Ingatkah
engkau pada dongeng sebelum tidur siang, yang dulu sering diceritakan agar kita
tidak main ke luar? Dongeng yang setiap hari diputar ulang dengan suara khas
ibu kita yang mungkin juga kelelahan. Tentang Andhe-Andhe Lumut, Klenting
Abang, Klenting Ijo, Klenting Biru, Klenting Kuning, si Mbok, dan Yuyu
Kangkang. Biasanya aku tertidur ketika Yuyu Kangkang akan menyebrangkan
Klenting Kuning. Cerita ini terus diceritakan (yang sepertinya) untuk
menanamkan nilai agar kita rajin membantu orang tua :D, juga menanamkan untuk
terus berbuat baik, tidak sombong, dan akur dengan saudara J.
Demikian sedikit beberapa lagu dari dongeng itu yang dinyanyikan:
“Putraku
si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine
ngger kang ayu rupane klenting abang iku kang dadi asmane”
“Duh
ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si
yuyu kangkang”
“Putraku
si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine
ngger kang ayu rupane klenting ijo iku kang dadi asmane”
“Duh
ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si
yuyu kangkang”
“Putraku
si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine
ngger kang ayu rupane klenting biru iku kang dadi asmane”
“Duh
ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si
yuyu kangkang”
“Putraku
si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine
ngger kang ala rupane klenting kuning iku kang dadi asmane”
“Duh
ibu.. kula inggih purun.. dalem putra inggih badhe medun.. najan ala menika
kang putra suwun..”
Ingatkah
juga engkau ketika listrik padam? Sekejap semua menjadi gelap. Sementara kita
saling menyembunyikan ketakutan, gengsi dengan kakak atau adik yang terus
bersaing dalam hal apapun (padahal ketika gelap, ekspresi tak terlihat). Ibu kita
tetap tenang, meminta salah satu dari kita untuk mencari lilin dan korek api (terkadang
kita berebut mencarinya, yang duluan menemukannya yang paling menang) lalu
menyalakannya. Masa-masa gelap seperti itu justru sebenarnya yang kita nanti.
Karena setelah menyalakan lilin, ibu kita akan memulai dramanya. Dia genggam
tangan kanan dengan tangan kirinya, tetap mengacungkan jempol kanan dan
telunjuk kiri, kemudian menggerak-gerakkan jari kelingkingnya sambil
menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. Tidak, tidak, kita tidak melihat
semua itu, kita sudah terpesona dengan apa yang kita lihat dari bayangannya dan
lagunya ini:
“Kidang,
talung
Mangan
kacang, talung
Milketemil
milketemil
Si
kidang mangan lembayung”
Ya, bayangan itu mirip sekali dengan
kepala binatang. Dari lagu itu diceritakan tentang kidang, atau terkadang
beliau menirukan suara kambing, sambil bercerita apapun. Lalu setelah itu, kita
mencoba meniru, bersaing lagi untuk membentuk bayangan paling mirip, atau
berlomba membuat bentuk lain sesuai imajinasi kita. Terkadang pertengkaran
menghiasinya, udur-uduran siapa yang paling baik, siapa yang paling
bagus membuat sebuah bentuk; kelinci, burung, dan lain-lain. Maka jadilah
kondisi gelap yang menakutkan menjadi menyenangkan. Sambil menunggu kedatangan
bapak, atau sebenarnya berkat-nya lah yang kita tunggu, karena ketika
bapak datang tidak membawa apa-apa, kita kompak berseru “yaaah....”.
kalau bapak kita membawa berkat, persaingan-pun akan dimulai lagi, saling
berebut mencari makanan yang kita suka, tapi karena keadaan gelap, sementara
itu kita damai karena kita juga kurang bisa melihat dengan jelas apa yang kita
perebutkan, tidak seperti ketika lampu menyala.
Sebenarnya ada satu lagi, maukah kau
membantuku mengingatnya? Satu moment, saat ada yang sakit diantara kita.
Ada satu sajak yang biasanya bapak atau ibu kita koar-koarkan sebelum meminum
obat. Hanya kalimat terakhir yang aku ingat, yang jelas ada unsur kata “gathotkaca”,
“mabur”, “duwur”. Dan begini lah kalimat terakhir itu:
“tamba
teka, lara lunga, lunga kersane Gusti Allah
Laa
ilaaha illallah muhammadurrasulullah”
Sajak
sebelum minum obat ini sepertinya sangat tertanam oleh salah satu diantara kita.
Sehingga tak sengaja menjadi bahan tertawaan kita ketika bertanya kepada Afit; “Fit,
Bahasa Indonesiane mabur opo?”, “Nek Bahasa Indonesiane mudun?”. Afit
kecil tetap saja menjawab pertanyaan kita meskipun tidak tahu apa yang
sebenarnya kita tertawakan :D :D :D.
No comments:
Post a Comment