Monday, March 21, 2011

Emang Kamu Tahu?

Semua orang sibuk merapikan barang. Mencari nomor kursi yang tercantum dalam tiketnya masing-masing. Aku memilih duduk di samping jendela. Berdua dengan temanku, Udin. Tak lama kemudian kereta mulai berjalan, menembus kesunyian malam.
“Fik, coba bandingkan dengan kereta ekonomi! Jauh sekali!” kata Udin. “Di sini kita bisa istirahat langsung. Tidak usah bersusah payah mencari tempat yang nyaman.” tambahnya.
“Iya... berbeda 180 derajat” kataku. Bayangan-bayangan masa lalu berkelebat di kepalaku saat pulang bersama naik kereta ekonomi. Berdesak-desakan. Mencari tempat yang nyaman. Tapi, itu dulu. Kali ini kami ingin berbeda. Setidaknya, setelah wisuda ini kami pulang bersama naik kereta bisnis. Menikmati yang lebih baik daripada kereta ekonomi. Di sini tak ada pedagang asongan yang lalu-lalang di setiap gerbong, di setiap waktu. Mungkin hanya sesekali saja saat berhenti di stasiun. Itupun kalau stasiunnya besar dan berhentinya lama. Kemudian, kemungkinan kecopetan kecil. Karena kami sudah pasti mendapat tempat duduk. Tidak seperti di kereta ekonomi yang harus berdesak-desakan.
Tanpa kusadari Udin telah terlelap. Terbang bersama mimpinya. Kulihat guratan lelah di wajahnya. Ah.... Rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Belajar bersama. Berorganisasi dan sebagainya. Tapi waktu tak pernah ingkar janji. Perpisahan itu pasti ada.
*********************************
Aku turun dari kereta api. Lelah. Punggungku terasa pegal semua. Kereta itu melanjutkan perjalanannya. Melewati rel panjang yang memotong hamparan alam. Aku berfikir, andai saja hidup itu seperti melewati rel, akankah manusia bisa menikmati kehidupannya yang tanpa halangan? Aku tersadar dri lamunnku. Karena semua yang sbelumnya tampak kini mulai menghilang. Gumpalan awan hitam muncul entah dari mana.
Hamparan tanah tergelar di hadapanku. Tak ada satu bangunan pun yang berdiri. Sejauh mata memandang, hanya awan hitam yang menghiasi hamparan ini. Tapi, agak jauh di sana aku melihat setitik sinar. Aku mencoba menuju ke sana. Berjalan dengan hati-hati dalam kegelapan. Karena aka hanya bisa melihat dengan jelas hanya tak sampai satu meter berkat sinar yang memancar dari diriku sendiri. Aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tak berani menolehkan kepalaku. Meski hanya melirik. Perlahan sinar itu kian tampak. Menerangi semua yang ada di sekelilingku. Namun sejauh aku melangkah, semakin lama aku meniti, aku tak pernah bisa mencapai sumber sinar itu. Tapi aku tetap tak menyerah. Aku mengingat semua perbuatan baik yang pernah kulakukan. Dan melupakan sama sekali segala perbuatan buruk dan maksiat yang pernah kulakaukan. Mungkin hal ini dapat membuatku mencapai sumber sinar itu.
Aku terkejut saat mengetahui sinar itu berasal dari sekumpulan orang-orang yang memakai baju putih. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga putih. Mungkin inilah yang dimaksud dengan orang-orang yang terlindungi oleh air wudhunya. Sinarnya sangat terang. Beratus kali lipat dari sinar yang ada pada diriku.
Aku baru sadar. Ternyata yang mengikutiku tadi adalah sekolompok orang yang berbaju hitam. Pas dan serasi dengan kulit mereka yang juga hitam. Tak tampak sedikitpun sinar dari mereka. Justru kegelapan dan kemuramanlah yang mengelilingi mereka. Ternyata mereka juga menuju sinar benderang itu dengan bantuan sinar yang ada pada diriku. Memastikan mereka berjalan di jalan yang benar, tidak terpelosok dalam jurang atau lubang yang mungkin ada di tengah kegelapan ini.
Jikalau ada kelompok hitam dan putih, maka aku adalah abu-abu. Jika mereka dalam pancaran sinar benderang dan kegelapan, maka aku berada dalam keremang-remangan. Jika mereka bersenang-senang dan ketakutan, maka akulah si wajah datar, tak berekspresi.
Lama-lama aku mengenali beberapa orang yang ada dalam kelompok itu. Pada kelompok berbaju putih itu, aku melihat kedua orangtuaku, kakak-kakakku, serta seluruh keluargaku dan tetanggaku. Dan banyak orang lagi yang tak aku kenal. Mereka tampak tersenyum, berseri.
Sedangkan pada kelompok baju hitam itu. Aku melihat guru-guruku, teman-temanku seangkatan, bahkan presiden dan wakil presiden beserta para petinggi negara lainnya dan orang-orang yang tak aku kenal. Mereka masih tetap berusaha mencapai sinar yang ada pada kelompok berbaju putih itu. Karena mereka merasa ketakutan berada dalam kegelapan.
Aku mengamati kedua kelompok tersebut. Lalu, pada diriku sendiri. Apa yang membuat kami berbeda dan terpisah? Apa yang membuat kami tak pernah bisa menyatu meski aku dan sekelompok orang berbaju hitam itu berjuang sekuat tenaga? Tempat apa ini? Di mana aku?
“Di sinilah tempat kalain akan dibalas sesuai amal kalian.” Suara itu muncul tiba-tiba. Seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Kalau memang ini adalah tempat pembalasan, apakah Tuhan tidak salah menempatkan? Aku mengenal guru-guruku yang selalu mengajarkan sholat berjamaah, teman-temanku yang rajin sholat, saling membantu dan mengingatklan. Presiden, wakil presiden, dan petinggi-petinggi lainnya yang mencanangkan program pendidikan, BLT, serta bantuan-bantuan lainnya kepada warganya. Tapi, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang gelap?
Aku juga mengenal tetangga-tetanggaku yang sering mencopet, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, menindas yang lain, pokoknya mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya. Lalu, mengapa justru mereka berada dalam golongan yang berbaju putih itu?
Dan di manakah aku? Termasuk manakah diriku? Apakah aku bukan salah satu dari mereka? Atau lebih ekstrim lagi, apakah aku ini bukan manusia? Sehingga aku tidak termasuk orang-orang yang akan dibalas amalnya? Atau Tuhan memang benar-benar tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sehingga tertukar-tukar menempatkan orang dan tidak menempatkan aku?
Dengan segenap keberanianku, aku berteriak, “Aku meragukan Engkau, TUHAN!!!”
Tak ada jawaban. Kelompok berbaju hitam itu terhenti dari langkahnya. Kaget dengan ucapanku barusan. Begitu juga kelompok berbaju putih. Wajah berserinya hilang. Berganti kebencian karena Tuhannya telah diejek. Melihat reaksi mereka aku semakin berani. Berani meneriakkan kebenaran dan keadilan. Aku berteriak lagi, “Di mana Engkau Tuhan? Di mana Engkau yang katanya ADA? Di mana Engkau yang katanya Maha Tahu? Yang katanya Maha Adil?” aku ngos-ngosan. Aku sendiri kaget. Mengapa kata-kata itu muncul dari mulutku, bukan dari sekelompok orang berbaju hitam itu? Inikah setitik ketidak percayaanku pada-Nya?
Masih tak ada jawaban. Tapi, tiba-tiba muncul layar seperti video. Memperlihatkan negaraku, Indonesia. Pemandangannya yang indah, laut dengan kekayaan alamnya, hutan, barang tambang, dan tanah yang menumbuhkan segala macam tanaman. Lalu menunjukkan sekolahku yang mewah dengan fasilitas yang memadai. Menunjukkan rumahku yang sederhana tapi mencukupi. Dan kehidupan tetangga-tetanggaku yang miskin penuh dengan maksiat dan dosa. Bersamaan berputarnya video itu, suara ghaib itu muncul lagi, menjawab perkataanku tadi.
“Buat apa nikmat yang Aku berikan padamu? Kau dengan seenaknya belajar di sekolah yang gratis menggunakan uang rakyat, tapi apa yang kau berikan pada mereka? Kau membuang-buang makanan sisa, tapi kau lupa dengan tetanggamu yang terlunta-lunta! Jangan bandingkan mereka dengan dirimu dan teman-temanmu atau guru-gurumu bahkan pemimpinmu! Wajar tetanggamu melakukan apa pun yang mereka anggap halal, karena mereka tak diberi pendidikan. Dan mereka melakukannya karena untuk memepertahankan hiduup. Tidak seperti mereka yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya, padahal mereka berpendidikan! Kau mengatakan teman-temanmu rajin sholat. Itu yang kau lihat! Tapi sebenarnya mereka melakukannya karena takut pada gurumu, bukan kepada-Ku. Dan saat kau tak bersamanya, apakah kau yakin kalau mereka masih melakukan sholat? Bahkan saat kau masih bersamanya pun kau tak tahu dari mereka yang tidak takut bahwa Aku melihatnya bersengaja tidur, berpura-pura sakit sedang Aku tengah memanggilnya! Kau mengatakan guru-gurumu selalu mengajarkan kebaikan. Tapi, apa kau yakin mereka juga melakukan apa yang mereka ajarkan padamu? Dan apakah kau tahu dan yakin kalau mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan ajaran-Ku? Bahkan mereka lebih mementingkan kalian daripada memenuhi panggilan-Ku! Apalagi pemimpin-pemimpinmu! Kau tahu sendiri apa yang mereka lakukan! Korupsi, menindas yang lemah dan sebagainya! Itu yang kau tahu! Dan Aku lebih tahu semua yang mereka lakukan!”
Aku terdiam. Aku sadar. Semua yang kulakukan di dunia hanyalah untuk diriku sendiri. Tidak lillahi ta'ala atau memikirkan nasib orang lain. Aku pun tak pernah mau menuruti ibuku yang mengajakku mengajari anak-anak tetanggaku untuk membaca baik membaca buku atau membaca Al-Quran, menulis dan berhitung. Aku juga tidak meniru ayahku yang selalu menyisakan uangnya yang lebih untuk membantu tetangga yang sedang membutuhkan. Ibuku pun tak pernah membuang makanan yang tersisa. Kalau sisa biasanya beliau memberikannya pada tetangga juga. Dan yang aku lakukan selama liburan di rumah hanyalah bermain komputer, tidur, dan makan.
Tiba-tiba sesuatu menampar mukaku. Kemudian badanku. Terus. Berkali-kali. Rasa sakit datang bertubi-tubi mulai dari atas hingga bawah. Sekujur tubuhku merasakan kesakitan luar biasa. Inikah siksa yang Dia berikan padaku?
“Bangun! Sudah subuh!” teriak ayahku.
Aku terbangun. Ayahku sudah putus asa membangunkanku. Dia memukulku dengan kipas yang terbuat dari bambu. Aku langsung lari menghindar pukulan ayahku dan mengambil air wudhu.
Kini, aku sadar. Dia lebih tahu karena memang Dialah Yang Maha Tahu, Yang Maha Adil, Maha segalanya. Aku belum tahu langkah apa yang harus kulakukan untuk menegakkan hukum yang adil di negeri ini. Keadilan yang dinanti-nantikan terutama oleh rakyat jelata yang tidak berpendidikan dan tidak tahu-menahu jalannya pemerintahan. Jangankan berbuat. Hari pertama libur saja sudah telat subuh. Bagaimana mau menegakkan keadilan?

No comments:

Post a Comment