Hamparan
sawah membentang sejauh mata memandang. Pada hampir tiap tepinya dipagari oleh
pohon-pohon pisang. Kambing-kambing berjalan dan berlarian, beriringan sedang
digembalakan. Air mengalir deras di sungai yang panjang. Pemandangan yang
sungguh kurindukan. Namun aku tidak benar-benar memperhatikan. Terlalu asyik
sendiri dengan berbagai macam hal yang sedang terpikirkan.
Di
tengah perjalanan itu sedikit pemandangan yang tertangkap sekejap. Padi-padi
itu ada yang masih hijau enak dipandang bagi orang-orang yang galau. Ada
beberapa yang mulai menguning dan ada juga yang benar-benar sudah kuning, sudah
berisi dan semakin menunduk-nunduk apalagi tertiup angin. Meski kudengar juga
ada keluhan sebagian padi yang ditanam ambruk karena angin yang kencang. Padahal
panen sudah hampir berkenan. Sayang seribu sayang, pemandangan sawah itu tak
seindah dulu, tak seluas dulu mungkin lebih tepatnya. Dulu saja aku masih
sering mendengar dari pernyataan warga bahwa sawah saat itu sudah sangat
berkurang dibandingkan sebelum aku tinggal di situ. Lalu bagaimana dengan saat
ini setelah sekian tahun, pastinya sudah sangat berkurang dibanding tahun-tahun
sebelumnya. pemandangan sawah berganti dengan pabrik atau rumah. Polusi semakin
banyak dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang atau dari pabrik. Mungkin
perbaikan jalan waktu itu tak usah dilakukan saja, meski kurang nyaman tapi
tetap nyaman. Bagaimanakah nasib anak cucu kita nanti jika sumber makanan
diproduksi berkurang? Inikah yang menyebabkan negara terbesar memproduksi padi
tapi malah mengimpor padi, bukan karena ekspor impor yang salah strategi?
Itu
hanya pemandangan alam kawan, belum pemandangan sosial. Masyarakat desa itu mungkin
terlah terdoktrinasi bahwa kebahagiaan akan tercapai ketika memiliki banyak
uang. Aku juga tak lupa bagaimana ketika berbincang-bincang, sungguh mereka
mengagumkan orang-orang yang memiliki banyak uang (setelah para kiyai, apalagi
kalau sudah pergi haji). Bisa membeli apa saja, bisa melakukan apa saja, untuk
diri sendiri, anak-anaknya, dan sebagainya dan sebagainya. Banyak yang merasa
minder dengan ‘profesi’ mereka sebagai petani. Hidup susah, capek dan lelah,
penghasilan rendah, masih merasa kurang untuk memenuhi kebutuhan serumah. Siapa
yang salah? ah, Pak, Bu, lihatlah sendiri! Tanyakan pada remaja-remaja dan
kawan-kawannya yang merantau itu, apakah banyak dari mereka yang benar-benar sukses
dan bahagia? Memang ada yang demikian, tapi kesuksesannya masih sangat jauh
jika dibandingkan orang-orang sukses di luar sana. Pada kenyataannya pak, bu,
hidup di kota atau merantau tak semudah dan tak semenjanjikan seperti yang
dikatakan orang. Tak ada yang menjamin dengan merantau akan mengubah hidup
menjadi bahagia. Justru saat ini malah mengkhawatirkan hidup di perantauan
dengan begitu banyak kemaksiatan dan kejahatan yang tak bisa kita kendalikan. Tak
usah jauh-jauh melihat orang, mari kita lihat kembali ke desa! Siapa yang nanti
mewarisi pengetahuan bercocok tanam dan bertani? Ketika anak-anakmu kau biarkan
merantau dan tak kembali, dan mungkin tak banyak yang diketahui saat ini
bagaimana bersahabat dengan alam. Kapan saat yang tepat bagi tanah untuk
ditanami (tandur), membaca waktu dari matahari dan bintang, dan sebagainya dan
sebagainya. Bagaimanakah kehidupan masa depan ketika tak hanya sawah atau
ladang yang berkurang tetapi populasi petaninya pun juga berkurang, sedangkan
manusia yang mengkonsumsi semakin bertambah bahkan semakin serakah?
Kembali
ke pemandangan. Lihatlah kambing-kambing itu, tak ada yang seperti dulu.
Sekitar delapan tahun yang lalu ketika aku masih di sini, masih sering kulihat
beberapa kambing jantan yang melampiaskan nafsunya di tengah jalan ketika
sedang digembalakan. Tapi sekarang tidak, mungkin kini para kambing itu sudah
punya malu. Sehingga melampiaskan nafsu itu perlu sembunyi-sembunyi terlebih
dahulu. Seperti bebek yang bersembunyi dibalik semak atau di kandang. Atau
jangan-jangan tidak malunya itu sudah berpindah pada orang-orang yang lupa atau
memang tidak paham dengan aturan. Sehingga mereka tak perlu bersembunyi
melampiaskan nafsunya di tengah jalan, di restoran, hotel, sampai direkam dan
disebarluaskan. Bahkan ada juga yang tidak perlu malu-malu antara laki-laki
dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Benar-benar lebih hina
daripada hewan. Padahal hewan dan binatang saja tidak ada yang mau dengan jenis
yang sama. Kecuali babi yang memang sudah menjadi sifatnya. Hmm, atau mungkin
tuhan sedang marah sehingga mengutuk manusia menjadi hewan, dan sebenarnya
orang-orang yang melampiaskan nafsu tanpa malu itu adalah siluman(?) sehingga
sifat-sifat dan sikap mereka saling bertolak belakang.
Sungguh
ironi kawan, kota santri. Bahkan desa itu saja memiliki lebih dari tujuh pondok
pesantren, belum terhitung madrasah diniyahnya, ditambah lagi satu madrasah
tsanawiyah dan satu madrasah aliyah. Maka jangan tanyakan berapa jumlah kiayi
dan ustadznya, apalagi santrinya. Tapi sungguh disayangkan desa itu tak
terbebas dari berbagai kemaksiatan. Tak tertinggal degan tren pacaran, bahkan
ada yang sampai hamil di luar pernikahan. Pernah juga terjadi kasus tawuran
antar pelajar, pernah juga antar kampung. Jangan tanya mabuk-mabukan, hampir
tiap ada hajatan, bisa ditemui tak sedikit orang yang mabuk-mabukan. Tak (mau) tertinggal
di dunia santripun menjamur kemaksiatan. Dipisahkan berdasar jenis kelamin,
maka pelampiasan nafsu terarah pada sesama. Lalu, (si)apa yang sebenarnya
salah? pada bagian mana yang salah?
Mari
kembali (lagi) ke pemandangan. Setelah sawah dan binatang, ada juga sungai yang
panjang. Airnya deras karena hari demi hari terus diguyur hujan. Di atasnya
subur pula eceng gondok yang memenuhi permukaan. Ibu-ibu mencuci pakaian sedang
anak-anak mandi sambil berenang. Sungai itu benar-benar menjadi sumber
kehidupan. Pada bagian-bagian tertentu kadang kau jumpai remaja atau dewasa
yang memancing ikan.
Ke
manapun aku pergi, tempat manapun yang pernah aku kunjungi, semua memiliki potensi
kebaikan dan keburukan, semua memiliki perbedaan dan persamaan. Pebedaannya
adalah bahwa masing-masing memiliki potensi sumber daya alam dan lingkungan
yang sangat banyak, memiliki potensi kebaikan yang berbeda-beda yang bisa
dikembangkan dan diwujudkan. Ada yang dalam bidang pertanian, perikanan,
perkotaan, perkebunan, budaya, kesenian, keterampilan, dan sebagainya yang tak
bisa disebutkan satu persatu. Namun sayang, satu persamaan yang mengubah segala
potensi itu menjadi sia-sia: sumber daya manusia yang masih kurang mumpuni dan
saat ini sedang dijajah tapi tak merasa dijajah, sumber daya manusia yang saat
ini lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding sesuatu yang lebih penting
untuk dipikirkan dan diselesaikan. Masing-masing daerah juga memiliki masa lalu
yang suram, keburukan yang seharusnya diredam. Sungguh, kebaikan dan keburukan
itu akan saling berdampingan, hingga salah satunya pasti akan menjadi pemenang.
Haha,
mungkin memang hidup ini seperti sungai itu, bagai air yang mengalir, kadang
tenang, kadang juga deras. Tergantung kelokan sungai atau tingginya curah
hujan. Ada batu berbelok. Barang apapun yang terjatuh ke dalamnya akan terbawa
mengikuti arusnya. Bahkan walaupun akhirnya membuat air itu tampak keruh;
segala kotoran, sampah, atau seperti di sungai itu, tumbuh tetumbuhan eceng gondok
yang menutupi permukaannya. Padahal air di bawahnya jernih meski dasarnya keruh
lagi karena dasarnya berupa tanah kecoklatan. Kemanapun air jernih dan bersih
itu mengalir akan kembali menjadi jernih dan bersih lagi. Entah melalui siklus
hujan yang menyaringnya atau nantinya bergabung embali dengan teman-temannya di
lautan. Sedangkan kotoran dan sampah atan tetap menjadi kotoran dan sampah. Satupun
dari mereka tak akan tergabung dalam populasi air laut di sana, pasti akan
selalu dikembalikan ke daratan dengan arus gelombang dan ombaknya.
Begitulah
kehidupan kawan, layaknya senda gurau dan permainan. Ada pahlawan, ada juga
penjahat yang kejam. Kita hanya menunggu skenario yang berjalan sesuai kehendak
sutradara yang membebaskan pemerannya berakting semaunya. Hanya orang-orang
tertentu sajalah yang benar-benar mempercayai bahwa kebenaran yang pasti (akan)
menang. Tapi ingat, kita memiliki peran. Peran manakah yang sedang kita
jalankan? Apakah dirimu sebagai pahlawan atau penjahat yang kejam itu kawan? Atau
malah hanya jadi figuran?
Ah,
tulisan apa ini? apa yang sebenarnya dibicarakan? Pemandangan, ngomongin orang,
atau tentang kehidupan? berkeluh kesah, menyampaikan kekhawatiran, kepedulian,
atau memberi peringatan atau nasehat? Menjelaskan dengan pernyataan atau
terus-terusan memberi pertanyaan?
Hey,
siapa juga yang mau tahu. Biarlah angin berlalu. Kalian juga tak perlu
repot-repot memikirkan itu. Jangan mau terpengaruh oleh kata-kataku yang kaku
dan belagu. Jangan sampai terjebak dalam dunia khayal yang isinya tak bermutu.
No comments:
Post a Comment