkan protes. Sementara orang-orang di tengah dibayar untuk membereskan kericuhan.

Hampir semua aspek dijajah; politik, pendidikan, sosial, budaya, moral, kehormatan, ekonomi, semuanya. Tulisan ini memang sangat berlebihan. Hanya sedikit menggambarkan aspek-aspek yang disebutkan dan ada juga yang sepertinya belum tersebutkan. Hanya sekedar menjadi wadah pelampiasan atas kebencian terhadap penjajahan yang sangat sistematis ini. Penjajahan yang orang yang dijajah merasa tidak sedang dijajah. Bahkan seolah menikmati penjajahan tersebut dan malah ikut membantu penjajahan.

Ah sudahlah, entah bagaimana para pahlawan kemerdekaan di surga sana melihat negara yang dulu diperjuangkannya ternyata masih saja sama, bahkan lebih parah daripada penjajahan sebelumnya. Mungkin mereka akhirnya sudah diberi tahu oleh Tuhan bahwa negeri ini memang ditakdirkan untuk dijajah (?). karena mungkin negeri ini ditakdirkan untuk dijajah.


Hmmm, tidak juga. Mungkin mereka juga sedang melihat perjuangan para calon pahlawan yang akan menggantikan mereka. Para calon pahlawan itu sedang berproses menempa dirinya. Mereka sedang bersiap untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang bersembunyi menyusun strategi. Atau bahkan sudah memulai langkah-langkah kecil yang juga tak terlihat yang nantinya menggempurkan penjajahan ini. Tunggu saja. Bisa jadi pahlawan itu adalah kamu. Tergantung apakah kamu akan memposisikan diri sebagai kawan atau lawan.

Menjadi Bapak? Ah, Tidak Juga

Dua tahun yang lalu ketika amanah kuterima di atas pundakku, sebagai sekjen dalam sebuah organisasi kekeluargaan. Mungkin memang sudah digariskan. Meski sebenarnya aku siap menjadi apapun saat itu. Berbeda dengan satu tahun yang lalu, ketika kembali aku dicalonkan sebagai ketua di dalamnya. Aku merasa bukan saatnya lagi aku berada di sana, apalagi sebagai ketua. Ok kalo aku dipilih dua tahun yang lalu, bukan satu tahun lalu saat itu.
Ah sudahlah, biarkan itu menjadi cerita lain. Ada hal lain yang ingin aku ceritakan sekarang. Dua tahun, satu tahun menjadi sekjen dan satu tahun menjadi ketua di sebuah organisasi kekeluargaan. Satu hal dalam penekananku. Selain fokus pada posisi dan peran layaknya sekjen dan ketua, ada satu peran lain yang aku ambil. Aku selalu memposisikan diri sebagai kakak mereka. Bahkan ketika terpilih sebagai ketua, aku mencoba menghilangkan istilah ketua di sana yang notabene saat itu istilahnya terasa seperti kehirarkian. Namun, tak juga mengiyakan ketika ada yang mengusulkan “abi” atau “ayah” sebagai kepala organisasi, yang pada akhirnya tidak ada perubahan dan menggunakan kata ketua saja.
Ya, terlalu muluk-muluk memang jika aku disebut sebagai “abi” mereka, tapi dalam lubuk hati paling dalam, aku ingin memposisikan diri sebagai orang yang tahu bagaimana mereka dalam keluarga ini. Ya, meski tak memungkiri juga bahwa ini termasuk sebuah organisasi. Bukan secara organisasi yang ingin aku ceritakan, di sini aku hanya ingin bercerita tentang nuansa keluarga yang ada dalam organisasi ini.
Campur aduk rasanya; susah, senang, sedih, setiap emosi terungkapkan. Mendengar dan mengetahui keluhan-keluhan, tantangan-tantangan, dan setiap permasalahan yang dihadapi oleh para anggota (yang selanjutnya aku anggap sebagai adik atau saudara bagi yang seumuran). Apapun itu; akademik, keluarga, organisasi, finansial, keagamaan, kesehatan, bahkan masalah perasaan. Hampir semua memiliki masalah hidup yang luar biasa atau memiliki pengalaman hidup yang luar biasa.
Yang paling banyak permasalahannya adalah managemen waktu dengan organisasi-organisasi dan atau kepanitiaan-kepanitiaan yang diikuti dan motivasi lagi down karena banyak tekanan. Yang membedakan adalah penyebab dari turunnya motivasi itu, sesuai dengan permasalahan hidup yang mereka alami. Ada juga masalah sensitif, tentang perasaan. Ada yang jatuh cinta, ada juga yang kehilangan cinta. J
Sebagai seorang (yang berusaha menjadi) kakak, sungguh empati dan peduli tak bisa lagi dihindarkan. Sebisa mungkin, berusaha mencari suatu langkah intervensi yang bisa membantu dan cocok dengan yang bersangkutan. Akhirnya aku mencoba berbagai cara untuk membantu, entah secara langsung maupun tidak langsung, meminta izin ataupun tanpa meminta izin. Satu hal yang pasti, seorang kakak tak akan rela jika adiknya sengsara, seorang kakak tak rela jika adiknya dihina, dan seorang kakak akan merasa bersalah jika dia sama sekali tak tahu keadaan adiknya. Dia akan berusaha jangan sampai tiba-tiba adiknya terperosok, terjebak, dalam sebuah permasalahan yang luar biasa.
Dua tahun berlalu, terasa waktu berputar begitu cepatnya. Melihat proses dan dinamika mereka dengan permasalahan hidupnya. Sedikit demi sedikit ada yang sudah mulai terbuka, ada yang masih belum terbuka, dan ada juga yang sudah blak-blakan terbuka. Ada yang belum mengalami perubahan, ada yang mulai sedikit peningkatan, ada juga yang peningkatannya selalu signifikan.
Kini, mungkin sudah tiba saatnya. Sedikit demi sedikit melepas mereka. Melatih mereka untuk lebih dewasa. Menyelesaikan masalah sendiri tanpa harus dibina. Meski masih terasa berat rasanya untuk sedikit meninggalkannya. Karena selalu ada rasa ingin jumpa. Karena kita keluarga.
Tulisan ini hanya ke-GR-anku saja. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Tak tahu apakah tulisan ini benar-benar menceritakan apa adanya. Hanya ke-GR-an orang yang merasa menjadi kakak. Seolah menjadi bapak. Padahal biasa saja aku melakukannya. Aku bukan siapa-siapa mereka. Hanya orang yang kebetulan mengenal, mencoba memahami, kemudian mencoba membantu sebisa mungkin yang dilakukan.
Tidak ada kata sungkan dalam keluarga. Ada momen yang berbeda bersama keluarga. Selalu ada nuansa kerinduan dalam sebuah keluarga. Karena keluarga selalu yang dicinta. Karena kita adalah keluarga.