Politik
Indonesia sungguh memprihatinkan. Indonesia sudah lepas dari nilai-nilai dasar
Negara yang telah disusun dan ditekankan oleh para pendirinya. Nilai-nilai itu
seolah bak uap yang sudah tak ada wujudnya. Lihatlah orang-orang di sekitar
kita. Masing-masing menjelek-jelekkan pihak yang lain. Seolah pihak yang
didukungnya adalah yang paling benar.
Pernahkah
terpikirkan, bagaimana jika isu-isu yang disebar itu tidak menjadi kenyataan?
Missal jika Jokowi jadi presiden, tapi mengangkat
Jalaludin Rahmat mjd mentri Agama, menghlngkan kolom agama di KTP, menghapus
praturan ttg pndirian rmh ibadah, dl situ tidak dilakukan Jokowi. Apa yang akan
dilakukan oleh para penyebear isu itu? Atau jika Prabowo jadi presiden, tetapi mengembalikan negara ini ke zaman orde baru, menghalangi
kebebasan pers, dl situ tidak terjadi. Apa yang akan dilakukan oleh orang-orang
yangmenyebar isu-isu tersebut? Cuek sajakah? Merasa malu lalu mau meminta maaf
pada orang yang bersangkutan? Atau bagaimana? Bukankah ini termasuk fitnah? Dan
tidaklah kita ingat bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Kalaupun
meminta maaf, yakinkah orang yang bersangkutan akan memaafkan? Terlebih lagi,
yakin kah Allah akan memaafkan kita?[1]
Sungguh, diri ini mendambakan Indonesia
yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai dasar Negara. Coba kita bayangkan.
Jika para calon pemimpin kita ini benar-benar mengerti dan memahami Indonesia
sebagai suatu Negara, Negara yang tidak hanya untuk kekuasaan saja, maka
seharusnya mereka menjiwai nilai-nilai dasar Negara Indonesia. Nilai-nilai
dasar yang dimaksud di sini tak lain dan tak bukan adalah pancasila dan semboyannya
Bhinneka Tunggal Ika. Cukup dengan dua nilai ini, perpolitikan di Indonesia
tidak akan seperti yang kita saksikan saat ini.
Kita coba mulai dari sila pertama, bahwa
seharusnya apapun yang ada di Indonesia itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Maka, seharusnya tokoh-tokoh Negara menunjukkan hal ini dalam setiap
harinya. Apapun yang dilakukan berdasar pada keimanannya pada Tuhannya.
Berdasar pada apa yang telah diajarkan oleh agamanya.
Lalu, sila kedua, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab. Bahkan, tokoh-tokoh di belakang capres-cawapres kita sangat tidak
menunjukkan keadilan dan keberadaban sebagai manusia. Mana ada manusia yang
menjelek-jelekkan sesama manusia, apakah mereka sudah cukup suci hingga pantas
merendahkan derajat manusia lainya? Mana keadilan dan keberadaban yang selalu
mereka koar-koarkan? Bahkan dalam dirinya saja tidak pernah terwujud keadilan
dan keberadaban itu.
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Hal
ini juga sesuai dengan semboyan yang dijunjung tinggi Indonesia, Bhinneka
Tunggal Ika. “Pertikaian” kedua belah pihak sama sekali tidak menunjukkan
adanya persatuan Indonesia. Karena persatuan sejatinya tidak hanya dalam
masalah perbedaan agama, suku, ras, bahasa, tetapi juga dalam perbedaan
pendapat. Maka seharusnya, dengan persatuan pihak-pihak terkait tidak begitu
mempersalahkan siapapun yang akan memimpin nantinya. Hey, bukankah kedua-duanya
sama-sama menginginkan kemajuan Indonesia? Jika sama-sama memiliki tujuan itu,
bukankah seharusnya perbedaan pendapat dalam cara mewujudkannya merupakan hal
biasa? Lalu kenapa hanya terfokus pada perbedaan itu? Bukankah akan lebih baik
jika fokus pada misi untuk memajukan Indonesia? Siapapun pemimpinnya nanti,
kalau memang tujuannya untuk memajukan Indonesia, ya kita dukung aja, masalah
caranya ya sesuaikan dengan kemampuan apa yang bisa dilakukan.
Sila keempat dan kelima silahkan bahas
sendiri. Yang menjadi garis bawah dalam tulisan ini adalah bahwa sangat
disayangkan jika nilai-nilai dasar Negara ini hanya tergantung begitu saja di
lambang Negara, Garuda. Lambang yang hanya menjadi pajangan indah di gedung-gedung
pemerintahan dan istana Negara. Karena saking indahnya lambang itu, orang-orang
di dalamnya merasa tak perlu lagi memperindahnya dengan mengimplementasikan
nilai-nilai itu dalam keseharian. Jangan-jangan memang Garuda itu sudah cukup
dibiarkan bertengger di sana. Menyaksikan orang-orang di dalamnya yang sudah
melupakan bahwa dia menjadi saksi bisu ditinggalkannya nilai-nilai dasar itu di
bawah naungannya. Mungkin jika aku kesana, aku akan menemukan tetes air pada
mata Garuda itu, menyaksikan semakin bobroknya perilaku orang-orang di sana. Merasa
sedih karena ditinggalkan dan dilupakan keberadaannya.
Mungkin, Garuda itu tengah berbisik, “Jangan
sampai kata tunggal ika yang ada di ekorku ini terhapus, sungguh negeri ini
sudah jauh melangkah, sampai-sampai menginjak-injak ekornya sendiri yang seharusnya
menjadi dasar persatuan. Jangan sampai kelima nyawa ini berpudar dan
benar-benar menghilang. Karena jika kelima nyawa ini benar-benar menghilang,
maka tunggulah saatnya hingga badan ini tak bisa lagi terbang menuju
kemakmuran”.