Tuesday, June 14, 2011

UJIAN-UJIAN ALLAH

Sesungguhnya Allah menjadikan kegembiraan dan kesedihan, kekayaan dan kemiskinan, keramaian dan kesendrian, kehidupan dan kematian, kecintaan dan kebencian, keberanian dan ketakutan, kekurangan dan kecukupan, sebagai ujian kepada manusia. Ujian bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas diri seseorang. Ujian bukan sesuatu yang mesti dikhawatirkan. Justru yang perlu dikhawatirkan adalah rasa takut untuk menghadapinya. Ketakutan dalam menghadapi ujian merupakan preseden buruk bagi diri seseorang. Sebaliknya, keberanian dan ketabahan merupakan preseden yang akan mengantarkan seseorang merasakan kebahagiaan sejati.
Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan diri seseorang. Ujian akan diberikan berdasarkan tingkat keimanannya. Seperti dalam dunia pendidikan, siswa kelas satu Sekolah Dasar tidak mungkin mendapatkan materi ujian yang seharusnya diberikan kepada siswa Sekolah Menengah Pertama, begitulah seterusnya.materi ujian amat ditentukan oleh tingkat pendidikan mereka. Begitu pula dengan ujian dari Allah, materinya amat ditentukan oleh kualitas keimanan seseorang kepada Allah. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang, semakin berat pula ujian yang akan dihadapinya. Rasulullah bersabda, ”Manusia yang paling berat ujiannya adalah Nabi, kemudian orang-orang sholeh yang meneladaninya. Seseorang akan diuji berdasarkan kekuatan imannya, apabila imannya kuat maka dia diuji menurut kadar kekuatannya; dia akan diuji terus sehingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih.”
Ujian Allah berwujud dalam dua hal; kesedihan dan ada kesenangan duniawi. Keduanya amat berat, namun jika kita mampu untuk mengawasi salah satu atau keduanya, maka kualitas diri kita akan semakin baik di hadapan Allah. Perlu untuk kita renungkan pula, ujian kesedihan banyak yang mengantarkan seseorang semakin dekat dengan Allah. Sebagai contoh, orang yang salah satu anggota keluarganya atau orang-orang yang tercinta meninggal dunia, biasanya dia amat merasa dekat demgan Allah. Dia berdoa mudah-mudahan amalan almarhum/almarhumah diterima dengan layak di sisi-Nya. Seseorang yang menderita suatu penyakit, selain berusaha menghilangkan penyakit itu dengan pergi ke dokter, dia juga akan berdoa kepada Allah agar penyakit itu cepat dihilangkan.
Bagaimana dengan ujian Allah yang berwujud kesenangan duniawi? Banyak yang berhasil menghadapinya, tapi tidak sedikit di antara orang-orang itu yang lupa diri. Dia tidak sadar bahwa kesenangan duniawi yang ada di tangannya itu merupakan ujian dari Allah. Masih ingatkah kita dengan ujian kemiskinan yang dihadapi sahabat Rasulullah Tsa’labah? Ketika miskin, ia selalu mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kaya, ia jarang sekali bahkan lupa shalat berjamaah di masjid. Kesenangan duniawi menyebabkan ia lupa bersimpuh di hadapan Tuhanyna. Tsa’labah adalah salah satu contoh dari orang-orang yan gagal menghadapi ujian Allah. Pada zaman modern ini, Tsa’labah Tsa’labah lain mudah sekali kita jumpai. Mereka memang tidak bernama Tsa’labah, namun sikap dan perilakunya sama seperti Tsa’labah yang sebenarnya. Hanya nama dan zamannya saja yang berbeda. Ketika masih miskin ia hamba Allah yang sejati. Namun ketika sudah kaya ia menjadi hamba harta.
Benarlah yang difirmankan Allah bahwa kesenangan hidup duniawi (baca:harta) itu merupakan fitnah yang harus diwaspadai. Fitnah di sini bukan berarti berita bohong yang disampaikan seseorang untuk menyudutkan orang lain, “Sesungguhnya harta kamu, dan anak-anak kamu adalah ujian....” (QS. At-Taghabun/64:15). Kita tidak boleh membenci harta duniawi, bahkan harta itu harus dikejar. Tapi bukan berarti harta itu tujuan utama. Tujuan mengejar harta dunia adalah agar kita dapat menjadikan harta itu sebagai mediator (penghubung) antara kitra dengan Allah. Bukan berarti setelah harta kita dapatkan, harta itu semakin melalaikan kita kepada-Nya.
Allah selalu memberikan ujian kepada kita dalam berbagai bentuk. Ada ujian berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda dunia, kekurangan jiwa, dan kekurangan buah-buahan. Ujian ketakutan bisa berwujud dalam berbagai hal; takut kematian, takut kehilangan orang-orang yang dicintai, takut kehilangan jabatan, takut kehilangan harta benda, takut kehilangan rekan-rekan bisnis. Ujian kelaparan bisa berwujud melalui kekhawatiran akan kekurangan bahan makanan, kehilangan pekerjaan, sehingga tidak bisa memberi makan anak istri, keluarga, maupun karib kerabat. Ujian kekurangan harta benda dunia bisa berwujud dalam sedikitnya harta yang berada di tangan, rugi dalam berdagang, terkena bencana kebakaran, maupun banjir. Ujian kekurangan jiwa bisa berwujud keresahan hati, dalam segala keadaan. Sementara kekurangan buah-buahan bisa berwujud dalam kekurangan buah-buahan dalam arti sesungguhnya atau kiasan, tidak terwujudnya cita-cita yang diharapkan.
Ragam ujian Allah itu harus disikapi dengan penuh ketabahan. Tidak akan mampu menyikapi ujian-ujian itu dengan baik kecuali orang-orang yang memang kualitas dirinya terjamin. Terkait dengan hal ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar. Sungguh, Kami pasti akan menguji kamu berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaalillahi wa inna ilaihi raaji’un / sesungguhnya kami adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dari rahmat Tuhan (Pendidik dan Pemelihara) mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Orang arif dan bijak adalah mereka yang mampu untuk mengambil berbagai butiran hikmah yang terbesar di sebalik ujian-ujian Allah. Bagi mereka, ujian-ujian Allah bukan merupakan peristiwa-peristiwa mati yang berlalu begitu saja tanpa pelajaran berarti. Sebaliknya di sebalik taring-taring ujian, dalam beragam bentuknya, menunggu kebahagiaan terdalam yang dibentangkan Allah bagi hamba-Nya yang berhasil melaluinya. Di ujung ujian-ujian itu pula, Allah memberikan penghargaan yang begitu tinggi atas keberhasilan mereka. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang shaleh akan diberikan mushibah berat (ujian) atas mereka. Dan tidaklah orang mukmin tertimpa suatu mushibah, tertusuk duri atau lebih ringan dari itu kecuali akan dihapuskan dosa-dosanya dan akan ditinggikan derajatnya.”
Kesabaran adalah modal dasar dalam menghadapi berbagai macam ujian. Kesabaran bukan merupakan sesuatu yang hanya indah diucapkan lewat perkataan dan dibahas secara mendalam dalam berbagai keadaan. Lebih dari itu, kesabaran harus dibuktikan secara konkrit dalam menghadapi ragam ujian Allah. Pembuktian itu merupakan cermin kualitas kemanan seseorang. Selain derajat tinggi, Allah juga menjanjikan kemudahan dalam segala hal bagi orang-orang yang sabar. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan (ujian) itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah:5). Setiap kesulitan pasti ada kegembiraannya. Ahli hikmah mengatakan, “Banyak kenikmatan yang dilipat diantara taring-taring bencana. Banyak kegembiraan yang menghadap arah dimana di sana beberapa mushibah telah menanti. Maka bersabarlah atas beberapa ujian yang terjadi pada masa-masamu, karena segala sesuatu ada hikmahnya. Setiap kesusahan itu ada kegembiraannya.”
Dalam menyampaikan dakwahnya, Rasulullah kerap menerima ujian yang amat berat; mulai dari kehilangan orang-orang tercinta sampai dilempari batu dan kotoran unta. Dalam keadaan demikian, beliau tulus ikhlas menerimanya. Setelah ia wafat, sebagai konsekuensinya, islam tersebar luas di seluruh dunia. Tidak hanya pengikut beliau, orang-orang yang pada awalnya memusuhi Islam bertekuk lutut dengan kebesaran dan kesabarannya. Begitu pula dengan Rasul Allah yang lain, Nabi Sulaiman, yang tidak lekang di panas dan lapuk di hujan di saat menerima berbagai macam kebesaran da kelebihan harta duniawi. Kesenangan itu tidak melengahkannya untuk selalu mensyukuri nikmat Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Nabi Sulaiman sadar, kekuasaan dan segala kesenangan yang ada di tangannya adalah ujian untuk meningkatkan derajat dirinya di hadapan Allah. Tidak ada ucapan apapun selain perkataan mulia yang terlontar dari lidahnya yang suci, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kepada kedua orang tuaku dan agar aku mngerjakan kebajikan yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. An-Naml/27:19).
Boleh jadi ujian kesedihan yang diberikan Allah kepada kita memberikan kebahagiaan hakiki, walaupun ujian itu tidak kita harapkan atau mungkin amat kita benci. Sebaliknya, harta benda yang selalu kita anggap sebagai sesuatu yang memberikan kebahagiaan dan kesenangan, boleh jadi akan menjerumuskan diri kita sendiri. Karena kita lalai, sesungguhnya harta benda itu merupakan ujian yang menuntut kewaspadaan kita. Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2:216). Wa Allahu a’lam.

Qorib, Muhammad. 2010. Lentera Kasih Sayang. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 17-24.

No comments:

Post a Comment