Wednesday, April 19, 2017

Aspal Jogja-Klaten 2

Juni, 2013 M/Ramadhan 1434 H
Mentari mulai merangkak ke atas kepala. Jauh di bawahnya awan-awan berbaris atau berkumpul mengikuti angin yang membawanya. Sehingga terik mentari tak begitu membuat bumi terlalu panas menggelora. Nanti, ketika semburat jingga mulai muncul di cakrawala. Maka akan kau dapati suasana hari yang berbeda dari biasanya. Kenapa? Ya, karena Ramadhan telah tiba. Menjelang berbuka menjadi momen pembeda dari hari-hari biasanya. Sejak setelah ashar, para penjual sudah mulai menyiapkan dan membuka jualannya. Menanti orang-orang yang siap menghabiskan dagangannya. Para pembeli beraneka macam warnanya. Ada yang sendiri, bergerombol bersama kawan atau keluarga. Ngabuburit, begitu mereka menyebutnya.
Berada di lingkungan mahasiswa memberikan banyak sekali opsi untuk menentukan aktivitas sehari-hari. Jika masa SD Ramadhan hanya di rumah, ketika SMP hanya di pesantren, dan ketika SMA hanya di asrama, maka saat kuliah yang menentukan adalah diri sendiri. Tak sedikit dari mahasiswa yang merencanakan jauh-jauh hari. Seperti mendaftar kepanitiaan menyambut mahasiswa baru yang akan jadi adik angkatan nanti, mendaftar kepanitian Ramadhan di kampus, memesan tiket untuk kembali, atau i’tikaf di masjid untuk berdzikir mengingat ilahi.
Pengalaman manakah yang akan aku ambil? Saat itu, aku tak bisa memilih. Karena jauh sebelum Ramadhan tiba, sekitar tiga bulan sebelumnya aku sudah mendapat amanah menjadi panitia untuk menyambut mahasiswa baru. Seperti pada tahun sebelumnya. Maka dua kali Ramadhan di awal perantauan aku berada di lingkungan kampus saja. Tak mengapa. Seringkali manusia baru menyadari makna setelah peristiwa berlalu di belakangnya.
Pada tahun inilah pengalaman luar biasa kulalui bersama kawan yang kukategorikan sahabat sejati. Sebuah pengalaman yang benar-benar tak akan pernah kulakukan lagi. Setidaknya begitulah kesimpulan setelah usai dengan ulah kami. Mau tahu ulah apa yang kami lakukan? Kami melakukan perjalanan dari Jogja ke Klaten dengan jalan kaki. Berangkat dari jogja siang hari dan sampai di Klaten dini hari.
Ide iseng di siang bolong itu bukan sebuah kebetulan. Terlebih lagi dilakukan oleh dua orang yang benar-benar tahu apa yang mereka lakukan. Ide itu bukan sekedar tiba-tiba muncul dan kemudian direalisasikan. Ada proses dari latar belakang yang penjelasannya mungkin tak akan mudah dipahami banyak orang.
Dari perjalanan itu kami sama-sama belajar. Belajar untuk lebih mengenal dan memahami sahabat sejati. Belajar untuk menepati janji. Belajar untuk memaknai keteguhan hati. Belajar mempertahankan nilai-nilai hakiki. Capek itu tentu, lelah itu pasti. Tapi bagaimanakah agar capek dan lelah itu benar-benar hanya untuk ilahi?
Perjalanan itu hanya sebagian kecil dari perjalanan panjang menuju suatu tujuan. Adakah kita berada di jalur yang benar? Sudahkah kita memahami rambu-rambu lalu lintas jalan? Ataukah kita hanya sepintas berlalu dan mengabaikan?

Manusia memang bukan unta yang diciptakan dapat menyimpan minuman cadangan untuk perjalanan panjang. Tetapi manusia jauh memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan unta jika manusia mau berpikir dan menggunakan kemampuannya. Untuk melakukan perjalanan panjang mencapai sebuah tujuan.  

Sunday, March 19, 2017

Negeriku Yang Penuh Abu-Abu

Tahukah kau apa yang terjadi di negeri kita tercinta, Indonesia, ini? Apakah benar seperti isu-isu yang berkembang bahwa ada penghinaan agama islam? Atau tentang munculnya kembali kaum komunis untuk menguasai kembali? Tentang uji coba ‘penjajahan’ kembali oleh China untuk menguasai kekayaan Indonesia? Atau justru malah Arabisasi, apalagi saat Raja Saudi sana sedang ke sini saat ini? bagaimana dengan sisa-sisa bekas kolonialisme penjajah sebelumnya dulu? Tentang sumber daya alam negeri kita yang sumber daya manusianya belum bisa mengelolanya, yang justru dikuasai oleh luar. Tentang dampak karakter yang belum siap dengan kemerdekaan. Tentang pendidikan. Tentang karakter bangsa.
Atau masalah-masalah puber para remaja kita. Tentang cinta yang diobral dengan pasangan-pasangan. Tentang style gaya mode pakaian, make-up, merk hp yang enak untuk bersosmed ria, mencari mall atau cafe untuk nongkrong bersama, dilanjutkan dengan selfi bersama kemudian diupload di sosmed dan seterusnya, dan lainnya. atau itu sebenarnya hanya sebab dari pemerintah yang fokus membangun ‘pariwisata’ dengan banyak membangun hotel dan apartemen serta ‘mentertibkan’ segala yang berhubungan dengannya? Sehingga tanpa terasa hal itu juga berdampak pada mereka yang tidak tahu apa-apa tentang hal itu semua? Yang mereka tahu adalah bagaimana cara mereka untuk menghadapi dan bertahan hidup untuk hari esok jika hari itu masih ada. Karena dalam lubuk hati mereka, mungkin mereka akan lebih bersyukur jika esok tidak perlu ada lagi.
Manakah yang menjadi sebab dan manakah yang menjadi akibat? Aku mohon, bisakah kau menjelaskan padaku dengan jelas dan runtut? Bagaimana semua hal ini bisa terjadi? Apakah semuanya benar-benar berhubungan? Atau ini hanya serba kebetulan? Sehingga otakku yang terbatas ini tak bisa memahami seperti kalian yang mungkin dari dulu sudah menyerap informasi tentang itu semua sehingga bisa memberikan komentar dan kritik sana sini.
Sungguh, bagiku semua itu abu-abu. Aku tidak mengatakan bahwa itu semua bukan sesuatu hal yang penting. Justru itu sangat penting. Aku hanya sedikit tidak mengerti, mengapa kita harus mendiskreditkan kelompok lain? Mengapa kita harus lebih memilih mengkritik sana sini berkomentar dan menyebarluaskan kebencian di sosial media? Bagaimana kita harus memilah dan memilih isu dan berita yang dengan mudahnya tersebar? Benarkah informasi yang kita terima itu valid dan bisa dipercaya? Informasi manakah yang bisa kita terima dan bisa dijadikan landasan untuk bertindak? Atau jangan-jangan selama ini tanpa sadar kita termasuk orang yang terkontaminasi dengan berita-berita palsu yang sudah disusupi kepentingan sebagian golongan? Jangan-jangan tanpa sadar justru kita malah menjadikan Indonesia dalam kondisi semakin terpuruk?
Ah, aku hanya sedikit membayangkan. Meski sebenarnya kita dilarang untuk kebanyakan menganda-andai. Duhai bayangkan saja jika masing-masing dari kita terus berkarya dalam hal apapun. Bayangkan saja jika semua siswa-siswi baik dari SD hingga SMA sungguh-sungguh dalam belajarnya, ikut aktif dalam kegiatan kemasyarakatannya yang tentu didukung dengan agenda-agenda masyarakat yang bersifat edukatif sebagai lahan praktek para siswa menerapkan ilmu yang dipelajarinya di sekolah. Bayangkan saja jika setiap mahasiswa melakukan apa yang dia bisa dan mengajarkannya kepada masyarakat di sekitarnya. Tidak hanya sibuk dengan dunianya sendiri. mungkin bisa dilakukan dengan mengajari anak-anak di sekitarnya, entah mengajari skil-skil tertentu atau sekedar membantu dan mengajarkan kepada mereka tentang pelajaran atau kesulitan mereka dalam akademik. 
Duhai bayangkan jika sosial media ktia ini dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan, bukan kata-kata penuh cela dan menghina. Banyak yang melakukan program-program kebaikan dan menghasilkan sesuatu yang membanggakan, bukan aksi-aksi penuh kekerasan dan kesombongan. Bayangkan andai kita semua saling mendukung dalam melakukan setiap tindakan kebaikan, melakukan dengan penuh kasih sayang. Bukan saling iri dan menyalahkan, tanpa ada rasa saling merugikan atau meremehkan.
Ah, sayang seribu sayang. kebanyakan dari kita memilih untuk menebar bibit-bibit kebencian. Sayang seribu sayang kebanyakan dari kita mugnkin sudah terbawa arus dengan golonga-golongan di luar golongan yang ada. Saling membenci antar satu sama lain, dan seterusnya. 
Kalau kita mau menyadari, sungguh di luar sana masih banyak yang berjuang melakukan kebaikan. Konsisten dengan program-program individu dengan nilai segunung kebaikan, seluas samudera kasih sayang. saya hanya bisa berharap dan yakin bahwa suatu saat nanti kebaikan ini akan muncul. Akan ada masanya ketika semua kebaikan yang ada, yang saat ini masih terkubur dengan berbagai kebencian di permukaan, akan muncul dan mendominasi, mengalahkan keburukan-keburukan yang sudah terlanjur menjamur.
Kawan, maukah kau bergabung dengan mereka yang terus berjuang dalam kebaikannya? Atau maukah kau memunculkan kebaikan yang ada pada dirimu? Sehingga kebaikan-kebaikan akan terus bermunculan di negeri. Ya, akupun juga akan berusaha. Akan selalu mencoba untuk melakukan kebaikan yang aku bisa.

Ada begitu banyak hal yang bisa kita lakukan namun kita malah mengabaikan. Ada banyak hal yang seharusnya kita abaikan tetapi justru malah sering kita poikirkan da lakukan. Sehingga semua menjadi abu-abu. Kita tak bisa lagi memilih dan memilah mana yang sebenarnya harus ktia lakukan atau kita abaikan. Mari, mari kita ubah mulai dari diri kita sendiri, dari hal yang terkecil sekalipun.

Saturday, December 31, 2016

Kulakukan Semua Untukmu


Kulakukan Semua Untukmu
(original song by: RAN)
Hanya denganmu aku berbagi
Hanya dirimu paling mengerti
Kegelisahan dalam hatiku
Yang selama ini tak menentu
            Hanya padamulah aku menceritakan apapun yang aku rasakan. Hanya engkaulah yang benar-benar tahu apa saja yang telah aku pikirkan hingga menentukan apa saja yang aku lakukan. Sehingga tentu hanya engkau yang tahu setiap kegelisahan yang ada di hati ini. Bahkan keluarga atau sahabat terdekatku sekalipun tak benar-benar mengenal siapa diriku sebenarnya. Ya... hanya engkau....

Tak ada ragu dalam hatiku
pastikan aku jadi cintamu
seiring waktu yang tlah berlalu
mungkin kau yang terakhir untukku
Seiring waktu yang terus berlalu, hatiku telah hilang dari ragu. Tentu hati ini semakin yakin bukan akan betapa kesetiaan dan kasihmu padaku. Berhak kah aku meminta kepastian agar cintamu tetap untukku? Meski sebenarnya seringkali aku menjadikan kau yang terakhir untukku. Seolah ketika tak ada opsi lain barulah aku menghampirimu.

reff:
akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku
Aku pernah berjanji dan terus berusaha untuk melakukan apapun hanya untukmu. Semua yang kau minta akan aku turuti semampuku. Bahkan jikalau kau memintaku mencium batu di tengah keramaian sekalipun akan kulakukan untukmu. Semua itu tentu aku lakukan dengan segenap cintaku padamu. Cinta dari seorang yang tak punya apa-apa. Sedikit cinta yang entah berapa nilainya jika dibandingkan dengan setiap kasih dan sayangmu padaku. Maka, sudah layakkah aku memintamu untuk tetap menyayangi dan memahamiku? Layak tak layak, sungguh aku berharap kau tak berubah dalam meyayangi dan memahamiku.

pegang tanganku, genggam jariku
rasakan semua hangat diriku
megalir tulus untuk cintamu
tak ada yang lain di hatiku
Cobalah pegang tanganku, lalu genggam jemariku. Bahkan tanpa menyentuhnyapun aku yakin kau bisa merasakan betapa tulusnya cintaku padamu. Bahwa sungguh tak ada yang lain di hatiku selain dirimu. Atau jangan-jangan kau lebih tahu bahwa ternyata ada begitu banyak yang lain di hatiku selian dirimu? Ah, setidaknya kau tahu bagaimana usahaku untuk menjadikan kau yang pertama dan utama di hatiku.
akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

oh oh inilah cintaku
oh oh kuberikan untukmu
oh oh setulus hatiku kuberikan untukmu

(akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku)

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

akan kulakukan semua untukmu
akan kuberikan seluruh cintaku
janganlah engkau berubah
dalam menyayangi dan memahamiku

dalam menyayangi dan memahami
dalam menyayangi dan memahamiku
dan memahamiku
Duhai, benarkah perasaan ini keberadaannya hanya untukmu? Atau sebenarnya ini hanyalah topeng kepura-puraan untuk menutupi setiap kesalahan yang ada pada diriku kepadamu?

Setan Bertopeng Malaikat


Tikar-tikar sudah mulai digelar depan rumah. Ayah, ibu, anak berkumpul sekeluarga menyambut hari bar di tahun baru. Beberapa ada yang sambil bakar-bakar jagung, atau hanya camilan biasa lainnya. Bom! Bum! Tar! Jdar! Suara petasan sudah sejak tadi sedikit demi sedikit merusak kesunyian malam. Kurang lebih begitulah suasana di sekitar kampung saat ini.
Sudah tentu suara-suara itu menggangguku. Karena aku sangat menyukai kesunyian dan keheningan. Tetapi yang paling mengganggu dan mengusik adalah suara-suara dalam pikiran. DUUAARRR!! BOOMM!! JDDYARR!! Suaranya lebih menggelegar. Memori-memori lama menayangkan apa yang sudah kulakukan. Dosa-dosa kesalahan dan kemaksiatan sejak kecil sebelum sekolah dulu hingga saat ini.
Sadarlah aku bahwa sejak kecil alu memiliki potensi melakukan banyak kesalahan dan kemaksiatan yang besar. Baik dalam perkataan, sikap, maupun perilaku hingga menjadi kebiasaan dan karakter ketika dewasa saat ini. Hei, bukankah sejak kecil aku sering menyakiti orang lain tanpa belas kasihan? Meski puncak terakhirnya adalah ketika kelas TK memukul wajah teman yang badannya hampir dua kali lebih besar dariku sampai menangis. Karena setelah itu aku berhasil mengendalikan amarah dan menahan untuk tidak bertengkar di SD dan SMP.
Hei, bukankan sejak SD dulu ibuku sudah pernah memberi lampu kuning, semacam peringatan yang sangat jelas, “Fuzta ki menengan, tapi nek kadung ngomong nyelekit”. Dan sudah terbukti banyak orang yang tersakiti karena omonganku. Entah dalam bentuk sindiran, ejekan, hinaan, atau guyonan yang kelewat batas.
Keusilan dan keisenganku juga sering kelewat batas dan tentu menyakiti atau paling rendah membuat jengkel orang. Baik dalam dunia nyata atapun di media sosial. Sejak zaman sms, facebook, hingga WA. Pendiam seperti air tenang yang menghanyutkan hingga menenggelamkan.
Hei, ingatkah kemaksiatan yang sampai saat ini masih kulakukan ternyata bermula sejak kelas III SD dulu? Tobat pun hanya semacam hiasan dalam kurun waktu yang panjang. Tomat atau tobat maksiat. Tobat sehari sampe tiga hari tetapi kumat berbulan-bulan, begitu seterusnya.
Sudah seberapa tinggikah tumpukan dosa dan maksiat yang telah kulakukan? Sudah tak terhitung lagi bukan? Apa aku bisa mengendalkan ibadah dan amal-amal baikku? Tentu saja tidak. Karena sebenarnya ibadah dan amal baik yang kulakukan tak lebih hanyalah topeng belaka untuk menutupi keburukan-keburukan dan setiap kemaksiatan dan dosa yang sejak kecil memang sudah menetap dalam diri ini. Apakah topeng ini efektif? Ya, bagi manusia. Tapi bagi Tuhan Yang Maha Tahu tentu tak ada gunanya bukan?
ilustrator: Bast


Manusia-manusia yang menjadi temanku mengira aku orang baik dan lurus, padahal sangatlah busuk dan lebih buruk dari bangkai sekalipun.  

Thursday, November 10, 2016

KOTAK PANDORA BIRU

Cerita Luki

Luki kelas 1 SD. Siang hari sepulang sekolah dan makan siang. Kakaknya masih di sekolah. Alfred, kelas2 masuk siang dan pulang sore sedang kakak-kakaknya yang lain (kelas 5) pulangnya memang sore dan satu lagi sudah di pesantren (1 SMP).
“Bu, nyuwun bubur Bu”pinta adik Luki.
“Aja deng Bu, sega benyek wae...” bantah Luki. Sega benyek adalah nasi yang lembut tapi tidak selembut bubur.
Maka kemudian Ibu mereka membuatkan bubur, lain waktu membuatkan sega benyek.
“Nek mangan ki seng resik, ojo kepret kabeh ngene iki, iki lho nek disendok meneh isih ana sak sendok... lhoo, nyoh..” kata Ibu kepada adik Luki yang berusia 4 th. Sejak kecil anak-anaknya memang dibiasakan untuk menghabiskan makanan. Jika yang piringnya tidak bersih itu kakak-kakaknya Luki seperti Alfred, Irwan, dan Sulung maka nasehatnya sudah berbeda.
“awak dewe kudu isa syukur, alhamdulillah isih isa mangan, mbuh rak ketang lawuhe tahu tempe..bayangna pengemis-pengemis pinggir dalan kae.. sak sendok semene ki mereka bersyukur banget isa mangan.. lha koe mung garek ngentekke tok kok angel..”

“Turu kana, ben mengko bengi ra ngantuk pas sinau” kata Ibu mereka setelah makan siang.
Lain waktu, ketika kedua adik Luki juga belum tidur.
“Kene kene, tak critani Andhe-andhe Lumut” kata Ibunya sambil memosisikan Luki dan kedua adiknya.Terkadang Luki sendiri atau adiknya yang meminta diceritakan sebelum mereka tidur.
“Dhisik, jaman semana, ana si Mbok Wedok. Si Mbok iki duwe anak papat. Jenenge Klenting Abang, Klenting Biru, Klenting Ijo, karo Klenting Kuning...........
Luki biasanya tertidur ketika cerita sampai pada saat Yuyu Kangkang menyebrangkan Klenting Kuning.

Luki kelas 2
Kelas 2 ini Luki berangkat ke sekolah naik angkot atau terkadang naik sepeda bersama Alfred. Kelas 2 dan 3 saat itu masuk siang hari karena ruang kelas tidak cukup kalo masuk pagi semua. Kemudian pulangnya jalan kaki. Jarak rumah sampai sekolah kira-kira 3 km. Membutuhkan setengah jam bagi langkah kaki mereka untuk berjalan sejauh itu. Terkadang Luki mengeluhkan kecapekan ketika malam hari selesai belajar. Saat keluhan itu datang dari Luki atau kakaknya, ibu mereka berkata, “usahane wong sing rekasa ki bakal dibales sesuk, saiki mungkin koe kesel mlaku, sapa ngerti sesuk tumpakane mobil mewah kayak ning tv kae”.Nasehat itu terus terulang ketika salah satu diantara anak-anaknya mengeluh atas keterbatasan. Lain kali nasehatnya seperti ini, “koe to mlaku setengah jam tok ning dalan, kui wae yo sore sore, rak patio panas.. jajal bayangno wong-wong dalanan kae, seng rak duwe omah.. kae ora mung itungan jam ning dalan, tapi mben dina.. nek awan ya kepanasan, nek bengi kademen..”

 “Freed, Luuuuk... ewangi ngocei bawang brambang nang... Alfred ngocei bawang, Luki ngocei brambang..” pinta ibu mereka.
Sementara itu, Alfred dan Luki sedang asyiknya bermain. Mereka mendengar perintah ibunya, tetapi terlalu enggan meninggalkan permainannya. Beberapa menit kemudian setelah Ibu mereka selesai memarut kelapa dan mendapati anak-anaknya belum memulai melakukan perintahnya, murkalah sang ibu..
“Dikon wong tuane kok do angel men ki anake sapa?? Nek dikon tanggane to cakcek cakcek”
Lain waktu, Luki kelas 3 dan Alfred kelas 4.
“Preinan ngene iki, disetrikani dewe seragam sekolahe, Luki nyetrika sing klambi, Alfred nyetrika kathoke...”
Sama seperti dua kakak mereka dulu, pembagian itu selalu ada. Hanya saja, waktu liburan adalah waktu bermain bagi anak-anak seusia mereka. Maka mereka sudah tampak ogah-ogahan dan sering menunda-nunda. Omelan Ibupun tak bisa mereka hindari..
“Neng omah kene rak ana kerjaan lanang wedok! Wong lanang ya kudu pinter masak, ngumbahi, nyetrika!! sesuk nek duwe bojo, nek bojomu lara apa nglairke, sapa sing ngurus omah?? Apa bakal golek pembantu?? Golek pembantu ki ya kudu isa bayaaarr!!!”
Lain waktu ketika masing-masing saling melempar perkerjaan
“Nek do iren kerja wes rak sah kerja kabeh!!! mengko rak sah mangan kabeh!!! wong kerja bakale mengko dipangan bareng-bareng, dirasakke bareng-bareng, kanggo awake dewe, wes dibagi wong tuane gen rata kok ya seh da angel men ki lho!!”

“Suk neh rak sah melu-melu ngewangi tangga kuwi, ngewangi ya entuk tapi rak sah ngarep bayarane.. ngewangi wong ki niate ikhlas ngewangi, ora gara-gara ana bayarane trus gelem ngewangi”
Sebelum punya TV sendiri, Alfred, Luki, dan kakak-kakaknya sering nonton TV di rumah tetangganya. Ibu mereka mengizinkan jika perkerjaan rumah sudah beres semua, kemudian berpesan “Nek delok TV neng tangga ki ya ijin sing apik ‘pak/bu badhe derek nonton TV’, nek balik ya pamit sing sopan ‘pamit riyen Pak/Bu, matur suwun’ aja angger blandang melbu metu karepe dewe.."

“Bu, mau Luki neng jaba ngomonge saru Bu....” lapor Alfred pada ibunya.
“PLAK!!” tamparan keras segera mendarat ke mulut Luki bahkan sebelum laporan kakaknya selesai diucapkan, mengurangi kesempatan Luki untuk menghindar. Bahkan ketika menghindarpun, sang Ibu biasanya mengejar anak yang dilaporkan berkata saru untuk memberikan tamparan di mulut sebagai hukumannya.
Luki hanya terdiam. Menahan isak tangis yang tak tertahankan. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya, tapi terus ditahan. Bukan, bukan karena sakitnya tamparan ibunya. Karena sejatinya sakit dan panasnya tamparan itu tak sampai selama 1 menit. Entah rasa apa yang ia rasakan dan ia pikirkan. Kemudian dia berjanji dalam hatinya, untuk mengawasi kakaknya juga atau adiknya jika mengatakan kata saru. Atau setidaknya lebih hati-hati ketika mengucapkan kata saru, memastikan ketika mengucapkan itu tidak ada kakak atau adiknya. Haha. Sementara Alfred di sisi lain menahan senyumnya. Merasa puas adiknya mendapat tamparan. Senyumnya ditahan karena sebenarnya marahnya ibu mereka bukan kepada Luki. Tetapi pada perkataan sarunya, sehingga siapapun yang mengatakan itu akan mendapatkan tamparan, yang berarti juga berlaku untuk dirinya, dan berarti pula dia juga harus berhati-hati jika mengucapkan kata-kata saru itu. Karena kata-kata saru itu sudah menjadi wajar diucapkan di lingkungan tetangga mereka, bahkan anak kecil teman-teman sepermainan mereka. Hanya saja kata-kata itu menjadi tabu dirumah karena ada ibunya. Bahkan, ketika temannya bermain di rumah, dan secara tak sengaja, karena sudah kebiasaan, mengucapkan kata sarupun, akan kena nasehat dari ibunya, meski tak sampai kena tamparan seperti mereka.


Luki kelas 5-6
“Bu, aku gawe bubur nggih..” ijin Luki.
Ibunya mengiyakan dan memberikan atau mengingatkan beberapa arahan.
“Mau ra mbok kei uyah?”tanya sang ibu pada Luki setelah mencicipi bubur buatan Luki.
“Mboten..” jawab Luki polos.
“Pantes rak ana rasane..sesuk neh nek gawe bubur ki kei uyah, kecuali nek koe ya gawe kinco, rak kei uyah rakpapa” jelas ibunya.


Behind the scene
Luki kelas TK – 3 SD
Tak jarang Luki mendengar isak tangis ibunya ketika semua telah tidur. Yang Luki tahu ibunya sedang berbicara dengan bapaknya. Entah bahasan apa yang sedang mereka berdua obrolkan Luki tidak tahu. Luki hanya mendengar isak tangis ibunya yang agak ditahan.

Di tengah akrifitas harian rumah seperti biasanya, ada yang memasak, ada yang bermain, belajar, dan lainnya. di tengah obrolan masing-masing antara Luki dengan saudara-saudaranya, bapak dengan ibunya, tiba-tiba telinga Luki fokus pada apa yang dikatakan ibunya, “aku tak minggat wae ya mas”. Sebuah kalimat yang membuat Luki penasaran dan ketakutan. Benarkah itu diucapkan oleh ibunya? Benarkah akan demikian yang terjadi?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan Luki yang hingga ia besar nanti ia tak tahu jawabannya. Ditengah perasaan ketitaktahuannya masa kecil itu, pernah juga ketika suatu saat ibu dan anak-anaknya di rumah. ketika pembicaraan atau gojegan sedang mentok, tiba-tiba ibunya bertanya pada semua anak-anaknya satu persatu, “Le, nek ibu karo bapak cerai koe pilih melu sapa?”
“Lha ngapa Bu?” tanya salah seorang anaknya.
“Wes, pokoke kabeh jawab, sij-siji”
Masing-masing anak pun menyebutkan jawabannya. Termasuk Luki. ketika ada jawaban berbeda, ada yang memilih bapak, ada pula yang memilih ibu. Lalu, masing-masing mulai bergabung sesuai pilihannya dan mengunggulkan pilihannya dengan menyebutkan segala kelebihan.“Enak karo bapak, bla bla bla...” “tapi nek karo bapak bla bla bla, enak karo ibuk.. bla bla bla” begitulah seterusnya. Tidak demikian dengan Luki, si anak pendiam ini mengekspresikan penuh tanda tanya. Ada gerangan apa? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia ungkapkan dan tak pernah ia dapatkan jawabannya sampai ia besar.