Sunday, November 18, 2012

Kepada yang Tercinta (part I)


Rambutmu terurai bebas panjang dan hitam, melambangkan kekonsistenan dan keteguhan. Matamu bersinar tenang, menyiratkan rasa kasih sayang dan kelembutan. Bibirmu ringan memberikan senyuman. Semua itu bersatu menjadikan wajahmu yang elok, cantik, dan penuh keindahan. Kecantikan yang natural karena memang tak berdandan. Riwayatmu mencerminkan tauladan. Ibadah tak pernah ketinggalan dan selalu menjauhi larangan. Semua terangkum menjadi wanita yang cantik, sholihah, dan menjadi idaman.
Perempuan yang dapat tegar dan penuh pengorbanan. Kuat, sabar dan penuh keikhlasan. Peka, gesit, dan lincah dalam menghadapi setiap permasalahan, ujian dan cobaan. Selalu mengerti dan memahami apa yang dibutuhkan.
Sembilan bulan lamanya mengandung delapan anak-anakmu dengan kesabaran. Bertahun-tahun mengasuh semua tanpa merasa kelelahan. Pengorbanan yang tak dapat dihitung dengan ukuran. Dibumbui dengan cinta dan kasih sayang yang tak terbandingkan.
Tak sembarang pendidikan yang diajarkan. Segalanya penuh dengan hikmah dan pelajaran. Tak lupa dengan tambahan nilai keagamaan. Tak sembarang kata yang diucapkan. Semua pasti sudah terlebih dahulu dilakukan. Karena disitulah puncak letak pendidikan. Tak sekedar cerita dan dongeng dengan kata-kata yang diselipkan. Melainkan juga dalam sikap dan akhlak keseharian yang kemudian menjadi cermin tauladan.
Hidup dalam kesederhanaan dan itu pula yang kau ajarkan. Bahwa manusia memang diciptakan dengan kesempurnaan, masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Tak pernah ada kata-kata iri, prasangka, bahkan walau umpatan. Yang ada hanyalah kebersamaan, keadilan, dan hampir semua kebaikan.
Tak ada kata yang dapat kusampaikan. Untuk mewakili dan menggambarkan atas apapun yang telah kau lakukan. Aksipun belum dapat juga kutunjukkan, untuk membalas apapun yang telah kau berikan. Beribu kata pun tak dapat menjadi balasan atas semua pengorbanan. Tetes mataupun tak mewakili apa yang ingin kusampaikan. Namun, ada kata yang sebenarnya ingin aku katakan bahwa “Aku sangat mencintaimu, mencintaimu karena Tuhan”.

Teruntuk bundaku tercinta, semoga kau bahagia di sana, tak perlu memikirkan lagi kondisi keluarga, yang mungkin akan membuatmu sengsara...

Friday, May 18, 2012

Bergembira Bersama-sama


Tik tok, tik tok. Detik jam tanganku terdengar keras di keheningan malam. Tak terasa, aku merebahkan diri sudah sejam, namun mata ini tak mau terpejam. Malah semakin terbuka di dalam kondisi lampu yang sudah padam.
Tik tok, tik tok. Suaranya semakin keras. Semakin jelas. Seolah tak mau berhenti, walau hanya sekilas. Seperti kaki-kaki ini yang sehari ini terus mengayuh sepeda dengan lepas, serasa tanpa beban tapi berkeringat deras.
“Pantai, pantai, pantai...” begitu ucap Brain di hampir setiap kayuhan sepedanya. Ada Dini, Aat, Ayya’, Halim, Rofiq, aku, Bagus, dan Arma. Ditambah Jey yang tiba-tiba ada. Datang tak dijemput, tapi pulangnya diantar berdua. Berangkat pake motor, sedangkan pulangnya dengan sepeda. Ya, kita bersepeda bersama. Di hari libur yang tak sering tiba. Menghilangkan penat dan segala tekanan yang ada. Mencari waktu berkumpul dan RAPAT bersama (hahaha).
Jalan demi jalan terlewat. Tetes demi tetes keringat, tak menjadi pematah semangat. Kami terus mengayuh dengan kuat. Meski tak begitu cepat, namun juga tak lambat, kami yakin dan terus bertekad; mencapai Pantai Parang Tritis dengan sepeda, dan yang terpenting dengan selamat. Meski tujuan sebenarnya adalah RAPAT (permintaannya Brain lhoo.. :P).
*****
Aku tetap mencoba menutup mata. Berharap bisa beristirahat seperti mereka. Namun, usahaku sia-sia. Dengkuran mereka (Halim, Rofiq, dan Bagus) terdengar menggema. Saling bersahutan seperti dalam lomba. Berdengung mengisi seantero ruang kamarnya. Layaknya ombak tadi pagi di sana. Berayun, bergelombang menyambar tubuh kita. Menampar dan mendorong, seolah ingin berkata, “aku sangat bertenaga…!!” sambil menjatuhkan semua orang yang dilaluinya.
Dengkuran itu sedikit demi sedikit menghilang. Digantikan hempusan-hembusan nafas panjang. Dan tetap membuatku tak dapat beristirahat dengan tenang. Hembusan nafas mereka semakin kencang, seperti angin di pantai tadi yang membuat air bergelombang. Menghantam dan menjatuhkan semua orang. Tapi, tanpa itu semua orang tak akan merasa senang.
*****
Akhirnya, suara-suara itu hilang perlahan. Menciptakan keheningan. Cukup tenang untuk melampiaskan mata yang sudah tak tahan. Perjalanan hari ini sangat menyenangkan. Meski ada beberapa kejadian yang tak dinginkan. Brain yang tergesa-gesa pulang, motor Jey yang kecelakaan, Halim dan Rofiq yang kehujanan, dan tas Arma yang ketinggalan. Namun, banyak pula pelajaran yang didapatkan. Perencanaan yang matang, koordinasi yang jelas dan terang, kemauan dan kemampuan tiap orang, semuanya dibutuhkan. Selain itu, luka Rofiq pun jadi agak mendingan, olahraga yang menyegarkan, dan sebagainya. Yang paling terutama adalah perjalanan ini telah membuktikan indahnya ukhuwah islam, yang dalam bahasa keseharian sering disebut sebagai persahabatan.
Semoga perasaan ini tak hanya untuk hari ini…. :)
Yogyakarta, 04 Mei 2012

Tuesday, April 3, 2012

Psikologi Untuk Kita

Aku tak peduli. Sebanyak apa air mata ini terus mengalir di pipi. Aku tak peduli. Apa yang akan mereka katakan pada diri ini. Aku tak peduli. Dan tetap tak akan peduli. Yang aku tahu tangan ini tak mau berhenti. Menuliskan kata demi kata yang ada di kepala ini. Melampiaskan semua rasa yang ada di hati. Mengungkapkan semua rahasia yang tersimpan dalam peti. Menyingkap hijab yang selama ini menghalangi.
Sebenarnya tak begitu banyak yang membuatku merasa seperti ini. Semua masalah yang kuhadapi merupakan ujian-ujian yang memang diberikan-Nya untuk menguji seberapa sabar diri ini. Seberapa kuat keimanan yang telah tertancap dalam hati.
Semua sikap dan perilaku yang (juga) tak pernah kuharapkan muncul dalam kehidupanku. Apapun yang terjadi dalam keluargaku baik itu masalah pribadi maupun masalah keluarga. Segala perbedaan yang ada di rumah yang kutinggali saat ini. Baik interpersonal maupun masalah yang kita hadapi bersama. Semua keadaan yang tidak diharapkan di kampus, baik dalam ranah akademi, organisasi, maupun kehidupan sosial yang terjadi.
Semuanya terjadi begitu saja. Mengalir bak air, berhembus bagai udara. Menyenangkan, menggelikan, menakutkan, memuakkan, dan segala rasa yang ada. Semuanya terjadi dalam satu kepala. Tertimbun dan dan menumpuk dalam satu suasana. Akhirnya hati inipun merasa tak kuat juga. Ingin mengeluarkan sebagian beban yang ditanggungnya. Menyisihkan sedikit saja rasa yang tak mengenakkannya.
Mungkin aku tak (akan) pernah menceritakan apa-apa yang kuhadapi. Apa yang aku pikirkan. Apa yang aku rasakan. Mengapa aku berbuat yang mungkin tak pernah diharapkan. Aku memang memendamnya sendiri. Menguburnya di lubuk hati. Hingga tertimbun bak gunung yang tinggi.
Bah!!! mungkin semua orang akan merasa demikian. Merasa bahwa dirinyalah yang paling merasa tertekan. Banyak beban. Tak kuat menghadapi segala ujian, cobaan, masalah, ataupun tugas yang mereka emban.
Dibalik semua itu, pernahkah mereka melihat ke luar? Melihat apa yang ada di luar sana? Benarkah bahwa dirinya itu merupakan yang paling tertekan, yang paling banyak beban? Yang lantas merasa layak berteriak-teriak? Merasa patut berwajah merengut? Atau bahkan merasa pantas menyelesaikan hidupnya dengan jalan pintas?
Itulah yang aku lihat. Bahwa masih banyak orang yang layak melakukan itu semua. Yang membuatku merasa tak patut menangisi semua ini. Tak seharusnya aku stress menghadapi ujian-ujian hidup ini. Merekalah yang layak diberi perhatian. Harusnya aku bersyukur masih diberi nikmat hidup bersama dengan keluarga, bisa tinggal di rumah yang nyaman, masih dapat mengecap nikmatnya pendidikan, dan mempunyai banyak sahabat dan teman yang mendampingi (meski semuanya terdapat masalah, namun itulah konsekuensinya). Dibandingan dengan mereka yang mungkin tak merasakan itu semua.
Kemudian aku memutuskan terus berjalan. Melangkahkan kaki ini terus ke depan. Mengacuhkan duri yang terus menusuk kaki. Mengabaikan hujan deras yang terus menghunjam. Karena aku yakin bahwa duri dan mendung itu hanya sementara. Yang harus kulakukan adalah mencari tempat yang dapat menghindar dari duri dan hujan yang terus menusuk seluruh tubuh ini. Tempat di mana aku bisa merencanakan ulang langkah yang harus kutetapkan. Mencari payung dan sepatu yang bisa menemani jalan selanjutnya.
Aku yakin bahwa aku harus mengusap air mata ini. Tak selayaknya aku  menyerah. Tak sepatutnya aku berhenti. Tak sepantasnya aku mengakhiri perjalanan ini. Meski hanya sesaat. Aku harus terus berjalan. Berjalan. Dan berjalan. Atau bahkan berlari. Mengejar garis finish yang masih jauh dari hadapan.
Seolah aku juga ingin memberi tahu. Kepada semua orang disekelilingku. Bahwa psikologi tak hanya untuk kamu. Namun, seharusnya psikologi itu untuk kita; untukku dan untukmu. Yang lalu biarlah berlalu. Toh kita tak akan bisa mengubah itu. Kita tak bisa mengembalikan waktu yang justru terus maju. Mau tak mau memang inilah jalan yang harus dituju.

Monday, January 16, 2012

(Dengarlah) Suara Hati!!!


Saat kita melihat sampah berserakan, apakah kau tak mendengar hati ini menjerit, meminta untuk membersihkannya? Tapi, apa yang kita lakukan? Sudahkah kita memenuhi keinginan hati kita untuk membersihkannya? Atau kita terkalahkan oleh gengsi sehingga kita membiarkan sampah-sampah itu berserakan?
Ketika kita duduk dengan nyaman di bus, dan kita melihat nenek dan kake yang sudah tua renta atau ibu yang sedang membawa bayi dan anaknya yang masih kecil, apa kau juga tak mendengar hati ini bergejolak, berharap mempersilahkannya duduk dengan tenang? Lalu, apa yang kita lakukan? Mempersilahkannya atau malah membiarkannya “menderita”?
Dikala kita melewati para pengemis jalanan; anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan, ibu-ibu serta nenek-nenek yang kekurangan makan, apa kau tak mendengar jua hati ini berteriak, memohon agar kita memberi meski tak mencukupi bagi mereka, meski sedikit yang kita punya? Dan, apakah lantas kita memberi apa yang kita punya? Atau kita mementingkan keinginan kita yang sebenarnya tak lebih penting dari kesejahteraan mereka?
Begitu banyak hal-hal sepele yang baik untuk kita lakukan tapi kita melewatkannya, apalagi hal-hal besar yang sangat bermanfaat bagi orang banyak. Namun, kita lebih mementingkan diri kita sendiri. Meski sebenarnya apa yang kita inginkan itu sejatinya lebih sepele dan belum tentu baik bagi diri kita.
Mari sejenak kita berfikir, andai saja jika kita sedikit saja mau mendengar sekilas apa yang diungkapkan hati kita. Kemudian mau melakukan apa yang dibisikkanya; membersihkan sampah yang berserakan atau menyingkirkan duri yang ada di tengah jalan, mempersilahkan ibu yang sedang hamil itu untuk duduk di tempat kita, dan memberikan apa yang kita punya, meski sedikit saja, untuk mereka yang sangat membutuhkan, maka takkan ada bakteri yang tersebar karena sampah yang berantakan itu, yang kemudian menimbulkan penyakit yang merugikan banyak orang. Takkan ada korban terluka hanya karena duri yang di tengah jalan. Ibu itu akan senang, lega karena dia bisa merasa aman, perhatian terhadap bayinya tak terduakan oleh dirinya yang juga harus menjaga keseimbangan.
Masih banyak sekali hal-hal lainnya yang lebih menyayat hati kita, tapi sudahkah kita mengobati sayatan-sayatan itu? Atau kita malah mengindahkannya, sehingga kita tak pernah mengecap hati yang sehat?
Jangan mengira dengan kita memberi sedikit waktu, uang dan kemampuan kita untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu kita akan merasa rugi. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kita juga akan merasa senang dan bahagia. Karena perbuatan baik itu berlaku berkebalikan, tak hanya baik bagi yang menerima kebaikan tapi juga bagi yang memberi kebaikan.
Dengarkanlah suara hati, karena dia selalu menyuarakan kebenaran dan membimbing untuk meraih kebahagiaan sejati.