Thursday, November 10, 2016

KOTAK PANDORA BIRU

Cerita Luki

Luki kelas 1 SD. Siang hari sepulang sekolah dan makan siang. Kakaknya masih di sekolah. Alfred, kelas2 masuk siang dan pulang sore sedang kakak-kakaknya yang lain (kelas 5) pulangnya memang sore dan satu lagi sudah di pesantren (1 SMP).
“Bu, nyuwun bubur Bu”pinta adik Luki.
“Aja deng Bu, sega benyek wae...” bantah Luki. Sega benyek adalah nasi yang lembut tapi tidak selembut bubur.
Maka kemudian Ibu mereka membuatkan bubur, lain waktu membuatkan sega benyek.
“Nek mangan ki seng resik, ojo kepret kabeh ngene iki, iki lho nek disendok meneh isih ana sak sendok... lhoo, nyoh..” kata Ibu kepada adik Luki yang berusia 4 th. Sejak kecil anak-anaknya memang dibiasakan untuk menghabiskan makanan. Jika yang piringnya tidak bersih itu kakak-kakaknya Luki seperti Alfred, Irwan, dan Sulung maka nasehatnya sudah berbeda.
“awak dewe kudu isa syukur, alhamdulillah isih isa mangan, mbuh rak ketang lawuhe tahu tempe..bayangna pengemis-pengemis pinggir dalan kae.. sak sendok semene ki mereka bersyukur banget isa mangan.. lha koe mung garek ngentekke tok kok angel..”

“Turu kana, ben mengko bengi ra ngantuk pas sinau” kata Ibu mereka setelah makan siang.
Lain waktu, ketika kedua adik Luki juga belum tidur.
“Kene kene, tak critani Andhe-andhe Lumut” kata Ibunya sambil memosisikan Luki dan kedua adiknya.Terkadang Luki sendiri atau adiknya yang meminta diceritakan sebelum mereka tidur.
“Dhisik, jaman semana, ana si Mbok Wedok. Si Mbok iki duwe anak papat. Jenenge Klenting Abang, Klenting Biru, Klenting Ijo, karo Klenting Kuning...........
Luki biasanya tertidur ketika cerita sampai pada saat Yuyu Kangkang menyebrangkan Klenting Kuning.

Luki kelas 2
Kelas 2 ini Luki berangkat ke sekolah naik angkot atau terkadang naik sepeda bersama Alfred. Kelas 2 dan 3 saat itu masuk siang hari karena ruang kelas tidak cukup kalo masuk pagi semua. Kemudian pulangnya jalan kaki. Jarak rumah sampai sekolah kira-kira 3 km. Membutuhkan setengah jam bagi langkah kaki mereka untuk berjalan sejauh itu. Terkadang Luki mengeluhkan kecapekan ketika malam hari selesai belajar. Saat keluhan itu datang dari Luki atau kakaknya, ibu mereka berkata, “usahane wong sing rekasa ki bakal dibales sesuk, saiki mungkin koe kesel mlaku, sapa ngerti sesuk tumpakane mobil mewah kayak ning tv kae”.Nasehat itu terus terulang ketika salah satu diantara anak-anaknya mengeluh atas keterbatasan. Lain kali nasehatnya seperti ini, “koe to mlaku setengah jam tok ning dalan, kui wae yo sore sore, rak patio panas.. jajal bayangno wong-wong dalanan kae, seng rak duwe omah.. kae ora mung itungan jam ning dalan, tapi mben dina.. nek awan ya kepanasan, nek bengi kademen..”

 “Freed, Luuuuk... ewangi ngocei bawang brambang nang... Alfred ngocei bawang, Luki ngocei brambang..” pinta ibu mereka.
Sementara itu, Alfred dan Luki sedang asyiknya bermain. Mereka mendengar perintah ibunya, tetapi terlalu enggan meninggalkan permainannya. Beberapa menit kemudian setelah Ibu mereka selesai memarut kelapa dan mendapati anak-anaknya belum memulai melakukan perintahnya, murkalah sang ibu..
“Dikon wong tuane kok do angel men ki anake sapa?? Nek dikon tanggane to cakcek cakcek”
Lain waktu, Luki kelas 3 dan Alfred kelas 4.
“Preinan ngene iki, disetrikani dewe seragam sekolahe, Luki nyetrika sing klambi, Alfred nyetrika kathoke...”
Sama seperti dua kakak mereka dulu, pembagian itu selalu ada. Hanya saja, waktu liburan adalah waktu bermain bagi anak-anak seusia mereka. Maka mereka sudah tampak ogah-ogahan dan sering menunda-nunda. Omelan Ibupun tak bisa mereka hindari..
“Neng omah kene rak ana kerjaan lanang wedok! Wong lanang ya kudu pinter masak, ngumbahi, nyetrika!! sesuk nek duwe bojo, nek bojomu lara apa nglairke, sapa sing ngurus omah?? Apa bakal golek pembantu?? Golek pembantu ki ya kudu isa bayaaarr!!!”
Lain waktu ketika masing-masing saling melempar perkerjaan
“Nek do iren kerja wes rak sah kerja kabeh!!! mengko rak sah mangan kabeh!!! wong kerja bakale mengko dipangan bareng-bareng, dirasakke bareng-bareng, kanggo awake dewe, wes dibagi wong tuane gen rata kok ya seh da angel men ki lho!!”

“Suk neh rak sah melu-melu ngewangi tangga kuwi, ngewangi ya entuk tapi rak sah ngarep bayarane.. ngewangi wong ki niate ikhlas ngewangi, ora gara-gara ana bayarane trus gelem ngewangi”
Sebelum punya TV sendiri, Alfred, Luki, dan kakak-kakaknya sering nonton TV di rumah tetangganya. Ibu mereka mengizinkan jika perkerjaan rumah sudah beres semua, kemudian berpesan “Nek delok TV neng tangga ki ya ijin sing apik ‘pak/bu badhe derek nonton TV’, nek balik ya pamit sing sopan ‘pamit riyen Pak/Bu, matur suwun’ aja angger blandang melbu metu karepe dewe.."

“Bu, mau Luki neng jaba ngomonge saru Bu....” lapor Alfred pada ibunya.
“PLAK!!” tamparan keras segera mendarat ke mulut Luki bahkan sebelum laporan kakaknya selesai diucapkan, mengurangi kesempatan Luki untuk menghindar. Bahkan ketika menghindarpun, sang Ibu biasanya mengejar anak yang dilaporkan berkata saru untuk memberikan tamparan di mulut sebagai hukumannya.
Luki hanya terdiam. Menahan isak tangis yang tak tertahankan. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya, tapi terus ditahan. Bukan, bukan karena sakitnya tamparan ibunya. Karena sejatinya sakit dan panasnya tamparan itu tak sampai selama 1 menit. Entah rasa apa yang ia rasakan dan ia pikirkan. Kemudian dia berjanji dalam hatinya, untuk mengawasi kakaknya juga atau adiknya jika mengatakan kata saru. Atau setidaknya lebih hati-hati ketika mengucapkan kata saru, memastikan ketika mengucapkan itu tidak ada kakak atau adiknya. Haha. Sementara Alfred di sisi lain menahan senyumnya. Merasa puas adiknya mendapat tamparan. Senyumnya ditahan karena sebenarnya marahnya ibu mereka bukan kepada Luki. Tetapi pada perkataan sarunya, sehingga siapapun yang mengatakan itu akan mendapatkan tamparan, yang berarti juga berlaku untuk dirinya, dan berarti pula dia juga harus berhati-hati jika mengucapkan kata-kata saru itu. Karena kata-kata saru itu sudah menjadi wajar diucapkan di lingkungan tetangga mereka, bahkan anak kecil teman-teman sepermainan mereka. Hanya saja kata-kata itu menjadi tabu dirumah karena ada ibunya. Bahkan, ketika temannya bermain di rumah, dan secara tak sengaja, karena sudah kebiasaan, mengucapkan kata sarupun, akan kena nasehat dari ibunya, meski tak sampai kena tamparan seperti mereka.


Luki kelas 5-6
“Bu, aku gawe bubur nggih..” ijin Luki.
Ibunya mengiyakan dan memberikan atau mengingatkan beberapa arahan.
“Mau ra mbok kei uyah?”tanya sang ibu pada Luki setelah mencicipi bubur buatan Luki.
“Mboten..” jawab Luki polos.
“Pantes rak ana rasane..sesuk neh nek gawe bubur ki kei uyah, kecuali nek koe ya gawe kinco, rak kei uyah rakpapa” jelas ibunya.


Behind the scene
Luki kelas TK – 3 SD
Tak jarang Luki mendengar isak tangis ibunya ketika semua telah tidur. Yang Luki tahu ibunya sedang berbicara dengan bapaknya. Entah bahasan apa yang sedang mereka berdua obrolkan Luki tidak tahu. Luki hanya mendengar isak tangis ibunya yang agak ditahan.

Di tengah akrifitas harian rumah seperti biasanya, ada yang memasak, ada yang bermain, belajar, dan lainnya. di tengah obrolan masing-masing antara Luki dengan saudara-saudaranya, bapak dengan ibunya, tiba-tiba telinga Luki fokus pada apa yang dikatakan ibunya, “aku tak minggat wae ya mas”. Sebuah kalimat yang membuat Luki penasaran dan ketakutan. Benarkah itu diucapkan oleh ibunya? Benarkah akan demikian yang terjadi?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan Luki yang hingga ia besar nanti ia tak tahu jawabannya. Ditengah perasaan ketitaktahuannya masa kecil itu, pernah juga ketika suatu saat ibu dan anak-anaknya di rumah. ketika pembicaraan atau gojegan sedang mentok, tiba-tiba ibunya bertanya pada semua anak-anaknya satu persatu, “Le, nek ibu karo bapak cerai koe pilih melu sapa?”
“Lha ngapa Bu?” tanya salah seorang anaknya.
“Wes, pokoke kabeh jawab, sij-siji”
Masing-masing anak pun menyebutkan jawabannya. Termasuk Luki. ketika ada jawaban berbeda, ada yang memilih bapak, ada pula yang memilih ibu. Lalu, masing-masing mulai bergabung sesuai pilihannya dan mengunggulkan pilihannya dengan menyebutkan segala kelebihan.“Enak karo bapak, bla bla bla...” “tapi nek karo bapak bla bla bla, enak karo ibuk.. bla bla bla” begitulah seterusnya. Tidak demikian dengan Luki, si anak pendiam ini mengekspresikan penuh tanda tanya. Ada gerangan apa? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia ungkapkan dan tak pernah ia dapatkan jawabannya sampai ia besar.