Saturday, December 31, 2016

Kulakukan Semua Untukmu


Kulakukan Semua Untukmu
(original song by: RAN)
Hanya denganmu aku berbagi
Hanya dirimu paling mengerti
Kegelisahan dalam hatiku
Yang selama ini tak menentu
            Hanya padamulah aku menceritakan apapun yang aku rasakan. Hanya engkaulah yang benar-benar tahu apa saja yang telah aku pikirkan hingga menentukan apa saja yang aku lakukan. Sehingga tentu hanya engkau yang tahu setiap kegelisahan yang ada di hati ini. Bahkan keluarga atau sahabat terdekatku sekalipun tak benar-benar mengenal siapa diriku sebenarnya. Ya... hanya engkau....

Tak ada ragu dalam hatiku
pastikan aku jadi cintamu
seiring waktu yang tlah berlalu
mungkin kau yang terakhir untukku
Seiring waktu yang terus berlalu, hatiku telah hilang dari ragu. Tentu hati ini semakin yakin bukan akan betapa kesetiaan dan kasihmu padaku. Berhak kah aku meminta kepastian agar cintamu tetap untukku? Meski sebenarnya seringkali aku menjadikan kau yang terakhir untukku. Seolah ketika tak ada opsi lain barulah aku menghampirimu.

reff:
akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku
Aku pernah berjanji dan terus berusaha untuk melakukan apapun hanya untukmu. Semua yang kau minta akan aku turuti semampuku. Bahkan jikalau kau memintaku mencium batu di tengah keramaian sekalipun akan kulakukan untukmu. Semua itu tentu aku lakukan dengan segenap cintaku padamu. Cinta dari seorang yang tak punya apa-apa. Sedikit cinta yang entah berapa nilainya jika dibandingkan dengan setiap kasih dan sayangmu padaku. Maka, sudah layakkah aku memintamu untuk tetap menyayangi dan memahamiku? Layak tak layak, sungguh aku berharap kau tak berubah dalam meyayangi dan memahamiku.

pegang tanganku, genggam jariku
rasakan semua hangat diriku
megalir tulus untuk cintamu
tak ada yang lain di hatiku
Cobalah pegang tanganku, lalu genggam jemariku. Bahkan tanpa menyentuhnyapun aku yakin kau bisa merasakan betapa tulusnya cintaku padamu. Bahwa sungguh tak ada yang lain di hatiku selain dirimu. Atau jangan-jangan kau lebih tahu bahwa ternyata ada begitu banyak yang lain di hatiku selian dirimu? Ah, setidaknya kau tahu bagaimana usahaku untuk menjadikan kau yang pertama dan utama di hatiku.
akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

oh oh inilah cintaku
oh oh kuberikan untukmu
oh oh setulus hatiku kuberikan untukmu

(akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku)

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

dalam menyayangi dan memahami
dalam menyayangi dan memahamiku
dan memahamiku
Duhai, benarkah perasaan ini keberadaannya hanya untukmu? Atau sebenarnya ini hanyalah topeng kepura-puraan untuk menutupi setiap kesalahan yang ada pada diriku kepadamu?

Setan Bertopeng Malaikat


Tikar-tikar sudah mulai digelar depan rumah. Ayah, ibu, anak berkumpul sekeluarga menyambut hari bar di tahun baru. Beberapa ada yang sambil bakar-bakar jagung, atau hanya camilan biasa lainnya. Bom! Bum! Tar! Jdar! Suara petasan sudah sejak tadi sedikit demi sedikit merusak kesunyian malam. Kurang lebih begitulah suasana di sekitar kampung saat ini.
Sudah tentu suara-suara itu menggangguku. Karena aku sangat menyukai kesunyian dan keheningan. Tetapi yang paling mengganggu dan mengusik adalah suara-suara dalam pikiran. DUUAARRR!! BOOMM!! JDDYARR!! Suaranya lebih menggelegar. Memori-memori lama menayangkan apa yang sudah kulakukan. Dosa-dosa kesalahan dan kemaksiatan sejak kecil sebelum sekolah dulu hingga saat ini.
Sadarlah aku bahwa sejak kecil alu memiliki potensi melakukan banyak kesalahan dan kemaksiatan yang besar. Baik dalam perkataan, sikap, maupun perilaku hingga menjadi kebiasaan dan karakter ketika dewasa saat ini. Hei, bukankah sejak kecil aku sering menyakiti orang lain tanpa belas kasihan? Meski puncak terakhirnya adalah ketika kelas TK memukul wajah teman yang badannya hampir dua kali lebih besar dariku sampai menangis. Karena setelah itu aku berhasil mengendalikan amarah dan menahan untuk tidak bertengkar di SD dan SMP.
Hei, bukankan sejak SD dulu ibuku sudah pernah memberi lampu kuning, semacam peringatan yang sangat jelas, “Fuzta ki menengan, tapi nek kadung ngomong nyelekit”. Dan sudah terbukti banyak orang yang tersakiti karena omonganku. Entah dalam bentuk sindiran, ejekan, hinaan, atau guyonan yang kelewat batas.
Keusilan dan keisenganku juga sering kelewat batas dan tentu menyakiti atau paling rendah membuat jengkel orang. Baik dalam dunia nyata atapun di media sosial. Sejak zaman sms, facebook, hingga WA. Pendiam seperti air tenang yang menghanyutkan hingga menenggelamkan.
Hei, ingatkah kemaksiatan yang sampai saat ini masih kulakukan ternyata bermula sejak kelas III SD dulu? Tobat pun hanya semacam hiasan dalam kurun waktu yang panjang. Tomat atau tobat maksiat. Tobat sehari sampe tiga hari tetapi kumat berbulan-bulan, begitu seterusnya.
Sudah seberapa tinggikah tumpukan dosa dan maksiat yang telah kulakukan? Sudah tak terhitung lagi bukan? Apa aku bisa mengendalkan ibadah dan amal-amal baikku? Tentu saja tidak. Karena sebenarnya ibadah dan amal baik yang kulakukan tak lebih hanyalah topeng belaka untuk menutupi keburukan-keburukan dan setiap kemaksiatan dan dosa yang sejak kecil memang sudah menetap dalam diri ini. Apakah topeng ini efektif? Ya, bagi manusia. Tapi bagi Tuhan Yang Maha Tahu tentu tak ada gunanya bukan?
ilustrator: Bast


Manusia-manusia yang menjadi temanku mengira aku orang baik dan lurus, padahal sangatlah busuk dan lebih buruk dari bangkai sekalipun.  

Thursday, November 10, 2016

KOTAK PANDORA BIRU

Cerita Luki

Luki kelas 1 SD. Siang hari sepulang sekolah dan makan siang. Kakaknya masih di sekolah. Alfred, kelas2 masuk siang dan pulang sore sedang kakak-kakaknya yang lain (kelas 5) pulangnya memang sore dan satu lagi sudah di pesantren (1 SMP).
“Bu, nyuwun bubur Bu”pinta adik Luki.
“Aja deng Bu, sega benyek wae...” bantah Luki. Sega benyek adalah nasi yang lembut tapi tidak selembut bubur.
Maka kemudian Ibu mereka membuatkan bubur, lain waktu membuatkan sega benyek.
“Nek mangan ki seng resik, ojo kepret kabeh ngene iki, iki lho nek disendok meneh isih ana sak sendok... lhoo, nyoh..” kata Ibu kepada adik Luki yang berusia 4 th. Sejak kecil anak-anaknya memang dibiasakan untuk menghabiskan makanan. Jika yang piringnya tidak bersih itu kakak-kakaknya Luki seperti Alfred, Irwan, dan Sulung maka nasehatnya sudah berbeda.
“awak dewe kudu isa syukur, alhamdulillah isih isa mangan, mbuh rak ketang lawuhe tahu tempe..bayangna pengemis-pengemis pinggir dalan kae.. sak sendok semene ki mereka bersyukur banget isa mangan.. lha koe mung garek ngentekke tok kok angel..”

“Turu kana, ben mengko bengi ra ngantuk pas sinau” kata Ibu mereka setelah makan siang.
Lain waktu, ketika kedua adik Luki juga belum tidur.
“Kene kene, tak critani Andhe-andhe Lumut” kata Ibunya sambil memosisikan Luki dan kedua adiknya.Terkadang Luki sendiri atau adiknya yang meminta diceritakan sebelum mereka tidur.
“Dhisik, jaman semana, ana si Mbok Wedok. Si Mbok iki duwe anak papat. Jenenge Klenting Abang, Klenting Biru, Klenting Ijo, karo Klenting Kuning...........
Luki biasanya tertidur ketika cerita sampai pada saat Yuyu Kangkang menyebrangkan Klenting Kuning.

Luki kelas 2
Kelas 2 ini Luki berangkat ke sekolah naik angkot atau terkadang naik sepeda bersama Alfred. Kelas 2 dan 3 saat itu masuk siang hari karena ruang kelas tidak cukup kalo masuk pagi semua. Kemudian pulangnya jalan kaki. Jarak rumah sampai sekolah kira-kira 3 km. Membutuhkan setengah jam bagi langkah kaki mereka untuk berjalan sejauh itu. Terkadang Luki mengeluhkan kecapekan ketika malam hari selesai belajar. Saat keluhan itu datang dari Luki atau kakaknya, ibu mereka berkata, “usahane wong sing rekasa ki bakal dibales sesuk, saiki mungkin koe kesel mlaku, sapa ngerti sesuk tumpakane mobil mewah kayak ning tv kae”.Nasehat itu terus terulang ketika salah satu diantara anak-anaknya mengeluh atas keterbatasan. Lain kali nasehatnya seperti ini, “koe to mlaku setengah jam tok ning dalan, kui wae yo sore sore, rak patio panas.. jajal bayangno wong-wong dalanan kae, seng rak duwe omah.. kae ora mung itungan jam ning dalan, tapi mben dina.. nek awan ya kepanasan, nek bengi kademen..”

 “Freed, Luuuuk... ewangi ngocei bawang brambang nang... Alfred ngocei bawang, Luki ngocei brambang..” pinta ibu mereka.
Sementara itu, Alfred dan Luki sedang asyiknya bermain. Mereka mendengar perintah ibunya, tetapi terlalu enggan meninggalkan permainannya. Beberapa menit kemudian setelah Ibu mereka selesai memarut kelapa dan mendapati anak-anaknya belum memulai melakukan perintahnya, murkalah sang ibu..
“Dikon wong tuane kok do angel men ki anake sapa?? Nek dikon tanggane to cakcek cakcek”
Lain waktu, Luki kelas 3 dan Alfred kelas 4.
“Preinan ngene iki, disetrikani dewe seragam sekolahe, Luki nyetrika sing klambi, Alfred nyetrika kathoke...”
Sama seperti dua kakak mereka dulu, pembagian itu selalu ada. Hanya saja, waktu liburan adalah waktu bermain bagi anak-anak seusia mereka. Maka mereka sudah tampak ogah-ogahan dan sering menunda-nunda. Omelan Ibupun tak bisa mereka hindari..
“Neng omah kene rak ana kerjaan lanang wedok! Wong lanang ya kudu pinter masak, ngumbahi, nyetrika!! sesuk nek duwe bojo, nek bojomu lara apa nglairke, sapa sing ngurus omah?? Apa bakal golek pembantu?? Golek pembantu ki ya kudu isa bayaaarr!!!”
Lain waktu ketika masing-masing saling melempar perkerjaan
“Nek do iren kerja wes rak sah kerja kabeh!!! mengko rak sah mangan kabeh!!! wong kerja bakale mengko dipangan bareng-bareng, dirasakke bareng-bareng, kanggo awake dewe, wes dibagi wong tuane gen rata kok ya seh da angel men ki lho!!”

“Suk neh rak sah melu-melu ngewangi tangga kuwi, ngewangi ya entuk tapi rak sah ngarep bayarane.. ngewangi wong ki niate ikhlas ngewangi, ora gara-gara ana bayarane trus gelem ngewangi”
Sebelum punya TV sendiri, Alfred, Luki, dan kakak-kakaknya sering nonton TV di rumah tetangganya. Ibu mereka mengizinkan jika perkerjaan rumah sudah beres semua, kemudian berpesan “Nek delok TV neng tangga ki ya ijin sing apik ‘pak/bu badhe derek nonton TV’, nek balik ya pamit sing sopan ‘pamit riyen Pak/Bu, matur suwun’ aja angger blandang melbu metu karepe dewe.."

“Bu, mau Luki neng jaba ngomonge saru Bu....” lapor Alfred pada ibunya.
“PLAK!!” tamparan keras segera mendarat ke mulut Luki bahkan sebelum laporan kakaknya selesai diucapkan, mengurangi kesempatan Luki untuk menghindar. Bahkan ketika menghindarpun, sang Ibu biasanya mengejar anak yang dilaporkan berkata saru untuk memberikan tamparan di mulut sebagai hukumannya.
Luki hanya terdiam. Menahan isak tangis yang tak tertahankan. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya, tapi terus ditahan. Bukan, bukan karena sakitnya tamparan ibunya. Karena sejatinya sakit dan panasnya tamparan itu tak sampai selama 1 menit. Entah rasa apa yang ia rasakan dan ia pikirkan. Kemudian dia berjanji dalam hatinya, untuk mengawasi kakaknya juga atau adiknya jika mengatakan kata saru. Atau setidaknya lebih hati-hati ketika mengucapkan kata saru, memastikan ketika mengucapkan itu tidak ada kakak atau adiknya. Haha. Sementara Alfred di sisi lain menahan senyumnya. Merasa puas adiknya mendapat tamparan. Senyumnya ditahan karena sebenarnya marahnya ibu mereka bukan kepada Luki. Tetapi pada perkataan sarunya, sehingga siapapun yang mengatakan itu akan mendapatkan tamparan, yang berarti juga berlaku untuk dirinya, dan berarti pula dia juga harus berhati-hati jika mengucapkan kata-kata saru itu. Karena kata-kata saru itu sudah menjadi wajar diucapkan di lingkungan tetangga mereka, bahkan anak kecil teman-teman sepermainan mereka. Hanya saja kata-kata itu menjadi tabu dirumah karena ada ibunya. Bahkan, ketika temannya bermain di rumah, dan secara tak sengaja, karena sudah kebiasaan, mengucapkan kata sarupun, akan kena nasehat dari ibunya, meski tak sampai kena tamparan seperti mereka.


Luki kelas 5-6
“Bu, aku gawe bubur nggih..” ijin Luki.
Ibunya mengiyakan dan memberikan atau mengingatkan beberapa arahan.
“Mau ra mbok kei uyah?”tanya sang ibu pada Luki setelah mencicipi bubur buatan Luki.
“Mboten..” jawab Luki polos.
“Pantes rak ana rasane..sesuk neh nek gawe bubur ki kei uyah, kecuali nek koe ya gawe kinco, rak kei uyah rakpapa” jelas ibunya.


Behind the scene
Luki kelas TK – 3 SD
Tak jarang Luki mendengar isak tangis ibunya ketika semua telah tidur. Yang Luki tahu ibunya sedang berbicara dengan bapaknya. Entah bahasan apa yang sedang mereka berdua obrolkan Luki tidak tahu. Luki hanya mendengar isak tangis ibunya yang agak ditahan.

Di tengah akrifitas harian rumah seperti biasanya, ada yang memasak, ada yang bermain, belajar, dan lainnya. di tengah obrolan masing-masing antara Luki dengan saudara-saudaranya, bapak dengan ibunya, tiba-tiba telinga Luki fokus pada apa yang dikatakan ibunya, “aku tak minggat wae ya mas”. Sebuah kalimat yang membuat Luki penasaran dan ketakutan. Benarkah itu diucapkan oleh ibunya? Benarkah akan demikian yang terjadi?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan Luki yang hingga ia besar nanti ia tak tahu jawabannya. Ditengah perasaan ketitaktahuannya masa kecil itu, pernah juga ketika suatu saat ibu dan anak-anaknya di rumah. ketika pembicaraan atau gojegan sedang mentok, tiba-tiba ibunya bertanya pada semua anak-anaknya satu persatu, “Le, nek ibu karo bapak cerai koe pilih melu sapa?”
“Lha ngapa Bu?” tanya salah seorang anaknya.
“Wes, pokoke kabeh jawab, sij-siji”
Masing-masing anak pun menyebutkan jawabannya. Termasuk Luki. ketika ada jawaban berbeda, ada yang memilih bapak, ada pula yang memilih ibu. Lalu, masing-masing mulai bergabung sesuai pilihannya dan mengunggulkan pilihannya dengan menyebutkan segala kelebihan.“Enak karo bapak, bla bla bla...” “tapi nek karo bapak bla bla bla, enak karo ibuk.. bla bla bla” begitulah seterusnya. Tidak demikian dengan Luki, si anak pendiam ini mengekspresikan penuh tanda tanya. Ada gerangan apa? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia ungkapkan dan tak pernah ia dapatkan jawabannya sampai ia besar.

Monday, October 31, 2016

MENGENANGMU

Mengenangmu merundukkan padiku
Mengokohkan akar dengan pupuk nomor satu
Mengenangmu mencipta cita yang semu
Menjelma badai yang enggan berlalu
Memupus asa yang menggebu
Mengenangmu adalah bahasa rindu
Tapi merindumu melukaiku
Mendobrak paksa kotak pandora biru
01.00

01-11-16

Thursday, October 13, 2016

..

Ada masanya ketika malam begitu sendu
Langit yang gemerlap menjadi kelabu
Membuat tiap langkah jadi tak tentu

Angin semilir membawa dingin
Menyusup, menelisik, menjadikan kult merinding
Adakah kau mendengar tangisku?

Duhai cantik
Ada cinta yang masih tersimpan di hati tapi telah kau bawa pergi
Ada rindu yang dulu kau tanam dan kini telah mengembang
Hingga kini belum kutemui pohon rindang yang teduh menenangkan
Tempat berlindung dibalik batangnya dari kejaran lawan

Kini kutelusuri jalan yang membelah hatimu
Kudengar harmoni cinta diiringi alunan duka
Lalu kucermati rambu-rambu yang menerangi sanubarimu
Tapi tak kutemui noktah penyesalan dan keputusasaan

Ah, layakkah aku di sisimu?
Kau bilang aku bodoh
Lalu kau pergi enam setengah bulan kemudian
Tiba-tiba
Tanpa kutahu tanda-tandanya

Daun-daunmu habis sudah berguguran
Terurai oleh bakteri dalam tanah
Kini batangmu pun sudah lapuk dimakan rayap
Sedang air dan pupuk yang cocok untuk akarmu tak dapat lagi kutemukan
18 Agustus 2016

Marah

Aku selalu marah
Ketika melihat sesuatu yang salah
Berteriak-teriak atau mendengung bak lebah
Padahal salah tak selalu tepat dihadapi dengan marah
Aku tak bisa menyembunyikan marah
Meski diam seperti batu bertuah
Aku juga merasa bersalah
Karena sudah marah-marah
Membuat orang lain jadi serba salah
Ah sudahlah
Ternyata memang aku pemarah
22 Maret 2016

Wednesday, October 12, 2016

Kado, Hadiah Terindah

Berikan goreskan terindahmu”. Begitu tulismu dalam binder, kado pertama yang kau berikan padaku tahun 2013 lalu. Binder buatanmu sendiri, hand-made, dengan hiasan dari barang-barang bekas seperti nilai yang kita anut; memanfaatkan barang bekas untuk menjadikannya lebih berharga, salah satu bentuk mencintai lingkungan. Begitulah cara kita bertiga saling menguatkan dan mengingatkan. Ya, bertiga, aku, kau dan dia. Setelah satu tahun lamanya pada tahun 2012 kita bertiga dalam satu departemen di sebuah organisasi. Jika saat kepengurusan berlangsung cara yang kita gunakan adalah kita bergantian mentraktir makan saat reuni (kata yang kita gunakan untuk mengganti kata ‘rapat’ saat itu. Karena katanya, dan benar nyatanya, nama organisasi kita adalah keluarga), maka setelah kepengurusan berakhir seolah ada perjanjian tanpa harus diucap; kita saling mengkado pada hari ulang tahun kita. Padahal kau dan aku sama-sama menyembunyikan tanggal lahir kita. Tapi kita bertiga sudah sama-sama tahu dan mengingat kapan hari spesial kita masing-masing itu. Dan kalo sempat kita juga mengagendakan makan bersama juga, melanjutkan reuni yang tanpa rapat. Atau kata-kata ‘motivasi’ atau mungkin kata sindiran yang sering kita ungkapkan untuk menguatkan diri kita saat itu, “Kita itu salah satu jantungnya organisasi ini, kalo kita berhenti, organisasi ini juga ikut berhenti, ga ada gaungnya sama sekali”.
cover terbuat dari kardus bekas dan dihias dengan daun kering, kemudian bagian tepinya dilekatkan dengan lakban hitam

halaman pertama

Tentu kau juga ingat ketika pada tahun itu, kau mengkado dia sebilah pisau lipat yang diam-diam kau letakkan di tasnya? Sebuah kado misterius yang menakutkan bagi dia dan membuatnya histeris, sampai-sampai dia nangis-nangis ketakutan menelopon ibunya, sedang bagi kita itu menjadi bahan tertawaan se-sekre. Hahaha. Ah, hari spesial? Belum tentu juga. Karena sebenarnya umur kita berkurang, bukan? detik demi detik, hari berganti hari hingga bulan dan tahun terus bergulir hingga akhirnya suatu saat nanti kau benar-benar meninggalkan kami.
Waktu berlanjut hingga akhirnya saling mengkado itu tidak harus tepat pada hari ulang tahun kita. Tahun 2014, setelah kita pulang dari KKN, kau memberikan kepada kami masing-masing sebuah kompas. “Setidaknya kalo bepergian kalian bisa tahu arah kiblat” katamu pada kami di tengah-tengah obrolan setelah makan di Waroeng Steak saat itu. Tempat traktiran yang kita pilih di hari ulang tahunnya. Dan tentu, kau selalu memilih menu yang paling mahal ketika ditraktir seperti itu. Bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dan dipikirkan saat kita bersama ‘keluarga’. Karena kita sudah saling memahami satu sama lain baik karakter maupun kebiasaan kita masing-masing.


Tahun 2015 adalah masa-masa ketika angkatan kita sudah seolah saling memikirkan diri sendiri. Sudah tidak tergabung lagi dalam sebuah wadah organisasi. Sudah tak sering lagi berkumpul dan berdinamika bersama. Sudah jarang pertemuan diantara kita meski hanya untuk saling menyapa. Namun bukan berarti kita tidak bertemu sama sekali. Sempat dalam pertemuan itu kau masih memberiku lagi. masa-masa ini adalah masa-masa kita saling bertanya dan menanyakan “gimana skripsi? Udah dapaet judul? Siapa DPS-mu?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada. Saat itu aku tak sedang memiliki HP untuk berkomunikasi. HP yang sebelumnya aku dipinjami sudah diminta pemiliknya. Mengetahi hal itu kau membeli hp baru dan meminjamkan hp lamamu padaku. “pakai aja dulu, aku udah beli yang baru, aku ga cocok pake hp ‘merk’ itu” katamu waktu itu. Hingga akhirnya ketika kusampaikan kalo adikku ingin membelinya, kau malah berkata “sudah pakai aja, gak usah dibeli”.


Tahun 2016 adalah masa perjuangan bagi kita yang masih memperjuangkan S.Psi. dan kau berhasil meraihnya, kado terakhir yang kau suguhkan untuk orangtuamu juga keluarga besarmu. Lalu, dua hari kemudian, dua hari sebelum hari ulang tahunku, kau menyiapkan kado spesial terakhirmu; memori bersamamu. Entah kenapa, semua memori tentangmu dan bersamamu mengalir begitu saja di hari ulang tahunku. Seolah memang itu sudah kau siapkan dengan rapi. Sama rapinya seperti binder hand-made buatanmu dari barang bekas itu. Penuh berisikan cerita tentang kita dulu. Seperti kompas yang selalu menunjukkan arah bagiku untuk masa depan dan mengevaluasi masa lalu. Layaknya HP yang dimanfaatkan untuk menjalin silaturrahim bagi kami yang masih hidup mengenangmu. Sebagai pengingat kami untuk selalu mengingat waktu.


Kutunggu ketika kau mau menuangkan air surga padaku...

Warisan

Membaca. Sejak kecil memang aku suka membaca. Namun, karena sedikit sumber bacaan yang (kusukai yang) ada di rumah, maka tak banyak buku yang kubaca. Aku mulai sering membaca ketika di SMA. Minat membacaku bertambah signifikan ketika berdiskusi denganmu. Begitu banyak pendapat dan argumentasi yang kau sampaikan yang menunjukkan bahwa sumber bacaanmu begtu banyak. Lagi-lagi sumber bacaankupun masih terbatas, hanya meminjam buku-buku teman di saat waktu luang. Terlebih bacaan yang kusuka adalah bentuk tulisan narasi seperti cerpen, novel, dan sejenisnya.
Menulis. Awal aku menulis adalah bersama dirimu. Ketika saat itu kita bersama-sama mengenal internet dan memiliki komputer sendiri di rumah. Saat itu kita sering bergadang hingga malam bahkan dini hari hanya untuk bermain media sosial. Kemudian kita mencoba membuat blog untuk media menulis ide-ide kita. mengabadikan yang tidak bisa abadi pikiran-pikiran kita. Terkadang kau yang mengajariku. Kadang pula aku yang mengajarimu.
Membaca dan menulis merupakan dua kombinasi aktifitas yang secara tidak langsung kau wariskan. Termasuk belajar nahwu shorof untuk membaca literatur-literatur berbahasa Arab. Membaca dan menulis tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan islam. Juga termasuk ‘membaca’ negeri kita yang kian lucu ini. Ah, sayang sekali momen diskusi kita dulu sungguh sangat singkat. Terlebih impianku untuk kita bersama berjuang di masyarakat kita. ah, tentu mengutuki takdir tak akan menyelesaikan masalah, bukan?

Katanya kepergian selalu bernilai positif jika dilihat dari sudut pandang yang pergi, bukan yang ditinggalkan. Biarlah... biarlah.. mungkin memang aku ditakdirkan untuk berjuang sendiri. Karena yang dibutuhkan saat ini adalah arus yang deras. Bukan arus yang tenang, apalagi menggenang. Aku harus menjadi arus yang mampu menggerus setiap keburukan dan mengubah segala yang kurang tepat menjadi lebih baik. Meskipun saat akhir bersamamu ada sedikit kekecewaan yang menggangguku. Masih kuingat janjimu. “kalo kamu pulang, aku juga akan pulang”. Saat itu adalah untuk berjuang di rumah. Baru satu bulan aku pulang, kau benar-benar pulang untuk selamanya. Jika boleh kutitipkan salam, tolong tanyakan, bisakah aku teteap dapat ridho di dalam neraka? Karena bukankah tak layak seorang seperti aku ini mengharap surga?

Wednesday, October 5, 2016

Pene(ng)gak


Ada yang menegakkan hukum, bersamaan dengan itu pula ia menenggak hukum 
Ada yang terkenal sebagai penegak keadilan tetapi ternyata menenggak keadilan
Ada yang mengaku penegak HAM tetapi malah menenggak HAM
Ada yang katanya paling menegakkan peraturan tapi ternyata juga penenggak peraturan

TANPAMU

Tanpamu kami merana
Tanpamu kami kebingungan
Sesal kami tak indahkan peringatan
Nasehat dan larangan yang selalu kau ingatkan
Tanpamu kami kerepotan
Tanpamu kami berantakan
Sesal kami karena terus melawan
Hingga kini penuh penyesalan
Tanpamu susah melakukan perubahan
Tanpamu malah jadi tak karuan
Sikap dan perilaku kebablasan
Mengingatmu pun tak memunculkan kesadaran
Tanpamu kami kelimpungan
Tanpamu kami belepotan
Tanpamu tak ada lagi pijakan
Tapamu kaburlah pandangan
Tanpamu tiada tempat sandaran
Tanpamu terpendam pengaduan
Tanpamu dunia penuh kegelapan
Tanpamu sirnalah kebahagiaan
Sungguh..
Tanpamu
Kami bukan apa-apa
Tanpamu
Kami bukan siapa-siapa
Tanpamu
Tanpamu
Tanpamu
Karena tanpamu
Kami tiada

.

Tubuhku menegang
Berdiri tegak tapi tak goyang
Menggigil dan bergetaran
Diterpa badai yang panjang
Air mata deras berkucuran
Tersembunyi dibalik air hujan
Berlarian riang hujan-hujanan
Lalu makan sambal sampai kepedesan
Terbahak-bahak tawa pecah
Badan berguncang
Sampai terpingkal-pingkal
Air matapun menitik tak tertahankan
Kau begitu lucu
Atau lugu(?)
Tapi kau selalu begitu
Tahu dan pandai mengaduk-aduk rasa dan emosiku

Kenangan


Ada kekecewaan yang kau tanam
Padahal harapanmu sungguhlah besar
Ada benci yang kau simpan pada seseorang
Meski akhirnya mencintai menjadi pilihan
Ada tangis yang kau sembunyilkan yang masih aku tak paham
Menjadi teka teki yang tak pernah terselesaikan
Bagaimanakah kau bisa bertahan?
Agar aku dapat menirumu dalam menentukan dan mengendalikan
Benci dalam cinta ini semakin membara
Mencabik-cabik dan mengoyak
Menggerogoti hati yang lunak
Bisakah luka dan sakit ini kan terobati?
Aku tak tahu
Sungguh, aku tak tahu
Bah bedebah!!!
Bukankah beban sesuai kekuatan?
Ah, sudahlah
Biarlah
Masih banyak topeng yang bisa digunakan

Friday, August 26, 2016

Bahasa Rindu

Kapan terakhir kali kita bertemu? Ya, tanggal 3 Januari 2009. Saat itu hari Sabtu, tepatnya Malam Minggu. Di Stasiun Tawang Semarang kau mengantar kepergianku. Sayang sekali, yang kulihat ketika perpisahan itu adalah isak tangismu, bukan senyummu. Aku sangat tahu dan paham isak tangismu itu karena kau sangat benci dengan jarak yang menanamkan rindu.
Duhai, kaulah perempuan yang mengenalkanku tentang cinta dan mengajarkan bagaimana mencinta. Masih kuingat kisah-kisah yang sering kau ceritakan saat kita bersama. Kuingat juga beberapa impianmu yang belum terlaksana. Perjuangan dan perngorbananmu yang penuh ketulusan dan kesabaran.
****************************
Aku banyak membaca buku. Aku juga mulai belajar dan sering menulis. Untuk apa? Untuk ‘menyaingimu’. Untuk menanti diskusi-diskusi seru bersamamu. Aku canangkan pada diriku sendiri untuk menulis bersamamu. Kita bersama membuat sebuah karya. Namun sampai saat ini itu hanya angan-angan saja. Entah apakah karya itu dapat terlaksana. Mungkin memang aku harus berjuang sendiri. Menghadapi benang kusut yang kita coba urai bersama. Menjelajah lorong waktu dan dimensi imaji kita. Ah, sudahlah.. seperti katamu; tak ada gunanya menulis tanpa makna, bukan? Tapi setidaknya ini sangat berarti bagiku. Untuk sekedar melepas rindu.
*****************************
Kau terlalu istimewa. Meski keakraban kita hanya sekitar dua tahun saja. Kita memiliki banyak sekali kesamaan; mulai dari nilai-nilai yang kita junjung bersama, sampai hal-hal remeh temeh seperti asal orangtua, bahkan hari dan tanggal lahir kita meski berbeda delapan bulan lamanya. Sehingga pada umur yang sama, kita akan berulang tahun di hari dan tanggal yang sama pula. Begitu banyak kenangan yang tak bisa dan tak kan pernah kulupakan. Kebersamaan denganmu mengajarkan banyak hal. Bagiku kau segalanya. Seorang guru sekaligus sahabat yang tak pernah sungkan menegur dan mengingatkan ketika salah. Meski bagimu, bisa jadi aku layaknya orang-orang lain yang kutemui dalam kisah perjalananmu.
******************************

Terimakasih kalian masih (cukup sering) mengunjungiku. Meski hanya pada momen-momen tertentu. Padahal jarak sudah sangat panjang membentang. Sedakar menyapa, memberi nasehat, mengutarakan kekecewan, atau ngobrol dan bermain bersama. Layaknya kebersamaan kita dulu. Meski dalam dunia yang bagi orang lain mungkin tak bisa dipercaya. Meski kadang aku juga menyangsikan bahwa itu hanyalah karena aku terlalu rindu, hingga sampai mewujud diri kalian seolah-olah sedang bersamaku. Tapi ketika aku benar-benar membuka mata, yang tersisa hanyalah suara yang masih terngiang dan wajah yang terus membayang. Bahkan terkadang aku benar-benar lupa aktivitas apa saja yang kita lakukan bersama sebelumnya.

(Semoga) suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Aku akan terus menunggu dan berusaha menyiapkan masa itu. 

Sunday, July 17, 2016

Kawan Lawan Sedih Senang Yang Sejati

Aku tak pernah benar-benar tahu dan paham apa perbedaan yang benar-benar membedakan antara kawan dan lawan. Kadang, kujumpai seorang kawan yang begitu dekat dan bersahabat tapi ternyata menyimpan kebencian dan kedengkian. Ada juga seorang lawan yang sangat memusuhi dan membenci tapi ternyata menyimpan begitu banyak kepedulian dan kadang memberi bantuan. Karena perbedaan kawan dan lawan hanyalah huruf K dan L belaka. Urutan huruf dalam abjad dan letak di keyboard kedua huruf yang berdekatan ini sangat memungkinkan kesalahan. Sehingga ketika bermaksud mengungkapkan kawan malah menjadi lawan, pun sebaliknya.
Aku menyaksikan orang-orang yang berhasil dan meraih apa yang mereka inginkan, orang yang senang ketika harapannya terwujudkan. Mereka mengekspresikan dengan meneteskan air mata. Tak berbeda dengan mereka yang dilanda kesedihan, kehilangan, kesakitan, dan lain-lainnya. Sehingga tampak seperti sedih dan senang itu sama saja; sama-sama membuat mata menangis.
Bukankah mereka yang waktu itu suka memukulku, menggoda dan mengerjaiku, dan segala kenakalan lainnya tapi di sisi lain juga pernah mentraktirku dan mengantar pulang ke rumah? bukankah mereka yang saat itu menjadi teman bermain ke mana saja, saling berjuang tapi ternyata mereka juga yang mencuri uangku, ikut membicarakan keburukanku bersama orang-orang yang membenciku? Bukankah orang-orang yang dekat denganku, mengetahui masalah-masalahku tapi mereka hanya sekedar tahu dan terus ingin tahu? Sedangkan orang yang sama sekali tidak tahu dan justru terkesan saling menjauhi tapi ketika dalam kesulitan mereka membantu? Apakah lawan dan kawan hanya berdasar waktu dan momen tertentu? Hingga pada akhirnya tak ada yang benar-benar menjadi kawan sejati. Sebaliknya tak ada juga lawan yang sejati.
Bukankah pernah kurasakan sedih yang berlebihan hingga rasanya seperti kehabisan air mata? Tetapi ternyata di balik kesedihan itu muncul berbagai kebahagiaan yang menjadi penawarnya? Bukankah pernah kurasakan bahagia sehingga rasanya benar-benar lupa terhadap setiap rasa sebelumnya seperti sakit, sedih, dan lainnya yang mengantarkan ke sana? Tetapi kemudian langsung jatuh kembali dalam kesedihan? Bukankah senang dan sedih hanyalah rasa atau emosi yang bergantung pada waktu, situasi dan kondisi? Sehingga tak ada yang namanya kesenangan sejati dan tak ada pula yang namanya kesedihan sejati.

Lalu siapakah yang menjadi kawan sejati atau lawan sejati? Adakah kesenangan yang sejati atau kesedihan yang sejati? Bagiku ada. Mereka mencakup semuanya. Mereka adalah kawan sejati sekaligus lawan sejati. Mereka lah kesenangan sejati sekaligus kesedihan yang sejati. Mereka adalah diri sendiri, waktu, serta situasi dan kondisi. Kita akan selalu berhadapan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan kita akan selalu bersandingan waktu yang terus mengiringi kita di manapun kita berada dan selama kita hidup di dunia. Untuk menentukan lawan atau kawan dan senang atau sedih adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita memaknai setiap situasi dan kondisi pada setiap waktu adalah tugas diri kita sendiri. Kita bisa memanfaatkan lawan kita untuk melawan apa yang seharusnya patut untuk di lawan, bahkan jika ytang patut dilawan itu adalah kawan kita sendiri. Kita bisa mengatur suasana hati kita untuk terus merasa bahagia atau senang dalam keadaan sedih sekalipun. Karena sejatinya dunia ini adalah fana, hanya sementara. Yang lawan bisa menjadi kawan, yang kawan bisa menjadi lawan. Ada saatnya ketika sedih mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Sebaliknya ada masanya ketika kita terlalu bahagia atau senang tiba-tiba langsung menjadi sedih kembali karena keadaan. Maka kita harus menaklukkan lawan dalam diri kita sendiri untuk menjadi kawan. Kita harus bisa menguasai rasa dan emosi dalam diri sendiri untuk mengenal kesenangan atau kebahagiaan dan kesedihan sejati. 

Thursday, July 14, 2016

Ketidakteraturan Dalam Keteraturan dan Keteraturan Dalam Ketidakteraturan

Zaman edan. Morat-marit. Carut-marut. Entah kata apa lagi yang mungkin sering kita dengar untuk mengambarkan kondisi saat ini. Politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, media, kesehatan, bencana, pendidikan, dan segala lingkup kehidupan manusia.
Ilmuwan, cendekiawan, agamawan, politikus, wirausahawan, relawan, dan berbagai tokoh ahli lainnya menunjukkan kebolehannya entah lewat tulisan atau tindakan. Mereka semua mencoba menganilisis, mengadakan percobaan, mengadakan program, dan berbagai hal lainnya untuk mencari solusi dan membawa keadaan menjadi normal atau terkendali kembali. Bahkan mereka saling adu argumentasi untuk berebut menentukan eksekusi yang dirasa paling tepat dijadikan solusi atas setiap permasalahan yang terjadi. Hingga tak terasa tak hanya argumentasi saja yang keluar dari lisan, umpatan dan makian tak jarang ikut menghiasi suasana yang membuat semakin menjadi-jadi. Jangan-jangan mereka hanya bertujuan untuk memperkeruh suasana atau memperburuk keadaan(?)
Bah. Bedebah! Jerit rakyat yang tak tau apa-apa. Mereka hanya tahu apa yang mereka rasakan. Mereka tak punya waktu juga kapasitas untuk mencoba memahami situasi dan kondisi terkini. Mereka hanya tahu dan mungkin hanya ingin tahu bahwa keinginannya harus terpenuhi. Bahkan ada yang sampai memaki-maki para pegambil keputusan tertinggi.
Mungkinkah zaman edan, kondisi carut-marut dan morat-marit ini bisa diatur kembali sehingga mencapai kondisi yang nyaman, aman, makmur, dan sejahtera?
*************************
Hahaha. Bukankah kehidupan dunia ini hanya permainan dan senda gurau belaka? Bahkan tak jarang aku mendengar Tuhan tertawa. Sayang, para pemain permainan ini tak sadar dengan permaian yang dimainkan beserta aturannya. Mereka sangat serius layaknya sedang mendengar pelajaran dari guru atau sedang mengerjakan soal-soal ujian atau ulangan. Sebaliknya orang-orang yang sedang mengerjakan soal-soal ujian atau ulangan malah menganggapnya sebagai permainan.
Sebenarnya permainan ini sudah sangat terkenal. Bahkan sudah banyak yang bisa menyelesaikannya dalam hitungan detik. Kalau kita browsing lewat mbah google sudah banyak sekali tutorial, trik, metode, komunitas, dan berbagai hal lainnya yang membahas dan menjelaskan cara-cara untuk menyelesaikan permainan ini. Gambaran permainan saat ini adalah seperti ini:

Gambar tersebut menunjukkan bahwa susunan warna pada masing-masing sisi kubus tidak berada pada tempat yang benar. Sehingga tugas pemain adalah menyusun warna-warna tersebut sesuai pada tempatnya. Apakah untuk menyusunnya adalah suatu hal yang mudah atau susah?
Tergantung. Bagi orang yang tahu caranya, itu akan menjadi mudah. Seperti yang sudah saya katakan tadi, bahkan ada yang bisa menyelesaikannya dalam waktu beberapa detik saja. Tapi bagi otang yang tidak mengetahui caranya, dia mungkin hanya bisa menyelesaikan satu sisi saja. Tak bisa melanjutkan kelima sisi lainnya. Kemudian, jika orang itu bisa tetapi memutar-mutarnya tanpa melihatnya sama sekali maka orang itu tidak mungkin bisa menyelesaikannya. Bisa jadi malah semakin membuatnya acak-acakan.

Beginilah hasil akhir jika permainan berhasil. Semua warna terkumpul dalam satu sisi yang sama. Tidak ada yang salah tempat, semua menempati sesuai pada tempatnya. Jika pemain dapat membuatnya menjadi seperti ini, maka selanjutnya pemain tersebut dapat membuat variasi-variasi bentuk dari kombinasi warna-warna tersebut. Sehingga akan tampak seperti beberapa gambar berikut:


Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kombinasi lainnya.
*****************************
Kawan, jika kau termasuk ahli dalam permainan rubik di atas, dapatkah kau menyatukan permasalahan negeri kita ini seperti menganggapnya permainan itu? Mungkin gambaran rubiknya akan seperti ini:

Karena tentu aspek-aspek dalam kehidupan manusia tidak hanya terdiri dari enam sisi. Banyak sekali aspek-aspek seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, agama, dan lainnya. Kawan, dalam hal ini aku tidak mengatakan bahwa tugas pemain dalam peran dunia adalah menyusun semuanya sesuai pada tempatnya. Ada kalanya begini, ada kalanya begitu. Bukankah bentuk kombinasi yang sesuai juga tampak indah? Nah, mungkin kita dapat mengkombinasikan aspek-aspek dalam kehidupan kita ini menjadi kombinasi yang indah, yang enak dipandang. Tidak tampak ruwet dan carut marut. Lalu, apakah kita dapat menyelesaikan permainan ini sendirian? Saya rasa tidak. Kita sangat saling membutuhkan dan melengkapi. Ada kalanya ilmu pengetahuan mendominasi dalam dibutuhkannya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Namun terkadang juga perlu dikombinasikan dengan aspek lain seperti politik, agama, atau keadaan sosial. Dan banyak sekali kombinasi-kombinasi aspek dalam kehidupan kita. jika kita mampu memainkannya dengan baik, maka kita akan melihat indahnya kebersamaan, indahnya gradasi warna yang enak dipandang.

Hal ini mengingatkan saya pada ‘chaos theory’ yang saya hubuungkan sendiri dengan konsep takdir dalam bahasan lain. Apalagi rumus-rumus dalam rubik itu menunjukkan bahwa keteraturan dalam keatidakteraturan dan ketidakteraturan dalam keteraturan akan menghasilkan sebuah bentuk yang indah. Begitu juga dengan kondisi kehidupan kita di dunia ini. bahwa setiap kondisi alam dan sosial yang tampak berdiri sendiri, namun pada kenyataannya bisa jadi saling berhubungan. Kalau dalam teori psikologi mungkin yang mewakili adalah triadic reciprocal-nya Bandura yang katanya juga disebut dalam muqodimahnya Ibn Kholdun; bahwa perilaku-diri-lingkungan itu saling berpengaruh dan mempengaruhi. Maka kita, yang saya anggap sebagai pemain dalam permainan ini, sangat menentukan bagaimana kelanjutan permainan dalam ‘dunia rubik’ ini. 

Yin Yang


Yin Yang bukanlah simbol yang asing. Apalagi bagi orang-orang yang mempelajari tentang Taoism. Bagi penggemar film pasti juga pernah melihatnya dalam film-film China. Atau penggemar novel dan sastra China, pastinya juga pernah menemukan simbol ini. Terlebih mereka yang benar-benar mendalami dunia simbol, sejarah, filosofi yang berhubungan dengan Taoism, sejarah China, dan yang berhubungan dengannya.

Di sini saya tak akan menjelaskan tentang apa itu paham Taoism. Saya juga tak akan menjelaskan makna atau filosofi dari simbol tersebut. Karena memang bukan kapasitas saya untuk menjelaskan panjang lebar tentangnya. Juga karena saya hanya sebagai orang yang awam yang sedikit bacaan tentangnya. Di sini saya hanya ingin menjelaskan sedikit pelajaran dari apa yang saya dapatkan setelah beberapa saat memikirkannya. Bila ternyata ada kesamaan dengan konsep Taoism atau filosofi dari lambang tersebut maka itu mungkin hanya kebetulan belaka. Sebaliknya, jika ternyata tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengannya maka mohon maaf, ini berdasar pada logika dan pemikiran saya pribadi berdasar pengalaman dan latar belakang kehidupan yang saya miliki. Tidak ada maksud sama sekali untuk mencampuri atau menodainya. Saya hanya ingin menggunakan pelajaran yang saya dapatkan untuk melihat kondisi lingkungan saat ini yang ada di sekitar kita dan hanya sekedar untuk berbagi.
Secara sederhana, ketika kita melihat gambar simbol Yin Yang maka akan dapat kita temukan ada titik hitam dalam bagian yang putih dan sebaliknya ada titik putih pada bagian yang hitam. Jika dihubungkan dengan kehidupan manusia, maka dapat diartikan bahwa tidak setiap orang baik itu baik secara keseluruhan. Ada satu bagian atau mungkin beberapa bagian dari dalam dirinya yang mengandung keburukan. Sebaliknya, tidak keseluruhan orang yang jahat atau buruk itu buruk. Ada satu bagian atau mungkin beberapa bagian dari dirinya yang mangandung kebaikan.
Penilaian manusia berdasar penjelasan di atas bagi saya adalah dilihat dari sudut pandang penilaian setelah kita mengenalnya. Bisa juga dikatakan sebagai penilaian dari apa yang ditampakkan oleh manusia yang bersangkutan. Berbeda dengan apa yang dibahas dalam Al-Quran yang melihat dari sudut pandang sebelum manusia menentukan sikap atau perilakunya. Al-Quran menjelaskan dalam surat Asy-Syams ayat 7-10 yang berbunyi:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا  (10)
Artinya: 7. Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, 8. Maka Dia mengilhamkan padanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. 9. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), 10. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Ayat tersebut menggambarkan bahwa setiap manusia meiliki potensi dalam melakukan kebaikan atau keburukan. Tetapi manusia diberi kebebasan untuk memilih tindakan yang nantinya akan dipertanggungjawabkan.
Maaf, pembahasan kita sedikit melenceng. Tadi saya bilang akan menghubungkan pelajaran yang saya dapat dari simbol Yin Yang dengan kondisi lingkungan yang ada di sekitar kita, bukan menghubungkannya dengan manusia dan Al-Quran. Oke, kita kembali pembahasan simbol dan hubungannya dengan kondisi lingkungan di sekitar kita saat ini.
Bagi saya, simbol Yin Yang ini dapat dipakai sebagai sudut pandang untuk menilai apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita saat ini. Dalam sebuah lembaga, organisasi, kumpulan, atau pemerintahan sekalipun. Maka kita dapar mengatakan bahwa tidak ada satupun lembaga, organisasi, atau sebagainya itu yang baik secara keseluruhan atau buruk secara keseluruhan. Ada bagian kecil di dalam sana yang mengandung unsur sebaliknya. Maka kita harus berhati-hati dalam menentukan sikap ketika kita berinteraksi dengan mereka. Hal ini bukan bertujuan untuk menanamkan prasangka, terlebih untuk menekankan sifat kehati-hatian kita dalam berbagai hal. Kita harus terus bekerja dan berusaha tapi tetap terus waspada. Kita harus berpikir cerdik tapi bukan berpikir picik atau licik.
Saya berani mengatakan bahwa potensi kebaikan dan keburukan itu bisa ada di ranah mana saja. Dalam pendidikan, ilmu pengetahuan itu memang penting dan bermanfaat bagi mansuia. Namun jika ilmu pengetahuan dan kepandaian digunakan untuk menipu dan merugikan orang maka hal ini akan menjadi hal yang buruk. Maka kita harus menanamkan yang kita mulai dari diri kita sendiri bahwa ilmu pengetahuan dan kepandaian yang kita miliki harus kita pastikan untuk kebermanfaatan bersama, juga mengembangkan potensi-potensi baik yang ada. 
Hal remeh temeh sekalipun dapat kita lihat dengan sudut pandang Ying Yang ini. Seperti film atau tontonan TV yang sering diresahkan berpengaruh terhadap perilaku anak-anak saat ini. Apakah benar film-film yang mereka khawatirkan itu menanamkan nilai buruk dan kejahatan? Seperti agresifitas, suka memukul, mengajarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan belum pada umurnya, suka berkelahi, dan berbaai hal buruk yang dikhawatirkan? Secara teknis mungkin bisa dikatakan iya. Namun, siapakah yang patutu disalahakan? Apakah sutradara, penulis cerita, produser, atau yang mempublikasikan filmnya? Saya rasa tidak satupun dari mereka. Saya sendiri banyak belajar nilai-nilai baik dari film-film yang mereka khawatirkan. Saya pun menyadari bahwa begitu banyak potensi keburukan yang ditimbulkan dari siaran-siaran tersebut. Namun, akan lebih bijak jika kita mengevaluasi diri kita sendiri. Dalam masa kanak, tahapan mereka adalah mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Maka yang dibutuhkan adalah pembimbing untuk mengarahkan, membimbing, dan mengajarkan untuk mengenali dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudian sedikit-demi sedikit diajarkan dan dibimbing untuk membiasakan hal-hal yang baik. Siapa yang sebenarnya bersalah? Tontonan-tontonan tersebut atau pembimbing yang meninggalkan tugasnya sebagai pembimbing? Sebenarnya banyak sekali nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam film-film tersebut seperti perjuangan atau memperjuangkan keadilan, berdamai dengan masa lalu, terus berusaha dan tidak menyerah, persahabatan, kerja sama, kekeluargaan, tidak cinta harta, sikap ksatria, dan masih banyak lagi. Akankah kita mengabaikan kebaikan-kebaikan tersebut?
Hal kecil lain yang juga bisa dilihat dengan sudut pandang ini; berita dan media. Hal kecil tapi memiliki dampak yang besar. Pada dasarnya bagi saya berita itu biasa-biasa saja tetapi tak bisa dianggap biasa. Karena ternyata berita juga bisa memiliki nilai yang baik/positif dan juga bisa memiliki nilai yang buruk/negatif. Berita memiliki sifat yang nonfiksi atau bisa dibilang nyata/fakta. Namun, dalam pembahasan berita ada hal yang perlu kita garis bawahi bahwa di dalam berita ada yang berupa fakta dan ada juga yang berupa opini. Sehingga sebagai pembaca kita harus berhati-hati dalam mengolah informasi dari berita yang kita baca. Kita harus paham mana yang berupa fakta dan mana yang opini. Terlebih jika ternyata berita itu memiliki dampak yang negatif apabila terus menerus diberitakan. Dampak negatif itu seperti menimbulkan perpecahan, pertikaian, permusuhan, dan semacamnya meskipun dalam dunia maya.

Pada dasarnya setiap sesuatu itu bisa dikatakan bersifat netral. Persepsi manusia lah yang menentukan baik atau buruknya. Persepsi manusia dalam melihatpun juga tergantung pada sudut pandang, latar belakang pengetahuan, dan berbagai perbedaan lainnya. Maka, kita sebagai manusia memiliki peran yang penting dalam menentukan penilaian-penilaian atas sesuatu. Jika kita hanya fokus pada titik hitam yang berada di tengah bagian yang putih, bisa jadi kita melupakan bagian putih tersebut, seolah semua hitam. Atau ketika kita fokus pada bagian hitam yang memang dominan, tidak mau mencoba melihat sesuatu yang lain, maka kita pun tak akan dapat menemukan bagian yang putih yang ada di dalamnya. Sebaliknya, ketika kita melihat bagian yang putih dan fokus pada bagian itu, bisa jadi ketika suatu saat kita menemukan bagian yang hitam akan mempertanyakannya. Namun semua tergantung bagaimana sikap kita menanggapinya; akankah kita fokus pada bagian hitam itu dan melupakan bagian putih yang dominan atau mencoba sedikit demi sedikit mengurangi pengaruh bagian yang hitam tersebut. Atau ketika kita tahu bahwa sesuatu itu tampak dominan yang hitam dan suatu saat menemukan bagian yang putih, apakah yang akan kita lakukan? Tetap menilainya bahwa dia hitam/buruk atau membantu mengoptimalkan bagian putih/baik yang masih kecil untuk dikembangkan lebih besar lagi.

Monday, June 20, 2016

Melepas Rindu

Aku bangun dengan tersenyum-senyum sendiri. Senyum bahagia. Sangat bahagia. Kau masih saja suka memberi kejutan meski telah tiada. Beberapa hari yang lalu kau berkata ingin menyendiri terlebih dahulu, menyuruhku pergi dan selalu menghindar. Esoknya ketika bertemu lagi kau masih tak mau di sapa. Akhirnya malam ini kau mau berbicara. Kita berbincang agak banyak meski dalam waktu yang tak lama. Perbincangan yang akan kuabadikan dalam tulisan ini agar tak lupa.

Suasana begitu sepi dan hanya ada dua orang; aku dan dia yang tak bisa kukenali wajahnya. Kemudian kami menemukan jenazah yang sudah dikafani. Dia sangat takut atau mungkin lebih tepatnya khawatir dan segera mengecek kondisi sekitar. Sementara aku segera mendekati jenazah itu dan ternyata aku sangat mengenalinya. Jenazah itu adalah Arma. Lalu, dia menginstruksikan kepadaku untuk menggotong jenazah itu untuk segera disembunyikan atau dimakamkan. Tapi dia tidak membantu menggendong jenazah itu dan tetap terus mengecek kondisi sekitar.
(Oh iya, dalam dunia ini percakapan yang terjadi tidak seperti percakapan di dunia. Mungkin aku atau kami merasa seperti Edward dalam novel/film tetralogi Twilight yang bisa membaca pikiran semua orang. Atau seperti Sheng Yayu dalam film The Four 1 & 2 yang juga bisa membaca pikiran orang meski tidak mengatakannya)
“Kau pikir aku tak butuh bantuan mengangkat jenazah sendiri” benakku mengatakan, entah dia mendengarkan atau tidak tapi dia tetap mengecek kondisi sekitar, sangat takut jika ketahuan banyak orang atau warga. Awalnya jenazah itu selalu luput dari gendonganku, tapi pada akhirnya entah bagaimana caranya, jenazah itu bisa menyesuaikan, menekuk tubuhnya sendiri sesuai dengan tanganku merengkuhnya. Tangan kiriku di bawah lekukan lutut jenazah sedang tangan kananku di bagian leher dan pundak jenazah. Kurasakan jenazahnya amat ringan dalam gendonganku, sama sekali tak kurasakan berat. Entah kekuatan dari mana yang membuatku kuat atau memang jenazahnya yang tidak berat.
“Mau dibawa ke mana jenazah ini?” kulihat dia masih kebingungan dan belum menemukan tempat untuk menyembunyikan atau membumikan jenazah ini. Tak lama setelah itu aku merasakan ada pergerakan dalam kafan ini. Ternyata Arma sedang mengeluarkan tangannya dan kemudian berkata, “di sana” sambil menunjukkan suatu tempat lalu memasukkan tangannya lagi ke dalam kafan. Saat itulah aku benar-benar melihat wajahnya. Wajah yang sangat bersih bahkan seperti didandani/dibedaki. Wajah yang bersih dan rambut yang rapi yang aku kenali seperti ketika baru selesai mandi dan persiapan untuk kuliah atau kegiatan penting lainnya.
“Lalu mengapa kau berada di sini?” tanyaku. Tapi tidak ada jawaban. Arma malah sibuk membenarkan posisinya dalam gendonganku mencari posisi yang nyaman. Entah apakah orang yang bersamaku masih kebingungan itu menyadari aku sedang berkomunikasi dengan jenazah ini atau tidak. Apakah dia mengikuti langkahku menuju tempat yang ditunjuk Arma atau masih khawatir dengan kondisi sekitar.
Aku masih belum menyadari bahwa ini bukan di dunia nyata. Biasanya aku pasti mengenali di mana posisiku berada sehingga aku bisa menyesuaikan dan menentukan tindakan dalam bersikap. Aku sudah terlalu fokus dengan perbincanganku dengan Arma dan sudah terlalu senang (masih bisa) berkomunikasi dengannya. Dan aku tidak merasa takut sama sekali seperti orang yang bersamaku tadi. Tidak ada kekhawatiran apapun seperti dalam skenario-skenario lain ketika tidak berada di dunia nyata. Setelah Arma nyaman dengan posisinya, dan aku bisa melangkahkan kaki dengan nyaman pula, aku bertanya lagi pada Arma.
“Ma, koe ki tenanan mati atau mek pengen nyicipi tok sih?”[1] aku masih merasa di dunia nyata dan bertanya pada Arma sama seperti biasa; menganggap setiap hal yang dilakukan Arma adalah guyonan belaka. Sehingga aku tak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi maksud pertanyaanku padanya à apakah benar sudah meninggal atau sama seperti yang dilakukan orang lain yang hanya ingin tahu, penasaran rasanya meninggal, penasaran dengan alam kubur, dan sebagainya, lalu kemudian kembali dan hidup lagi di dunia.
“Iki mati tenanan ki aku, pie toh..”[2] jawabnya. Wajahnya agak sedikit cemberut, ekspresi biasa ketika aku meragukannya; beneran atau bercanda.
“Yowes”[3]
Entah mendapat dorongan dari mana, aku merasa tergesa-gesa menyampaikan lagi, sebelum beberapa langkah lagi kami benar-benar sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi, “Ma, aku jaluk ngapurane sing akeh yo, dhisik aku duwe salah........”[4] belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotong, “halah halaaah...”. Perbincangan kali ini sudah benar-benar tak lagi menggunakan kata-kata. Meski sebenarnya dari tadi tak ada yang benar-benar berkata dengan mulut, seperti layaknya berkomunikasi lewat telepati atau intuisi. Entah apakah dia benar-benar paham apa yang aku maksud atau tidak. Arma, kau satu-satunya sahabat yang tahu sampai aib terbesarku. Dulu ketika aku mengkhawatirkan kau akan menjauh, membenci, dan menghindar setelah tahu semua tentang itu. Tapi justru kau malah biasa saja, justru memberikan masukan dan saran, terus mendukung dan membantu untuk keluar dari jurang maksiat dan dosa. Arma seolah memintaku untuk melupakannya. Aku sudah sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi setelah perbincangan terakhir ini. Aku berhenti, lalu kepejamkan mataku. Kueratkan gendonganku pada Arma seperti seolah memeluknya. Ingin sekali kusampaikan bahwa dia adalah sahabat terbaikku. Aku masih berharap pertemuan-pertemuan lainnya lagi. Meski di dunia ini, bukan di dunia nyata. Aku tak mau meski sekedar meletakkan jenazahnya untuk mencari atau berharap ada kuburan yang kosong atau mencari alat untuk menggali terlebih dahulu. Aku masih terus memeluknya hingga sampai kurasakan seolah dia juga memelukku. Seolah dia juga mengatakan hal yang sama bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Kutekadkan membuka mata dan kulihat wajahnya tersenyum berseri, wajahnya bersinar tampak sangat bahagia sekali.

Aku benar-benar membuka mata. Kudapati diriku tersenyum-senyum sendiri. Merasa hangat dalam kemulan sarung meski sebelum tidur tadi terasa dingin karena gerimis dan kipas kunyalakan untuk mengusir nyamuk. Kuraih hp yang tak jauh dari jangkauanku dan kulihat jam; 02.32 Tue, 21 Jun. Kurapatkan sarung menyelimuti tubuhku dan kembali tidur, berharap bisa bertemu dan berbincang-bincang lagi dengannya.
90 hari setelah pertemuan terakhir
02.32
21 Juni 2016




[1] Ma, kamu tu beneran meninggal atau sekedar ingin mencicipi saja sih?
[2] Ini aku meninggal beneran, gimana sih...
[3] Ya sudah
[4] Ma, aku sunguh-sungguh minta maaf ya, dulu aku punya salah....