Kegelapan
semakin pekat. Jalan sudah lagi tak terlihat. Membuat kami semakin ingin untuk
terus beristirahat. Apalagi ketika melihat keindahan bintang-gemintang yang
memikat. Bahkan sesekali membuat mataku terlelap. Hingga ketika istirahat yang
kesekian kalinya, saat terlena dengan bintang, saat mata terasa hapir terpejam,
kudengar teriakan dari atas, “Fuztaa!!”.
“Fuztaa!!” teriaknya lagi.
“Ooiii!!!” jawabku refleks tapi agak
terlambat sambil menegakkan badan. Setengah percaya setengah
tidak untuk memastikan namakulah yang benar-benar dipanggil.
Kemudian
mereka meneriakkan nama kedua temanku. Bisa kurasakan wajah agak sumringah
tersungging sedikit pada kedua temanku, sambil membalas teriakan itu. Tetapi
dalam benakku, aku tak yakin perjalanan tinggal sebentar lagi sebelum
benar-benar pernyataan itu benar keluar dari mulut ketua rombongan kami. Bisa
dipastikan suara itu adalah ketua rombongan kami. Ya, akupun yakin, karena
dialah yang memposisikan diri sebagi orang yang memastikan rombongan depan dan
rombongan belakang sampai di tujuan. Kamipun bertemu. Ketua rombongan kami
bersama salah satu temannya (bukan anggota KKN).
Mereka
mengabarkan bahwa di atas, sedikit lagi ada dua wanita anggota KKN kami. Mereka
sudah menunggu di sana. Dalam benakku berpikir, bukankah ini masih sabana satu?
Bukankah rencananya bermalam di sabana dua? Dalam bayanganku, menafsirkan
berita mereka, semua anggota berada di sana di dalam tenda termasuk empat orang
yang terpisah dari rombongan belakang tadi. Dan dua wanita itu menunggu di
“pintu masuk” atas sana. Melihat bawaanku yang banyak, mereka menawarkan diri
membawakannya. Awalnya berat hati, tapi karena mereka memintaku ke atas duluan
untuk menemui dua wanita itu, aku berpikir bisa mencapai sana duluan. Aku pikir
aku bisa menemukan mereka, lalu bisa menuju tenda dan mengabarkan kondisi kami.
Ok. Aku melangkah duluan. Tanpa membawa beban, tetap tanpa sandal/sepatu, tetap
melepas/tidak mengenakan jaket, dan tanpa senter.
Tidak
lama aku mendaki. Ketika hampir sampai, sesuai penafsiranku atas kabar mereka,
harusnya dua wanita itu ada di depan. Maka, aku teriakkan nama mereka (memang
tidak begitu keras). Sampai di sabana satu, wow, banyak sekali tenda-tenda
didirikan di sini, beberapa menyalakan api untuk memasak, atau untuk menghangatkan
badan. Namun, tak kutemui satupun dari wanita itu. Aku coba berputar sambil
memanggil-manggil nama mereka, tak juga mendapat jawaban. Aku coba dengan “Keerom, Keerom!” (nama kelompok KKN
kami), sama juga. Tidak ada jawaban. Ok. Pertanyaanku tadi terjawab. Ini
benar-benar sabana satu. Dan mereka mungkin benar-benar mendirikan tenda di
sabana dua. Lalu, bagaimana dengan wanita dua tadi? Aku tak yakin jika mereka
memutuskan untuk menyusul kami turun lagi ke bawah. Meskipun (mungkin) dengan
bumbu cinta:D. Atau jangan-jangan mereka memang sudah mendirikan tenda di sini,
hanya saja aku belum menemukan tendanya? Ah, sudahlah, lama-lama bosan aku
bermain dengan tebak-tebakanku sendiri J.
Aku kembali ke “pintu masuk” sabana satu. Menunggu keempat temanku yang masih
di bawah. Biarlah nanti aku tahu cerita yang sebenarnya dari mereka.
Setelah
mereka sampai di sabana satu, ternyata sungguh ini kemungkinan buruk yang
sempat kubayangkan. Hanya saja aku tak berpikir sampai sejauh ini. Ternyata
mereka terpisah dari rombongan pertama. Dan saat ini mereka menumpang di tenda
rombongan lain. Dua wanita mendaki tanpa ada pria, dan mungkin merasakan di
tengah kegelapan seperti yang kurasakan tadi. Lalu, bagaimana dengan empat
orang yang terpisah dari rombongan belakang? Mereka pasti juga sudah bertemu
dengan ketua rombongan kami, dan mereka tentunya memilih tetap melanjutkan
perjalanan.
Kami
melakukan pertimbangan sebentar. Diputuskanlah aku dan temannya ketua rombongan
kami berjalan duluan membawa bahan makanan yang ada di tas kami. Dan aku
membawakan salah satu tas mereka biar nanti kalau mereka memutuskan melanjutkan
perjalanan, mereka agak ringan.
Ada
sedikit kelegaan dan kegembiraan dalam diriku. Lega, karena merasa yakin
teman-temanku tadi sudah mendapat “pelayanan” yang mereka butuhkan. Gembira,
karena akhirnya aku bisa “bebas” menikmati perjalanan pendakian Merbabu ini.
Meski sebenarnya sudah kurasakan beberapa menit tadi ketika mencapai sabana
satu.
Berdua,
kami berjalan dengan bersegera. Menikmati perjalanan layaknya anak mapala.
Beberapa meter berjalan kami berpapasan dengan tiga orang yang ternyata temanku
se-fakultas. Sedikit sapa-menyapa ternyata terdengar oleh pendaki di depan
(baca: atas) kami. Salah satu dari mereka meneriakkan namaku. Ternyata adalah
wanita satunya yang juga sempat aku khawatirkan tadi. Ya, mereka adalah
rombongan kami yang terpisah tadi. Sehingga akhirnya kami berenam berjalan
bersama lagi menuju sabana dua.
Kami
sampai di sabana dua dengan selamat. Bergabung dengan rombongan pertama yang sudah
mendirikan tiga tenda. Tak peduli lagi dengan mereka yang sudah tidur duluan.
Kami mulai memasak bahan makanan untuk mengisi perut yang keroncongan. Tapi
sepertinya yang keroncongan hanya aku saja :D. Sambil memasak, teman-teman kami
akhirnya menyusul juga. Kecuali dua orang wanita yang akhirnya memutuskan untuk
tetap tinggal di tenda (tumpangan) sabana satu. Selesai makan, kami segera
mencari tempat tidur masing-masing. Menunggu esok fajar menuju puncak.
Meski
perut sudah kenyang, badan kecapean, tapi ternyata mata tak mau terpejam.
Padahal suasana sudah cukup nyaman. Terus menerus membolak-balikkan badan,
hingga akhirnya bunyi alarmpun berdentang. Meski semua anggota sudah
dibangunkan, namun perjalanan tak kunjung dilaksanakan. Saling menunggu dan beralasan.
Lagi-lagi kami terpecah, ada yang duluan, ada yang belakangan.
Bersama
banyak orang, sulit menyamakan satu jalan. Terlebih karena tak ada aturan yang
jelas yang mengikat keanggotaan. Bagaimana mau pake aturan? Kami bukan dalam
keorganisasian yang punya target dan tahapan yang jelas. Kami hanya segelintir
orang biasa yang melakukan pendakian untuk senang-senang. Tak seperti MAPALA
yang benar-benar sesuai dengan standar operasional prosedur pendakian. Terlebih
aku, sungguh jauh dari apa yang disebut standar operasional.
Sesuai
permintaan, aku berjalan mengiringi wanita yang kemarin terus mengeluh,
khawatir dalam perjalanan. Dia yang mengaku fobia ketinggian, tetap nekat
melakukan pendakian. Masih ingat bukan, tentang motivasi yang mendorong
perilaku seseorang (?) Namun perjalanan kali ini tidak sesulit perjalanan
sebelumnya. Wanita ini sudah cukup banyak belajar. Tak lagi banyak istirahat,
tak lagi banyak komentar. Tekat yang bulat sudah terkumpul dalam nadinya.
Semangat yang berkobar-kobar membakar raganya. Terus berpacu mengejar waktu.
Tetap melangkah meskipun lelah. Target sudah tampak di depan mata. Ada hadiah
yang ingin dipersembahkan untuk orang tercinta. Pelajaran ketiga: sungguh,
cinta bisa jadi sumber motivasi terkuat melakukan sebuah tekat.
Lihatlah,
akhirnya kami mencapai puncak dengan selamat. Euforia pendaki pemula mencapai
puncak sungguh terasa. Keharuan, setengah ketidak-percayaan, kebahagiaan,
tergambar pada ekspresi dan suasana. Tak kalah juga meski bukan pendaki pemula.
Ada kebahagiaan tersendiri mencapai ketinggian sebuah puncak. Apalagi wanita
yang mengaku fobia tinggi tadi. Atau wanita yang tampak tak banyak komentar,
tetapi sesungguhnya benar-benar merasakan keharuan. Berbeda dengan perempuan,
laki-laki memang tak begitu dominan dalam perasaan. Tetapi lihatlah,
masing-masing pendaki mempunyai caranya tersendiri untuk mengekspresikannya.
Photo-photo, menyanyikan “lagu kebangsaan”, berteriak, menancapkan bendera,
atau sekedar menikmati alam.
Satu
pelajaran berharga dalam perjalanan pendakian; teruslah berpijak, karena
perjalanan menuju puncak terus menanjak J.