Tikar-tikar
sudah mulai digelar depan rumah. Ayah, ibu, anak berkumpul sekeluarga menyambut
hari bar di tahun baru. Beberapa ada yang sambil bakar-bakar jagung, atau hanya
camilan biasa lainnya. Bom! Bum! Tar! Jdar! Suara petasan sudah sejak tadi
sedikit demi sedikit merusak kesunyian malam. Kurang lebih begitulah suasana di
sekitar kampung saat ini.
Sudah
tentu suara-suara itu menggangguku. Karena aku sangat menyukai kesunyian dan
keheningan. Tetapi yang paling mengganggu dan mengusik adalah suara-suara dalam
pikiran. DUUAARRR!! BOOMM!! JDDYARR!! Suaranya lebih menggelegar. Memori-memori
lama menayangkan apa yang sudah kulakukan. Dosa-dosa kesalahan dan kemaksiatan
sejak kecil sebelum sekolah dulu hingga saat ini.
Sadarlah
aku bahwa sejak kecil alu memiliki potensi melakukan banyak kesalahan dan kemaksiatan
yang besar. Baik dalam perkataan, sikap, maupun perilaku hingga menjadi
kebiasaan dan karakter ketika dewasa saat ini. Hei, bukankah sejak kecil aku sering
menyakiti orang lain tanpa belas kasihan? Meski puncak terakhirnya adalah
ketika kelas TK memukul wajah teman yang badannya hampir dua kali lebih besar
dariku sampai menangis. Karena setelah itu aku berhasil mengendalikan amarah
dan menahan untuk tidak bertengkar di SD dan SMP.
Hei,
bukankan sejak SD dulu ibuku sudah pernah memberi lampu kuning, semacam
peringatan yang sangat jelas, “Fuzta ki menengan, tapi nek kadung ngomong
nyelekit”. Dan sudah terbukti banyak orang yang tersakiti karena omonganku.
Entah dalam bentuk sindiran, ejekan, hinaan, atau guyonan yang kelewat batas.
Keusilan
dan keisenganku juga sering kelewat batas dan tentu menyakiti atau paling
rendah membuat jengkel orang. Baik dalam dunia nyata atapun di media sosial. Sejak
zaman sms, facebook, hingga WA. Pendiam seperti air tenang yang menghanyutkan
hingga menenggelamkan.
Hei,
ingatkah kemaksiatan yang sampai saat ini masih kulakukan ternyata bermula
sejak kelas III SD dulu? Tobat pun hanya semacam hiasan dalam kurun waktu yang
panjang. Tomat atau tobat maksiat. Tobat sehari sampe tiga hari tetapi kumat
berbulan-bulan, begitu seterusnya.
Sudah
seberapa tinggikah tumpukan dosa dan maksiat yang telah kulakukan? Sudah tak
terhitung lagi bukan? Apa aku bisa mengendalkan ibadah dan amal-amal baikku? Tentu
saja tidak. Karena sebenarnya ibadah dan amal baik yang kulakukan tak lebih
hanyalah topeng belaka untuk menutupi keburukan-keburukan dan setiap
kemaksiatan dan dosa yang sejak kecil memang sudah menetap dalam diri ini. Apakah
topeng ini efektif? Ya, bagi manusia. Tapi bagi Tuhan Yang Maha Tahu tentu tak
ada gunanya bukan?
ilustrator: Bast |
Manusia-manusia
yang menjadi temanku mengira aku orang baik dan lurus, padahal sangatlah busuk
dan lebih buruk dari bangkai sekalipun.
No comments:
Post a Comment