Persepsi.
Subyektif pribadi. Memori. Ikatan sejati. Cinta hakiki.
Aku
sendiri dalam remang kegelapan. Aku merasa sepi di tengah keramaian. Aku masih
mendengar bisikan-bisikan itu. Aku masih bisa merasakan kelelahan yang gugur
oleh kebahagiaan. Telingaku pekak oleh teriak kemarahan. Tubuhku sakit karena
diberi hukuman. Air mata mengalir diselingi isakan.
Bola,
layang-layang, benang, kelereng, gambaran, mobil-mobilan, pesawat-pesawatan, kapal-kapalan,
ayam, ikan, kepompong, tamagoci, dan tamiya. Permainan, pertengkaran,
kekompakan, perselisihan, eksperimen, persahabatan, kedengkian, permusuhan. Petak
umpet, sepak bola, basket sandal, mbat-mbat-an, polisi-polisian,
kejar-kejaran.
Mungkin
tak semua harus kuceritakan satu persatu, atau mungkin pada akhirnya nanti aku
akan menceritakan semua. Memori ini mengalir dengan begitu derasnya.
Menampilkan film hitam putih yang terus berputar menceritakan kisah kasih kita.
Tentang
binatang peliharaan. Anak ayam warna-warni yang akhirnya mati, macam-macam ikan
yang diletakkan di bak kamar mandi, biasanya sering kita mainkan ketika
menguras bak mandi dan lama kelamaan juga mati, atau kepompong yang keseringan
juga pasti mati. Aku tak tahu dari mana kau bisa selalu update dengan
mainan-mainan saat itu, lebih update dari siapapun di kampung,
setidaknya setauku. Koleksi gambaran terbanyak, koleksi kelereng dengan
macam-macam warna, dan tamagoci;
permainan yang dulu kau kenalkan sampai menyebar ke semua anak-anak sekampung.
Tentang
eksperimen yang kita lakukan. Eksperimen yang hanya bermodal alat lilin, korek
api, dan kulit/cangkang kerang. Bermacam-macam bahan kita coba; gula, garam,
sabun, lotion nyamuk, dan pewangi-pewangi lainnya. Pernah kita berhasil
membuat semacam ramuan parfurm yang berbau wangi meski hanya sekali dan kita
lupa bahan-bahannya apa saja, dan ketika mencoba lagi malah menjadi bau busuk
atau gosong. Haha. Atau eksperimen lama, kita panaskan lilin sampai mencair di
atas kulit/cangkang kerang tersebut, lalu kita banting sejumput garam di
atasnya, maka berkobarlah api itu, berkali-kali kita lakukan sampai bosan atau sampai
ketahuan orangtua dan disuruh tidur siang.
Aku
kecil seringkali hanya menjadi pengikut, atau follower-mu bahasa keren
saat ini. Pemilihan waktu, tempat, dan jenis permainan. Aku ikut-ikut saja.
Kita sama-sama belajar menghargai sesama, meski anak-anak lain pernah tak mau
ikut main dengan anak-anak Kristen itu, kau tetap mengajakku bermain bersama
mereka. Sepak bola yang kita mainkan berempat saban sore. Atau ketika kita
digarap anak SMP itu, merebut bola kita, dan kita bekerja sama merebutnya
kembali. Kau lebih jago menipu arah bola, aku lebih jago merebut bola. Beberapa
kali kita berhasil mengecohnya, lalu pergi menghindar darinya, meski lebih
sering dia yang mentertawakan kepolosan kita sampai dia puas dan akhirnya
mengembalikan bola kita. Atau tentang menganggu orang gila. Pak Nut, begitu
orang memanggilnya. Hampir saja, kita pernah dilempar batu yang besar. Tapi justru
kita malah mentertawakannya, mentertawakan bagaimana cara dia melempar. Hahaha.
Tentang
gembot/game boy. Kita sering banyak-banyakan skor. Atau Play Station:
digimon, balapan, teken, dll. Pelarian dari tidur siang, sembunyi-sembunyi
tanpa suara atau melarikan diri untuk nonton TV di rumah tetangga; Captain Tsubasa,
Hatchi, digimon, dinosaurus, dan kartun-kartun lainnya. Tentang bemain di rumah
teman MI kita, sama-sama tidak mengabarkan ke orangtua kalau sekolah pulang
lebih awal (cukup rahasia ini saja yang aku bongkar :D).
Tentang
rahasia-rahasia kita.
Rahasia
bahasa. Kita sering berkomunikasi tanpa harus mulut berkata. Apalagi ketika
kita dimarahi bersama. Sambil menerima pukulan atau ceramah orangtua, kita
sibuk bertatap muka. “gara-gara kamu ya, kamu bilangin kan?”, “ngga,
aku juga ngga tau gimana bisa ketahuan..”. “kamu sih, kan sudah tak
bilang ati-ati, jangan sampai bersuara pintunya”, “iya iya, tadi
kesenggol soalnya, jadi bunyi deh pintunya”. Itu bukan percakapan mulut
kita, tapi bahasa yang hanya kita saja yang tahu. Bahasa ekspresi dan bahasa
mata. “udah diem aja, ga usah ditanggepin, dengerin aja”, “ok..”.
Tentang
rahasia di bulan puasa. Rahasia yang selalu kita lakukan setiap kali berpuasa.
Rahasia yang kita berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapapun, baik
orangtua, saudara-saudara kita, atau teman-teman kita. Cukup kita berdua saja
yang tahu. Bahkan aku menduga, jangan-jangan rahasia ini menjadi penyebab atau
motivasi atas amalan kita saat ini.
Tentang
uang tabungan, tentang uang dari khitan. Hei, jangan-jangan kau tak tahu kalau
sebenarnya aku tahu. Ya, aku juga menyimpan rahasia itu. Tidak pernah
mengatakannya pada ibu. Atau jangan-jangan sebenarnya ibu juga sudah tahu, aku
tak tahu. Bahkan aku sudah hampir melupakannya. Tapi kau mengingatkanku dengan
sms-mu beberapa bulan yang lalu. Aku tersenyum-senyum sendiri membaca sms-mu
waktu itu. Eh itu juga biar tetap menjadi rahasia kita saja. Haha.
Hingga
pada suatu saat bibit-bibit perselisihan dan permusuhan itu benar-benar
mengakar kuat. Aku tak tahu dari mana tumbuhnya bibit itu. Apakah dia datang
dari masa kecil yang sangat jauh itu? Padahal masa-masa sangat kecil itu kita
sering diajak jalan-jalan bersama bapak kita. Magelang, Jakarta, dan kota-kota
lain yang sepertinya kau lebih banyak mengingat ke mana saja kita pergi. Tak
jarang kau mengadukan kenakalanku pada ibu sesampainya di rumah. Atau karena
dulu aku sering menjambak rambutmu sampai rontok. Aku hanya mengingat satu
kejadian yang jika aku mengingatnya, aku sendiri merasa iba. Aku sendiri tak
bisa mengingat mengapa aku melakukannya. Tapi jika kata orang-orang disekitar
aku sering melakukannya, tak heran dan pantas pantas saja jika kau membenci
atau takut padaku. Aku tak tahu, dan mungkin tak akan pernah tahu. Tiba-tiba
saja bibit itu benar-benar tumbuh menjadi permusuhan yang nyata, bahkan untuk
menebangnya tak cukup dengan permintaan maaf dan tangis sesal di beberapa hari
raya.
Dua
puluh tahun sudah waktu terus berlalu. Dari semua itu banyak sekali hikmah dan
pelajaran yang aku dapat dari dinamika kita. Entah dengan terpaksa atau
benar-benar mendalaminya. Terlebih ketika kita mulai berpisah baik pisah dalam
arti kiasan atau dalam artian sesungguhnya. Mau tak mau aku belajar mandiri,
tak bergantung pada orang lain, aku belajar darimu menjadi sosok kakak yang
baik, tentang keberanian mencoba hal baru, kerja sama dan kekompakan, mengalah
untuk kebaikan orang lain, tentang kesetiaan, mengakui kesalahan dengan
ksatria, tanggung jawab atas konsekuensi, dan sebagainya.
Beginilah hidup, langit mendung tak selamanya hujan, bukan? Mungkin, ia
hanya ingin mengingatkan kita, untuk lebih dewasa.
Apakah semua benar?
Hanya persepsi, subyektif pribadi
Apa yang abadi dari
kehidupan?
Kenangan,
memori
Apa yang sejati dari
sebuah ikatan?
Persaudaraan,
persahabatan
Apa yang hakiki dari
perasaan?
Cinta