Monday, June 20, 2016

Melepas Rindu

Aku bangun dengan tersenyum-senyum sendiri. Senyum bahagia. Sangat bahagia. Kau masih saja suka memberi kejutan meski telah tiada. Beberapa hari yang lalu kau berkata ingin menyendiri terlebih dahulu, menyuruhku pergi dan selalu menghindar. Esoknya ketika bertemu lagi kau masih tak mau di sapa. Akhirnya malam ini kau mau berbicara. Kita berbincang agak banyak meski dalam waktu yang tak lama. Perbincangan yang akan kuabadikan dalam tulisan ini agar tak lupa.

Suasana begitu sepi dan hanya ada dua orang; aku dan dia yang tak bisa kukenali wajahnya. Kemudian kami menemukan jenazah yang sudah dikafani. Dia sangat takut atau mungkin lebih tepatnya khawatir dan segera mengecek kondisi sekitar. Sementara aku segera mendekati jenazah itu dan ternyata aku sangat mengenalinya. Jenazah itu adalah Arma. Lalu, dia menginstruksikan kepadaku untuk menggotong jenazah itu untuk segera disembunyikan atau dimakamkan. Tapi dia tidak membantu menggendong jenazah itu dan tetap terus mengecek kondisi sekitar.
(Oh iya, dalam dunia ini percakapan yang terjadi tidak seperti percakapan di dunia. Mungkin aku atau kami merasa seperti Edward dalam novel/film tetralogi Twilight yang bisa membaca pikiran semua orang. Atau seperti Sheng Yayu dalam film The Four 1 & 2 yang juga bisa membaca pikiran orang meski tidak mengatakannya)
“Kau pikir aku tak butuh bantuan mengangkat jenazah sendiri” benakku mengatakan, entah dia mendengarkan atau tidak tapi dia tetap mengecek kondisi sekitar, sangat takut jika ketahuan banyak orang atau warga. Awalnya jenazah itu selalu luput dari gendonganku, tapi pada akhirnya entah bagaimana caranya, jenazah itu bisa menyesuaikan, menekuk tubuhnya sendiri sesuai dengan tanganku merengkuhnya. Tangan kiriku di bawah lekukan lutut jenazah sedang tangan kananku di bagian leher dan pundak jenazah. Kurasakan jenazahnya amat ringan dalam gendonganku, sama sekali tak kurasakan berat. Entah kekuatan dari mana yang membuatku kuat atau memang jenazahnya yang tidak berat.
“Mau dibawa ke mana jenazah ini?” kulihat dia masih kebingungan dan belum menemukan tempat untuk menyembunyikan atau membumikan jenazah ini. Tak lama setelah itu aku merasakan ada pergerakan dalam kafan ini. Ternyata Arma sedang mengeluarkan tangannya dan kemudian berkata, “di sana” sambil menunjukkan suatu tempat lalu memasukkan tangannya lagi ke dalam kafan. Saat itulah aku benar-benar melihat wajahnya. Wajah yang sangat bersih bahkan seperti didandani/dibedaki. Wajah yang bersih dan rambut yang rapi yang aku kenali seperti ketika baru selesai mandi dan persiapan untuk kuliah atau kegiatan penting lainnya.
“Lalu mengapa kau berada di sini?” tanyaku. Tapi tidak ada jawaban. Arma malah sibuk membenarkan posisinya dalam gendonganku mencari posisi yang nyaman. Entah apakah orang yang bersamaku masih kebingungan itu menyadari aku sedang berkomunikasi dengan jenazah ini atau tidak. Apakah dia mengikuti langkahku menuju tempat yang ditunjuk Arma atau masih khawatir dengan kondisi sekitar.
Aku masih belum menyadari bahwa ini bukan di dunia nyata. Biasanya aku pasti mengenali di mana posisiku berada sehingga aku bisa menyesuaikan dan menentukan tindakan dalam bersikap. Aku sudah terlalu fokus dengan perbincanganku dengan Arma dan sudah terlalu senang (masih bisa) berkomunikasi dengannya. Dan aku tidak merasa takut sama sekali seperti orang yang bersamaku tadi. Tidak ada kekhawatiran apapun seperti dalam skenario-skenario lain ketika tidak berada di dunia nyata. Setelah Arma nyaman dengan posisinya, dan aku bisa melangkahkan kaki dengan nyaman pula, aku bertanya lagi pada Arma.
“Ma, koe ki tenanan mati atau mek pengen nyicipi tok sih?”[1] aku masih merasa di dunia nyata dan bertanya pada Arma sama seperti biasa; menganggap setiap hal yang dilakukan Arma adalah guyonan belaka. Sehingga aku tak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi maksud pertanyaanku padanya à apakah benar sudah meninggal atau sama seperti yang dilakukan orang lain yang hanya ingin tahu, penasaran rasanya meninggal, penasaran dengan alam kubur, dan sebagainya, lalu kemudian kembali dan hidup lagi di dunia.
“Iki mati tenanan ki aku, pie toh..”[2] jawabnya. Wajahnya agak sedikit cemberut, ekspresi biasa ketika aku meragukannya; beneran atau bercanda.
“Yowes”[3]
Entah mendapat dorongan dari mana, aku merasa tergesa-gesa menyampaikan lagi, sebelum beberapa langkah lagi kami benar-benar sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi, “Ma, aku jaluk ngapurane sing akeh yo, dhisik aku duwe salah........”[4] belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotong, “halah halaaah...”. Perbincangan kali ini sudah benar-benar tak lagi menggunakan kata-kata. Meski sebenarnya dari tadi tak ada yang benar-benar berkata dengan mulut, seperti layaknya berkomunikasi lewat telepati atau intuisi. Entah apakah dia benar-benar paham apa yang aku maksud atau tidak. Arma, kau satu-satunya sahabat yang tahu sampai aib terbesarku. Dulu ketika aku mengkhawatirkan kau akan menjauh, membenci, dan menghindar setelah tahu semua tentang itu. Tapi justru kau malah biasa saja, justru memberikan masukan dan saran, terus mendukung dan membantu untuk keluar dari jurang maksiat dan dosa. Arma seolah memintaku untuk melupakannya. Aku sudah sampai di tempat yang ditunjuk Arma tadi setelah perbincangan terakhir ini. Aku berhenti, lalu kepejamkan mataku. Kueratkan gendonganku pada Arma seperti seolah memeluknya. Ingin sekali kusampaikan bahwa dia adalah sahabat terbaikku. Aku masih berharap pertemuan-pertemuan lainnya lagi. Meski di dunia ini, bukan di dunia nyata. Aku tak mau meski sekedar meletakkan jenazahnya untuk mencari atau berharap ada kuburan yang kosong atau mencari alat untuk menggali terlebih dahulu. Aku masih terus memeluknya hingga sampai kurasakan seolah dia juga memelukku. Seolah dia juga mengatakan hal yang sama bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Kutekadkan membuka mata dan kulihat wajahnya tersenyum berseri, wajahnya bersinar tampak sangat bahagia sekali.

Aku benar-benar membuka mata. Kudapati diriku tersenyum-senyum sendiri. Merasa hangat dalam kemulan sarung meski sebelum tidur tadi terasa dingin karena gerimis dan kipas kunyalakan untuk mengusir nyamuk. Kuraih hp yang tak jauh dari jangkauanku dan kulihat jam; 02.32 Tue, 21 Jun. Kurapatkan sarung menyelimuti tubuhku dan kembali tidur, berharap bisa bertemu dan berbincang-bincang lagi dengannya.
90 hari setelah pertemuan terakhir
02.32
21 Juni 2016




[1] Ma, kamu tu beneran meninggal atau sekedar ingin mencicipi saja sih?
[2] Ini aku meninggal beneran, gimana sih...
[3] Ya sudah
[4] Ma, aku sunguh-sungguh minta maaf ya, dulu aku punya salah....

No comments:

Post a Comment