Efek
dari abu Kelud sungguh luar biasa dirasakan. Meski kiriman sudah lagi tak
datang, namun abu yang sudah terlanjur menumpuk banyak tetap saja membuat
suasana berbeda. Jalan raya yang penuh debu, pepohonan penuh debu, atap rumah,
semuanya penuh dengan abu yang menumpuk. Yang paling menggila adalah ketika
angin yang menghamburkan debu itu ke mana-mana. Tak hanya mengganggu
pernafasan, tetapi juga mengganggu pandangan. Yaah, tapi kalo membahas ini
hanya akan menjadi keluhan manusia-manusia yang tak bersyukur. Oleh karena itu,
aku coba berkeliling, mengamati, dan melihat lingkungan dengan pandangan yang
berbeda, dengan pengamatan yang lebih tajam, mencari pemahaman lebih yang tak
hanya memaknai peristiwa ini sekedar sebagai nikmat, ujian, ataupun adzab.
Mungkin di luar sana akan kudapati banyak makna, ayat lain yang disampaikan
melalui peristiwa.
Lihatlah
pohon-pohon itu. Seluruh batang dan daunnya dipenuhi abu. Apakah mereka masih
bisa bernafas seperti biasanya? Apakah lentisel dan stomata mereka tersumbat
oleh abu? Jangan-jangan mereka juga membutuhkan masker. Angin yang kencang pun
tak mampu untuk membersihkan mereka. Bahkan hujan yang lebat pun belum tentu
dapat membersihkan abunya. Karena air tidak selalu mengalirkan abu itu, tapi
justru semakin membuat abu itu tambah menempel pada pohon tersebut. Perlu
diterpa angin dan hujan berkali-kali untuk membersihkannya. Sedangkan manusia
tidak ada yang inisiatif untuk segera membersihkan mereka.
Hei,
aku menemukan ulat yang terjatuh dari daunnya. Dia menggeliat dengan susah
payahnya di atas abu yang tebal di jalanan. Tentu saja. Bagaimana dia bisa
berjalan di atas abu? Bagaimana dia bisa makan jika seluruh daun dipenuhi
dengan abu?
Lihatlah
di bawah sana. Para semut yang tertatih-tatih berjalan di atas debu.
Berkali-kali terjatuh ketika mencoba mendaki tembok yang ber-abu Kelud. Sedang
dibawahnya banyak lubang-lubang kecil yang mereka buat untuk jalan mereka.
Mereka mempunyai usaha yang lebih keras hanya untuk berjalan melewati abu yang
menggumpal, apalagi untuk mendapatkan makanannya.
Perhatikan.
Aku temui banyak lalat yang mati. Capung juga mati. Mungkin mereka tak sempat
berlindung ketika hujan abu. Badannya pernuh dengan abu, terbujur kaku atau
tertimbun abu. Bisa dipastikan mereka tak dapat terbang bebas seperti biasanya.
Udara yang penuh abu sungguh mengganggu kehidupan mereka. Akupun baru sadar,
tak kutemukan serangga-serangga lain yang terbang. Tak kutemui kupu-kupu,
lebah, atau belalang yang biasanya ke sana kemari. Di sana sini hanya abu yang
beterbangan. Bagaimana kabar burung di atas pohon sana? Apakah sarang mereka
dipenuhi dengan debu? Sudahkah mereka membersihkan sarang mereka? Kalaupun
sudah, tentunya tak cukup berarti. Karena pohon yang penuh dengan abu itu akan
kotor lagi ketika angin meniupnya. Menyebarluaskan lagi abu-abu yang tersimpan,
yang singgah sejenak di permukaannya.
Pernahkah
terpikir oleh kita bagaimana nasib hewan dan tumbuhan di sekeliling kita?
Bukankah manusia dikaruniai akal untuk berpikir? Bukankah manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi? Dengan adanya peristiwa ini, manusialah yang
seharusnya memiliki peran penting menghadapi peristiwa ini. Hanya manusialah
yang dengan akalnya mampu membuat sebuah gerakan sebagai solusi atas abu-abu
yang beterbangan. Apalagi di zaman yang modern ini. Tapi, sungguh sayang, tak
banyak manusia yang aktif menanggapi peristiwa ini. Dengan egoisnya memikirkan
diri sendiri. Kalaupun bersih-bersih, yang dibersihkan hanya sebatas rumah dan
pekarangannya. Yang ternyata tak begitu memberikan dampak bagi kebersihan
mereka. Karena abu yang masih tertumpuk di jalan akan tertiup lagi oleh angin
yang mengembalikan abu itu ke rumah mereka. Sungguh, bukankah dengan akalnya,
manusia seharusnya bisa melakukan hal kreatif dan inovatif? Seharsunya manusia
dapat memanfaatkan abu yang banyak ini untuk hal yang lebih berguna, lebih
bermanfaat bagi lingkungannya. Tapi sayang, manusia sekarang tak lagi punya
empati. Tak lagi peduli. Jangankan binatang dan tumbuhan di sekitar mereka
pernah terlintas di benak mereka. Bahkan, para pengemis dan orang jalanan saja
mungkin tak pernah singgah di benak mereka. Bagaimana mereka tinggal di jalanan
yang dipenuhi dengan abu, apalagi ketika mobil-mobil justru dengan kencangnya
membuat udara semakin berabu.
Februari, 2014