Friday, September 19, 2014

Si Miskin Yang Kaya Dan Si Kaya Yang Miskin

Sudah sembilan tahun lamanya aku hidup dalam perantauan. Tahun ke 4, aku mengazamkan diri untuk tidak banyak meminta uang pada orang tua. Mau minta uang untuk apa? Bea sekolah sudah gratis, tempat tinggal di asrama, makan sudah ditanggung. Paling Cuma biaya transportasi. Memang biasanya orang tua hanya memberi uang transportasi, uang saku seadanya, akupun tak protes. Tiga ratus ribu untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Itu jumlah uang yang diberikan ketika keberangkatan. Padahal hanya boleh pulang ketika pulang semester. Bagiku tak jadi masalah. Toh tidak ada tanggungan lain-lain. Paling hanya butuh peralatan mandi atau ke warnet kalo banyak tugas, karena di asrama fasilitas komputer dan internet terkadang terbatas.
Masa-masa di SMA terlewati begitu saja tanpa banyak masalah keuangan yang berarti. Atribut angkatan, pakaian dan atribut untuk wisuda, dan pendaftaran kuliah bisa diatasi tanpa meminta orang tua. Hingga sampai akhirnya aku benar-benar diterima jadi mahasiswa dengan beasiswa. Aku membulatkan tekadku untuk tidak meminta uang orang tua. Bahkan ketika aku menghilangkan uang temanku sebesar 10 juta pun aku tak bilang orang tua. Aku cari usaha sendiri, hidup sendiri menyelesaikan masalahku sendiri. Ya, ujian mengganti uang 10 juta itu cukup memberikan banyak pelajaran yang berarti.
Meski begitu, aku tetap bertekad. Setelah selesai mengganti, kebutuhan yang lain menanti, tibalah masa KKN yang dalam situasi “terjebak” dalam kelompok yang pergi jauh dan tidak dibiayai pendanaannya. Lagi, aku harus mengeluarkan banyak uang di sini. Tentu saja, aku masih tetap dengan pendirianku; tidak meminta tetapi menerima kalo diberi. Segala administrasi dan keuangan dalam KKN yang notabene sangat membutuhkan laptop dan uang yang banyak alhamdulillah bisa terselesaikan. Tak perlu ditanya bagaimana otak ini terus bekerja mencari tiap solusi atas semua permasalahan.
Hingga masuk tahun ke-4 kuliah ini, aku masih juga tidak memiliki laptop. Padahal banyak tuntutan, tugas, dan lain-lain yang membuat laptop harus menjadi kebutuhan mahasiswa. Dari awal kuliah sampai sekarang, dengan uang terbatas, fasilitas terbatas, aku tetap bisa mencapai IP > 3. Aku masih bisa hidup, bahkan tak jarang meminjami atau memberi uang teman yang membutuhkan karena kehabisan uang atau belum daat kiriman. Tugas-tugas kuliah dan organisasi pun dapat terselesaikan meski banyak kekurangan.
Aku bangga bisa meringankan beban orang tua. Aku bangga bisa bermanfaat kepada teman. Dalam tulisan ini aku sengaja menyombongkan diri, bahwa aku adalah orang yang tak punya banyak tetapi bisa memberi sesuai kemampuan. Bermanfaat kepada lingkungan. Daripada mereka yang punya banyak uang tapi sukanya berfoya-foya. Daripada mereka yang punya laptop keren, canggih, tapi tugas keteteran, kuliah banyak yang ngulang, sedangkan duit masih minta orang tua. Ada pengemis atau pengamen seringnya diusir. Ada orang minta sumbangan dikiranya cari alasan.
Silakan saja bilang aku orang miskin, karena memang aku tak punya banyak uang seperti kalian. Tetapi aku banyak memberikan manfaat untuk sekitar. Aku tak peduli, meski hanya meringankan orang tua dan sedikit membantu teman, bagiku itu sudah luar biasa. Memang tak sehebat orang yang mendirikan panti asuhan, atau membagi-bagikan makanan di pinggir jalan seperi para artis, bukan juga membuka lapangan pekerjaan atau mengentaskan kemiskinan. Tapi hal baik ini perlu disombongkan. Buat apa merasa sok ikhlas dengan diam, hingga akhirnya kebaikan terkubur terpendam. Lihatlah, yang sering muncul justru kemaksiatan dan segala model kejahatan. Pencurian, korupsi, pelecehan seksual, tawuran, dan segala kebohongan dan kecurangan.
Lihatlah orang-orang kaya di sana, mereka yang memainkan uang, merasa bebas dan merasa aman. Tapi tinggal tunggu saja tanggal mainnya. Kenyamanan mereka tak akan bertahan lama. Tapi, bukan ini yang seharusnya diekspos. Media menjadi modeling bagi penontonnya. Seolah hanya keburukan yang ada di Indonesia. Perhatikanlah hal-hal baik, sebarkan nilai-nilai kebijaksanaan, tanamkan pada anak-anak, praktekkan mulai dari diri sendiri, lakukan dari hal yang kecil, dan mulailah dari sekarang.
Jangan pernah biarkan nilai-nilai kebenaran terkubur dan terpendam, terkikis oleh keburukan-keburukan orang yang tak tahu aturan. Sebarluaskan kebaikan melalui apapun yang bisa dilakukan, baik perkataan, tindakan, ataupun persetujuan dan harapan.
Di kegelapan kamar

19 September 2014

No comments:

Post a Comment