Sebuah
perjalanan panjang yang sudah lama aku inginkan. Pengalaman pertama kali
mendaki gunung jika Nglanggeran tidak dihitung sebagai perjalanan pendakian.
Sebagai salah satu cara refreshing sekaligus melihat kemampuan diri atau sebuah
pelampiasan karena dulu tidak jadi mendaftar menjadi anggota Mapala di
fakultas.
Cerita
ini akan dimulai langsung melompat ketika perjalanan pendakian ke gunung.
Melewatkan cerita-cerita seru lainnya selama perjalanan menuju base camp
pendakian, seperti ban bocor, motor mogok, motor ngepot/jatuh gara-gara (tidak
melihat) pasir, dan motor-motor yang tidak kuat naik ke atas dengan boncengan.
Atau proses persiapan berupa latihan fisik dan perlengkapan seperti jogging
bersama, membeli konsumsi, peminjaman peralatan dan perlengakapan, serta
koordinasi keberangkatan. Sebuah catatan perjalanan yang tentunya tidak mungkin
semua (mau) aku ceritakan. Hanya ringkasan perjalanan satu hari dalam
pendakian.
Cerita
ini dimulai dari briefing sebelum keberangkatan perjalanan pendakian
benar-benar dilaksanakan. Pelajaran pertama yang bisa didapat adalah bahwa seseorang
bisa mendadak menjadi puitis ketika kondisi dan situasi yang dibutuhkan.
Teringat ketika ketua rombongan pendakian ini mengatakan saat briefing, “Tujuan kita bukanlah puncak, tetapi tujuan
kita adalah kembali dengan selamat”. Atau kata-kata yang intinya seperti
ini, “buat apa kalau kita sampai puncak,
tetapi kita tidak bersama-sama”, diringi dengan kata-kata motivasi dan
penyemangat selama perjalanan menuju puncak.
Ketika
briefing, standar operasional umum yang aku ketahui dalam sebuah perjalanan
adalah penentuan leader dan sweeper. Tentunya sama dengan perjalanan
pendakian ini. Dengan mudahnya ketua rombongan menunjuk salah satu orang
sebagai leader; tentunya orang yang sudah mengetahui seluk beluk jalan menuju
ke puncak, sudah sering atau punya pengalaman mendaki Merbabu ini. Berbeda
dengan penentuan sweeper, ketua
rombongan kami tidak langsung dapat menentukan orang sebagai sweeper. Dia menawarkan siapa yang suka
rela mau menjadi sweeper. Secara
refleks, hampir tanganku mengangkat tangan, tetapi hal itu aku urungkan.
Melihat komposisi dan jumlah orang dalam pendakian ini, instingku mengatakan
bahwa aku harus jadi sweeper, tapi
bukan sweeper resmi yang ditunjuk
oleh ketua rombongan. Karena jika aku yang mengangkat tangan, kemungkinan yang
menjadi sweeper hanya aku. Berbeda
jika yang ditunjuk orang lain, maka aku bisa membantu sebagai sweeper kedua atau ketiga. Bahkan aku
hampir yakin ketua rombongan ini juga memikirkan hal yang sama, bahwa dia juga
akan menjadi sweeper. Pada akhirnya
ketua rombongan kami menunjuk dua orang
sebagi sweeper, sehingga aku
memposisikan diriku sebagai “sweeper
ketiga”.
Selesai
melakukan briefing, dilanjutkan dengan doa bersama, dan perjalananpun dimulai.
Sebelum lebih jauh menceritakan perjalanan, terlebih dahulu aku jelaskan maksud
komposisi dan jumlah orang dalam kelompok ini. Kami adalah orang-orang yang
dipertemukan dalam kelompok KKN beberapa bulan lalu. Dari 21 anggota KKN, ada
14 orang yang akhirnya bisa melakukan perjalanan ini sebagai perjalanan bersama
untuk lebih mengakrabkan dan tetap menjalin hubungan. Ditambah 3 orang dari
teman dari ketua rombongan kami (meskipun salah satunya adalah temannya teman
ketua rombongan kami). Jadi, total kelompok pendakian ini adalah 17 orang. Dari
jumlah 17 orang ini, kebanyakan dari kelompok KKN kami adalah pemula, dalam
artian ini merupakan perjalanan pertama pendakian gunung yang dilakukan, sama
seperti aku. Sedangkan ketua rombongan kami dan teman-temannya serta 3 anggota
KKN kami yang juga anak Mapala atau orang-orang yang setidaknya sudah pernah
dan mempunyai pengalaman melakukan perjalanan pendakian gunung. Namun, ada juga
beberapa anggota wanita yang sebelumnya sudah menjelaskan mempunyai penyakit
ini dan itu.
Inilah
perjalanan kami. Ternyata dugaanku salah, ketua rombongan kami bukan menjadi sweeper, ada satu lagi posisi yang aku
lupa namanya. Tugas dia adalah memastikan jarak antar orang tidak terlalu jauh,
dia berada di posisi tengah, agar perjalanan tetap bisa dilakukan bersama-sama.
Sesuai dugaanku, kelompok ini terpecah menjadi dua kelompok, orang-orang yang
sudah berpengalaman mendaki gunung pasti terbawa oleh ritme mereka seperti
biasa; sesegera mungkin mencapai puncak. Dengan cepatnya mereka melaju bak
berjalan di jalan biasa saja. Hal ini membuat bingung ketua rombongan kami.
Terlebih terkait barang bawaan dalam tas masing-masing yang juga berisi barang
kebutuhan kelompok, seperti tenda dan konsumsi. Setelah mempertimbangkan
berkali-kali, dan tentu saja juga berganti-ganti keputusan, akhirnya ketua
rombongan kami memutuskan untuk menyusul rombongan yang sudah jauh di depan. Ingin
sekali bisa memberikan solusi atau saran, tetapi aku hanya orang yang tidak
tahu medan. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Maka, sepenuhnya
yang dapat aku lakukan adalah percaya pada ketua rombongan kami. Dia
meninggalkan dan mempercayakan pada tim sweeper
untuk memastikan rombongan yang terdiri dari 7 orang; 3 wanita dan 4 pria ini
dapat menyusul rombongan depan.
Sebenarnya
ingin rasanya “berlari” mengikuti dan menyusul rombongan yang depan. Tetapi
tidak, aku sudah memutuskan untuk mengikuti di rombongan belakang. Meski aku
tahu, lebih tepatnya menduga segala kemungkinan termasuk resiko apa yang akan aku
rasakan mengikuti rombongan belakang ketika dalam perjalanan pendakian.
Langkah
demi langkah kami lalui bersama. Jalan berpasir menjadi tantangan kami untuk
menentukan pijakan kaki. Debu-debu terhempas oleh angin yang bertampias di
muka. Diiringi semangat dari pendaki lain yang tak putus asa untuk berhenti. Pos
satu, pos dua, dan pos tiga. Sedang senja sudah mulai tiba. Hembusan angin
mulai menelusuk masuk ke sela-sela jaket dan setiap pakaian yang dikenakan
teman-teman. Sedangkan tujuan selanjutnya adalah sabana satu dan sabana dua,
masih lama pikirku. Seingatku, dalam pendengaran setengah tidurku, rencana
ketua rombongan kami adalah bermalam di sabana dua. Kami yang awalnya bertujuh
pun terpecah menjadi dua. Aku bersama sweeper
satu dan satu wanita. Sedangkan sweeper
dua bersama dua wanita lainnya dan satu pria. Aku tak tahu apakah rombongan
depan mengalami hal yang sama atau mereka masih tetap bersama.
Bertiga,
ritme kami menjadi semakin lama. Wanita yang sedari tadi aku tawarkan
mengurangi bebannya akhirnya mau juga melawan egonya untuk tidak sungkan demi
kebaikan bersama. Bertiga, sweeper
satu berjalan menuntun wanita itu, dan aku membawakan tasnya serta tak lupa
tetap membawa tas/bawaanku. Ritme kami relatif lebih cepat meski juga lebih
sering istirahat. Aku tak lagi mengkhawatirkan wanita satunya yang sudah
berempat mendahului kami, karena aku lihat meskipun tadi terlihat sama dengan
wanita ini, tetapi dia sudah dapat menyesuaikan dan tampak memiliki semangat
yang besar. Sehingga aku sudah yakin esok dia akan berhasil mencapai puncak
meski tadi sempat mengeluh kakinya terasa sakit lagi. Sedangkan melihat nafas
dan cara berjalan wanita ini, aku menghilangkan kemungkinan buruk yang
terlintas di benakku. Di sisi lain, aku melihat keinginannya dan ada sesuatu
yang aku belum tahu. Satu hal yang dapat membuatnya tetap bisa bertahan dan
terus berjalan sampai saat ini. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti ritmenya
dan mendukung “sweeper satu” yang
terus tetap memberikan semangat dan kata-kata yang positif. Pelajaran kedua;
setiap orang memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sesuatu, dan motivasi
itu memberikan kekuatan yang tak terhingga dan tak pernah terduga sebelumnya. Tinggal
bagaimana setiap orang mengenali dan mendalami motivasinya.
Kegelapan
semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk
terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang
memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap.
No comments:
Post a Comment