Wednesday, October 15, 2014

Merbabu #1

Sebuah perjalanan panjang yang sudah lama aku inginkan. Pengalaman pertama kali mendaki gunung jika Nglanggeran tidak dihitung sebagai perjalanan pendakian. Sebagai salah satu cara refreshing sekaligus melihat kemampuan diri atau sebuah pelampiasan karena dulu tidak jadi mendaftar menjadi anggota Mapala di fakultas.
Cerita ini akan dimulai langsung melompat ketika perjalanan pendakian ke gunung. Melewatkan cerita-cerita seru lainnya selama perjalanan menuju base camp pendakian, seperti ban bocor, motor mogok, motor ngepot/jatuh gara-gara (tidak melihat) pasir, dan motor-motor yang tidak kuat naik ke atas dengan boncengan. Atau proses persiapan berupa latihan fisik dan perlengkapan seperti jogging bersama, membeli konsumsi, peminjaman peralatan dan perlengakapan, serta koordinasi keberangkatan. Sebuah catatan perjalanan yang tentunya tidak mungkin semua (mau) aku ceritakan. Hanya ringkasan perjalanan satu hari dalam pendakian.
Cerita ini dimulai dari briefing sebelum keberangkatan perjalanan pendakian benar-benar dilaksanakan. Pelajaran pertama yang bisa didapat adalah bahwa seseorang bisa mendadak menjadi puitis ketika kondisi dan situasi yang dibutuhkan. Teringat ketika ketua rombongan pendakian ini mengatakan saat briefing, “Tujuan kita bukanlah puncak, tetapi tujuan kita adalah kembali dengan selamat”. Atau kata-kata yang intinya seperti ini, “buat apa kalau kita sampai puncak, tetapi kita tidak bersama-sama”, diringi dengan kata-kata motivasi dan penyemangat selama perjalanan menuju puncak.
Ketika briefing, standar operasional umum yang aku ketahui dalam sebuah perjalanan adalah penentuan leader dan sweeper. Tentunya sama dengan perjalanan pendakian ini. Dengan mudahnya ketua rombongan menunjuk salah satu orang sebagai leader; tentunya orang yang sudah mengetahui seluk beluk jalan menuju ke puncak, sudah sering atau punya pengalaman mendaki Merbabu ini. Berbeda dengan penentuan sweeper, ketua rombongan kami tidak langsung dapat menentukan orang sebagai sweeper. Dia menawarkan siapa yang suka rela mau menjadi sweeper. Secara refleks, hampir tanganku mengangkat tangan, tetapi hal itu aku urungkan. Melihat komposisi dan jumlah orang dalam pendakian ini, instingku mengatakan bahwa aku harus jadi sweeper, tapi bukan sweeper resmi yang ditunjuk oleh ketua rombongan. Karena jika aku yang mengangkat tangan, kemungkinan yang menjadi sweeper hanya aku. Berbeda jika yang ditunjuk orang lain, maka aku bisa membantu sebagai sweeper kedua atau ketiga. Bahkan aku hampir yakin ketua rombongan ini juga memikirkan hal yang sama, bahwa dia juga akan menjadi sweeper. Pada akhirnya ketua rombongan kami  menunjuk dua orang sebagi sweeper, sehingga aku memposisikan diriku sebagai “sweeper ketiga”.
Selesai melakukan briefing, dilanjutkan dengan doa bersama, dan perjalananpun dimulai. Sebelum lebih jauh menceritakan perjalanan, terlebih dahulu aku jelaskan maksud komposisi dan jumlah orang dalam kelompok ini. Kami adalah orang-orang yang dipertemukan dalam kelompok KKN beberapa bulan lalu. Dari 21 anggota KKN, ada 14 orang yang akhirnya bisa melakukan perjalanan ini sebagai perjalanan bersama untuk lebih mengakrabkan dan tetap menjalin hubungan. Ditambah 3 orang dari teman dari ketua rombongan kami (meskipun salah satunya adalah temannya teman ketua rombongan kami). Jadi, total kelompok pendakian ini adalah 17 orang. Dari jumlah 17 orang ini, kebanyakan dari kelompok KKN kami adalah pemula, dalam artian ini merupakan perjalanan pertama pendakian gunung yang dilakukan, sama seperti aku. Sedangkan ketua rombongan kami dan teman-temannya serta 3 anggota KKN kami yang juga anak Mapala atau orang-orang yang setidaknya sudah pernah dan mempunyai pengalaman melakukan perjalanan pendakian gunung. Namun, ada juga beberapa anggota wanita yang sebelumnya sudah menjelaskan mempunyai penyakit ini dan itu.
Inilah perjalanan kami. Ternyata dugaanku salah, ketua rombongan kami bukan menjadi sweeper, ada satu lagi posisi yang aku lupa namanya. Tugas dia adalah memastikan jarak antar orang tidak terlalu jauh, dia berada di posisi tengah, agar perjalanan tetap bisa dilakukan bersama-sama. Sesuai dugaanku, kelompok ini terpecah menjadi dua kelompok, orang-orang yang sudah berpengalaman mendaki gunung pasti terbawa oleh ritme mereka seperti biasa; sesegera mungkin mencapai puncak. Dengan cepatnya mereka melaju bak berjalan di jalan biasa saja. Hal ini membuat bingung ketua rombongan kami. Terlebih terkait barang bawaan dalam tas masing-masing yang juga berisi barang kebutuhan kelompok, seperti tenda dan konsumsi. Setelah mempertimbangkan berkali-kali, dan tentu saja juga berganti-ganti keputusan, akhirnya ketua rombongan kami memutuskan untuk menyusul rombongan yang sudah jauh di depan. Ingin sekali bisa memberikan solusi atau saran, tetapi aku hanya orang yang tidak tahu medan. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Maka, sepenuhnya yang dapat aku lakukan adalah percaya pada ketua rombongan kami. Dia meninggalkan dan mempercayakan pada tim sweeper untuk memastikan rombongan yang terdiri dari 7 orang; 3 wanita dan 4 pria ini dapat menyusul rombongan depan.
Sebenarnya ingin rasanya “berlari” mengikuti dan menyusul rombongan yang depan. Tetapi tidak, aku sudah memutuskan untuk mengikuti di rombongan belakang. Meski aku tahu, lebih tepatnya menduga segala kemungkinan termasuk resiko apa yang akan aku rasakan mengikuti rombongan belakang ketika dalam perjalanan pendakian.
Langkah demi langkah kami lalui bersama. Jalan berpasir menjadi tantangan kami untuk menentukan pijakan kaki. Debu-debu terhempas oleh angin yang bertampias di muka. Diiringi semangat dari pendaki lain yang tak putus asa untuk berhenti. Pos satu, pos dua, dan pos tiga. Sedang senja sudah mulai tiba. Hembusan angin mulai menelusuk masuk ke sela-sela jaket dan setiap pakaian yang dikenakan teman-teman. Sedangkan tujuan selanjutnya adalah sabana satu dan sabana dua, masih lama pikirku. Seingatku, dalam pendengaran setengah tidurku, rencana ketua rombongan kami adalah bermalam di sabana dua. Kami yang awalnya bertujuh pun terpecah menjadi dua. Aku bersama sweeper satu dan satu wanita. Sedangkan sweeper dua bersama dua wanita lainnya dan satu pria. Aku tak tahu apakah rombongan depan mengalami hal yang sama atau mereka masih tetap bersama.
Bertiga, ritme kami menjadi semakin lama. Wanita yang sedari tadi aku tawarkan mengurangi bebannya akhirnya mau juga melawan egonya untuk tidak sungkan demi kebaikan bersama. Bertiga, sweeper satu berjalan menuntun wanita itu, dan aku membawakan tasnya serta tak lupa tetap membawa tas/bawaanku. Ritme kami relatif lebih cepat meski juga lebih sering istirahat. Aku tak lagi mengkhawatirkan wanita satunya yang sudah berempat mendahului kami, karena aku lihat meskipun tadi terlihat sama dengan wanita ini, tetapi dia sudah dapat menyesuaikan dan tampak memiliki semangat yang besar. Sehingga aku sudah yakin esok dia akan berhasil mencapai puncak meski tadi sempat mengeluh kakinya terasa sakit lagi. Sedangkan melihat nafas dan cara berjalan wanita ini, aku menghilangkan kemungkinan buruk yang terlintas di benakku. Di sisi lain, aku melihat keinginannya dan ada sesuatu yang aku belum tahu. Satu hal yang dapat membuatnya tetap bisa bertahan dan terus berjalan sampai saat ini. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti ritmenya dan mendukung “sweeper satu” yang terus tetap memberikan semangat dan kata-kata yang positif. Pelajaran kedua; setiap orang memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai sesuatu, dan motivasi itu memberikan kekuatan yang tak terhingga dan tak pernah terduga sebelumnya. Tinggal bagaimana setiap orang mengenali dan mendalami motivasinya.
Kegelapan semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap.

No comments:

Post a Comment