Wednesday, June 15, 2011

UNTUK KITA RENUNGKAN

Pagi itu, Ahad, sang surya baru saja bersinar. Udara Jakarta yang biasa berselimut polusi, masih terasa agak segar. Supriono (38 th.) dan putera sulungnya, Nuriski Saleh (6 th.), bergegas mendorong gerobaknya meninggalkan lorong rel keretaapi Cikini, tempat mereka biasa memejamkan mata tiap malam menjelang. Gerobak itu berjalan pelan menuju Manggarai. Di dalamnya tergeletak lemah putri Supriono, Nur Khairunnisa (3 th.). Sudah empat hari ini adik Nurizki berjuang melawan muntaber. Meski begitu, mereka tak surut mendorong gerobaknya menelusuri jalan-jalan ibu kota, keluar masuk komplek permahan, perkampungan, pasar dan tempat-tempat lain. Mereka berharap masih ada sekeping rezeki dari mengumpulkan kardus bekas, botol plastik, dan barang bekas lainnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Supriono berharap kardus dan barang-barang loak yang terkumpul hari ini, bisa digunakanya untuk biaya si kecil berobat ke puskesmas esok hari. Nisa memang sudah dibawa ke Puskesmas Setia Budi, Jakarta Pusat, tiga hari yang lalu. Tapi, ketika obatnya sudah habis, derita Nisa belum berkurang juga. Biaya berobat ke puskesmas memang cuma empat ribu, tapi uang sebanyak itu oleh Supriono terasa berat mencariya. Beralas karton kotor, berselimut sarung dekil, tanpa bantal dan guling, tubuh mungil gadis kecil itu terguncang-guncang ketika gerobak melintasi jalan berlubang. Sesekali kakaknya, Nurizki, mengajaknya bermain, tapi Nisa tidak menanggapinya. Paling-paling ia merengek pada kakaknya minta minum, satu-satunya yang tersisa untuk mengganjal perut di kala pagi.
Tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan Manggarai. Jarum jam menunjukkan angka 07.00 WIB. Supriono terkesima melihat putri kecilnya, tiba-tiba terdiam tak bergerak. Mata mungilnya juga tak berkedip dan desah nafasnya berhenti. Supriono bergegas menghentikan gerobaknya, dirabanya urat nadi di pergelangan tangan, terus bergeser meraba urat nadi di leher, namun tak ada denyutnya lagi. Spontan bibir pria yang sudah lama menduda ini bergetar mengucap kalimat Innaalilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Sambil memeluk jasad puteri tercintanya, air mata Suoriono bercucuran membasahi wajahnya yang terlihat kian berat menanggung beban hidup. Setelah berjuang melawan ganasnya bakteri penyebab muntaber, Nisa akhirnya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa siapapun di sampingnya, kecuali ayah dan kakaknya. Ibundanya, Turiyem (30 th.),sejak berpisah dengan Supriono setahun lalu, tak diketahui di mana rimbanya. Perempuan ini tak sanggup menjalani hidup penuh derita bersama suaminya. Ia lebih memilih berpisah dan meninggalkan kedua anaknya.
Supriono masih memeluk putrinya. Sementara itu, Nurizki masih asyik bermainpmain dan tak mengerti mengapa ayahnya menangis sambil memeluk adiknya. Uang di saku Suriono hanya tinggal Rp. 6000. Uang dalam jumlah itu terntu tidak cukup untuk membeli kain kafan, apalagi menyewa ambulan dan biaya penguburannya. Pikiran Supriono terambing-ambing mencari pijakan dalam mengambil keputusan. Setelah meletakkan mayat Nisa di gerobak, Supriono mengajak Nurizki mendorong gerobaknya menuju stasiun Tebet. Ia berencana menguburkan jasad buah hatinya ini di perkampungan pemulung, Kramat, Bojong Gede, Bogor. Pria yang hanya tamat Sekoolah Dasar ini berharap akan memperoleh bantuan dari para rekannya, sesama pemulung.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Matahari mulai menyengat kulit. Supriono, Nurizki, jasad Nisa dan gerobaknya tiba di stasiun Tebet. Sarung kumal dan bau yang selama ini menyelimuti tubuh Nisa digunakannya untuk menggendong mayat. Meski begitu, kepalanya dibiarkan terbuka dan kakinya terbujur kaku. Dengan bermandikan peluh, Supriono dan Nurizki terus mengayunkan langkah mencapai tujuan.
Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berdiri di stasiun menunggu datangnya KRL jurusan Bogor. Ketika KRL datang, tiba-tiba seorang pedagang teh botol, menanyakan keadaan putrinya itu. Dengan polos, Supriono menjawab bahwa puterinya sudah meninggal dunia dan akan dikuburkan di kampung Kramat, Bogor. Mendengar penuturan itu, puluhan calon penumpang dan para pedagang asongan pun geger. Seseorang kemudian menghubungi Pos Polisi Tebet. Supriono diperiksa di Pos Polisi itu selama lebih dari empat jam. Ia hanya pasrah dengan keputusan yang diambil oleh pihak kepolisian terhadap dirinya. Jasad Nisa kemudian dibawa ke RSCM untuk keperluan otopsi.
Sementara itu, Nurizki masih saja belum mengerti bahwa adiknya telah meninggal dunia. Ia tetap bermain-main sambil memegangi tangan adiknya yang terbujur kaku. Sambil menggandeng Nurizki, Supriono berjalan kaki menggendong mayat putrinya keluar dari kamar mayat. Beberapa warga yang melihat langsung jatuh iba. Mereka kemudian memberikan bantuan ala kadarnya kepada Supriono. Supriono masih berniat menguburkan puterinya di kampung Kramat, Bogor dengan menumpang KRL. Namun akhirnya ia memutuskan menguburkan jasad Nisa di Manggarai. Dengan bantuan dari beberapa orang rekan, akhirnya Supriono berhasil menguburkan jasad Nisa. Ia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada para sahabatnya dan seluruh warga yang telah turut serta pada proses penyelenggaraan fardu kifayah Nisa. Ia tidak bisa membalas kebaikan warga. Yang bisa ia berikan hanyalah do’a keselamatanagar Allah senantiasa membukakan pintu rezeki kepada mereka.
Kisah Supriono ini perlu untuk menjadi renungan bagi kita semua. Dia dan kedua anaknya adalah salah satu contoh dari orang-orang kecil yang bertarung melawan tajamnya taring-taring kehidupan. Sesungguhnya masih banyak kasus yang sama kita temukan di berbagai sudut kehidupan. Nur Khairunnisa, puteri Supriono, adalah salah satu contoh dari seorang anak yang nyawanya direnggut ganasnya bakteri muntaber. Ironisnya, sejarah hidup mereka yang kelam harus dijalani di tengah para hartawan yang bergelimang materi, cerdik cendekiawan yang berilmu tinggi, para pejabat yang bisa menghitam dan memutihkan kebijakan, atau para rohaniwan yang begitu dekat dengan Tuhannya.
Orang-orang seperti Supriono sering dianggap sebagai sebuah obyek mati yang selalu menjadi konsumsi hangat di seminar-seminar, dialog kemiskinan, pengajian, atau santapan empuk menjelang pemilu. Setelah semuanya usai, Supriono pun ditelan derasnya arus kehidupan kota metropolitan. Ia tidak lagi dilirik, apalagi diperhatikan sebagaimana manusia pada umumnya. Ia merupakan salah satu korban keganasan “singa-singa” intelektual dan spiritual yang selalu menyanyikan kepedulian sosial, tapi di sisi lain mengkhianatinya.
Jika potensi yang terdapat pada para hartawan, cerdik cendekia, para pejabat, dan para rohaniwan disatukan untuk mengatasi kasus-kasus Supriono, kita optimis, kasus itu tidak akan kita temui lagi, minimal dapat ditekan. Persoalannya hanya terletak pada tekad yang bulat dan kemauan keras untuk menjalankannya. Masing-masing tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Ibarat kata pepath, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Betapapun beratnya beban hidup yang dijalani oleh orang-orang seperti Supriono, semuanya akan dapat dipikul asal ada kebersamaan.
Jauh sebelum orang-orang seperti Spuriono dan kedua anknya dibicarakan secara hangat di berbagai forum resmi, Rasulullah ddan para sahabatnya sudah melakukannya. Nabi yang mulia meletakkan mereka laksana sebuah mutiara yang begitu berharga. Mereka juga dianggap sebagai tangga suci untuk mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci. Rasulullah amat mencintai orang miskin seperti Supriono. Beliau ama senang berada di tengah komunitas mereka. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin. Matikan aku dalam keadaan miskin. Dan kumpulkan aku pada hari kiamat beserta orang-orang miskin.” Rasulullah juga melihat bahwa jasa yang diberikan oleh orang-orang miskin amat besar. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, “Bukankah kalian ditolong Alah karena jasa orang-orang miskin?”
Pada suatu hari Rasulullah bercerita tentang orang-orang yang mencapai derajat tinggi. Karena orang itu, Allah menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, menghidupkan dan mematikan, serta membuat sehat dan sakit. Jika mereka datang ke suatu tempat, Allah akan menyelamatkan tempat itu dari tujuh puluh bencana. Setelah itu Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian bagaimana mereka bisa mencapai derajat sampai setinggi itu? Mereka mencapainya bukan karena banyaknya shalat dan haji, mereka mencapai derajat itu karena dua hal; pertama, al-sakhawah (kesederhanaan) dan kedua, al-nashihah lil Muslimin (hatinya bersih dan tulus terhadap sesama Muslim).”
Setiap tahun kaum Muslimin melaksanakan ibadah haji. Mereka khawatir, jika belum haji, kelak mereka mati dalam keadaan seperti orang Majusi dan Nasrani. Seharusnya mereka juga berfikir, bagaimana jika mereka mati sebelum membantu Supriono dadn rekan-rekannya yang lain? Mungkin mereka akan mati seperti orang Majusi dan Nasrani, atau lebih hina lagi. Melalui ucapannya yang suci Rasulullah bersabda, “Memenuhi keperluan seorang Mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar.” Dalam hadis yang lain beliau bersabda, “Jika seorang Muslim berjalan memenuhi keperluan seorang Muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Supriono dan kedua anknya, Nurizki Saleh dan Nur Khairunisa, bukan kelompok manusia yang harus kita benci. Mereka bukan sampah pembangunan yang harus kita kubur seperti barang loak yang lain. Mereka bukan pila kotoran-kotoran Ibu Kota yang membuat wajah kita malu jika ada tamu kenegaraan berkunjung. Rasulullah menyebut mereka sebagai mutiara berharga dan tangga suci menuju Allah. Marilah kita memuliakan mereka. Marilah kita beribadah kepada Allah dengan membantu mereka, seperti keikhlasan kita mendekatkan diri kepada Allah dengan menunaikan shalat dan haji. Kisah sedih Supriono itu hendaknya bisa kita jadikan renungan berharga kini dan mendatang. Wa Allahu a’lam.

Qarib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal: 55-62.

No comments:

Post a Comment