Wednesday, March 18, 2015

Jamaah Tumpengan

Manusia membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Di Indonesia ini sungguh merupakan surganya makanan dibandingkan daerah manapun. Aneka macam dan aneka rasa dapat ditemui di negeri ini. Maka kita sebagai warga Indonesia seharusnya bersyukur atas nikmat ini. Hmmm, tapi tulisan ini tidak akan membahas makanan meski nanti akan menggunakannya dalam perumpamaan.
Tulisan ini lebih akan membahas kebutuhan sosial manusia.  Dalam kehidupan sosial manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lain. Mau tak mau manusia akan membutuhkan manusia lainnya. lebih fokus lagi yang akan dibahas adalah kelompok-kelompok dan mengarah pada agama islam. Kelompok merupakan impelementasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Mereka berkumpul karena berbagai macam persamaan.
Berapa kelompok atau golongan islam yang kamu tahu? :D. Akupun tak tahu banyak, hanya beberapa kali sering mendengar, tapi tidak begitu memahami dengan dalam. Kelompok atau golongan antara lain Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA, YATAIN, LDII, dan lain-lainnya. Satu pertanyaan yang muncul jika dihubungkan dengan hadits Rasulullah. Dari sekian golongan yang sudah diramalkan bahwa akan terbagi dalam sekian kelompok, manakah satu diantaranya yang dijanjikan masuk surga? Harus mengikuti manakah agar bisa termasuk golongan tersebut?
Sungguh tak pantas saya membahas dengan terbatasnya ilmu. Karena aku bukanlah ulama atau ahli ilmu hadits yang pantas mengulas hadits-hadits yang akan dibahas ini. Aku juka bukan ahli tafsir, bukan ahli tata bahasa arab, juga bukan ahli nasikh-mansukh turunnya ayat Quran atau hadits nabi. Hadits tetang terbaginya umat nabi muhammad dalam tujuh puluh tiga golongan itu diragukan keshahihanya. Namun terlepas dari itu semua, aku hanya ingin menyampaiakan apa yang aku pikirkan. Jika memang hadits itu benar adanya, bahwa umat islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga golongan, didukung dengan data; banyaknya golongan islam baik di negara kita Indonesia, apalagi jika sedunia, kemudian untuk menjawab pertanyaan golongan mana yang benar, aku akan menjawabnya dengan hadits berikut ini.  
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل ومن يأبى يا رسول الله؟! قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga

Ya, yang masuk surga adalah mereka yang mengikuti Nabi. Dan yang masuk neraka adalah yang tidak taat kepada Nabi. Orang yang taat kepada Nabi adalah mereka yang mengikuti dan melaksanakan sunah-sunahnya yang tentunya melaksanakan setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Melihat realita sosial saat ini dimana umat islam “terpecah belah” dalam berbagai macam kelompok, dan masing-masing kelompok merasa kelompoknyalah yang paling benar. Sungguh miris aku melihatnya. Dalam diriku sendiripun mengakui, golongan-golongan atau kelompok-keompok itu bagus, masing-masing memiliki kelebihan, dan tentunya juga memiliki kekurangan. Satu kelompok memiliki kelebihan dalam satu bidang sedangkan bagian lain kurang maksimal, kelompok lain sebaliknya, begitu seterusnya. Namun, ada satu hal yang paling tidak aku suka, satu hal yang hampir ada di setiap kelompok itu; selalu ada sebagian orang yang sangking fanatiknya, menganggap bahwa kelompok merekalah yang paling benar, menganggap bahwa kelompok lain itu salah dan sesat.
Seperti yang aku bilang tadi, sebenarnya kelompok itu baik, karena memang pada hakikatnya itu merupakan kebutuhan manusia, karena manusia tak akan pernah bisa hidup sendiri. Namun itu semua menjadi masalah ketika masing-masing kelompok tadi merasa kelompoknyalah yang paling benar dan menganggap kelompok lain salah dan sesat. Hal ini lah yang menimbulkan perpecahan dalam umat.
Masing-masing kelompok merasa paling benar, jamaah yang benar, jamaah yang dijanjikan. Padahal secara konsep justru mereka keluar dari konsep jamaah, karena jamaah seharusnya adalah bersama-sama, bersatu, meninggalkan jaket kebanggan pribadi atau kelompoknya. Yang mereka praktekkan melainkan adalah firqoh; pecah.
Poin terpenting adalah berpegang teguh pada tali agama Allah, yang terimplementasi dengan beramal sesuai panduan; Al-Quran dan Hadits. Perbedaan itu sudah lumrah, sudah takdir, memang demikian adanya. Namun dengan perbedaan itu bukan berarti kita bepecah belah, saling menyalahkan, justru dengan perbedaan itu kita diperintah untuk saling mengenal, dan tetap berjamaah. Jamaah yang berarti sebenarnya, bersama-sama menegakkan kalimat Tuhan. Dalam sejarah sudah tercatat bagaimana dulu Islam dapat hidup berdampingan dengan Nasrani dan Yahudi. Namun, saat ini justru antar umat islam sendiri malah saling menyalahkan dan merendahkan.
Aku ingin mengambil pelajaran dari sebuah makanan; nasi tumpeng, atau yang sering disebut dengan tumpengan. Tumpengan adalah nasi yang dibentuk seperti gunung, menjulang tinggi kemudian dikelilingi sayur dan lauk pauk aneka macam. Ada tempe kering, tempe goreng, tahu goreng, ikan, ayam, dan telur. Ada timun, kubis, kangkung, dan sayur-sayuran lain. Aku hanya berpikir ketika berhadapan dengan nasi tumpeng itu. Lihatlah begitu indah konsep tumpengan itu. Semuanya menjadi satu, satu kesatuan yang tak terpisahkan. Nasi, lauk pauk, dan sayur mayur diletakkan dalam satu wadah tampah besar.
Nasi yang diletakkan di bawah, di seluruh bagian tampah menunjukkan islam sebagai rahmata(n) lil-‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Itulah agama kita, islam yang menjadikan tauhid sebagai landasan keimanan. Kemudian pada bagian tengahnya dibentuk seperti gunung yang menjulang tinggi merupakan poros utama, sebagai landasan paling dasar sekaligus tujuan utama. Ketinggian dimaksudkan untuk menunjukkan ke-Maha Besar-an, ke-Maha Agung-an Allah. Dimana seharusnya semua amal dilakukan hanya untuk Dia. Bukan untuk siapapun, apalagi untuk diri sendiri.
Keanekaragaman lauk pauk dan sayur mayur merupakan gambaran umatnya yang juga beraneka ragam. Ada kelompok penggemar ayam bakar, ada yang ayam goreng, ada yang cukup nikmat dengan tahu tempe, ada yang suka telur, ada juga yang malah alergi dengan telur, ada yang nek kalau makan ayam, dan lain sebagainya. Itu sedikit gambaran umat islam yang berkelompok-kelompok membentuk firqoh (pecahan). Yup, semua kelompok itu tidak ada yang salah karena semua toh makan nasi juga, apapun lauknya, apapun sayurnya. Yang mana di awal tadi sudah disebutkan; ada Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA, YATAIN, LDII, dan lain-lainnya. Begitu pula dengan kelompok-kelompok islam, tak ada yang salah selama landasan utama yang digunakan adalah Qur’an dan Hadits, dan niatnya lillah J.
Dalam proses memakannya, tumpengan dimakan dengan cara bersama-sama. Di sekeliling tampah tersebut semua orang berkeliling. Duduk dengan agak sedikit memiringkan badan agar banyak orang yang kebagian. Di sana sudah tak mengenal titel konglomerat atau melarat, pejabat atau rakyat, semua sama, duduk bersama dalam lingkaran memakan nasi tumpengan. Hal ini sama dengan konsep jamaah sholat dalam sholat. Semua dipandang sama. Golongan apapun, ketika berjamaah maka seharusnya bersama-sama dan bersatu. Tidak lagi memperdebatkan keyakinan masing-masing. Sama halnya dengan orang-orang yang makan tumpeng. Orang yang suka makan ayam tak bisa menyalahkan orang yang tidak bisa makan ayam, orang yang nikmat hanya dengan tempe tak bisa menyalahkan orang yang sudah terlanjur menikmati daging dan sudah lupa akan kenikmatan tempe. Yang perlu diyakini dan dipahami adalah bahwa makanan-makanan itu sama-sama halal. Jika yang dimakan itu daging babi, maka bolehlah kita memperingatkan, wajib malah. Dalam kelompok islampun juga sama, perdebatan masalah adanya qunut, penetapan tanggal 1, masalah cara berdakwah, masing-masing orang punya caranya sendiri dan keyakinan sendiri. Yang penting itu tidak menyimpang, mereka berlandaskan Qur’an dan Hadits. Cukup. Tidak perlu diperdebatkan. Kita boleh memperingatkan dan mempermasalahkan jika memang itu sudah keluar dari tema yang ushul, bukan furu’.
Ketika makan tumpengan, sudah tidak ada lagi orang yang mengugnakan piring-piring yang terbuat dari kaca yang banyak hiasannya, dari atom plastik, atau dari gerabah, tidak juga menggunakan mangkok, apalagi kertas minyak. Semua harus melebur menjadi satu bersama-sama dari satu wadah yang sama. Namun, ketika mereka makan sendiri di rumah, di kantor, di kantin, di manapun mereka tetap boleh menggunakannya. Terserah mereka mau memilih yang mana. Toh itu hanyalah wadah belaka. Dalam islam yang dipermasalahkan adalah apa yang di makan, jika yang di makan adalah makanan yang haram itu jelas dilarang. Dalam penggunaan wadahnya, selama didapatkan dari harta yang halal seharsunya tidak menjadi masalah. Mereka tak bisa menganggap dengan wadahnya lah yang paling mulia.

Islam tak akan pernah menang jika dalam umat islam sendiri masih terpecah belah. Padahal sudah sangat dijelaskan bahwa kita diperintah untuk berpegang teguh pada tali agama Allah dan dilarang untuk berpecah belah. Perbedaan pemahaman seharusnya tidak menjadi masalah, dan seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan sebenarnya dengan banyak perbedaan itu dapat saling mengisi dan membuat islam ini semakin indah jika umat islam bisa bersatu, bersama-sama, berjamaah. Bukankah pelangi indah karena banyak warna?

No comments:

Post a Comment