Friday, February 27, 2015

Sampai Kapan?

“Sampai kapan kau akan diam, kawan?”
“Entah, akupun tak tahu”
“Hey, come on,  kau punya banyak ide cemerlang, nilai-nilai kebaikan yang belum tentu orang lain punya. Sekali lagi aku bertanya, sampai kapan kau akan diam, kawan?”
“(menundukkan kepala)”
“(mundur, sambil jalan mondar-mandir) Bukankah kau sadar, ibu-ibu mengandung itu, seharusnya kau bisa membantunya bukan? Setidaknya kau bisa menanyakan ke pengurus untuk membukakan pintu kantor itu agar ibu itu bisa istirahat dengan tenang dan nyaman. Lihatlah anak-anak itu, bukankah ide-idemu itu sangat luar biasa? membuat sistem pendidikan untuk mereka? kau hanya tinggal menyampaikannya kepada orangtua mereka, ustadz yang dihormati di sana, dan kepala kampung jika perlu. Tapi apa yang kau lakukan? Apakah kau akan terus tetap diam menyaksikan perkembangan mereka yang entah ke mana arahnya? Sampai kapan kau akan diam, kawan?”
“Bisakah kau berhenti menyatakan dan menanyakan itu semua?”
“Tidak, aku tidak akan berhenti, setidaknya sampai jawaban itu muncul dari perkataanmu atau perbuatanmu”
“Akupun tak tahu (menggelengkan kepala)”
“(menatap dengan penuh percaya diri) Kau tahu kawan. Ada lagi, lihatlah temanmu itu, bukankah kau juga merasakannya? Bukankah kau tahu benar bagaimana perasaannya? Merasa sendiri, berjuang meneruskan apa yang sebelumnya kau perjuangkan, sementara kau malah diam tak membantunya(?)”
“Kau tahu apa tentang itu?”
“Aku sangat mengetahuinya kawan. Bukankah dulu kau memilihnya mendampingimu untuk menguatkanmu juga ketika dalam kondisi seperti itu? Tapi ketika sekarang dia mengalami apa yang kau alami, kau malah menghilang. Kau tidak di sampingnya ketika seharusnya kau berada di sampingnya untuk membanyunya”
“Justru aku melakukan ini semua demi dia!”
“Hahaha, bagaimana mungkin kau melakukan ini semua demi dia? Hey, ingatlah, bukankah konsekuensi pertanggungjawabanmu adalah mendampinginya selama minimal tiga bulan?”
“.....”
“(mulai sedikit berteriak) Kenapa diam? Benar bukan? Ah aku lupa kalau kau memang pendiam. Hey, bukankah kau juga ingat bahwa seharusnya yang menjadi ketua MM adalah dirimu, ketua lama? Bukankah kau ingat memang adanya ayat yang menyatakan hal itu benar; ketua MM merupakan ketua lama? Bukankah kau sangat mengingat ketika musyak penghapusan ayat itu disepakati bahwa ayat itu dihapuskan tetapi tetap disepakati secara kultural terus disampaikan bahwa ketua MM adalah ketua lama? Kau sungguh egois kawan. Kau ‘melarikan diri’ dengan alasan pribadimu, dengan alasan yang tak dapat diterima secara syar’i. Kau terlalu berambisi dengan anganmu sendiri. Padahal sudah sangat jelas dua argumen untuk menjalankan amanah mendampingi temanmu itu.”
“Kau tak tahu apa-apa”
“Bukankah aku mengetahuinya. Kurang bukti apa lagi argumen-argumen yang aku sampaikan tadi?”
“Kau tak tahu apa yang aku pikirkan”
“Bagaimana mungkin aku tahu apa yang kamu pikirkan sementara kau hanya diam? Bagaimana mungkin aku memahamimu jika kau hanya memberikan pernyataan-peryataan yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan? Lalu buat apa kau menceritakan itu semua padaku? Buat apa kau mengeluhkan semua itu padaku? Buat apa kau meminta saran padaku?”
“(menitikkan air mata)”
“Kawan, adakah sesuatu yang aku belum mengetahuinya?”
“Banyak sekali (dalam hati) (menghapus air mata)”
“.....”
“Kau benar, aku masih punya amanah dari laporan pertanggungjawabanku. Kau juga benar aku sangat mengingat penghapusan ayat itu, tapi aku mengingatnya ketika beberapa hari setelah musyak selesai. Dan syukur aku tidak mengingatnya ketika musyak sedang berlangsung. Karena memang aku tak mau menerima amanah itu lagi. Tidak hanya dengan alasan mengejar ambisi dan rencanaku, tetapi terlebih karena ini demi dia.”
“Apa maksudmu demi dia?”
“Dia sudah tak mau lagi bergantung denganku. Dan jika aku terus bersamanya, itu akan membuat dia terus merasa minder, merasa rendah diri dari yang seharusnya dia bisa lakukan. Merasa sepeti boneka saja, melakukan ide-ide yang aku sampaikan, bukan memimpin dengan dirinya sendiri. Dia ingin belajar dan dia sudah mempunyai niatan baik untuk melakukan itu.”
“Hey, tapi bukankah kau lihat sendiri, bukankah kau saksikan sendiri, bagaimana dia ‘menderita’, bagaimana dia ‘tersiksa’? Bukankah sebenarnya kau mampu menempatkan diri? Kalaupun toh dia merasa khawatir kau terlalu menyetir atau mengarahkan dia, bukankah itu bisa kau atur sedemikian rupa agar kau tetap mendampinginya tetapi tidak mengarahkannya? Bukankah itu keahlianmu, keahlian me-manage emosi, kognisi, argumentasi, ide, kau dapat mengaturnya, bukan? Apakah kau tak merasa kasihan dengan kondisinya yang seperti itu? Kau dapat melakukannya bukan? Melakukan amanahmu dari laporan pertanggungjawabanmu juga amanah yang seharusnya kau pikul untuk benar-benar mendampinginya dalam struktur? Dan dalam waktu yang bersamaan kau juga dapat mengatur agar tidak terlalu mengarahkan seperti yang dia kahawatirkan? Kau bisa melakukannya bukan?”
“Ah, kau masih sama saja. Selalu saja berpikir ideal.”
“Tapi benar bukan? Kau seharusnya bisa melakukannya. Tapi mengapa kau hanya diam? Mengapa kau memilih tidak menjalankan amanah itu? Bukankah kau tahu dan paham bagaimana hukumnya tidak amanah? Mmm, lebih tepatnya bukankah kita wajib menjalankan amanah?”
“Ya, tapi tidak”
“Ah, bagaimana kau ini? kau selalu sibuk dengan duniamu sendiri, kau selalu sibuk dengan pikiranmu sendiri! Mending tak usah sekalian cerita saja jika kau ingin menyimpannya sendiri. Buat apa aku meluangkan waktu untukmu? Seharusnya aku masih bisa melakukan hal lain yang lebih penting”
“Maaf jika aku mengganggumu, merepotkanmu”
“Hey, ayolah, harus berapa kali aku katakan, hilangkanlah rasa bersalahmu merepotkanku. Umat muslim itu bagaikan sebuah bangunan, yang satu menguatkan bagian yang lain. Kau tentu sudah paham, bukan?”
“(mengangguk)”
“Terserah kau saja lah! Aku sudah muak menasihatimu. Aku sudah menyerah memberi masukan padamu. Ini sudah kesekeian kalinya, sebelumnya tentang keluargamu, KKN, skripsimu, dan tak ada satupun masukanku kau lakukan. Entah apakah kau mendengarkan nasihatku atau tidak, aku sudah tak peduli lagi. Terserah kau. Keputusan ada di tanganmu. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai teman untuk mengingatkanmu. (pergi meninggalkannya sendiri)”
------ satu jam kemudian ------
(mengetik pesan di WhatsApp)
Terimakasih teman, selama ini kau selalu ada untukku. Sudah mau mendengarkan keluh kesahku. Meski seringkali aku keras kepala atas nasihatmu. Tidak semuanya bisa aku ceritakan padamu. Tak mungkin aku menceritakan semuanya, bukan? Bagaimana aku memahaminya berdasar pengalaman, terlebih berdasar pada kesoktahuan dan analisis amatiranku. Kalau itu benar, bisa jadi itu rahasianya, privasinya. Dan terlebih kalau salah, lebih parah lagi, itu hanya prasangkaku saja. √/

Bukan suatu kebetulan aku dilupakan tentang keputusan musyak sebelumnya. Bukan suatu kebetulan begitu mudahnya alasanku menolak menjadi MM diterima begitu saja, dalam artian tidak seperti ketika setahun yang lalu aku menolak ketika dicalonkan menjadi ketua. Jika amanah itu benar-benar ditakdirkan menjadi bebanku, bagaimanapun aku menolaknya dia akan tetap bersandar di punggungku. Sebaliknya, jika memang itu tidak ditakdirkan menjadi bebanku, bagaimanapun aku mencoba meraihnya, dia tak akan pernah mampir di punggungku. Aku kira memang inilah yang terbaik. √/

Hahaha. Selalu saja, kau lebih terbuka dengan bahasa tulisan. Ok, kalau sudah begitu, aku tak bisa lagi berargumentasi. Kau lebih pandai dalam mengambil hikmah. Semoga kau selalu bisa memberikan manfaat.

Semoga Allah senantiasa selalu memberikan yang tebaik untuk kita.  :) √/
            Amin. Ya, itu doa favoritmu. :)

No comments:

Post a Comment