Berawal dari masa transisi dari
siswa menjadi mahasiswa. Masa-masa adaptasi dengan lingkungan baru di jogja.
Momen-momen penting yang menjadi jejak esok lusa. Ternyata terskenario
menempatkan diri ini dalam kondisi dan situasi yang tepat. 1)Perubahan
kurikulum yang berupa materi lebih banyak, tugas lebih banyak, metode
pengajaran yang hampir selalu tampak
tidak jelas, ketidaksiapan dari perangkat fakultas baik dosen,
mahasiswa, maupun karyawannya. 2) harapan dan keinginan berpengalaman di
berbagai organisasi. Cita-cita mengembangkan potensi dan menyalurkan minat
bakat. 3) belum jelasnya pembiayaan kuliah. Dan ketika sudah jelas dan merasa
aman, justru terjadi “momen penting “ lain yang mengharuskan aku mengganti uang
10 juta. 4) kondisi keluarga yang belum tentu arahnya ke depan. Bapak yang
“menginginkan” nikah lagi, tetapi anak-anaknya tidak pernah menganggap serius
pembahasan tentang ini. Salah satu kakak yang belum lulus, kakak lain yang juga
belum jelas kelanjutannya, dan adik-adik yang masih sekolah.
Empat kondisi, dan ketika saling
dihubungkan sungguh membuat otak ini terus berputar. Kurikulum/akademik yang
menuntut banyak membaca buku dan atau jurnal, juga deadline tugas-tugas yang bertumpukan. Hal ini seharusnya dapat
diatasi dengan hanya pergi ke warnet, searching, browsing, baca, ngerjain tugas
selesai. Tetapi tak sesimpel itu ketika kondisi kemudian menunjukkan turunnya
beasiswa yang tidak jelas kapan, ditambah lagi “momen penting” mengganti uang
10 juta, belum memikirkan kehidupan sehari-hari. Tak mungkin seenaknya aku
dapat berpuas ria di warnet. Tak tega juga harus meminta uang orangtua sebanyak
itu sedangkan saudara-saudara yang lain juga membutuhkan. Belum lagi kondisi
bapak yang sejak ditinggal ibu tampak goyah. Harapan-harapan berorganisasi,
mengembangkan potensi dan menyalurkan bakat; seni, musik, fotografi, menulis, dan
pecinta alam, semua harus kutahan, dengan
alasan yang sama. Karena aku sadar, semua itu tak dapat dilakukan hanya dengan
modal dengkul.
Satu-satunya cara pelampiasanku
adalah “terjebak” dalam sebuah organisasi, opsi terakhir dari sekian organisasi
yang ingin kumasuki. Daripada suntuk dengan permasalahan yang akhirnya membuat
diri tak nyaman. Dengan masuk di organisasi ini, aku dapat melakukan apapun,
melakukan “ide kreatif” dari kondisi tertekan sebagai pelampiasan dan
“melupakan” sejanak permasalahan. Namun, tak terasa, dampak secara fisiologis
aku tak bisa mengontrolnya; susah tidur, ngantuk di kelas, bahkan sampai 4 sks
di kelas aku hanya tidur dari masuk kelas sampai keluar lagi. Di kelas manapun.
Maka yang terjadi, terjadilah. Di luar sana aku sering sekali diomongkan. Tukang
tidur di kelas. Hal ini terjadi hingga hampir 2 semester.
Sebenarnya tak apa aku dicap
seperti itu. Sungguh, rasa malupun aku tak peduli. Mereka mungkin tahu
kondisiku, tapi mereka hanya tak paham apa yang terjadi padaku. Tapi aku mulai
sadar. Aku tak hanya membawa namaku sendiri. Aku juga membawa “jaket
organisasi” yang kuikuti. Hmm, bukan, lebih tepatnya “jaket agama” dengan
nilai-nilai yang seharusnya kujalankan. Karena pada ujungnya toh aku “tak
peduli” dengan organisasi ini, tetapi terlebih karena aku lebih mencintai nilai
yang (seharusnya) dibawa organisasi ini. Akhirnya, di semester 3 aku mencoba mengontrol
kantukku. Disamping juga aku harus memanage
keuangan dan pikiranku. Kira-kira 75% aku berhasil mengontrol kantukku di kelas
ketika sudah semester 4.
Inilah saat-sat itu terjadi.
Ketika posisiku yang semakin naik di organisasi ini, juga melihat
perkembanganku di kelas. Ada beberapa orang yang mengeluh padaku. “eh, kok si
itu gini sih, mbok dikasih tahu”, “eh kok si ini gitu sih, harusnya kan gitu”,
“kamu kan temennya, mbok dikasih tahu, biar gak gitu”. Seringkali permasalahan
teman-teman organisasiku di kelas diadukan padaku. Entah tidur, telat, maupun tugas
ga bener. Keluhan itu tidak terjadi secara langsung. Tetapi satu per satu
permasalahan dipampangkan dihadapanku. Kadang sebulan satu permasalahan atau
dua bulan tiga permasalahan; random. Beberapa cara telah kulakukan, baik dengan
sindiran, diskusi, ngomong secara terbuka, atau langsung memberikan
saran/solusi. Namun, tetap saja, atau mungkin belum memberikan dampak yang
signifikan. Atau bahkan lebih parah lagi, mereka sudah nyaman dan bangga dengan
kecacatan itu.
Sampai saat ini, akhirnya
beberapa minggu yang lalu, aku merasakan puncak “teguran” yang amat
menyakitkan, meski tidak langsung kepadaku, “ternyata anak ‘organisasi’ itu
kayak gini ya? Yang satu tukang tidur, yang satu telatan, tugas ga jelas. Tak
kirain anak ‘organisasi’ itu tu baik-baik, soleh-soleh. Eh, ternyata juga bisa
kayak gitu semua”.
Pada akhirnya, aku hanya
berpikir, selama ini aku berpikir untuk mengubah perilaku mereka. Tapi tidak
kali ini. Tugasku hanyalah menyampaikan informasi dan membantu jika dibutuhkan.
Mau atau tidak mau berubah, siap atau tidak siap berubah itu urusan mereka. Dan
memang hanya dengan keinginan dan usaha mereka sendirilah yang mampu
mengubahnya. Percuma jika aku mau dan berusaha mengubah tetapi kemauan dan
usaha itu tidak muncuk dari diri mereka sendiri. Pengajaran yang terbaik atau
dalam bahasa organisasi itu adalah dakwah adalah dengan memberi contoh. Menjadi
teladan dalam berperilaku sehari-hari. Percuma selalu mengatakan tentang
kebaikan, percuma selalu mencoba melarang hal yang dilarang, tapi diri sendiri
masih banyak cacat yang terlihat. Memang, jika fokus pada cacat, dakwah tak
akan terjadi. Namun, itu bisa disiasati dengan saling membantu dan mendukung,
saling mengkoreksi mengingatkan, untuk menjadi yang lebih baik lagi. J
No comments:
Post a Comment