Sunday, August 23, 2015

RAHASIA II

Persepsi. Subyektif pribadi. Memori. Ikatan sejati. Cinta hakiki.
Aku sendiri dalam remang kegelapan. Aku merasa sepi di tengah keramaian. Aku masih mendengar bisikan-bisikan itu. Aku masih bisa merasakan kelelahan yang gugur oleh kebahagiaan. Telingaku pekak oleh teriak kemarahan. Tubuhku sakit karena diberi hukuman. Air mata mengalir diselingi isakan.
Bola, layang-layang, benang, kelereng, gambaran, mobil-mobilan, pesawat-pesawatan, kapal-kapalan, ayam, ikan, kepompong, tamagoci, dan tamiya. Permainan, pertengkaran, kekompakan, perselisihan, eksperimen, persahabatan, kedengkian, permusuhan. Petak umpet, sepak bola, basket sandal, mbat-mbat-an, polisi-polisian, kejar-kejaran.
Mungkin tak semua harus kuceritakan satu persatu, atau mungkin pada akhirnya nanti aku akan menceritakan semua. Memori ini mengalir dengan begitu derasnya. Menampilkan film hitam putih yang terus berputar menceritakan kisah kasih kita.
Tentang binatang peliharaan. Anak ayam warna-warni yang akhirnya mati, macam-macam ikan yang diletakkan di bak kamar mandi, biasanya sering kita mainkan ketika menguras bak mandi dan lama kelamaan juga mati, atau kepompong yang keseringan juga pasti mati. Aku tak tahu dari mana kau bisa selalu update dengan mainan-mainan saat itu, lebih update dari siapapun di kampung, setidaknya setauku. Koleksi gambaran terbanyak, koleksi kelereng dengan macam-macam warna, dan tamagoci; permainan yang dulu kau kenalkan sampai menyebar ke semua anak-anak sekampung.
Tentang eksperimen yang kita lakukan. Eksperimen yang hanya bermodal alat lilin, korek api, dan kulit/cangkang kerang. Bermacam-macam bahan kita coba; gula, garam, sabun, lotion nyamuk, dan pewangi-pewangi lainnya. Pernah kita berhasil membuat semacam ramuan parfurm yang berbau wangi meski hanya sekali dan kita lupa bahan-bahannya apa saja, dan ketika mencoba lagi malah menjadi bau busuk atau gosong. Haha. Atau eksperimen lama, kita panaskan lilin sampai mencair di atas kulit/cangkang kerang tersebut, lalu kita banting sejumput garam di atasnya, maka berkobarlah api itu, berkali-kali kita lakukan sampai bosan atau sampai ketahuan orangtua dan disuruh tidur siang.
Aku kecil seringkali hanya menjadi pengikut, atau follower-mu bahasa keren saat ini. Pemilihan waktu, tempat, dan jenis permainan. Aku ikut-ikut saja. Kita sama-sama belajar menghargai sesama, meski anak-anak lain pernah tak mau ikut main dengan anak-anak Kristen itu, kau tetap mengajakku bermain bersama mereka. Sepak bola yang kita mainkan berempat saban sore. Atau ketika kita digarap anak SMP itu, merebut bola kita, dan kita bekerja sama merebutnya kembali. Kau lebih jago menipu arah bola, aku lebih jago merebut bola. Beberapa kali kita berhasil mengecohnya, lalu pergi menghindar darinya, meski lebih sering dia yang mentertawakan kepolosan kita sampai dia puas dan akhirnya mengembalikan bola kita. Atau tentang menganggu orang gila. Pak Nut, begitu orang memanggilnya. Hampir saja, kita pernah dilempar batu yang besar. Tapi justru kita malah mentertawakannya, mentertawakan bagaimana cara dia melempar. Hahaha.
Tentang gembot/game boy. Kita sering banyak-banyakan skor. Atau Play Station: digimon, balapan, teken, dll. Pelarian dari tidur siang, sembunyi-sembunyi tanpa suara atau melarikan diri untuk nonton TV di rumah tetangga; Captain Tsubasa, Hatchi, digimon, dinosaurus, dan kartun-kartun lainnya. Tentang bemain di rumah teman MI kita, sama-sama tidak mengabarkan ke orangtua kalau sekolah pulang lebih awal (cukup rahasia ini saja yang aku bongkar :D).
Tentang rahasia-rahasia kita.
Rahasia bahasa. Kita sering berkomunikasi tanpa harus mulut berkata. Apalagi ketika kita dimarahi bersama. Sambil menerima pukulan atau ceramah orangtua, kita sibuk bertatap muka. “gara-gara kamu ya, kamu bilangin kan?”, “ngga, aku juga ngga tau gimana bisa ketahuan..”. “kamu sih, kan sudah tak bilang ati-ati, jangan sampai bersuara pintunya”, “iya iya, tadi kesenggol soalnya, jadi bunyi deh pintunya”. Itu bukan percakapan mulut kita, tapi bahasa yang hanya kita saja yang tahu. Bahasa ekspresi dan bahasa mata. “udah diem aja, ga usah ditanggepin, dengerin aja”, “ok..”.
Tentang rahasia di bulan puasa. Rahasia yang selalu kita lakukan setiap kali berpuasa. Rahasia yang kita berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapapun, baik orangtua, saudara-saudara kita, atau teman-teman kita. Cukup kita berdua saja yang tahu. Bahkan aku menduga, jangan-jangan rahasia ini menjadi penyebab atau motivasi atas amalan kita saat ini.
Tentang uang tabungan, tentang uang dari khitan. Hei, jangan-jangan kau tak tahu kalau sebenarnya aku tahu. Ya, aku juga menyimpan rahasia itu. Tidak pernah mengatakannya pada ibu. Atau jangan-jangan sebenarnya ibu juga sudah tahu, aku tak tahu. Bahkan aku sudah hampir melupakannya. Tapi kau mengingatkanku dengan sms-mu beberapa bulan yang lalu. Aku tersenyum-senyum sendiri membaca sms-mu waktu itu. Eh itu juga biar tetap menjadi rahasia kita saja. Haha.
Hingga pada suatu saat bibit-bibit perselisihan dan permusuhan itu benar-benar mengakar kuat. Aku tak tahu dari mana tumbuhnya bibit itu. Apakah dia datang dari masa kecil yang sangat jauh itu? Padahal masa-masa sangat kecil itu kita sering diajak jalan-jalan bersama bapak kita. Magelang, Jakarta, dan kota-kota lain yang sepertinya kau lebih banyak mengingat ke mana saja kita pergi. Tak jarang kau mengadukan kenakalanku pada ibu sesampainya di rumah. Atau karena dulu aku sering menjambak rambutmu sampai rontok. Aku hanya mengingat satu kejadian yang jika aku mengingatnya, aku sendiri merasa iba. Aku sendiri tak bisa mengingat mengapa aku melakukannya. Tapi jika kata orang-orang disekitar aku sering melakukannya, tak heran dan pantas pantas saja jika kau membenci atau takut padaku. Aku tak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu. Tiba-tiba saja bibit itu benar-benar tumbuh menjadi permusuhan yang nyata, bahkan untuk menebangnya tak cukup dengan permintaan maaf dan tangis sesal di beberapa hari raya.
Dua puluh tahun sudah waktu terus berlalu. Dari semua itu banyak sekali hikmah dan pelajaran yang aku dapat dari dinamika kita. Entah dengan terpaksa atau benar-benar mendalaminya. Terlebih ketika kita mulai berpisah baik pisah dalam arti kiasan atau dalam artian sesungguhnya. Mau tak mau aku belajar mandiri, tak bergantung pada orang lain, aku belajar darimu menjadi sosok kakak yang baik, tentang keberanian mencoba hal baru, kerja sama dan kekompakan, mengalah untuk kebaikan orang lain, tentang kesetiaan, mengakui kesalahan dengan ksatria, tanggung jawab atas konsekuensi, dan sebagainya.
Beginilah hidup, langit mendung tak selamanya hujan, bukan? Mungkin, ia hanya ingin mengingatkan kita, untuk lebih dewasa.


Apakah semua benar?
            Hanya persepsi, subyektif pribadi
Apa yang abadi dari kehidupan?
Kenangan, memori
Apa yang sejati dari sebuah ikatan?
Persaudaraan, persahabatan
Apa yang hakiki dari perasaan?

            Cinta

No comments:

Post a Comment