Monday, June 20, 2016

Melepas Rindu

Aku bangun dengan tersenyum-senyum sendiri. Senyum bahagia. Sangat bahagia. Kau masih saja suka memberi kejutan meski telah tiada. Beberapa hari yang lalu kau berkata ingin menyendiri terlebih dahulu, menyuruhku pergi dan selalu menghindar. Esoknya ketika bertemu lagi kau masih tak mau di sapa. Akhirnya malam ini kau mau berbicara. Kita berbincang agak banyak meski dalam waktu yang tak lama. Perbincangan yang akan kuabadikan dalam tulisan ini agar tak lupa.

Suasana begitu sepi dan hanya ada dua orang; aku dan dia yang tak bisa kukenali wajahnya. Kemudian kami menemukan jenazah yang sudah dikafani. Dia sangat takut atau mungkin lebih tepatnya khawatir dan segera mengecek kondisi sekitar. Sementara aku segera mendekati jenazah itu dan ternyata aku sangat mengenalinya. Jenazah itu adalah Arma. Lalu, dia menginstruksikan kepadaku untuk menggotong jenazah itu untuk segera disembunyikan atau dimakamkan. Tapi dia tidak membantu menggendong jenazah itu dan tetap terus mengecek kondisi sekitar.
(Oh iya, dalam dunia ini percakapan yang terjadi tidak seperti percakapan di dunia. Mungkin aku atau kami merasa seperti Edward dalam novel/film tetralogi Twilight yang bisa membaca pikiran semua orang. Atau seperti Sheng Yayu dalam film The Four 1 & 2 yang juga bisa membaca pikiran orang meski tidak mengatakannya)
“Kau pikir aku tak butuh bantuan mengangkat jenazah sendiri” benakku mengatakan, entah dia mendengarkan atau tidak tapi dia tetap mengecek kondisi sekitar, sangat takut jika ketahuan banyak orang atau warga. Awalnya jenazah itu selalu luput dari gendonganku, tapi pada akhirnya entah bagaimana caranya, jenazah itu bisa menyesuaikan, menekuk tubuhnya sendiri sesuai dengan tanganku merengkuhnya. Tangan kiriku di bawah lekukan lutut jenazah sedang tangan kananku di bagian leher dan pundak jenazah. Kurasakan jenazahnya amat ringan dalam gendonganku, sama sekali tak kurasakan berat. Entah kekuatan dari mana yang membuatku kuat atau memang jenazahnya yang tidak berat.
“Mau dibawa ke mana jenazah ini?” kulihat dia masih kebingungan dan belum menemukan tempat untuk menyembunyikan atau membumikan jenazah ini. Tak lama setelah itu aku merasakan ada pergerakan dalam kafan ini. Ternyata Arma sedang mengeluarkan tangannya dan kemudian berkata, “di sana” sambil menunjukkan suatu tempat lalu memasukkan tangannya lagi ke dalam kafan. Saat itulah aku benar-benar melihat wajahnya. Wajah yang sangat bersih bahkan seperti didandani/dibedaki. Wajah yang bersih dan rambut yang rapi yang aku kenali seperti ketika baru selesai mandi dan persiapan untuk kuliah atau kegiatan penting lainnya.
“Lalu mengapa kau berada di sini?” tanyaku. Tapi tidak ada jawaban. Arma malah sibuk membenarkan posisinya dalam gendonganku mencari posisi yang nyaman. Entah apakah orang yang bersamaku masih kebingungan itu menyadari aku sedang berkomunikasi dengan jenazah ini atau tidak. Apakah dia mengikuti langkahku menuju tempat yang ditunjuk Arma atau masih khawatir dengan kondisi sekitar.
Aku masih belum menyadari bahwa ini bukan di dunia nyata. Biasanya aku pasti mengenali di mana posisiku berada sehingga aku bisa menyesuaikan dan menentukan tindakan dalam bersikap. Aku sudah terlalu fokus dengan perbincanganku dengan Arma dan sudah terlalu senang (masih bisa) berkomunikasi dengannya. Dan aku tidak merasa takut sama sekali seperti orang yang bersamaku tadi. Tidak ada kekhawatiran apapun seperti dalam skenario-skenario lain ketika tidak berada di dunia nyata. Setelah Arma nyaman dengan posisinya, dan aku bisa melangkahkan kaki dengan nyaman pula, aku bertanya lagi pada Arma.
“Ma, koe ki tenanan mati atau mek pengen nyicipi tok sih?”[1] aku masih merasa di dunia nyata dan bertanya pada Arma sama seperti biasa; menganggap setiap hal yang dilakukan Arma adalah guyonan belaka. Sehingga aku tak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi maksud pertanyaanku padanya à apakah benar sudah meninggal atau sama seperti yang dilakukan orang lain yang hanya ingin tahu, penasaran rasanya meninggal, penasaran dengan alam kubur, dan sebagainya, lalu kemudian kembali dan hidup lagi di dunia.
“Iki mati tenanan ki aku, pie toh..”[2] jawabnya. Wajahnya agak sedikit cemberut, ekspresi biasa ketika aku meragukannya; beneran atau bercanda.
“Yowes”[3]
Entah mendapat dorongan dari mana, aku merasa tergesa-gesa menyampaikan lagi, sebelum beberapa langkah lagi kami benar-benar sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi, “Ma, aku jaluk ngapurane sing akeh yo, dhisik aku duwe salah........”[4] belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotong, “halah halaaah...”. Perbincangan kali ini sudah benar-benar tak lagi menggunakan kata-kata. Meski sebenarnya dari tadi tak ada yang benar-benar berkata dengan mulut, seperti layaknya berkomunikasi lewat telepati atau intuisi. Entah apakah dia benar-benar paham apa yang aku maksud atau tidak. Arma, kau satu-satunya sahabat yang tahu sampai aib terbesarku. Dulu ketika aku mengkhawatirkan kau akan menjauh, membenci, dan menghindar setelah tahu semua tentang itu. Tapi justru kau malah biasa saja, justru memberikan masukan dan saran, terus mendukung dan membantu untuk keluar dari jurang maksiat dan dosa. Arma seolah memintaku untuk melupakannya. Aku sudah sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi setelah perbincangan terakhir ini. Aku berhenti, lalu kepejamkan mataku. Kueratkan gendonganku pada Arma seperti seolah memeluknya. Ingin sekali kusampaikan bahwa dia adalah sahabat terbaikku. Aku masih berharap pertemuan-pertemuan lainnya lagi. Meski di dunia ini, bukan di dunia nyata. Aku tak mau meski sekedar meletakkan jenazahnya untuk mencari atau berharap ada kuburan yang kosong atau mencari alat untuk menggali terlebih dahulu. Aku masih terus memeluknya hingga sampai kurasakan seolah dia juga memelukku. Seolah dia juga mengatakan hal yang sama bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Kutekadkan membuka mata dan kulihat wajahnya tersenyum berseri, wajahnya bersinar tampak sangat bahagia sekali.

Aku benar-benar membuka mata. Kudapati diriku tersenyum-senyum sendiri. Merasa hangat dalam kemulan sarung meski sebelum tidur tadi terasa dingin karena gerimis dan kipas kunyalakan untuk mengusir nyamuk. Kuraih hp yang tak jauh dari jangkauanku dan kulihat jam; 02.32 Tue, 21 Jun. Kurapatkan sarung menyelimuti tubuhku dan kembali tidur, berharap bisa bertemu dan berbincang-bincang lagi dengannya.
90 hari setelah pertemuan terakhir
02.32
21 Juni 2016




[1] Ma, kamu tu beneran meninggal atau sekedar ingin mencicipi saja sih?
[2] Ini aku meninggal beneran, gimana sih...
[3] Ya sudah
[4] Ma, aku sunguh-sungguh minta maaf ya, dulu aku punya salah....

Sunday, June 19, 2016

Aspal Jogja - Klaten

Sebuah pengantar; tentang Khalifah fil ‘Ardh atau green-deen, tentang parenting, tentang masa lalu, tentang masa kecil. 
Kenalin, nama gue Ojan. Gue mau cerita tentang perjalanan-perjalanan yang pernah gue lakuin. Kali ini tentang perjalanan bareng sobat gue. Dia yang saat ini udah tenang di surga, semoga, dan gue yakin iya.
Aspal Jogja - Klaten
Awal-awal Ramadhan tiga tahun yang lalu. Berarti Ramadhan 1434 atau tahun Masehinya pas tahun 2013. Perjalanan ini sungguh berbeda. Bagi gue ini perjalanan spesial yang ga bakal ada di zaman sekarang ini. Kalaupun toh ada, gue yakin kemungkinannya kecil banget. Di tengah siang bolong, kami berbincang.
“Siang-siang gini enaknya ngapain ya?”
“Nyetel lagu, trus tidur”
“Eh, bentar lagi kan libur, kapan nih kita realisasikan wacana sepedaan bareng atau jalan kakinya?”
“Halah, lu aja sibuk gitu, emang bisa bagi waktu?”
“Hmm, iya juga sih, bisa liburan taun depan dong kalo nunggu ga aktif di organisasi”
“Atau sekarang aja, daripada wacana mulu, sekarang kita jalan ke rumah gue”
“Oke, kalau ke Klaten ntar gue juga bisa main ke rumah Paklek gue”
“Beneran ga nih? Dari dulu perasaan ayo-ayo mulu tapi ga ada realisasi sama sekali”
“Ya kalo lu serius gue juga serius, ayo-ayo aja, mumpung masih jam segini” waktu itu masih jam satu kurang. Dalam bayangan gue udah ada itung-itungan ngawur sok tahu gue; perjalanan orang normal jalan kaki sejauh 6 km adalah satu jam. Sedangkan Jogja-Klaten kalo ditempuh pake motor, si Awan biasanya cuma 45 menit dan paling lama selama satu jam. Kalo pada umumnya perjalanan sejauh 6 km rata-rata ditempuh selama 10 menit pake motor, berarti kira-kira jarak Jogja-Klaten adalah sekitar 27 km – 36 km. Jadi, estimasi tercepat jalan kaki Jogja-Klaten adalah 4,5 jam dan estimasi paling lama adalah 6 jam. Setelah itung-itungan dalam otak itu gue bilang lagi, “berarti kalo jadi berangkat sekarang, kemungkinan tercepat kita sampe Klaten itu pas buka puasa dan paling lama sampe rumah Awan adalah pas taraweh.
Perjalanan ini sangat murah. Soalnya ga ada biaya transportasi, karena kami jalan kaki. Juga ga ada biaya konsumsi (kalo sesuai perkiraan), soalnya kami puasa. Wacana jalan kaki ini emang udah lama kami bincangkan. Dalam beberapa kali kesempatan kami udah janji buat merealisasikannya. Dan, membuat wacana atau janji antara gue dan Awan bukan wacana biasa. Seguyonan apapun kami, kami tidak akan bohong, selalu ada usaha buat mewujudkannya. Selain itu karena sepedaan bareng dengan jarak yang jauh udah pernah kami lakukan dulu pas ke Parang Tritis dari kampus ama temen-temen yang laen. Setelah itu, kami pengen yang lebih; jalan kaki. Dan saat itu, berawal dari obrolan ringan yang agak guyonan tiba-tiba jadi serius dan bener-bener dilakuin.
Selama perjalanan kami beristirahat beberapa kali. Pertama adalah ketika waktu ashar. Kami berhenti di pom bensin, karena pas denger adzan kami tak melihat masjid, dan yang terdekat adalah pom bensin itu yang alhamdulillah ada mushollanya. Setelah sholat kami langsung jalan lagi, tidak seperti pas jalan pake motor, dengan pertimbangan jangan terlalu lama beristirahat. Karena kalo terlalu lama istirahat, selain bakal makan waktu juga bakal cepet ngrasain capek. Jadi emang untuk melawan rasa capek itu adalah dengan terus melawannya dengan terus menerus jalan.
Waktu terus berlalu. Seolah kaki kami udah menyatu ama sendal yang kami pake. Terkadang kami pun melepas sendal untuk benar-benar menyatu ama aspal itu. Puluhan menit berlalu, pake lagi, lepas lagi, dan seterusnya. Kami istirahat lagi ketika waktu berbuka. Ternyata sangat jauh dari perkiraan. Waktu berbuka kami masih sampai di jalan jogja-solo, masih perbatasan Jogja dan Klaten. Sebelum adzan benar-benar dikumandangkan, kami segera menuju masjid yang terlihat. Ternyata yang tampak dekat itu tak selalu benar-benar dekat, kawan. Lebih dari lima menit kami berjalan keluar dari jalan raya untuk menuju masjid itu. Dan di sana sedang ada kegiatan buka bersama karyawan dari sebuah perusahaan beserta keluarganya. Tentu tak bisa berharap dapet jatah, karena itu kegiatan formal atau forum internal perusahaan, bukan acara pengajian umum yang biasanya bagi-bagi buka ke siapa aja yang dateng. Kami hanya buka air putih (baca: air kran). Usai sholat maghrib kami baru mampir ke warung dan makan di sana. Lalu, lanjut lagi. istirahat ke tiga adalah ketika isya, tapi kami tidak mengikuti tarawih. Selain menghormati waktu sholat, tentu kami juga mempertimbangkan kalo menundan nanti sampe di rumah, tentu badan sudah capek semua dan malas untuk melakukan apapun, dan tentu jamaah sendiri dengan jamaah di masjid akan berbeda keutamannya, bukan?
Kami terus berjalan. Kaki kami sudah bernar-benar menyatu dengan aspal. Gue sendiri lebih sering copot sendal daripada pakenya. Begitupun Awan. Hingga tak terasa sudah sampe pusat kota Klaten dan waktu sudah jam 10 malem. Lama berjalan bikin tenaga kami abis. Kami sepakat beristirahat lagi, kalo pake motor kayak isi bensin dulu lah. Kami berhenti di warung pinggir jalan, beli nasi goreng, teh manis, dan air putih. Kira-kira 10-15 menit setelah makan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Setelah istirahat dan makan ini, kami sudah mulai ngrasain capeknya. Kesalahan kami adalah karena kelamaan istirahat, nunggu masakan jadi, makan minum, tambah 10-15 menit. Yasudahlah. Obrolan kami sudah mulai menyinggung, “Berapa lama lagi nih?”
“Tinggal tiga traffic light lagi nih, kalo ga salah itung. Eh atau masih empat ya?” kata Awan.
“Wan, udah jam segini, gue jadinya nginep di tempat lu aja ya, ga mungkin malem-malem gini gue sms paklek gue. Ternyata sampe semalem ini. besok pagi aja gue minta anter ke paklek gue” gue garuk-garuk kepala yang ga gatal. Kalo masih di bawah jam sepuluh sih gue rencana ke paklek gue, tapi karena ga hubungi terlebih dahulu ntar malah bikin khawatir. Jadi rencananya emang baru hubungi kalo udah deket.
“Yaudah, slow aja” jawabnya. Lagian ortunya Awan juga udah kenal gue, gue juga udah sering nginep di tempatnya juga.
Akhirnya kami sampe di jalan masuk ke desanya Awan. Masuk jalan kecil di belakang gudang Alfamart, melewati rel yang melintang, dan saling menyemangati. “Ayo dikit lagi Wan, bentar lagi nyampe”
“Gimana kalo kita sprint?” tantang Awan ketika udah sampe di pertigaan yang ada pohon besar. “Biar ga kerasa capek.. haha”
“Sampe mana?” tanyaku
“Sampe tikungan sana”
Lalu kami kayak anak kecil yang lagi lomba lari. Ah, tapi gue ga sekuat dia. Nafas gue udah habis duluan, jadi cuma bisa jogging, lari-lari kecil dan lalu jalan lagi.
“Ayo sprint lagi” ajaknya lagi setelah melewati tikungan. “Sampe pertigaan Garuda itu” begitulah kami sprint, lalu jalan lagi. menghabiskan sisa-sisa tenaga hingga sampe di depan gapura desanya. Dan kami berjalan seperti biasa lagi.
Itungan fatal yang gue lakuin adalah gue lupa mempertimbangkan kalo kecepatan Awan naek motor itu di luar kebiasaan orang. Sedangkan itungan kasar yang gue jadiin patokan tadi adalah itungan naek motor kalo santai atau setara ama naik bis/angkutan umum. Seharusnya kalo patokan gue pake angkutan umum, maka jarak yang ditempuh juga standar angkutan umum, bukan standarnya Awan. Padahal kalo naik angkutan umum aja bisa sampe 1 jam lebih 10-20 menit. Selain udah salah peritungan, gue juga udah korupsi beberapa menit buat gampangin ngitungnya. Jadi, kalo diitung jarak sebenernya antara Jogja – Klaten yaitu; waktu tempuh 70 – 80 menit, dengan perkiraan sama seperti tadi (6 km = 10 menit à standar angkutan umum/bis yang udah dipukul rata dikurangi waktu ngetem, nurunin dan naikin penumpang di tengah jalan, dan berhenti di traffic light) maka jaraknya adalah 42 – 48 km. Kalian pada tahu ga? Salah itung dengan beda jarak 10 km kalo ditempuh dengan jalan kaki itu luar biasa fatal kawan. Kalo diitung bisa sampe 2 jam perjalanan. (sekarang, kalo dicek pake aplikasi google map, jarak antara kontrakan kami dengan rumah Awan adalah 46km). Itungan itu jangan kalian jadiin patokan juga ya, itu hanya ada dalam pikiran gue aja, berdasar data ala Ojan masih SD dulu. Terlebih lagi, gue belum ngitung pertimbangan kecapekan, bahwasanya kalo 1 jam jalan kaki 6 km itu kalo jalan normal dan jarak dekat. Nah kalo jarak jauh seperti ini, ada dinamika kecapekan yang sedikit demi sedikit mengurangi kecepatan. Dan hasilnya perjalanan sejauh 46 km itu kami tempuh kurang lebih 11,5 jam; ada istirahat 3 kali untuk sholat+berbuka ketika maghrib dan satu kali istirahat di warung untuk makan. Sehingga rata-rata perjalanan satu jam kami hanya mencapai 4 km.
“Assalamu”alaikum” sedikit sambil teriak Awan mengetuk rumah.
“Wa’alaikumussalam” untung ortu Awan masih bangun, lagian juga udah biasa kalo Awan pulang malem.
Kami justru diketawain ama beliau berdua. Tapi, gue (sok) paham, di tengah kehumorisan keluarga ini, meski beliau berdua ngetawain, sebenarnya ada kekhawatiran di benak mereka, dan tentu langsung ditutupi dengan kasih sayang yang dibumbui dengan kehumorisan ala keluarga ini. Ibu Awan langsung mengeluarkan air es yang sudah dicampur dengan gula jawa. Gue ikut ketawa aja. Mentertawakan kebodohan atau kegilaan kami berdua.
Gue udah tergeletak di dapur, sungkan masuk lebih dalam karena kaki masih kotor, soalnya Awan udah masuk kamar mandi duluan. Bahkan tak terasa gue ketiduran 5-10 menitan atau mungkin lebih lama. Setelah itu, efeknya baru terasa. Fwaahh, telapak kaki ini sakit banget sekedar buat napak. Ah, sudahlah, ceritanya sampe sini aja.
************************
Gue udah lupa apa aja bahan obrolan kami selama di atas aspal Jogja – Klaten itu. Kadang ngobrol ngalir terus menerus, kadang sama-sama diem, sibuk ama pikiran masing-masing. Mengenang perjalanan ini otomatis mengenang juga nilai-nilai yang sejak kecil ditanamkan Ibu gue. Apalagi momen puasa. Ibu gue bener-bener nekenin kalo puasa itu ga sekedar ibadah. Nilai ini yang ketika dewasa gue tahu ternyata ini juga yang diharapkan oleh Nabi.
“Kau tahu nak, bagaimana nasib orang-orang jalanan sana? Kalo siang terik matahari panas mereka kepanasan, kalo hujan mereka kehujanan, belum lagi mereka masih belum tahu akan makan apa. Maka sekali-kali berpuasalah, coba rasakan penderitaan mereka. coba rasakan kelaparan, memahami kondisi mereka”
Dulu, ibu gue sering ngasih motivasi buat puasa sunnah untuk menanamkan nilai itu. Ya, secara jarak antara rumah gue ke sekolah gue saat SD dulu ada sekitar 3 km yang kalo jalan kaki sampe setengah jam (ini data yang gue pake itungan itu, jalan normal manusia selama 1 jam mencapai 6 km). Dulu gue pulang SD sore menjelang maghrib, karena pas itu kelas sekolah gue masih kurang, jadi kelas 2 dan 3 masuk setelah dzuhur dan pulang jam 5 sore. Waktu masih kelas satu, gue berangkat sekolah bareng kakak gue yang kelas 5 naik sepeda, dan pulang dijemput bapak atau ibu gue pas dzuhur, karena jadwal pulang kelas 1 dan kelas 5 berbeda. Saat itu kelas 5 pulang sekitar jam 2. Ini sekolah swasta guys, jadi jadwal masuk dan pulang ga sama ama sekolah negeri pada umumnya, dan sah sah aja kalo ada yang masuk siang dan pulang sore. Sedangkan waktu kelas 2 dan 3, gue berangkat sendiri naik angkot dan pulang jalan kaki.
Perjalanan Aspal Jogja – Klaten ini benar-benar gue rasain sendiri. Memaknai lagi nilai yang dari dulu ditanamkan sejak kecil. Sat itu benar-benar gue rasain sendiri. Kawan bahkan dengan membaca cerita ini kalian hanya bisa membayangkan, bersimpati, tapi tidak akan sampai benar-benar berempati; bagaimana rasanya kepanasan di siang bolong di atas aspal (untung saat itu ga hujan) dengan kondisi perut lapar, kedinginan di malam hari di pinggir jalan (gue ama Awan waktu itu cuma pake kaos, ga pake jaket kayak biasa kalo pulang naek motor), belum lagi efek aspal kendaraan yang tentu ga nyaman buat nafas segar dan pada akhirnya itu menjadi kebiasaan dan jadi kenyamanan sendiri bagi mereka. hey, itu kami lakukan Cuma sehari, bagaimana dengan mereka yang emang hidupnya di jalanan?
Tak hanya sampai di situ, setelah ditanamkan tentang mengenal dan memahami rasa orang lain, esok Ibu melanjutkan pelajarannya lagi. “Coba ditiru Kakakmu Tirta itu, kakakmu itu sudah kelas 5, uang sakunya cuma 600, dia jarang sekali jajan, uangnya sering sisa dan sisanya dikasih ke orang minta-minta di pinggir jalan tugu muda itu” ya, gue juga tahu itu. Biasanya kami dikasih uang 1.000 dengan pembagian 400 buat gue dan 600 buat kakak gue. Sedang teman-teman kami mungkin uang sakunya lebih dari 1.000, ada yang 2.000, 5.000, bahkan ada juga yang 10.000. Gue sendiri sering cuma bisa menatap temen-temen gue yang bisa jajan sepuasnya, sesuka mereka. Tambah lagi, pas SD dulu gue liat sendiri gimana orang-orang yang jajannya banyak itu, terus makan ga abis (pas itu jajannya es kacang ijo yang lumayan buat ganjel di siang hari). Banyak sekali yang bungkus es kacang ijonnya ga abis dan dibuang di tempat sampah. Tak lama setelah itu, pas gue sambil nunggu jemputan,  ada bapak-bapak yang pakaiannya lusuh, dia mengorek-ngorek tempat sampah dan mengambil sisa-sisa es kacang ijo yang udah dibuang oleh mereka yang uang sakunya banyak. Gue keinget pesen ibu gue, “Seterbatasnya keluarga kita, kita patut bersyukur, kita masih bisa makan nasi. Kau tahu nak, orang-orang di luar sana belum tentu bisa makan nasi; anak-anak jalanan, mereka yang abis terkena musibah entah gempa bumi, banjir dsb. Janganlah mengutuki kondisi kita”.
Tiba-tiba gue juga inget cerita kakak gue, ketika temennya mau buang es teh yang ga habis, kakak gue dengan gerakan layaknya Jet Li (ceritanya) langsung ngrebut bungkusan itu tepat sebelum masuk ke tempat sampah dan bilang, “Daripada lu buang sini gue minum aja”. Ini juga nilai yang selalu ditanamin ibu gue, “Jangan pernah meremehkan sisa makanan; secuil nasi, setetes air, yang bagi kita mungkin tidak berguna, bisa jadi itu sangat berguna bagi mereka yang membutuhkan.” Hal inilah mengapa kami sangat anti untuk membuang sisa makanan dan membenci orang-orang yang membiarkan makanannya tersisa dan terbuang sia-sia.

Sejauh gue merantaupun, gue baru nemu sahabat yang banyak banget standar-standar dan nilai-nilai yang sama seperti yang ditanamkan ibu gue sejak kecil; dia adalah Awan. Ibu, Kak Tirta, dan Awan. Sosok teladan dan yang selalu menguatkan dalam melestarikan nilai-nilai yang saat ini banyak dilupakan dan ditinggalkan orang. Gue pernah baca tulisan Awan di laptopnya yang intinya sama seperti yang gue rasain; merasa seneng banget bisa menerapkan nilai-nilai itu dan dapet temen yang cocok dan saling mendukung sementara yang lain meremehkan bahkan menjelek-jelekkan dan kami sempat hidup bersama menjalani itu; di kontrakan, di kampus, di perjalanan-perjalanan kami.

Tuesday, June 7, 2016

Pertemuan Terakhir

Kira-kira tiga bulan telah berlalu setelah aku memutuskan untuk pulang kembali ke rumah, meninggalkan kota perantauan. Kerinduan juga adanya tanggung jawab mendesakku untuk berkunjung pekan itu. Sekedar melepas rindu dan menyelesaikan administrasi yang sudah semestinya diselesaikan meski kata karyawannya bisa dirapel di akhir nanti, tidak harus diurus saat itu juga.
22 Maret, 13.15 aku sampai di kota jogja, menghubungi beberapa orang untuk bertemu dan menyelesaikan beberapa urusan. Sebenarnya ada pertemuan yang ingin aku selenggarakan, pertemuan ‘keluarga pengurus syiar 2012’ setelah sekian lama belum ‘reuni’ lagi. Terakhir ‘reuni’ seingatku adalah Oktober atau November 2014 setelah pulang dari kkn. Seperti biasa, berkumpul untuk makan bersama di hari ulang tahun salah satu dari anggota, meski hari H-nya sudah lewat berminggu-minggu. Haha. Tak jadi masalah, karena intinya adalah menjalin silaturrahim.
Esok harinya (23 Maret) segera menuju kampus, menghadap di bagian akademik dan segera mencari-cari keberadaan dan menunggu dosen pembimbing untuk menyelesaikan administrasi dan sedikit konsultasi. Sambil menunggu, kulangkahkan kakiku menuju perpustakaan. Mengikuti takdir mahasiswa tua yang fokus menggarap skripsi. Tak disangka dan dinyana di sanalah aku bertemu dan berkumpul dengan anggota-anggota syiar kembali (Arma dan Sabila). Pertemuan yang sangat kuinginkan tapi belum direncanakan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, aku ajak mereka makan siang, ya meskipun tidak seperti biasa aku sampaikan seperti ‘reuni-reuni’ sebelumnya, aku hanya mengajak makan bersama, tidak menamakannya ‘reuni’ kami lagi. karena ada satu orang tambahan (Safura) dan tempat yang kami tuju merupakan tempat bekerjanya salah satu dari teman kami; Bagus à di sambel layah jakal.

Waktu terus berlalu sampai dzuhur pun tiba. Wacana ke sambel layah jakal ternyata dianggap serius. Aku yang seharusnya sudah janji dengan dospem, karena kucari-cari juga belum ketemu, akhirnya memutuskan makan bareng saja. Meski mereka masih meragukan kabarku tentang teman kami yang bekerja di sana. Tanpa ba bi bu (mengkonfirmasi teman kami/Bagus terlebih dahulu) langsung kami berempat menuju sambel layah jakal. Awalnya, sampai sambel layah kami memang tidak menemukan batang hidung teman kami itu. Karena memang pangkatnya sebagai kepala bagian di sana, tentu kerjanya tidak di depan atau melayani pelanggan. Dilalahnya, saat itu dia keluar ruangan untuk menemui staf-nya di depan dan melihat kami sedang menunggu pesanan (tepat ketika kami duduk setelah menyelesaikan pemesanan). Jadilah kami berlima melepas rindu hingga ashar tiba.



(saat itu aku masih tak sadar jika ternyata itu adalah pertemuan terakhir)
25 Maret 2016
06.46 aku memulai perjalanan kembali ke rumah, meniggalkan jogja (lagi). Perjalanan ini adalah perjalanan pertamaku (dan semoga juga menjadi yang terakhir) merasa sangat mengantuk di atas motor. Entah kenapa, biasanya secapek-capeknya badanku, mataku akan tetap terbuka lebar karena fokus mengendarai motor. Perjalanan pulang ini juga menjadi perjalanan tercepat dalam sejarah perjalananku jogja-semarang à hanya 2 jam, 08.45 aku sudah sampai di rumah kakakku. Aku menggunakam trik-trik-ku selama mengendarai motor à bernyanyi dengan berteriak untuk melawan kantuk. Namun tetap saja, beberapa kali mataku tertutup dan sempat terhuyung hampir menabrak atau menyerempet mobil atau truk yang saat itu ada di dekat motorku. Saat itulah aku teringat kebiasannya Arma. Dia yang bisa mengendarai motor dengan kecepatan 100km dan kadang lebih dari itu dengan keadaan mengantuk dan tak jarang matanya tertutup. Apalagi dia sering melakukan perjalanan malam hari. Ternyata begitulah yang dia rasakan, saat itu aku merasakan bagaimana posisinya. Dan mungkin pola pikirnya juga sama; agar cepat sampai tujuan sehingga bisa segera beristirahat.
Di atas motor setelah mengingat dan merasakan situasi dan kondisi yang dirasakan Arma, pikirku melayang ke keluarga, orang-orang terdekat; sahabat dan teman yang kuanggap sebagai keluarga kedua. Semuanya. Terlebih hampir dua bulan sebelumnya aku kehilangan kakakku. Di atas motor itu, dalam keadaan terkantuk-kantuk itu, aku sangat takut, takut akan rasa kehilangan (lagi). siapakah orang selanjutnya yang akan dipanggil? Giliran siapa lagi yang akan menyusul mereka yang telah mendahului? Akankah salah satu keluargaku lagi? akankah orang terdekatku? Atau keluarga dari sahabat/temanku? Atau jangan-jangan malah diriku sendiri? Pikiran-pikiran itu membuatku sangat kalut, semakin menambah kecepatan, juga semakin menambah kantuk, lalu kulampiaskan melawan kantuk dengan bernyanyi berteriak sekeras-kerasnya, tak peduli apakah pengendara lain mendengarnya atau tidak.
Setelah beristirahat cukup lama, malam harinya aku menceritakan apa yang aku rasakan siang itu pada salah satu orang. tentang rasa sangat takut akan kehilangan, dan menyebutkan orang-orang terdekatku dari berbagai kalangan (yang ia kenal). Tak terasa rasa takut itu mungkin berdampak pada kesehatanku. Mulai saat itu kurasakan badanku meriang, batuk-batuk, dan beberapa gejala lain hingga satu bulan ke depan. Akhir pekan Bulan April aku menyadari dan menemukan gejala-gejala yang kurasakan itu adalah gejala sakit paru-paru. Mungkin dari luar memang tampak biasa saja, layaknya sakit batuk biasa. tetapi segera aku menyempatkan waktu untuk melarikan diri ke rumah sakit. Dua-tiga minggu mondar-mandir rumah sakit dan klinik dokter; periksa, cek lab (ronsen paru-paru), cek dahak, kontrol, dan mengkonsumsi obat-obatan. Apakah aku yang akan mendapatkan giliran selanjutnya untuk menyusul ke sana? Ah, pikirku semakin kalut saja. Obrolan-obrolanku mulai banyak yang membahas tentang pergi meninggalkan atau kehilangan. Termasuk juga mengkhwatirkan orang yang menunjukkan gejala-gejala mengasingkan diri. Karena kehilangan tidak selamanya berarti meninggal bukan?
12 Mei dokter menetapkan diagnosa akhir penyakitku, tetapi saat itu aku tidak mendengar saat dia menjelaskannya. Aku hanya mendengarkan tentang obat-obat yang harus aku konsumsi. 23 Mei aku baru dijelaskan lagi bahwa ternyata aku sakit bronkitis, dan saat itu perkembangannya sudah sangat baik. Hanya tinggal flu-nya saja. Pada hari itulah hatiku menjadi lega. Sedikit demi sedikit, hari demi hari aku mulai mengendalikan perasaan dan emosiku lagi. Tulisan tentang kehilangan yang aku tulis setelah kakakku meninggal akhirnya aku terbitkan (di blog), setelah sekian lama terpendam. Saat itu aku tidak berani mem-publish-nya dengan alasan yang tidak bisa diterima logika. Aku masih takut. Berdasar pengalaman selama ini, kejadian itu akan benar-benar terjadi ketika aku sudah menguasai perasaanku lagi (ketika aku menghilangkan perasaan takut yang menjalar di hati). Benar saja, setelah sekian hari menenangkan diri, satu hari setelah aku memposting tulisan tentang kehilangan itu, saat berselancar di dunia maya, kudapatkan informasi itu.

Tak berpikir lama, dengan diiringi kekagetan dan kepanikan, segera grup WA KMP 2011 kugencarkan dengan gambar itu. Dan semua telah berlalu. Dia telah benar-benar pergi, pulang untuk menemui Yang Mencintainya dan Yang ia cintai.
*********

Sekedar pengantar untuk memulai mengenangmu kawan. Kau yang dulu tidak menyukaiku ketika aku dalam kondisi melawan perasaan itu. Terlalu khawatiran terhadap sesuatu yang belum pasti terjadi. Tentang kecocok-logian peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi kau tetap menghargai dan menutupi kebencianmu itu di hadapanku.