“Benarkah garis lurus itu ada di dunia?”
tebakan dari kakakku ketika aku masih SD.
Aku menjawab, “Ada lah, semua juga bisa
membuat garis lurus (sambil mempraktekkan menggaris lurus dengan tangan)”.
“Coba jawab, apakah kamu yakin meja ini
lurus?” tantang kakakku.
Dengan lantang aku menjawab”yakin!”
“Sekarang coba kamu bayangkan. Meja ini
kamu susun teruus menerus sampai nanti pada akhirnya ketemu di meja pertama.
Bukankah bumi itu bulat? Jadi ketika kamu terus menjejerkan meja ini sampai di
titik semula, berarti meja ini tidak lurus, tetapi bulat, atau ada sekian
persen yang bengkok. Meski hanya 0,00000 sekian persen” jelasnya.
Aku hanya terdiam. Mendengarkan
penjelasan yang cukup masuk akal. Ada satu argumentasi lagi sebenarnya. Tapi
tidak aku sampaikan. Aku menyimpan argumen itu, hingga sampai masa SMA ketika
perdebatan tentang garis lurus itu terulang antara kedua temanku. Dan aku hanya
mendengarkan, bahkan sedikit mendukung temanku yang “menjebak” bahwa tidak ada
garis lurus di dunia ini. Aku sudah lupa dengan argumentasiku dulu yang belum
aku ungkapkan.
Akupun merasakan asyiknya suasana
membuat orang berpikir ulang. Mengotak-atik logika yang entah benar atau salah.
Beberapa kali aku menanyakan dan menjelaskan tentang garis lurus pada teman-temanku.
Hingga terakhir sekitar sebulan yang lalu aku menanyakannya pada temanku. Ada
yang berpikir ulang, ada yang manggut-manggut mendengarkan logika bumi bulat
sehingga tidak ada garis lurus. Tapi ada satu orang yang membantah yang
akhirnya membuat kesimpulan bahwa garis lurus itu memang lurus. Dia berkata,
“Logikamu itu salah, garis lurus itu tidak mengikuti bumi yang bulat, tapi
harus berada di ketinggian yang sama”. Beberapa teman ada juga yang mengangguk
dan mengiyakan. Tetapi itu sebuah tamparan bagiku. Hey, bukankah itu argumen
yang dulu tidak pernah aku sampaikan? Bukankah itu penjelasan yang benar-benar
menyatakan bahwa garis lurus itu lurus? Ya, jadi dapat kita simpulkan bahwa
garis lurus itu memang lurus. Dia harus pada ketinggian yang sama, bukan diukur
dari bumi, melainkan satu ketinggian yang konsisten. Pokoknya sepeti itulah,
aku yakin kalian paham. J
So what? Apakah pencarian penjelasan
garis lurus itu berhenti? Tidak. Tidak bagiku. Banyak fenomena yang bisa
dijelaskan dari dua konsep tentang garis lurus tadi. Aku menghubungkannya
dengan orang-orang yang menilai bahwa aku adalah orang yang lurus. Sungguh, ada
gejolak ketika ada orang yang mengatakan bahwa aku adalah orang yang lurus. Dan
banyak orag yang mengiyakannya. Selurus apakah diriku? Akupun tak tahu,
bagaimana penilaian mereka, aspek apa yang mereka gunakan sampai pada akhirnya
membuat kesimpulan bahwa aku adalah orang yang lurus. Karena aku sendiri
menilai bahwa aku bukanlah orang yang lurus, banyak sekali bengkokan-bengkokan
dalam hidupku. Ya, selalu begitu. Penilaian orang lain hanya melihat pada hal
yang tampak. Karena apa yang dilihat orang lain dengan apa yang dilihat diri
sendiri pastilah berbeda.
Ok. Pemahaman tentang dua konsep garis
lurus di awal tadi bisa menjelaskannya. Kita asumsikan bahwa hidup manusia ini
bagai menorehkan garis. Sehingga bisa dinilai apakah garis yang ditorehkan itu
lurus atau tidak. Sayangnya tak ada manusia yang sempurna, tak ada manusia yang
tidak menapakkan kakinya di bumi. Jadi, mau selurus apapun garis yang dia
torehkan, dia akan terus mengikuti arah lingkar bumi. Manusia tak akan pernah
bisa membuat garis lurus yang sempurna. Hanya malaikat yang mampu melakukannya.
Karena memang malaikat diciptakan untuk mematuhi perintah-Nya. Kalaupun manusia
bisa, dia harus memakai perlengkapan dan peralatan yang bisa digunakan di luar
angkasa, bahkan mungkin mencapai luarnya luar angkasa.
Lalu, mengapa orang lain masih menilai
sebagian orang itu lurus? Ya, karena mereka juga manusia. Sudut pandang mereka
terbatas pada apa yang mereka lihat. Bukankah meja yang disusun terus-menerus
sampai ketemu lagi pada ujungnya berarti memiliki kebengkokan sekian derajat?
Butuh sudut pandang yang lebih luas dan lebih jauh untuk melihat kebengkokan
tersebut.
Secara religius, ketika berdiskusi dengan
salah seorang teman, dia menjawab, “Hanya ada dua kemungkinan; Allah menutupi
aibnya atau Allah menunggu saat yang tepat untuk membalasnya”. Begitulah
kiranya, karena tentu dalam melaksanakan sebuah tugas (membuat garis lurus),
jika melakukan kesalahan pasti ada konsekuensinya. Dan karena manusia selalu
salah, tak pernah bisa membuat garis lurus secara utuh, banyak sekali
kemungkinan sebenarnya. Bisa jadi Tuhan menutup kesalahanya, menunda
membalasnya, atau memaafkannya. Atau bisa jadi salah dua diantaranya.
Dalam konsep penciptaan-Nya, Tuhan tak
hanya menciptakan manusia. Kaitannya dengan tugas membuat garis lurus tersebut,
Tuhan juga menciptakan malaikat dan jin sebagai pembantu atau penghalang bagi
manusia. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dari tanah. Malaikat
diciptakan dari nur atau cahaya, sedangkan iblis diciptakan dari api. Dari
unsur-unsur itu bisa kita lihat, malaikat (cahaya) akan membantu dan memberi
petunjuk kepada manusia (tanah) dengan cahayanya sesuai tugasnya masing-masing.
Sedangkan iblis (api) akan merusak manusia (tanah), membengkokkan arah manusia
agar tidak lurus. Cahaya menimbulkan efek terang sehingga tanah bisa membuat
garis yang lurus sesuai petunjuk. Sedangkan api juga bisa memberikan cahaya,
namun api juga menimbulkan efek panas yang membakar tanah menjadi kering
kerontang.
Maka, hai manusia, fokuslah pada
tujuanmu untuk membuat garis lurus, sadarlah bahwa manusia selalu diawasi oleh
malaikat dan iblis di manapun manusia berada. Manusialah yang memilih untuk
mengikuti malaikat atau iblis.
Ruang kecil KMP, Fakultas Psikologi UGM
19 September 2014
No comments:
Post a Comment