Manusia
membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Di Indonesia ini sungguh
merupakan surganya makanan dibandingkan daerah manapun. Aneka macam dan aneka
rasa dapat ditemui di negeri ini. Maka kita sebagai warga Indonesia seharusnya
bersyukur atas nikmat ini. Hmmm, tapi tulisan ini tidak akan membahas makanan
meski nanti akan menggunakannya dalam perumpamaan.
Tulisan
ini lebih akan membahas kebutuhan sosial manusia. Dalam kehidupan sosial manusia tidak dapat
hidup tanpa bantuan manusia lain. Mau tak mau manusia akan membutuhkan manusia
lainnya. lebih fokus lagi yang akan dibahas adalah kelompok-kelompok dan
mengarah pada agama islam. Kelompok merupakan impelementasi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Mereka berkumpul karena berbagai macam persamaan.
Berapa
kelompok atau golongan islam yang kamu tahu? :D. Akupun tak tahu banyak, hanya
beberapa kali sering mendengar, tapi tidak begitu memahami dengan dalam. Kelompok
atau golongan antara lain Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir, Jamaah
Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA, YATAIN,
LDII, dan lain-lainnya. Satu pertanyaan yang muncul jika dihubungkan dengan
hadits Rasulullah. Dari sekian golongan yang sudah diramalkan bahwa akan
terbagi dalam sekian kelompok, manakah satu diantaranya yang dijanjikan masuk
surga? Harus mengikuti manakah agar bisa termasuk golongan tersebut?
Sungguh
tak pantas saya membahas dengan terbatasnya ilmu. Karena aku bukanlah ulama
atau ahli ilmu hadits yang pantas mengulas hadits-hadits yang akan dibahas ini.
Aku juka bukan ahli tafsir, bukan ahli tata bahasa arab, juga bukan ahli nasikh-mansukh
turunnya ayat Quran atau hadits nabi. Hadits tetang terbaginya umat nabi
muhammad dalam tujuh puluh tiga golongan itu diragukan keshahihanya. Namun
terlepas dari itu semua, aku hanya ingin menyampaiakan apa yang aku pikirkan.
Jika memang hadits itu benar adanya, bahwa umat islam akan terbagi dalam tujuh
puluh tiga golongan, didukung dengan data; banyaknya golongan islam baik di negara
kita Indonesia, apalagi jika sedunia, kemudian untuk menjawab pertanyaan
golongan mana yang benar, aku akan menjawabnya dengan hadits berikut ini.
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل ومن يأبى يا رسول الله؟!
قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Setiap umatku akan masuk
surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang
bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ? Beliau
bersabda, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku
sungguh dia orang yang enggan masuk surga“
Ya, yang masuk
surga adalah mereka yang mengikuti Nabi. Dan yang masuk neraka adalah yang
tidak taat kepada Nabi. Orang yang taat kepada Nabi adalah mereka yang
mengikuti dan melaksanakan sunah-sunahnya yang tentunya melaksanakan setiap
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Melihat
realita sosial saat ini dimana umat islam “terpecah belah” dalam berbagai macam
kelompok, dan masing-masing kelompok merasa kelompoknyalah yang paling benar.
Sungguh miris aku melihatnya. Dalam diriku sendiripun mengakui,
golongan-golongan atau kelompok-keompok itu bagus, masing-masing memiliki
kelebihan, dan tentunya juga memiliki kekurangan. Satu kelompok memiliki
kelebihan dalam satu bidang sedangkan bagian lain kurang maksimal, kelompok
lain sebaliknya, begitu seterusnya. Namun, ada satu hal yang paling tidak aku
suka, satu hal yang hampir ada di setiap kelompok itu; selalu ada sebagian
orang yang sangking fanatiknya, menganggap bahwa kelompok merekalah yang paling
benar, menganggap bahwa kelompok lain itu salah dan sesat.
Seperti yang
aku bilang tadi, sebenarnya kelompok itu baik, karena memang pada hakikatnya
itu merupakan kebutuhan manusia, karena manusia tak akan pernah bisa hidup
sendiri. Namun itu semua menjadi masalah ketika masing-masing kelompok tadi
merasa kelompoknyalah yang paling benar dan menganggap kelompok lain salah dan
sesat. Hal ini lah yang menimbulkan perpecahan dalam umat.
Masing-masing
kelompok merasa paling benar, jamaah yang benar, jamaah yang dijanjikan.
Padahal secara konsep justru mereka keluar dari konsep jamaah, karena jamaah
seharusnya adalah bersama-sama, bersatu, meninggalkan jaket kebanggan pribadi
atau kelompoknya. Yang mereka praktekkan melainkan adalah firqoh; pecah.
Poin
terpenting adalah berpegang teguh pada tali agama Allah, yang terimplementasi
dengan beramal sesuai panduan; Al-Quran dan Hadits. Perbedaan itu sudah lumrah,
sudah takdir, memang demikian adanya. Namun dengan perbedaan itu bukan berarti
kita bepecah belah, saling menyalahkan, justru dengan perbedaan itu kita
diperintah untuk saling mengenal, dan tetap berjamaah. Jamaah yang berarti
sebenarnya, bersama-sama menegakkan kalimat Tuhan. Dalam sejarah sudah tercatat
bagaimana dulu Islam dapat hidup berdampingan dengan Nasrani dan Yahudi. Namun,
saat ini justru antar umat islam sendiri malah saling menyalahkan dan
merendahkan.
Aku ingin
mengambil pelajaran dari sebuah makanan; nasi tumpeng, atau yang sering disebut
dengan tumpengan. Tumpengan adalah nasi yang dibentuk seperti gunung, menjulang
tinggi kemudian dikelilingi sayur dan lauk pauk aneka macam. Ada tempe kering,
tempe goreng, tahu goreng, ikan, ayam, dan telur. Ada timun, kubis, kangkung,
dan sayur-sayuran lain. Aku hanya berpikir ketika berhadapan dengan nasi
tumpeng itu. Lihatlah begitu indah konsep tumpengan itu. Semuanya menjadi satu,
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Nasi, lauk pauk, dan sayur mayur diletakkan
dalam satu wadah tampah besar.
Nasi yang diletakkan
di bawah, di seluruh bagian tampah menunjukkan islam sebagai rahmata(n)
lil-‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Itulah agama kita, islam yang
menjadikan tauhid sebagai landasan keimanan. Kemudian pada bagian tengahnya
dibentuk seperti gunung yang menjulang tinggi merupakan poros utama, sebagai
landasan paling dasar sekaligus tujuan utama. Ketinggian dimaksudkan untuk
menunjukkan ke-Maha Besar-an, ke-Maha Agung-an Allah. Dimana seharusnya semua
amal dilakukan hanya untuk Dia. Bukan untuk siapapun, apalagi untuk diri
sendiri.
Keanekaragaman
lauk pauk dan sayur mayur merupakan gambaran umatnya yang juga beraneka ragam.
Ada kelompok penggemar ayam bakar, ada yang ayam goreng, ada yang cukup nikmat
dengan tahu tempe, ada yang suka telur, ada juga yang malah alergi dengan
telur, ada yang nek kalau makan ayam, dan lain sebagainya. Itu sedikit gambaran
umat islam yang berkelompok-kelompok membentuk firqoh (pecahan). Yup,
semua kelompok itu tidak ada yang salah karena semua toh makan nasi juga,
apapun lauknya, apapun sayurnya. Yang mana di awal
tadi sudah disebutkan; ada Mu’tazilah, Syiah, Sunni, Hizbut Tahrir,
Jamaah Tabligh, Salaf, Ikhwanul Muslimin, NU dan Muhammadiyah, Ahmadiyah, MTA,
YATAIN, LDII, dan lain-lainnya. Begitu pula dengan kelompok-kelompok islam, tak
ada yang salah selama landasan utama yang digunakan adalah Qur’an dan Hadits,
dan niatnya lillah J.
Dalam proses memakannya, tumpengan dimakan
dengan cara bersama-sama. Di sekeliling tampah tersebut semua orang
berkeliling. Duduk dengan agak sedikit memiringkan badan agar banyak orang yang
kebagian. Di sana sudah tak mengenal titel konglomerat atau melarat, pejabat
atau rakyat, semua sama, duduk bersama dalam lingkaran memakan nasi tumpengan.
Hal ini sama dengan konsep jamaah sholat dalam sholat. Semua dipandang sama.
Golongan apapun, ketika berjamaah maka seharusnya bersama-sama dan bersatu.
Tidak lagi memperdebatkan keyakinan masing-masing. Sama halnya dengan
orang-orang yang makan tumpeng. Orang yang suka makan ayam tak bisa menyalahkan
orang yang tidak bisa makan ayam, orang yang nikmat hanya dengan tempe tak bisa
menyalahkan orang yang sudah terlanjur menikmati daging dan sudah lupa akan
kenikmatan tempe. Yang perlu diyakini dan dipahami adalah bahwa makanan-makanan
itu sama-sama halal. Jika yang dimakan itu daging babi, maka bolehlah kita
memperingatkan, wajib malah. Dalam kelompok islampun juga sama, perdebatan
masalah adanya qunut, penetapan tanggal 1, masalah cara berdakwah,
masing-masing orang punya caranya sendiri dan keyakinan sendiri. Yang penting
itu tidak menyimpang, mereka berlandaskan Qur’an dan Hadits. Cukup. Tidak perlu
diperdebatkan. Kita boleh memperingatkan dan mempermasalahkan jika memang itu
sudah keluar dari tema yang ushul, bukan furu’.
Ketika makan tumpengan, sudah tidak ada
lagi orang yang mengugnakan piring-piring yang terbuat dari kaca yang banyak
hiasannya, dari atom plastik, atau dari gerabah, tidak juga menggunakan mangkok,
apalagi kertas minyak. Semua harus melebur menjadi satu bersama-sama dari satu
wadah yang sama. Namun, ketika mereka makan sendiri di rumah, di kantor, di
kantin, di manapun mereka tetap boleh menggunakannya. Terserah mereka mau
memilih yang mana. Toh itu hanyalah wadah belaka. Dalam islam yang
dipermasalahkan adalah apa yang di makan, jika yang di makan adalah makanan
yang haram itu jelas dilarang. Dalam penggunaan wadahnya, selama didapatkan
dari harta yang halal seharsunya tidak menjadi masalah. Mereka tak bisa menganggap
dengan wadahnya lah yang paling mulia.
Islam tak akan pernah menang jika dalam
umat islam sendiri masih terpecah belah. Padahal sudah sangat dijelaskan bahwa
kita diperintah untuk berpegang teguh pada tali agama Allah dan dilarang untuk
berpecah belah. Perbedaan pemahaman seharusnya tidak menjadi masalah, dan
seharusnya bisa saling melengkapi. Bahkan sebenarnya dengan banyak perbedaan
itu dapat saling mengisi dan membuat islam ini semakin indah jika umat islam
bisa bersatu, bersama-sama, berjamaah. Bukankah pelangi indah karena banyak
warna?
No comments:
Post a Comment