Friday, August 21, 2015

Sajak-Sajak Masa Kanak

Ingatkah engkau pada dongeng sebelum tidur siang, yang dulu sering diceritakan agar kita tidak main ke luar? Dongeng yang setiap hari diputar ulang dengan suara khas ibu kita yang mungkin juga kelelahan. Tentang Andhe-Andhe Lumut, Klenting Abang, Klenting Ijo, Klenting Biru, Klenting Kuning, si Mbok, dan Yuyu Kangkang. Biasanya aku tertidur ketika Yuyu Kangkang akan menyebrangkan Klenting Kuning. Cerita ini terus diceritakan (yang sepertinya) untuk menanamkan nilai agar kita rajin membantu orang tua :D, juga menanamkan untuk terus berbuat baik, tidak sombong, dan akur dengan saudara J. Demikian sedikit beberapa lagu dari dongeng itu yang dinyanyikan:
“Putraku si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine ngger kang ayu rupane klenting abang iku kang dadi asmane”
“Duh ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si yuyu kangkang”
“Putraku si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine ngger kang ayu rupane klenting ijo iku kang dadi asmane”
“Duh ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si yuyu kangkang”
“Putraku si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine ngger kang ayu rupane klenting biru iku kang dadi asmane”
“Duh ibu.. kula dereng purun.. duh ibu.. kulo mboten medun.. najan ayu sisane si yuyu kangkang”
“Putraku si andhe andhe andhe lumut.. temurana ana putri kang ungah-unggahi.. putrine ngger kang ala rupane klenting kuning iku kang dadi asmane”
“Duh ibu.. kula inggih purun.. dalem putra inggih badhe medun.. najan ala menika kang putra suwun..”
Ingatkah juga engkau ketika listrik padam? Sekejap semua menjadi gelap. Sementara kita saling menyembunyikan ketakutan, gengsi dengan kakak atau adik yang terus bersaing dalam hal apapun (padahal ketika gelap, ekspresi tak terlihat). Ibu kita tetap tenang, meminta salah satu dari kita untuk mencari lilin dan korek api (terkadang kita berebut mencarinya, yang duluan menemukannya yang paling menang) lalu menyalakannya. Masa-masa gelap seperti itu justru sebenarnya yang kita nanti. Karena setelah menyalakan lilin, ibu kita akan memulai dramanya. Dia genggam tangan kanan dengan tangan kirinya, tetap mengacungkan jempol kanan dan telunjuk kiri, kemudian menggerak-gerakkan jari kelingkingnya sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. Tidak, tidak, kita tidak melihat semua itu, kita sudah terpesona dengan apa yang kita lihat dari bayangannya dan lagunya ini:
“Kidang, talung
Mangan kacang, talung
Milketemil milketemil
Si kidang mangan lembayung”

            Ya, bayangan itu mirip sekali dengan kepala binatang. Dari lagu itu diceritakan tentang kidang, atau terkadang beliau menirukan suara kambing, sambil bercerita apapun. Lalu setelah itu, kita mencoba meniru, bersaing lagi untuk membentuk bayangan paling mirip, atau berlomba membuat bentuk lain sesuai imajinasi kita. Terkadang pertengkaran menghiasinya, udur-uduran siapa yang paling baik, siapa yang paling bagus membuat sebuah bentuk; kelinci, burung, dan lain-lain. Maka jadilah kondisi gelap yang menakutkan menjadi menyenangkan. Sambil menunggu kedatangan bapak, atau sebenarnya berkat-nya lah yang kita tunggu, karena ketika bapak datang tidak membawa apa-apa, kita kompak berseru “yaaah....”. kalau bapak kita membawa berkat, persaingan-pun akan dimulai lagi, saling berebut mencari makanan yang kita suka, tapi karena keadaan gelap, sementara itu kita damai karena kita juga kurang bisa melihat dengan jelas apa yang kita perebutkan, tidak seperti ketika lampu menyala.
            Sebenarnya ada satu lagi, maukah kau membantuku mengingatnya? Satu moment, saat ada yang sakit diantara kita. Ada satu sajak yang biasanya bapak atau ibu kita koar-koarkan sebelum meminum obat. Hanya kalimat terakhir yang aku ingat, yang jelas ada unsur kata “gathotkaca”, “mabur”, “duwur”. Dan begini lah kalimat terakhir itu:
“tamba teka, lara lunga, lunga kersane Gusti Allah
Laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah”
            Sajak sebelum minum obat ini sepertinya sangat tertanam oleh salah satu diantara kita. Sehingga tak sengaja menjadi bahan tertawaan kita ketika bertanya kepada Afit; “Fit, Bahasa Indonesiane mabur opo?”, “Nek Bahasa Indonesiane mudun?”. Afit kecil tetap saja menjawab pertanyaan kita meskipun tidak tahu apa yang sebenarnya kita tertawakan :D :D :D.

No comments:

Post a Comment