Hidup
merupakan ujian. Bahkan dari sebelum lahir, calon manusia (read: sperma) sudah
harus bersaing dengan ribuan calon manusia lainnya. Hanya satu yang lolos yang
akhirnya masuk ke rahim ibunya. Hidup penuh tantangan. Tak pelak, banyak sekali
manusia yang tidak lulus pada ujian-ujian selanjutnya ketika masuk dalam dunia
nyata. Ada yang depresi, bahkan sampai bunuh diri. Tulisan ini akan bercerita
tentang ujian dan tantangan hidupku selama kurang lebih satu tahun ini, 2014,
meski tidak semua aku ceritakan. Namun, ini sudah cukup untuk sekadar
pelampiasan dan strategi dalam menghadapi ujian dan tantangan (dalam bahasa
psikologi disebut sebagai katarsis dan strategi coping). Dalam pembahasannyapun
pastinya terkait dengan tahun sebelum dan sesudahnya, 2013 dan 2015. Selain
sebagai katarsis dan strategi coping, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang
aku dapatkan yang semoga juga bermanfaat bagi para pembaca. J
Aku
akan menggunakan dua analogi; batu dan kertas (bukan suit batu gunting kertas
:D). Secara garis besar batu dan kertas ini ada tiga, sesuai dengan judul
tulisan ini; sebut saja T, K1, dan K2. Apa arti dari analogi batu dan kertas
itu? Oke, bayangkan saja aku adalah seorang pemahat batu atau pelukis. Sehingga
batu dan kertas itu adalah bahan utama untuk memahat dan melukis.
Oktober
2013. Baru saja aku selesai membuat satu pahatan batu atau lukisan, sedang juga
membantu memahat dan melukis K1, aku mendapat order untuk memahat dan melukis
T, sebuah pahatan atau lukisan yang merepresentasikan sebuah taman yang nyaman
dengan anak-anak yang bahagia di dalamnya. Buruknya, aku tidak mendapat warisan
apapun untuk menjaga dan memperindah batu dan lukisan yang belum jadi itu.
Bahkan aku harus memulainya dari nol. Termasuk mencari dan membeli alat,
mencari bantuan, dan sebagainya. Jatahku untuk menjaga dan memperindah batu dan
lukisan T ini tidak jelas, bisa jadi satu, dua, atau bahkan tiga tahun.
Sementara orang-orang sudah terus melihat perkembangan dan membicarakan proses
pembuatan pahatan batu dan lukisan T ini.
Januari
2014. Masa membantuku untuk memahat dan melukis K1 telah usai. Aku sedikit
lega. Tetapi ternyata sebaliknya. Justru setelah itu aku ditunjuk sebagai
penanggung jawab selanjutnya; menjaga dan memperindah pahatan batu dan lukisan itu.
Baiknya, aku sudah memiliki alat-alat dan bahan-bahannya. Aku juga sudah tahu
konsep pahatan batu dan lukisan itu akan dibuat menjadi apa. Tidak seperti pada
batu dan lukisan T. Tantangannya adalah membuat orang-orang yang membantuku
memahami cara menggunakan alat dan bahan itu, serta memahamkan konsep akhir
batu dan lukisan itu. K1 ini merupakan pahatan dan lukisan yang menggambarkan
sebuah keluarga yang disinari oleh cahaya matahari, yang berdiri diatas bumi
pada tingkatan tertinggi.
Februari
2014. Aku melakukan kewajibanku sendiri untuk membantu membuat pahatan dan
lukisan K2. Sebuah rancangan karya yang fenomenal. Karya ini akan dikirim ke
luar pulau, di sebuah kabupaten paling ujung, di sebuah kampung yang mungkin
bisa dikatakan terpencil. Sebuah karya yang diharapkan mampu menjadi motivasi
bagi penduduk di sana, untuk menjadi masyarakat yang lebih baik, yang mampu
berkembang dan bersaing seiring berkembangnya zaman. Karya ini harus dikirim
bulan Juli depan. Namun, di tengah perjalanan, April 2014, pemimpin proyek
karya ini kehilangan arahnya. Yang pada akhirnya menuntutku untuk menggantikan
posisinya sebagai pemimpin, pemahat dan pelukis utama. Tak hanya itu, bahkan
pahatan batu dan lukisan yang dalam proses pembuatan ini hampir dihancurkan,
pahatan dan lukisan yang semi jadi itu diabaikan, bahkan dibanting dan
diinjak-injak. Sungguh betapa menyakitkan. Perjuangan dan pengorbanan, tetes
demi tetes keringat yang berjatuhan, tidak dihargai sama sekali. Untung saja, tim
pemahat dan lukisan ini mempunyai semangat dan komitmen yang luar biasa. Tim
ini berhasil menyusun, memahat dan melukis lagi menjadi baik dan akhirnya mulai
dibicarakan positifnya, mulai dipuji, dan dihargai. Namun, perjuangan memang
belum usai. Kami harus memperindah lagi setelah pahatan dan lukisan ini hancur
berantakan.
Dalam
analogi batu dan kertas ini, menggambarkan bahwa posisiku saat ini berada di
tengah tiga batu dan lukisan yang harus dijaga dan diperindah. Aku harus
melaksanakannya secara bersamaan. Namun sebenarnya tidak hanya tiga batu dan
lukisan itu. Tentunya ada juga pahatan batu dan lukisan khusus yang ingin aku
buat sendiri, untuk keluargaku, untukku sendiri, atau untuk orang-orang di
sekitarku. Pasti ada orang-orang yang meminta bantuan untuk membuatkan pernak
pernik kecil, atau lukisan sederhana untuk mereka (ingat bahwa aku sebagai
pemahat dan atau pelukis).
Cerita-cerita
itu, awalnya aku menganalogikan diriku sebagai tukang angkut dan kolektor batu.
Sehingga menunjukkan bahwa aku diminta tolong orang untuk mengangkut tiga batu
besar itu dalam waktu yang “bersamaan”. Bayangkan, betapa beratnya jika seorang
kolektor batu, yang selalu memunguti batu kerikil yang disukainya, atau
ditawarkan orang lain padanya, kemudian meletakkan di karung yang dipikulnya.
Kemudian sebagai tukang angkut batu, dia juga diminta tolong oleh tiga pihak
untuk mengangkat batu-batunya yang besar. Padahal batu-batu di karung yang
dipikulnya tak hanya kerikil yang dia kumpulkan, tetapi juga koleksinya dari
dahulu yang pastinya juga beraneka ukuran; beberapa besar, sedang dan kecil.
Sungguh betapa berat pundak ini harus memikulnya.
Pada
akhirnya aku sadar, aku bukanlah kolektor atau tukang angkut batu. Tetapi aku
adalah pemahat batu. Sehingga aku tak harus mengangkut batu itu kemana-mana
agar orang lain melihat keindahannya. Tugasku adalah menjaga dan memperindah
batu yang ada. Aku dapat meletakkan batu itu, lalu memperindahnya, sehingga
orang lainlah yang akan datang menyaksikan keindahannya. Batu-batu kerikil lain
yang aku kumpulkan, itu dapat menjadi hiasan pada batu besar itu. Dapat juga
menjadi karya sendiri yang memiliki keindahan yang khas. Kemudian, dalam
menjaga dan memperindah batu itu, aku sadar bahwa aku tidak sendirian. Aku
dapat mengatur shift kerja, membagi peran, dan mengatur komunikasi untuk
menjaga dan memperindahnya.
Banyak
sekali cerita ketika proses pemahatan batu itu. Ada kalanya terkikis air hujan,
terkikis angin yang kencang, salah memahat karena mengantuk, diejek dan
diremehkan orang lain, bahkan dirusak dan diinjak-injak. Namun, itu merupakan
proses. Justru dengan adanya semua itu, hasil yang didapatkan justru lebih
indah, ya, lebih indah daripada yang terbayangkan. :)
Jika
kau juga seorang pemahat batu, baik sebagai pemahat utama atau sekedar pemahat
batu, bagaimana dengan batu yang kau pahat? Samakah cerita dan prosesnya? :)
No comments:
Post a Comment