Sholat
merupakan salah satu ibadah ritual yang dilakukan umat islam. Dalam melaksanakan
sholat ada aturan-aturan yang mengikat. Ritual sholat ini dilakukan dengan
gerakan-gerakan khusus yang dimulai dengan berdiri, ruku’, sujud, duduk, diulangi
sesuai jumlah rakaatnya dan ditutup dengan salam. Selain tata cara gerakan, aturan
lain yang mengikat adalah untuk laki-laki diwajibkan untuk berjamaah di masjid,
yaitu dilakukan dengan bersama-sama, minimal dua orang, yang dipimpin oleh satu
orang pemimpin, yang disebut dengan imam sholat. Selain hal-hal rukun yang
sudah disebutkan, ada juga syarat dan sunah yang mengiringi. Orang yang akan
sholat harus berwudhu terlebih dahulu, membersihkan diri dengan membasuh muka,
tangan sampai ke siku, mengusap sebagian wajah, dan membasuh kaki sampai mata
kaki. Orang yang sholat sangan dianjurkan memakai pakaian yang terbaik dan
disunahkan untuk menggunakan wewangian.
Berikut
saya akan menyampaikan beberapa makna sosial yang saya dapatkan dari hasil
pemikiran dan perenungan sendiri, serta hasil mendengar dan berdiskusi. Tuilisan
ini hanya akan membahas kaitan ritual sholat dalam kehidupan sosial, tidak menjelaskan
makna lain dari ritual sholat. Karena tentunya tidak hanya berhubungan dengan
sosial, melainkan dengan diri sendiri juga hubungannya dengan Tuhan.
Pertama,
dimulai dari sebelum melaksanakan sholat. Orang yang akan sholat harus membersihkan
diri terlebih dahulu dan menggunakan pakaian terbaiknya serta menggunakan
wewangian. Ada juga yang menyebutkan bersiwak, dalam bahasa sekarang sikat gigi.
Apalagi jika sebelumnya memakan makanan yang baunya tajam seperti bawang putih,
pete, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan ritual
sholat itu sangat berhubungan dengan kehidupan sosial. Jangan sampai kondisi
kita saat melaksanakan ritual sholat itu mengganggu orang lain; bau badan yang
entah mungkin dari melakukan kegiatan-kegiatan yang menguras keringat, bau
mulut dari makanan yang dimakan, wajah kusut dan badan yang lemas disegarkan
dengan berwudhu. Semuanya menunjukkan untuk memberikan tampilan yang terbaik
ketika bertemu dengan orang-orang lain.,karena sholat bagi laki-laki diwajibkan
berjamaah di masjid yang notabene akan bertemu banyak orang.
Kedua,
tentang persamaan dan kebersamaan. Orang dengan pangkat apapun, pejabat maupun
rakyat, konglomerat maupun melarat, semuanya melakukan gerakan yang sama. Tidak
ada gerakan khusus untuk orang yang memiliki kekayaan yang lebih banyak, tidak
pula untuk orang yang memiliki pangkat lebih tinggi. Karena dalam kepercayaan
islam kedudukan tertinggi bukan diukur menggunakan hal-hal tersebut, melainkan
dengan kadar ketaqwaan yang hal ini hanya diketahui oleh Tuhan. Semua orang
memiliki hak yang sama. Gerakan-gerakan tersebut juga harus dilakukan dengan
bersama-sama. Ketika ruku’ dan sujud, semuanya juga harus ruku’ dan sujud,
tidak ada yang berdiri, merasa paling tinggi derajatnya. Pun sebaliknya, ketika
berdiri dan duduk, semuanya juga berdiri dan ruku’. Kita semua sama. Bahkan mau
yang bermadzhab berbeda-bedapun juga sama. Gerakannya adalah demikian. Tidak ada
gerakan tambahan, gerakan utamanya sudah diatur. Tidak boleh menyalahi gerakan
yang sudah ditetapkan. Semuanya melakukan gerakan yang sama dan menghadapa ke
arah yang satu. Tidak ada yang saling berhadapan ataupun saling membelakangi,
atau saling menyimpang (ada yang menghadap ke depan ada yang ke samping). Semuanya
sama, tidak ada yang spesial. Hal ini juga ditampakkan ketika posisi ruku’ dan
sujud. Kedua posisi ini menunjukkan ketidakberdayaan manusia, bahwa manusia
hanyalah seorang hamba, bahwa semua yang dimiliki sejatinya bukan kepemilikan
mutlak, tubuh, harta, pangkat, semua bersifat titipan dari Tuhan. Sehingga manusia
harus bersyukur atas nikmat dan bijak dalam menggunakan setiap fasilitas yang
dimilikinya. Ruku’ dan sujud juga menampakkan rendah hati kepada sesama. Tidak
ada yang tahu siapa yang derajatnya paling tinggi. Perbedaan pendapat dan
madzhab itu sudah pasti, tetapi dalam sholat diajarkan untuk saling merendahkan
hati. Karena tidak ada satupun yang bisa menjamin bahwa pendapatnyalah yang benar.
Kita diajarkan untuk saling menghargai perbedaan dan disatukan dengan
gerakan-gerakan utama yang sama. Bacaan-bacaan yang berbeda dan teknis lain
seperti cara sedekap ketika berdiri dan i’tidal, posisi tangan dan kaki saat
duduk dan sujud, biarlah itu menjadi perbedaan yang tidak ditonjolkan. Biarkan semua
itu hanya diri sendiri yang tahu berdasar keyakinan atas suatu madzhab
tertentu. Namun, gerakan utama tetap sama menunjukkan kebersamaan umat islam
yang sesungguhnya.
Ketiga,
persatuan dan kesatuan. Dalam berjamaah shaff atau barisan harus lurus
dan rapat. Semuanya bergerak dalam satu barisan yang kuat, tidak ada sekat,
meski sebenarnya ada yang berbeda pendapat. Lurus dan rapat menunjukkan
persatuan dan kesatuan yang bersifat akrab. Perbedaan apapun, kekayaan,
pangkat, atapun pendapat bisa disatukan dan dipertemukan untuk satu visi yang
sama; menuju kepada Sang Pencipta. Perbedaan apapun itu tak menjadi masalah
untuk mencapai satu tujuan yang sama; mengharap pahala dan keridhoan-Nya. Banyak
jalan menuju Roma, kata mereka. Terserah jalan mana yang akan dilalui, yang
terpenting tujuannya sama. Sehingga ada tuntutan untuk saling membantu dan
menguatkan.
Keempat,
tentang hak dan kewajiban pemimpin dan umat (imam dan makmum). Dalam ritual
sholat, tidak sembarang orang dapat menjadi imam. Dia harus memenuhi syarat
tertentu. Ada standar kualifikasinya; bacaan qurannya bagus (bukan banyak
hafalannya), banyak mengetahui sunnah, yang lebih tua, dan tuan rumah. Standar kualifikasi ini
bersifat prioritas berdasarkan urutan. Yang paling utama adalah yang memenuhi
syarat pertama, jika ada dua orang yang sama standarnya atau tidak ada, maka
turun ke standar kedua, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih
pemimpin itu tidak bisa sembarangan. Harus berdasarkan pertimbangan yang matang.
Karena yang mengatur pemimpin adalah langsung dari Tuhan dan akan
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Tuhan. Pemimpin bertanggung jawab
atas kesalahan umatnya, sama dengan Imam yang menanggung kesalahan jika ada
kesalahan. Ketika di tengah melaksanakan sholat seorang imam batal (apapun yang
membatalkan sholat), maka imam harus tahu diri untuk “mengundurkan diri”. Dia tidak
boleh melanjutkan sholat meskipun dia imam jika dia sudah batal. Dan makmum
yang di belakangnya harus siap menggantikan. Dalam kehidupan sosialpun juga
demikian, ketika seorang pemimpin merasa tak sanggup lagi atau ada suatu hal
yang membuat dia tidak bisa memimpin, maka harus disampaikan dan dia harus
berani “mengundurkan diri” dan orang yang terdekat harus berani
menggantikannya. Ketentuan untuk makmum; harus mengikuti apapun gerakan imam. Ketika
imam sudah ruku’, tapi bacaan makmum belum selesai, makmum harus segera
menyusul ruku’, tidak perlu menyelesaikan bacaannya terlebih dahulu. Namun,
makmum juga berhak bahkan wajib mengingatkan ketika imam melakukan kesalahan;
bacaannya salah (terlewat ke ayat berikutnya atau terlewat satu-dua kata),
salah gerakannya (harusnya berdiri tapi malah duduk), dsb. Hal inipun dilakukan
jika makmum mengetahui kesalahan imam, jika tidak maka makmum tetap harus
mengikuti imam. Dan ketika imam salah da makmum tidak mengetahui itu menjadi
tangung jawab imam. Begitulah juga dalam kehidupan sosial. Hal ini menunjukkan
bahwa umat/yang dipimpin harus patuh dan taat terhadap imamnya (selama hal itu
tidak bertentangan).
Ini
hanya tulisan dari seorang biasa, bukan ustadz apalagi ahli agama, ini hanya
hasil pemikiran dan perenungan seorang hamba yang ilmunya setitik tinta bahkan
mungkin lebih kecil darinya. Hanya berupa pendapat peribadi, bukan berdasar
ijtihad para ahli. Segala kebenaran hanyalah milik-Nya sejati dan setiap
kesalahan tentunya berasal dari kebodohan diri ini.
No comments:
Post a Comment