Tuesday, June 14, 2011

DEKONSTRUKSI IBLISISME

“Saya atas nama iblis, dengan ini menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa. Keputusan ini saya ambil dengan sesadar-sadarnya, tanpa tekanan dan intimidasi dari manapun. Saya merasa sedih bukan karena saya harus kehilangan profesi untuk menggoda manusia, tetapi amat ngeri melihat manusia yang telah sukses besar melakukan transformasi budaya dengan mengadopsi nilai-nilai keiblisan secara sempurna. Bahkan kesempurnaan itu, merela tidak lagi membutuhkan mentor dan fasilitator kejahatan semacam saya, iblis yang celaka ini.”
“Saya sangat sedih, bukan karena bangsa manusia itu meninggalkan saya. Tetapi justru karena para manusia itu kini sudah memiliki izin resmi untuk membuka kursus, bimbingan-bimbingan belajar, dan sekolah kepribadian bagaimana seharusnya menjadi iblis yang handal. Dan yang paling mengagumkan, nilai-nilai iblisisme itu sudah menjadi kepribadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi yang lengkap dengan kurikulum serta juklak dan juknisnya.”
“Manusia kini telah jauh melangkahi saya. Pemikiran mereka jauh lebih cemerlang. Segala tindak penyimpangan mereka jauh lebih rapi dan lebih sestematis. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan mengapa manusia tidak lagi takut kepada iblis semacam saya. Iblis sudah menjadi masa silam dalam sejarah peradaban dan sejarah kebiadaban manusia. Ahli waris satu-satunya, untuk meneruskan estafetnya, adalah manusia. Oleh sebab itu, sekali lagi saya tegaskan, atas nama iblis saya menyatakan mengundurkan diri sebagai penghasut dan penggoda manusia untuk berbuat dosa.”
“Maklumat” itu merupakan kisah fiktif yang seolah-olah menunjukkan kekecewaan besar iblis kepada manusia. Iblis merasa bahwa manusia merupakan saingan utamanya yang secara nyata sudah jauh melampauinya. Benarkah manusia merupakan “saingan utama” iblis untuk menggoda manusia dalam berbuat dosa dan pelanggaran?
Jika kita menelaah salah satu firman Allah di dalam al-Qur’an, ternyata manusia disebutkan sebagai salah satu jenis jkin yang buruk (iblis) yang selalu menebarkan waswas (bisikan) ke dalam dada manusia lainnya (QS. An-Naas/114:4-5). Berdasarkan ayat itu tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa manusia merupakan saingan iblis. Bahkan di dalam ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa manusia yang boros merupakan saudara-saudara setan (iblis) (QS. Al-Israa/17:27). Dengan demikian, secara karakteristik, benar adanya manusia adalah saingan dan saudara-saudara iblis. Keduanya berlomba-lomba dalam keburukan. Apakah semua manusia demikian?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua jenis makhluk yang sifat-sifatnya perlu dipahami. Makhluk yang pertama bersifat pasti dan yang kedua bersifat mungkin. Malaikat dan iblis adalah makhluk yang bersifat pasti. Melaikat pasti bersifat benar sedangkan iblis pasti bersifat salah. Bagaimana dengan manusia? Manusia adalah makhluk yang bersifat mungkin. Mungkin ia benar dan mungkin ia salah.
Sebagai makhluk kemungkinan, manusia diberikan otoritas penuh untuk mengarahkan visi hidupnya. Banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan manusia mungkin bisa benar dan mungkin bisa salah. Jika manusia bisa memanfaatkan kesempurnaan pencitaannya untuk mengabdi kepada Allah maka ia akan benar. Sebaliknya, jika kesempurnaan itu tidak dapat deberdayakan secara baik maka ia akan menjadi makhluk yang hina (QS. At-Tin/95:4-5).
Dari kemungkinan-kemungkinan itu, manusia yang akan menjadi saingan dan saudara-sadara iblis adalah yang mempunyai sifat tercela sebagai berikut; Manusia yang menimbulkan kekacauan (QS.al-Baqarah/2:11-12),; manusia yang selalu menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya dan amat sombong ketika berjalan di muka bumi (QS. Al-Baqarah/2:34); manusia yang enggan bersujud dan enggan melaksanakan perintah Allah (QS. Al-Hijr/15:28);manusia yang mendukung dan cinta kepada kesesatan (QS. Al-Hijr/15:44); manusia yang merasa lebih baik daripada yang lain (QS. Shad/38:76); manusia yang selalu mengajak orang lain berbuat maksiat (QS. Shad/38:82); manusia yang terlalu bangga dengan status sosialnya (QS. Al-A’raaf/7:12); manusia yang terlalu cinta dengan harta benda (QS. Al-Israa’/17:64); manusia yang selalu mengumbar janji namun tidak pernah ditepati (QS. Al-An’aam/6:112); manusia yang lari dari tanggung jawab (QS. Al-Hasyr/59:16); manusia yang selalu mencela orang lain dan memberikan gelar buruk kepada orang lain (QS. Al-Hujuraat/49:11); manusia yang selalu berburuk sangka dan manusia yang selalu menggunjingkan keburukan orang lain(QS. Al-Hujuraat/49:12); manusia yang selalu mengungkit pemberiannya kepada orang lain serta manusia yang selalu merendahkan orang lain (QS. Al-Humazah/104:1).
Jika berbagai macam sifat tercela itu ada di dalam diri manusia, sudah bisa dipastikan bahwa ia merupakan saingan dan saudara-saudara iblis. Iblis, bagaimanapun, akan selalu mengarahkan manusia agar memiliki “ideologi” yang sama seperti dirinya. Barbagai macam cara upaya dihalalkan, mulai dari yang samar sampai yang jelas. Tujuanya agar nilai-nilai iblisisme (paham keiblisan) bersemayam dengan kokoh di dalam dada manusia. Lebih parah lagi, terkadang iblisisme disampul rapi dengan muatan moral-spiritual. Hal itu hanyalah untuk menampilkan wajah iblisisme agar terlihat ramah dan menjanjikan.
Sejalan dengan hal ini, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam diri manusia ada sebuah kekuatan yang ia istilahkan dengan quwwatun syaithaniyah (kekuatan setan). Kekuatan setan itu seperti anak bayi yang menyusu kepada ibunya. Jika sang ibu tidak menyapihnya, maka sang bayi akan menjadi besar dan kuat. Begitu pila dengan quwwatun syaithaniyah, jika ia tidak segera dibersihkan maka ia akan menjadi besar dan boleh jadi menjadi darah daging di dalam diri seseorang. Upaya membersihkan quwwatun syaithaniyah itulah yang disebut dengan dekonstruksi iblisisme.manusia yang sanggup untuk mendekonstruksi iblisisme merupakan “lawan politik” iblis. Pada tataran ini, manusia mungkin bersifat benar.
Tuhan mempunyai sifat-sifat terpuji sebagai kebalikan dari sifat-sifat iblis yang tercela. Sifat-sifat ke-Tuhanan itu disebut dengan lahut. sifat lahut harus ditanamkan di dalam jiwa manusia agar ia bisa melawan sifat-sifat iblis secara maksimal. Apakah di antara sifat lahut tersebut? Tuhan adalah Zat Yang bersifat Pengasih dan Maha Penyayang (QS. Al-Fatihah/1:1); Dia Maha Pemberi Maaf dan Maha Penerima Taubat (QS. Al-Baqarah/2:37); Dialah Sang Pemberi ketentraman dan keamanan (QS. Al-Hasyr/59:23); Dia Sang Pemberi rezeki (QS. Az-Dzaariyyaat/51:58); Dia Yang Maha Mrmuliakan (QS. Ali-Imran/3:26); Dialah Yang Maha Penyantun (QS. At-Taubah/9:114); Dialah Yang Maha Pembalas Jasa (QS. Faathir/35:30); Dialah Yang Maha Bijaksana (QS. Al-An’aam/6:83).
Beberapa sifat Tuhan (lahut) yang disebutkan itu harus ditransformasikan secara kokoh di dalam kepripadian, sistem budaya, sistem politik, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem-sistem yang lain. Dengan demikian dekonstruksi atas nilai-nilai iblisisme menjadi kenyataan. Iblis kelihatannya amat sedih karena perannya diambi alih oleh manuia. Sebenarnya tidak demikian. Ia malah merasa amat bahagia karena berhasil melahirkan “para tokoh pergerakan” seperti dirinya. Sifat iblis itu digambarkan seperti Pindar, seorang ahli hikmah, sebagai orang yang selalu menolak kejelekan secara lisan, tetapi mencarinya dalam tindakan dan memuji keindahan secara lisan namun menghindarinya dalam tindakan. Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 41-46.

No comments:

Post a Comment