Sunday, June 22, 2014

Indonesia Tidak Membutuhkan Pertengkatan Untuk Bisa Maju



Politik Indonesia sungguh memprihatinkan. Indonesia sudah lepas dari nilai-nilai dasar Negara yang telah disusun dan ditekankan oleh para pendirinya. Nilai-nilai itu seolah bak uap yang sudah tak ada wujudnya. Lihatlah orang-orang di sekitar kita. Masing-masing menjelek-jelekkan pihak yang lain. Seolah pihak yang didukungnya adalah yang paling benar.
Pernahkah terpikirkan, bagaimana jika isu-isu yang disebar itu tidak menjadi kenyataan? Missal jika Jokowi jadi presiden, tapi mengangkat Jalaludin Rahmat mjd mentri Agama, menghlngkan kolom agama di KTP, menghapus praturan ttg pndirian rmh ibadah, dl situ tidak dilakukan Jokowi. Apa yang akan dilakukan oleh para penyebear isu itu? Atau jika Prabowo jadi presiden, tetapi mengembalikan negara ini ke zaman orde baru, menghalangi kebebasan pers, dl situ tidak terjadi. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yangmenyebar isu-isu tersebut? Cuek sajakah? Merasa malu lalu mau meminta maaf pada orang yang bersangkutan? Atau bagaimana? Bukankah ini termasuk fitnah? Dan tidaklah kita ingat bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Kalaupun meminta maaf, yakinkah orang yang bersangkutan akan memaafkan? Terlebih lagi, yakin kah Allah akan memaafkan kita?[1]
Sungguh, diri ini mendambakan Indonesia yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara. Coba kita bayangkan. Jika para calon pemimpin kita ini benar-benar mengerti dan memahami Indonesia sebagai suatu Negara, Negara yang tidak hanya untuk kekuasaan saja, maka seharusnya mereka menjiwai nilai-nilai dasar Negara Indonesia. Nilai-nilai dasar yang dimaksud di sini tak lain dan tak bukan adalah pancasila dan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika. Cukup dengan dua nilai ini, perpolitikan di Indonesia tidak akan seperti yang kita saksikan saat ini.
Kita coba mulai dari sila pertama, bahwa seharusnya apapun yang ada di Indonesia itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, seharusnya tokoh-tokoh Negara menunjukkan hal ini dalam setiap harinya. Apapun yang dilakukan berdasar pada keimanannya pada Tuhannya. Berdasar pada apa yang telah diajarkan oleh agamanya.
Lalu, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bahkan, tokoh-tokoh di belakang capres-cawapres kita sangat tidak menunjukkan keadilan dan keberadaban sebagai manusia. Mana ada manusia yang menjelek-jelekkan sesama manusia, apakah mereka sudah cukup suci hingga pantas merendahkan derajat manusia lainya? Mana keadilan dan keberadaban yang selalu mereka koar-koarkan? Bahkan dalam dirinya saja tidak pernah terwujud keadilan dan keberadaban itu.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan semboyan yang dijunjung tinggi Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. “Pertikaian” kedua belah pihak sama sekali tidak menunjukkan adanya persatuan Indonesia. Karena persatuan sejatinya tidak hanya dalam masalah perbedaan agama, suku, ras, bahasa, tetapi juga dalam perbedaan pendapat. Maka seharusnya, dengan persatuan pihak-pihak terkait tidak begitu mempersalahkan siapapun yang akan memimpin nantinya. Hey, bukankah kedua-duanya sama-sama menginginkan kemajuan Indonesia? Jika sama-sama memiliki tujuan itu, bukankah seharusnya perbedaan pendapat dalam cara mewujudkannya merupakan hal biasa? Lalu kenapa hanya terfokus pada perbedaan itu? Bukankah akan lebih baik jika fokus pada misi untuk memajukan Indonesia? Siapapun pemimpinnya nanti, kalau memang tujuannya untuk memajukan Indonesia, ya kita dukung aja, masalah caranya ya sesuaikan dengan kemampuan apa yang bisa dilakukan.
Sila keempat dan kelima silahkan bahas sendiri. Yang menjadi garis bawah dalam tulisan ini adalah bahwa sangat disayangkan jika nilai-nilai dasar Negara ini hanya tergantung begitu saja di lambang Negara, Garuda. Lambang yang hanya menjadi pajangan indah di gedung-gedung pemerintahan dan istana Negara. Karena saking indahnya lambang itu, orang-orang di dalamnya merasa tak perlu lagi memperindahnya dengan mengimplementasikan nilai-nilai itu dalam keseharian. Jangan-jangan memang Garuda itu sudah cukup dibiarkan bertengger di sana. Menyaksikan orang-orang di dalamnya yang sudah melupakan bahwa dia menjadi saksi bisu ditinggalkannya nilai-nilai dasar itu di bawah naungannya. Mungkin jika aku kesana, aku akan menemukan tetes air pada mata Garuda itu, menyaksikan semakin bobroknya perilaku orang-orang di sana. Merasa sedih karena ditinggalkan dan dilupakan keberadaannya.
Mungkin, Garuda itu tengah berbisik, “Jangan sampai kata tunggal ika yang ada di ekorku ini terhapus, sungguh negeri ini sudah jauh melangkah, sampai-sampai menginjak-injak ekornya sendiri yang seharusnya menjadi dasar persatuan. Jangan sampai kelima nyawa ini berpudar dan benar-benar menghilang. Karena jika kelima nyawa ini benar-benar menghilang, maka tunggulah saatnya hingga badan ini tak bisa lagi terbang menuju kemakmuran”.


[1] Status fb temennya temenku

pojokan masjid At-Taqwa Swakarya
23 Juni 2014
02.06 WIB

No comments:

Post a Comment