Wednesday, June 15, 2011

UNTUK KITA RENUNGKAN

Pagi itu, Ahad, sang surya baru saja bersinar. Udara Jakarta yang biasa berselimut polusi, masih terasa agak segar. Supriono (38 th.) dan putera sulungnya, Nuriski Saleh (6 th.), bergegas mendorong gerobaknya meninggalkan lorong rel keretaapi Cikini, tempat mereka biasa memejamkan mata tiap malam menjelang. Gerobak itu berjalan pelan menuju Manggarai. Di dalamnya tergeletak lemah putri Supriono, Nur Khairunnisa (3 th.). Sudah empat hari ini adik Nurizki berjuang melawan muntaber. Meski begitu, mereka tak surut mendorong gerobaknya menelusuri jalan-jalan ibu kota, keluar masuk komplek permahan, perkampungan, pasar dan tempat-tempat lain. Mereka berharap masih ada sekeping rezeki dari mengumpulkan kardus bekas, botol plastik, dan barang bekas lainnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Supriono berharap kardus dan barang-barang loak yang terkumpul hari ini, bisa digunakanya untuk biaya si kecil berobat ke puskesmas esok hari. Nisa memang sudah dibawa ke Puskesmas Setia Budi, Jakarta Pusat, tiga hari yang lalu. Tapi, ketika obatnya sudah habis, derita Nisa belum berkurang juga. Biaya berobat ke puskesmas memang cuma empat ribu, tapi uang sebanyak itu oleh Supriono terasa berat mencariya. Beralas karton kotor, berselimut sarung dekil, tanpa bantal dan guling, tubuh mungil gadis kecil itu terguncang-guncang ketika gerobak melintasi jalan berlubang. Sesekali kakaknya, Nurizki, mengajaknya bermain, tapi Nisa tidak menanggapinya. Paling-paling ia merengek pada kakaknya minta minum, satu-satunya yang tersisa untuk mengganjal perut di kala pagi.
Tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan Manggarai. Jarum jam menunjukkan angka 07.00 WIB. Supriono terkesima melihat putri kecilnya, tiba-tiba terdiam tak bergerak. Mata mungilnya juga tak berkedip dan desah nafasnya berhenti. Supriono bergegas menghentikan gerobaknya, dirabanya urat nadi di pergelangan tangan, terus bergeser meraba urat nadi di leher, namun tak ada denyutnya lagi. Spontan bibir pria yang sudah lama menduda ini bergetar mengucap kalimat Innaalilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Sambil memeluk jasad puteri tercintanya, air mata Suoriono bercucuran membasahi wajahnya yang terlihat kian berat menanggung beban hidup. Setelah berjuang melawan ganasnya bakteri penyebab muntaber, Nisa akhirnya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa siapapun di sampingnya, kecuali ayah dan kakaknya. Ibundanya, Turiyem (30 th.),sejak berpisah dengan Supriono setahun lalu, tak diketahui di mana rimbanya. Perempuan ini tak sanggup menjalani hidup penuh derita bersama suaminya. Ia lebih memilih berpisah dan meninggalkan kedua anaknya.
Supriono masih memeluk putrinya. Sementara itu, Nurizki masih asyik bermainpmain dan tak mengerti mengapa ayahnya menangis sambil memeluk adiknya. Uang di saku Suriono hanya tinggal Rp. 6000. Uang dalam jumlah itu terntu tidak cukup untuk membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan dan biaya penguburannya. Pikiran Supriono terambing-ambing mencari pijakan dalam mengambil keputusan. Setelah meletakkan mayat Nisa di gerobak, Supriono mengajak Nurizki mendorong gerobaknya menuju stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan jasad buah hatinya ini di perkampungan pemulung, Kramat, Bojong Gede, Bogor. Pria yang hanya tamat Sekoolah Dasar ini berharap akan memperoleh bantuan dari para rekannya, sesama pemulung.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Matahari mulai menyengat kulit. Supriono, Nurizki, jasad Nisa dan gerobaknya tiba di stasiun Tebet. Sarung kumal dan bau yang selama ini menyelimuti tubuh Nisa digunakannya untuk menggendong mayat. Meski begitu, kepalanya dibiarkan terbuka dan kakinya terbujur kaku. Dengan bermandikan peluh, Supriono dan Nurizki terus mengayunkan langkah mencapai tujuan.
Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berdiri di stasiun menunggu datangnya KRL jurusan Bogor. Ketika KRL datang, tiba-tiba seorang pedagang teh botol, menanyakan keadaan putrinya itu. Dengan polos, Supriono menjawab bahwa puterinya sudah meninggal dunia dan akan dikuburkan di kampung Kramat, Bogor. Mendengar penuturan itu, puluhan calon penumpang dan para pedagang asongan pun geger. Seseorang kemudian menghubungi Pos Polisi Tebet. Supriono diperiksa di Pos Polisi itu selama lebih dari empat jam. Ia hanya pasrah dengan keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian terhadap dirinya. Jasad Nisa kemudian dibawa ke RSCM untuk keperluan otopsi.
Sementara itu, Nurizki masih saja belum mengerti bahwa adiknya telah meninggal dunia. Ia tetap bermain-main sambil memegangi tangan adiknya yang terbujur kaku. Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berjalan kaki menggendong mayat putrinya keluar dari kamar mayat. Beberapa warga yang melihat langsung jatuh iba. Mereka kemudian memberikan bantuan ala kadarnya kepada Supriono. Supriono masih berniat menguburkan puterinya di kampung Kramat, Bogor dengan menumpang KRL. Namun akhirnya ia memutuskan menguburkan jasad Nisa di Manggarai. Dengan bantuan dari beberapa orang rekan, akhirnya Supriono berhasil menguburkan jasad Nisa. Ia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada para sahabatnya dan seluruh warga yang telah turut serta pada proses penyelenggaraan fardu kifayah Nisa. Ia tidak bisa membalas kebaikan warga. Yang bisa ia berikan hanyalah do’a keselamatanagar Allah senantiasa membukakan pintu rezeki kepada mereka.
Kisah Supriono ini perlu untuk menjadi renungan bagi kita semua. Dia dan kedua anaknya adalah salah satu contoh dari orang-orang kecil yang bertarung melawan tajamnya taring-taring kehidupan. Sesungguhnya masih banyak kasus yang sama kita temukan di berbagai sudut kehidupan. Nur Khairunnisa, puteri Supriono, adalah salah satu contoh dari seorang anak yang nyawanya direnggut ganasnya bakteri muntaber. Ironisnya, sejarah hidup mereka yang kelam harus dijalani di tengah para hartawan yang bergelimang materi, cerdik cendekiawan yang berilmu tinggi, para pejabat yang bisa menghitam dan memutihkan kebijakan, atau para rohaniwan yang begitu dekat dengan Tuhannya.
Orang-orang seperti Supriono sering dianggap sebagai sebuah obyek mati yang selalu menjadi konsumsi hangat di seminar-seminar, dialog kemiskinan, pengajian, atau santapan empuk menjelang pemilu. Setelah semuanya usai, Supriono pun ditelan derasnya arus kehidupan kota metropolitan. Ia tidak lagi dilirik, apalagi diperhatikan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia merupakan salah satu korban keganasan “singa-singa” intelektual dan spiritual yang selalu menyanyikan kepedulian sosial, tapi di sisi lain mengkhianatinya.
Jika potensi yang terdapat pada para hartawan, cerdik cendekia, para pejabat, dan para rohaniwan disatukan untuk mengatasi kasus-kasus Supriono, kita optimis, kasus itu tidak akan kita temui lagi, minimal dapat ditekan. Persoalannya hanya terletak pada tekad yang bulat dan kemauan keras untuk menjalankannya. Masing-masing tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Ibarat kata pepath, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Betapapun beratnya beban hidup yang dijalani oleh orang-orang seperti Supriono, semuanya akan dapat dipikul asal ada kebersamaan.
Jauh sebelum orang-orang seperti Spuriono dan kedua anknya dibicarakan secara hangat di berbagai forum resmi, Rasulullah ddan para sahabatnya sudah melakukannya. Nabi yang mulia meletakkan mereka laksana sebuah mutiara yang begitu berharga. Mereka juga dianggap sebagai tangga suci untuk mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci. Rasulullah amat mencintai orang miskin seperti Supriono. Beliau ama senang berada di tengah komunitas mereka. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku dalam keadaan miskin. Dan kumpulkan aku pada hari kiamat beserta orang-orang miskin.” Rasulullah juga melihat bahwa jasa yang diberikan oleh orang-orang miskin amat besar. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, “Bukankah kalian ditolong Alah karena jasa orang-orang miskin?”
Pada suatu hari Rasulullah bercerita tentang orang-orang yang mencapai derajat tinggi. Karena orang itu, Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Jika mereka datang ke suatu tempat, Allah akan menyelamatkan tempat itu dari tujuh puluh bencana. Setelah itu Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian bagaimana mereka bisa mencapai derajat sampai setinggi itu? Mereka mencapainya bukan karena banyaknya shalat dan haji, mereka mencapai derajat itu karena dua hal; pertama, al-sakhawah (kesederhanaan) dan kedua, al-nashihah lil Muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama Muslim).”
Setiap tahun kaum Muslimin melaksanakan ibadah haji. Mereka khawatir, jika belum haji, kelak mereka mati dalam keadaan seperti orang Majusi dan Nasrani. Seharusnya mereka juga berfikir, bagaimana jika mereka mati sebelum membantu Supriono dadn rekan-rekannya yang lain? Mungkin mereka akan mati seperti orang Majusi dan Nasrani, atau lebih hina lagi. Melalui ucapannya yang suci Rasulullah bersabda, “Memenuhi keperluan seorang Mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar.” Dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Jika seorang Muslim berjalan memenuhi keperluan seorang Muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Supriono dan kedua anknya, Nurizki Saleh dan Nur Khairunisa, bukan kelompok manusia yang harus kita benci. Mereka bukan sampah pembangunan yang harus kita kubur seperti barang loak yang lain. Mereka bukan pila kotoran-kotoran Ibu Kota yang membuat wajah kita malu jika ada tamu kenegaraan berkunjung. Rasulullah menyebut mereka sebagai mutiara berharga dan tangga suci menuju Allah. Marilah kita memuliakan mereka. Marilah kita beribadah kepada Allah dengan membantu mereka, seperti keikhlasan kita mendekatkan diri kepada Allah dengan menunaikan shalat dan haji. Kisah sedih Supriono itu hendaknya bisa kita jadikan renungan berharga kini dan mendatang. Wa Allahu a’lam.

Qarib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal: 55-62.

Tuesday, June 14, 2011

DEKONSTRUKSI IBLISISME

“Saya atas nama iblis, dengan ini menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa. Keputusan ini saya ambil dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan dan intimidasi dari manapun. Saya merasa sedih bukan karena saya harus kehilangan profesi untuk menggoda manusia, tetapi amat ngeri melihat manusia yang telah sukses besar melakukan transformasi budaya dengan mengadopsi nilai-nilai keiblisan secara sempurna. Bahkan kesempurnaan itu, merela tidak lagi membutuhkan mentor dan fasilitator kejahatan semacam saya, iblis yang celaka ini.”
“Saya sangat sedih, bukan karena bangsa manusia itu meninggalkan saya. Tetapi justru karena para manusia itu kini sudah memiliki izin resmi untuk membuka kursus, bimbingan-bimbingan belajar, dan sekolah kepribadian bagaimana seharusnya menjadi iblis yang handal. Dan yang paling mengagumkan, nilai-nilai iblisisme itu sudah menjadi kepribadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi yang lengkap dengan kurikulum serta juklak dan juknisnya.”
“Manusia kini telah jauh melangkahi saya. Pemikiran mereka jauh lebih cemerlang. Segala tindak penyimpangan mereka jauh lebih rapi dan lebih sestematis. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan mengapa manusia tidak lagi takut kepada iblis semacam saya. Iblis sudah menjadi masa silam dalam sejarah peradaban dan sejarah kebiadaban manusia. Ahli waris satu-satunya, untuk meneruskan estafetnya, adalah manusia. Oleh sebab itu, sekali lagi saya tegaskan, atas nama iblis saya menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa.”
“Maklumat” itu merupakan kisah fiktif yang seolah-olah menunjukkan kekecewaan besar iblis kepada manusia. Iblis merasa bahwa manusia merupakan saingan utamanya yang secara nyata sudah jauh melampauinya. Benarkah manusia merupakan “saingan utama” iblis untuk menggoda manusia dalam berbuat dosa dan pelanggaran?
Jika kita menelaah salah satu firman Allah di dalam al-Qur’an, ternyata manusia disebutkan sebagai salah satu jenis jkin yang buruk (iblis) yang selalu menebarkan waswas (bisikan) ke dalam dada manusia lainnya (QS. An-Naas/114:4-5). Berdasarkan ayat itu tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa manusia merupakan saingan iblis. Bahkan di dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa manusia yang boros merupakan saudara-saudara setan (iblis) (QS. Al-Israa/17:27). Dengan demikian, secara karakteristik, benar adanya manusia adalah saingan dan saudara-saudara iblis. Keduanya berlomba-lomba dalam keburukan. Apakah semua manusia demikian?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua jenis makhluk yang sifat-sifatnya perlu dipahami. Makhluk yang pertama bersifat pasti dan yang kedua bersifat mungkin. Malaikat dan iblis adalah makhluk yang bersifat pasti. Melaikat pasti bersifat benar sedangkan iblis pasti bersifat salah. Bagaimana dengan manusia? Manusia adalah makhluk yang bersifat mungkin. Mungkin ia benar dan mungkin ia salah.
Sebagai makhluk kemungkinan, manusia diberikan otoritas penuh untuk mengarahkan visi hidupnya. Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan manusia mungkin bisa benar dan mungkin bisa salah. Jika manusia bisa memanfaatkan kesempurnaan pencitaannya untuk mengabdi kepada Allah maka ia akan benar. Sebaliknya, jika kesempurnaan itu tidak dapat deberdayakan secara baik maka ia akan menjadi makhluk yang hina (QS. At-Tin/95:4-5).
Dari kemungkinan-kemungkinan itu, manusia yang akan menjadi saingan dan saudara-sadara iblis adalah yang mempunyai sifat tercela sebagai berikut; Manusia yang menimbulkan kekacauan (QS.al-Baqarah/2:11-12),; manusia yang selalu menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya dan amat sombong ketika berjalan di muka bumi (QS. Al-Baqarah/2:34); manusia yang enggan bersujud dan enggan melaksanakan perintah Allah (QS. Al-Hijr/15:28);manusia yang mendukung dan cinta kepada kesesatan (QS. Al-Hijr/15:44); manusia yang merasa lebih baik daripada yang lain (QS. Shad/38:76); manusia yang selalu mengajak orang lain berbuat maksiat (QS. Shad/38:82); manusia yang terlalu bangga dengan status sosialnya (QS. Al-A’raaf/7:12); manusia yang terlalu cinta dengan harta benda (QS. Al-Israa’/17:64); manusia yang selalu mengumbar janji namun tidak pernah ditepati (QS. Al-An’aam/6:112); manusia yang lari dari tanggung jawab (QS. Al-Hasyr/59:16); manusia yang selalu mencela orang lain dan memberikan gelar buruk kepada orang lain (QS. Al-Hujuraat/49:11); manusia yang selalu berburuk sangka dan manusia yang selalu menggunjingkan keburukan orang lain(QS. Al-Hujuraat/49:12); manusia yang selalu mengungkit pemberiannya kepada orang lain serta manusia yang selalu merendahkan orang lain (QS. Al-Humazah/104:1).
Jika berbagai macam sifat tercela itu ada di dalam diri manusia, sudah bisa dipastikan bahwa ia merupakan saingan dan saudara-saudara iblis. Iblis, bagaimanapun, akan selalu mengarahkan manusia agar memiliki “ideologi” yang sama seperti dirinya. Barbagai macam cara upaya dihalalkan, mulai dari yang samar sampai yang jelas. Tujuanya agar nilai-nilai iblisisme (paham keiblisan) bersemayam dengan kokoh di dalam dada manusia. Lebih parah lagi, terkadang iblisisme disampul rapi dengan muatan moral-spiritual. Hal itu hanyalah untuk menampilkan wajah iblisisme agar terlihat ramah dan menjanjikan.
Sejalan dengan hal ini, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam diri manusia ada sebuah kekuatan yang ia istilahkan dengan quwwatun syaithaniyah (kekuatan setan). Kekuatan setan itu seperti anak bayi yang menyusu kepada ibunya. Jika sang ibu tidak menyapihnya, maka sang bayi akan menjadi besar dan kuat. Begitu pila dengan quwwatun syaithaniyah, jika ia tidak segera dibersihkan maka ia akan menjadi besar dan boleh jadi menjadi darah daging di dalam diri seseorang. Upaya membersihkan quwwatun syaithaniyah itulah yang disebut dengan dekonstruksi iblisisme.manusia yang sanggup untuk mendekonstruksi iblisisme merupakan “lawan politik” iblis. Pada tataran ini, manusia mungkin bersifat benar.
Tuhan mempunyai sifat-sifat terpuji sebagai kebalikan dari sifat-sifat iblis yang tercela. Sifat-sifat ke-Tuhanan itu disebut dengan lahut. sifat lahut harus ditanamkan di dalam jiwa manusia agar ia bisa melawan sifat-sifat iblis secara maksimal. Apakah di antara sifat lahut tersebut? Tuhan adalah Zat Yang bersifat Pengasih dan Maha Penyayang (QS. Al-Fatihah/1:1); Dia Maha Pemberi Maaf dan Maha Penerima Taubat (QS. Al-Baqarah/2:37); Dialah Sang Pemberi ketentraman dan keamanan (QS. Al-Hasyr/59:23); Dia Sang Pemberi rezeki (QS. Az-Dzaariyyaat/51:58); Dia Yang Maha Mrmuliakan (QS. Ali-Imran/3:26); Dialah Yang Maha Penyantun (QS. At-Taubah/9:114); Dialah Yang Maha Pembalas Jasa (QS. Faathir/35:30); Dialah Yang Maha Bijaksana (QS. Al-An’aam/6:83).
Beberapa sifat Tuhan (lahut) yang disebutkan itu harus ditransformasikan secara kokoh di dalam kepripadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem-sistem yang lain. Dengan demikian dekonstruksi atas nilai-nilai iblisisme menjadi kenyataan. Iblis kelihatannya amat sedih karena perannya diambi alih oleh manuia. Sebenarnya tidak demikian. Ia malah merasa amat bahagia karena berhasil melahirkan “para tokoh pergerakan” seperti dirinya. Sifat iblis itu digambarkan seperti Pindar, seorang ahli hikmah, sebagai orang yang selalu menolak kejelekan secara lisan, tetapi mencarinya dalam tindakan dan memuji keindahan secara lisan namun menghindarinya dalam tindakan. Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 41-46.

UJIAN-UJIAN ALLAH

Sesungguhnya Allah menjadikan kegembiraan dan kesedihan, kekayaan dan kemiskinan, keramaian dan kesendrian, kehidupan dan kematian, kecintaan dan kebencian, keberanian dan ketakutan, kekurangan dan kecukupan, sebagai ujian kepada manusia. Ujian bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas diri seseorang. Ujian bukan sesuatu yang mesti dikhawatirkan. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah rasa takut untuk menghadapinya. Ketakutan dalam menghadapi ujian merupakan preseden buruk bagi diri seseorang. Sebaliknya, keberanian dan ketabahan merupakan preseden yang akan mengantarkan seseorang merasakan kebahagiaan sejati.
Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan diri seseorang. Ujian akan diberikan berdasarkan tingkat keimanannya. Seperti dalam dunia pendidikan, siswa kelas satu Sekolah Dasar tidak mungkin mendapatkan materi ujian yang seharusnya diberikan kepada siswa Sekolah Menengah Pertama, begitulah seterusnya.materi ujian amat ditentukan oleh tingkat pendidikan mereka. Begitu pula dengan ujian dari Allah, materinya amat ditentukan oleh kualitas keimanan seseorang kepada Allah. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang, semakin berat pula ujian yang akan dihadapinya. Rasulullah bersabda, ”Manusia yang paling berat ujiannya adalah Nabi, kemudian orang-orang sholeh yang meneladaninya. Seseorang akan diuji berdasarkan kekuatan imannya, apabila imannya kuat maka dia diuji menurut kadar kekuatannya; dia akan diuji terus sehingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih.”
Ujian Allah berwujud dalam dua hal; kesedihan dan ada kesenangan duniawi. Keduanya amat berat, namun jika kita mampu untuk mengawasi salah satu atau keduanya, maka kualitas diri kita akan semakin baik di hadapan Allah. Perlu untuk kita renungkan pula, ujian kesedihan banyak yang mengantarkan seseorang semakin dekat dengan Allah. Sebagai contoh, orang yang salah satu anggota keluarganya atau orang-orang yang tercinta meninggal dunia, biasanya dia amat merasa dekat demgan Allah. Dia berdoa mudah-mudahan amalan almarhum/almarhumah diterima dengan layak di sisi-Nya. Seseorang yang menderita suatu penyakit, selain berusaha menghilangkan penyakit itu dengan pergi ke dokter, dia juga akan berdoa kepada Allah agar penyakit itu cepat dihilangkan.
Bagaimana dengan ujian Allah yang berwujud kesenangan duniawi? Banyak yang berhasil menghadapinya, tapi tidak sedikit di antara orang-orang itu yang lupa diri. Dia tidak sadar bahwa kesenangan duniawi yang ada di tangannya itu merupakan ujian dari Allah. Masih ingatkah kita dengan ujian kemiskinan yang dihadapi sahabat Rasulullah Tsa’labah? Ketika miskin, ia selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kaya, ia jarang sekali bahkan lupa shalat berjamaah di masjid. Kesenangan duniawi menyebabkan ia lupa bersimpuh di hadapan Tuhanyna. Tsa’labah adalah salah satu contoh dari orang-orang yan gagal menghadapi ujian Allah. Pada zaman modern ini, Tsa’labah Tsa’labah lain mudah sekali kita jumpai. Mereka memang tidak bernama Tsa’labah, namun sikap dan perilakunya sama seperti Tsa’labah yang sebenarnya. Hanya nama dan zamannya saja yang berbeda. Ketika masih miskin ia hamba Allah yang sejati. Namun ketika sudah kaya ia menjadi hamba harta.
Benarlah yang difirmankan Allah bahwa kesenangan hidup duniawi (baca:harta) itu merupakan fitnah yang harus diwaspadai. Fitnah di sini bukan berarti berita bohong yang disampaikan seseorang untuk menyudutkan orang lain, “Sesungguhnya harta kamu, dan anak-anak kamu adalah ujian....” (QS. At-Taghabun/64:15). Kita tidak boleh membenci harta duniawi, bahkan harta itu harus dikejar. Tapi bukan berarti harta itu tujuan utama. Tujuan mengejar harta dunia adalah agar kita dapat menjadikan harta itu sebagai mediator (penghubung) antara kitra dengan Allah. Bukan berarti setelah harta kita dapatkan, harta itu semakin melalaikan kita kepada-Nya.
Allah selalu memberikan ujian kepada kita dalam berbagai bentuk. Ada ujian berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda dunia, kekurangan jiwa, dan kekurangan buah-buahan. Ujian ketakutan bisa berwujud dalam berbagai hal; takut kematian, takut kehilangan orang-orang yang dicintai, takut kehilangan jabatan, takut kehilangan harta benda, takut kehilangan rekan-rekan bisnis. Ujian kelaparan bisa berwujud melalui kekhawatiran akan kekurangan bahan makanan, kehilangan pekerjaan, sehingga tidak bisa memberi makan anak istri, keluarga, maupun karib kerabat. Ujian kekurangan harta benda dunia bisa berwujud dalam sedikitnya harta yang berada di tangan, rugi dalam berdagang, terkena bencana kebakaran, maupun banjir. Ujian kekurangan jiwa bisa berwujud keresahan hati, dalam segala keadaan. Sementara kekurangan buah-buahan bisa berwujud dalam kekurangan buah-buahan dalam arti sesungguhnya atau kiasan, tidak terwujudnya cita-cita yang diharapkan.
Ragam ujian Allah itu harus disikapi dengan penuh ketabahan. Tidak akan mampu menyikapi ujian-ujian itu dengan baik kecuali orang-orang yang memang kualitas dirinya terjamin. Terkait dengan hal ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Sungguh, Kami pasti akan menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaalillahi wa inna ilaihi raaji’un / sesungguhnya kami adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dari rahmat Tuhan (Pendidik dan Pemelihara) mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Orang arif dan bijak adalah mereka yang mampu untuk mengambil berbagai butiran hikmah yang terbesar di sebalik ujian-ujian Allah. Bagi mereka, ujian-ujian Allah bukan merupakan peristiwa-peristiwa mati yang berlalu begitu saja tanpa pelajaran berarti. Sebaliknya di sebalik taring-taring ujian, dalam beragam bentuknya, menunggu kebahagiaan terdalam yang dibentangkan Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melaluinya. Di ujung ujian-ujian itu pula, Allah memberikan penghargaan yang begitu tinggi atas keberhasilan mereka. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang shaleh akan diberikan mushibah berat (ujian) atas mereka. Dan tidaklah orang mukmin tertimpa suatu mushibah, tertusuk duri atau lebih ringan dari itu kecuali akan dihapuskan dosa-dosanya dan akan ditinggikan derajatnya.”
Kesabaran adalah modal dasar dalam menghadapi berbagai macam ujian. Kesabaran bukan merupakan sesuatu yang hanya indah diucapkan lewat perkataan dan dibahas secara mendalam dalam berbagai keadaan. Lebih dari itu, kesabaran harus dibuktikan secara konkrit dalam menghadapi ragam ujian Allah. Pembuktian itu merupakan cermin kualitas kemanan seseorang. Selain derajat tinggi, Allah juga menjanjikan kemudahan dalam segala hal bagi orang-orang yang sabar. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan (ujian) itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah:5). Setiap kesulitan pasti ada kegembiraannya. Ahli hikmah mengatakan, “Banyak kenikmatan yang dilipat diantara taring-taring bencana. Banyak kegembiraan yang menghadap arah dimana di sana beberapa mushibah telah menanti. Maka bersabarlah atas beberapa ujian yang terjadi pada masa-masamu, karena segala sesuatu ada hikmahnya. Setiap kesusahan itu ada kegembiraannya.”
Dalam menyampaikan dakwahnya, Rasulullah kerap menerima ujian yang amat berat; mulai dari kehilangan orang-orang tercinta sampai dilempari batu dan kotoran unta. Dalam keadaan demikian, beliau tulus ikhlas menerimanya. Setelah ia wafat, sebagai konsekuensinya, islam tersebar luas di seluruh dunia. Tidak hanya pengikut beliau, orang-orang yang pada awalnya memusuhi Islam bertekuk lutut dengan kebesaran dan kesabarannya. Begitu pula dengan Rasul Allah yang lain, Nabi Sulaiman, yang tidak lekang di panas dan lapuk di hujan di saat menerima berbagai macam kebesaran da kelebihan harta duniawi. Kesenangan itu tidak melengahkannya untuk selalu mensyukuri nikmat Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Nabi Sulaiman sadar, kekuasaan dan segala kesenangan yang ada di tangannya adalah ujian untuk meningkatkan derajat dirinya di hadapan Allah. Tidak ada ucapan apapun selain perkataan mulia yang terlontar dari lidahnya yang suci, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kepada kedua orang tuaku dan agar aku mngerjakan kebajikan yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. An-Naml/27:19).
Boleh jadi ujian kesedihan yang diberikan Allah kepada kita memberikan kebahagiaan hakiki, walaupun ujian itu tidak kita harapkan atau mungkin amat kita benci. Sebaliknya, harta benda yang selalu kita anggap sebagai sesuatu yang memberikan kebahagiaan dan kesenangan, boleh jadi akan menjerumuskan diri kita sendiri. Karena kita lalai, sesungguhnya harta benda itu merupakan ujian yang menuntut kewaspadaan kita. Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2:216). Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 17-24.

Monday, June 13, 2011

MOMENT

Detik berdetak. Roda waktu terus berputar. Menceritakan takdir yang telah ditentukan. Menguak rahasia yang tersembunyi. Waktu telah mempertemukan kita. Di tempat yang tak pernah kita sangka bahwa kita dapat mencapainya. Tempat dimana kita mencari segunung ilmu bersama, mendapat pengalaman yang tak terduga-duga. Kebahagiaan, kebersamaan, kesedihan, kita lalui bersama. Terus bersama-sama. Hingga kita tak sadar waktu.
Tapi, waktu tetap berputar. Tak pernah berhenti. Menampakkan semua ketidakpastian. Tak mengenal toleransi. Tak mengindahkan keinginan terus bersama. Dan kini dia pula yang memisahkan kita.

Mungkin aku tak ikut merasakan bagaimana rasanya dimarahin dan diteriakin kakak-kakak tatib. Tidak menikmati pengalaman PTS yang katanya serba tujuh menit. Sampai-sampai aku banyak melakukan pelanggaran di hari pertamaku; makan di meja cewek, nginjek rumput, ngga’ salam, bahkan ngga’ ke masjid.
Hari-hari selanjutnya kita bersama-sama menempuh dan menjalani matrikulasi, post-test, dan pre-test. Kita belajar di tengah kesibukan baru kita. Mulai mencari teman yang cocok, mengikat ikatan-ikatan baru yang sebelumnya kita tak tahu bahwa ikatan itu akan sulit dilepas. Saling membantu dan mengingatkan saat-saat TB, remed, MID, UAS, dsb. Saling memotivasi, memberi nasehat, dan saran untuk masuk IPA/IPS. Dan pada tahun pertama ini, kita harus sudah berpisah dengan lima orang teman kita.
Tahun kedua, ikatan itu semakin berakar banyak dan semakin kuat. Kita mulai berkecimpung dalam organisasi. Menghadapi dan menyelesaikan masalah, mencari solusi yang terbaik. I-Fun, dengan bidadari-bidadarinya, CIRENG, dimana NASACOM vs SOSCOM, AXIVIC Cup, dengan hujan yang mengganggunya, GAKIC, Sonlis, dengan bomber man-nya, I-Care, PTS, dsb. Katanya di tahun inilah masa-masa indah anak remaja. Setelah saling kenal dan mengelompok, terjalinlah ikatan-ikatan yang ingin lebih direkatkan, yang pada akhirnya kita harus berpisah lagi dengan dua orang teman kita. Dan di tahun ini, kita berpisah ladi dengan enam orang teman kita.
Tahun ketiga, kita masih membuat masalah dengan “festifal ramadhan”. Dan kita menerima hukuman atas nama angkatan. Tapi, setelah itu kita berjanji untuk tetap berseratus sembilan. Berjuang bersama menghadapi hari-hari yang penuh belajar, belajar, dan belajar.
Kawan. Begitu banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapatkan bersama AXIVIC. Kebersamaan dalam kesusahan, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai rasa lainnya. Baru kemarin kita berpisah, tapi rasanya telah berabad-abad lamanya. Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Penyesalan jangan dipikirkan. Hari ini memori baru. Persiapkanlah yang terbaik untuk masa depan.
Kawan. Pasti kau pernah berjalan-jalan. Entah bersama teman atau keluarga. Bertamasya ke puncak gunung atau pantai. Menikmati keindahan alam ini.
Kawan. Mungkin kau bisa mengatakan aku adalah pemandangan laut dan gunung itu. Dari kejauhan begitu tampak indah memesona. Tapi saat kau melihatnya lebih teliti lagi, pasti kau akan membalikkan muka. Tak sudi menatapnya atau bahkan mendekatinya. Bukankah banyak orang yang mengagumi indahnya laut beserta ombaknya dari kejauhan? Tapi saat mencoba mendekatinya, mereka takut. Lalu menjauh. Tak berani mendekat lagi. Bukankah orang-orang juga mengagumi keindahan gunung dari kejauhan? Tapi sejatinya, saat mereka menghampirinya, mendakinya, gunung itu tak lain hanyalah seonggok batuan yang tidak rata. Sehingga semua orang hanya menginjak-injaknya. Justru menikmati keindahan di luar gunung itu sendiri. Bahkan semua orang akan lebih senang jika dia telah berhasil menginjakkan kakinnya tepat di kepalanya.
Bahkan semua orang mengetahui bunga mawar itu indah. Tapi bagi orang yang belum mengenalnya, dia akan melempar mawar itu saat memetiknya. Karena terkena duri-duri yang tajam dibalik keindahannya.
Begitulah hakikatnya diriku. Jika kau ingin mengenalku, maka jangan kaget saat melihat duri pada diriku. Dan cobalah mengenali keindahan-keindahan lain yang berada di luar sana. Yang membuat hatimu bahagia. Karena sebenarnya jika mau merenungi dan menikmati, keindahan itu berada dalam hati masing-masing manusia. Tidak hanya keindahan, tapi juga kebahagian yang selama ini mereka cari.
Kawan. Kini perpisahan telah tiba. pertemuan dan perpisahan sudah menjadi lumrah kehidupan. Tanpa pertemuan, tidak akan terjadi perpisahan. Perpisahan juga membuka peluang untuk pertemuan yang lain.
Pertemuan selalunya mewujudkan perkenalan. Tetapi perpisahan tidak semestinya memutuskan persahabatan.
Setiap pertemuan berlaku meninggalkan kenangan. Tetapi setiap perpisahan tidak semestinya memadamkan memori lalu.
Kadang-kadang, pertemuan yang sebentar lebih memberi makna berbanding pertemuan yang tiada kesudahan. Namun, perpisahan dalam tempo singkat menghadirkan rasa rindu yang berkepanjangan.
Ketika tiba saat perpisahan, janganlah kalian berduka. Meski sebenarnya diriku pun tak bisa juga menahan tetes air mata. Sebab apa yang paling kalian kasihi darinya, akan lebih nyata dari kejauhan. Seperti gunung yang nampak lebih agung, terlihat dari padang dan dataran.
Kawan. Kini aku ingin berpesan padamu. Aku ingin engkau benar-benar menggunakan jembatan-jembatan emas ini untuk terus maju ke depan. Melacak sendiri masa tua. Jembatan-jembatan yang akan menuntun kalian menuju masa yang telah dijanjikan. Dan janganlah mengubahnya menjadi tembaga yang tiada guna. Yang akan menyesatkanmu dari jalan yang sebenarnya. Tapi, aku juga tak ingin engkau berkecil hati. Sebab emas akan tetap emas meski di dalam lumpur. Tetap menjadi yang berharga bagi yang memilikinya.
Dan terakhir kawan... aku ingin berkata padamu. Kuucapkan terima kasih atas kebersamaan kita selama ini. Persahabatan kita selama ini. Aku sadar begitu banyak segala salah dan dosa di balik langkah hitamku. Maka tak ada kata yang tepat untuk aku katakan, selain; Maafkanlah aku,,, kalau sempat tatap mataku tak sengaja menamparmu.