Aku bangun dengan tersenyum-senyum sendiri. Senyum bahagia. Sangat bahagia.
Kau masih saja suka memberi kejutan meski telah tiada. Beberapa hari yang lalu
kau berkata ingin menyendiri terlebih dahulu, menyuruhku pergi dan selalu menghindar.
Esoknya ketika bertemu lagi kau masih tak mau di sapa. Akhirnya malam ini kau
mau berbicara. Kita berbincang agak banyak meski dalam waktu yang tak lama. Perbincangan
yang akan kuabadikan dalam tulisan ini agar tak lupa.
Suasana begitu
sepi dan hanya ada dua orang; aku dan dia yang tak bisa kukenali wajahnya. Kemudian
kami menemukan jenazah yang sudah dikafani. Dia sangat takut atau mungkin lebih
tepatnya khawatir dan segera mengecek kondisi sekitar. Sementara aku segera
mendekati jenazah itu dan ternyata aku sangat mengenalinya. Jenazah itu adalah
Arma. Lalu, dia menginstruksikan kepadaku untuk menggotong jenazah itu untuk
segera disembunyikan atau dimakamkan. Tapi dia tidak membantu menggendong
jenazah itu dan tetap terus mengecek kondisi sekitar.
(Oh iya,
dalam dunia ini percakapan yang terjadi tidak seperti percakapan di dunia. Mungkin
aku atau kami merasa seperti Edward dalam novel/film tetralogi Twilight yang
bisa membaca pikiran semua orang. Atau seperti Sheng Yayu dalam film The Four 1 & 2 yang juga bisa membaca pikiran orang meski tidak mengatakannya)
“Kau
pikir aku tak butuh bantuan mengangkat jenazah sendiri” benakku mengatakan,
entah dia mendengarkan atau tidak tapi dia tetap mengecek kondisi sekitar,
sangat takut jika ketahuan banyak orang atau warga. Awalnya jenazah itu selalu
luput dari gendonganku, tapi pada akhirnya entah bagaimana caranya, jenazah itu
bisa menyesuaikan, menekuk tubuhnya sendiri sesuai dengan tanganku
merengkuhnya. Tangan kiriku di bawah lekukan lutut jenazah sedang tangan kananku
di bagian leher dan pundak jenazah. Kurasakan jenazahnya amat ringan dalam gendonganku,
sama sekali tak kurasakan berat. Entah kekuatan dari mana yang membuatku kuat
atau memang jenazahnya yang tidak berat.
“Mau
dibawa ke mana jenazah ini?” kulihat dia masih kebingungan dan belum menemukan
tempat untuk menyembunyikan atau membumikan jenazah ini. Tak lama setelah itu
aku merasakan ada pergerakan dalam kafan ini. Ternyata Arma sedang mengeluarkan
tangannya dan kemudian berkata, “di sana” sambil menunjukkan suatu tempat lalu
memasukkan tangannya lagi ke dalam kafan. Saat itulah aku benar-benar melihat
wajahnya. Wajah yang sangat bersih bahkan seperti didandani/dibedaki. Wajah yang
bersih dan rambut yang rapi yang aku kenali seperti ketika baru selesai mandi
dan persiapan untuk kuliah atau kegiatan penting lainnya.
“Lalu
mengapa kau berada di sini?” tanyaku. Tapi tidak ada jawaban. Arma malah sibuk
membenarkan posisinya dalam gendonganku mencari posisi yang nyaman. Entah
apakah orang yang bersamaku masih kebingungan itu menyadari aku sedang berkomunikasi dengan
jenazah ini atau tidak. Apakah dia mengikuti langkahku menuju tempat yang
ditunjuk Arma atau masih khawatir dengan kondisi sekitar.
Aku masih
belum menyadari bahwa ini bukan di dunia nyata. Biasanya aku pasti mengenali di
mana posisiku berada sehingga aku bisa menyesuaikan dan menentukan tindakan dalam
bersikap. Aku sudah terlalu fokus dengan perbincanganku dengan Arma dan sudah
terlalu senang (masih bisa) berkomunikasi dengannya. Dan aku tidak merasa takut
sama sekali seperti orang yang bersamaku tadi. Tidak ada kekhawatiran apapun
seperti dalam skenario-skenario lain ketika tidak berada di dunia nyata. Setelah
Arma nyaman dengan posisinya, dan aku bisa melangkahkan kaki dengan nyaman pula,
aku bertanya lagi pada Arma.
“Ma, koe
ki tenanan mati atau mek pengen nyicipi tok sih?”[1]
aku masih merasa di dunia nyata dan bertanya pada Arma sama seperti biasa; menganggap
setiap hal yang dilakukan Arma adalah guyonan belaka. Sehingga aku tak perlu
menjelaskan lebih lanjut lagi maksud pertanyaanku padanya à apakah benar sudah meninggal atau sama
seperti yang dilakukan orang lain yang hanya ingin tahu, penasaran rasanya
meninggal, penasaran dengan alam kubur, dan sebagainya, lalu kemudian kembali
dan hidup lagi di dunia.
“Iki
mati tenanan ki aku, pie toh..”[2]
jawabnya. Wajahnya agak sedikit cemberut, ekspresi biasa ketika aku meragukannya;
beneran atau bercanda.
“Yowes”[3]
Entah
mendapat dorongan dari mana, aku merasa tergesa-gesa menyampaikan lagi, sebelum
beberapa langkah lagi kami benar-benar sampai di tempat yang ditunjuk Arma
tadi, “Ma, aku jaluk ngapurane sing akeh yo, dhisik aku duwe salah........”[4]
belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotong, “halah
halaaah...”. Perbincangan kali ini sudah benar-benar tak lagi menggunakan
kata-kata. Meski sebenarnya dari tadi tak ada yang benar-benar berkata dengan mulut,
seperti layaknya berkomunikasi lewat telepati atau intuisi. Entah apakah dia
benar-benar paham apa yang aku maksud atau tidak. Arma, kau satu-satunya
sahabat yang tahu sampai aib terbesarku. Dulu ketika aku mengkhawatirkan kau
akan menjauh, membenci, dan menghindar setelah tahu semua tentang itu. Tapi justru
kau malah biasa saja, justru memberikan masukan dan saran, terus mendukung dan
membantu untuk keluar dari jurang maksiat dan dosa. Arma seolah memintaku untuk melupakannya. Aku sudah sampai di tempat
yang ditunjuk Arma tadi setelah perbincangan terakhir ini. Aku berhenti, lalu
kepejamkan mataku. Kueratkan gendonganku pada Arma seperti seolah memeluknya. Ingin
sekali kusampaikan bahwa dia adalah sahabat terbaikku. Aku masih berharap
pertemuan-pertemuan lainnya lagi. Meski di dunia ini, bukan di dunia nyata. Aku
tak mau meski sekedar meletakkan jenazahnya untuk mencari atau berharap ada
kuburan yang kosong atau mencari alat untuk menggali terlebih dahulu. Aku masih
terus memeluknya hingga sampai kurasakan seolah dia juga memelukku. Seolah dia
juga mengatakan hal yang sama bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Kutekadkan membuka
mata dan kulihat wajahnya tersenyum berseri, wajahnya bersinar tampak sangat
bahagia sekali.
Aku benar-benar membuka mata. Kudapati diriku tersenyum-senyum
sendiri. Merasa hangat dalam kemulan sarung meski sebelum tidur tadi terasa
dingin karena gerimis dan kipas kunyalakan untuk mengusir nyamuk. Kuraih hp
yang tak jauh dari jangkauanku dan kulihat jam; 02.32 Tue, 21 Jun. Kurapatkan sarung
menyelimuti tubuhku dan kembali tidur, berharap bisa bertemu dan
berbincang-bincang lagi dengannya.
21
Juni 2016
No comments:
Post a Comment