Ada
sebuah kisah. Tentang seorang yang “pemberani”. Berikut ceritanya;
Dalam
sebuah kapal layar yang besar, berjalanlah kapal itu hingga sampai di tengah
lautan. Mungkin sudah direncanakan sebelumnya, seseorang yang dari tadi hanya
diam di pojokan, entah apa yang sedang dia pikirkan. Tidak ada yang tahu apa
yang dia rencanakan, apa yang akan dia lakukan. Namun, tiba-tiba di tengah
lautan itu, dia menceburkan dirinya ke lautan. Dia menjatuhkan dirinya, pasrah terhadap
embasan ombak laut yang pada saat itu tidak terlalu besar. Sebut saja namanya
(Ter)Jun.Penumpang-penumpang lain terkejut dan heran. Beberapa menjerit
ketakutan, menutup wajah dan atau mulutnya dengan tangan. Beberapa lainnya berteriak
untuk meminta salah satu orang menolongnya, dan beberapa yang lain hanya diam
menyaksikan.
Ada
petugas yang melempar pelampung, bermaksud membantunya. Tetapi Jun tidak mau menyambut
pelampung itu. Sepertinya memang dia sengaja menceburkan diri untuk bunuh diri.
Tapi tampaknya Jun juga belum mau mati, karena beberapa kali dia masih berusaha
berenang menyelamatkan diri dari tenggelam. Sementara penumpang lain
meneriakinya untuk menggunakan pelampung agar bisa ditarik oleh petugas. Kejadian
itu terjadi agak lama, ketika sampai pada akhirnya ada salah satu orang, sebut
saja Jat(uh), yang ‘menyusul’ jatuh ke lautan yang kemudian ternyata menolong Jun.
Jat, dengan kekuatan dan keahlian berenang dengan mudahnya membantu Jun kembali
ke kapal. Penumpang lain bersorak gembira, menyambut Jat sebagai pahlawan yang
berani menolong sesama. Di tengah sorak sorai gembira para penumpang, setelah
Jat berhasil membawa Jun kembali ke kapal, Jat berteriak dengan marah, “Siapa
yang tadi mendorong menceburkanku?”
Dalam
bisik-bisik penumpang lain berkata, “Oh, ternyata....”
Hahaha.
Sebuah kisah klimaks yang biasanya ada di buku-buku atau sesi-sesi motivasi. Aku
lupa mendapat cerita itu dari mana. Tapi itu bukan hal yang penting. Yang penting
adalah makna atau hikmah dari cerita itu. Biasanya motivator atau dalam buku
disebutkan maksud cerita itu. Yang dijadikan sebagai tokoh utama adalah Jat yang
menolong Jun. Jat digambarkan sebagai orang yang mempunyai skill dan
kemampuan yang lebih untuk melakukan sesuatu. Sering kali manusia merasa ragu
terhadap kemampuannya. Mereka harus dalam keadaan terpaksa untuk menggunakan
kemampuannya. Apakah teman-teman semua yakin diantara penumpang itu hanya Jat
yang bisa berenang? Tentunya tidak, bukan? Pastinya banyak juga yang bisa
berenang dan mampu menolong Jun. Tapi kebanyakan bahkan hampir seluruhnya tidak
mau menolongnya. Jat saja bahkan harus diceburkan dulu baru mau menolongnya. Apa
yang salah? Haruskah manusia dipaksa untuk melakukan sebuah kebaikan, bahkan
dalam keadaan darurat sekalipun? Jadi, apakah kita akan membiarkan kemampuan
dan keahlian kita, menyembunyikannya?
Kurang
lebih begitulah yang disampaikan. Setidaknya yang aku ingat :D. Hmmm, tapi aku
tidak terlalu suka dengan hikmah itu. Bukan tidak suka, lebih tepatnya ada
hikmah yang lebih daripada sekedar yang disebutkan itu. Bukan pada manusia yang menyembunyikan
kemampuian atau keahliannya. Bukan pada agar manusia menunjukkan semua potensi
pada dirinya. Aku lebih suka melihatnya dari lingkup yang lebih luas. Konsep
manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan makhluk hidup
lainnya.
Aku
merasa sedih ketika diceritakan kebanyakan orang hanya berteriak dan saling
tunjuk menunjuk untuk menolong orang lain. Atau hanya sekedar memberikan
pelampung dan tidak ada usaha lagi ketika dia tak mau menyambut pelampung itu. Dalam
pikirku, sepertinya manusia telah kehilangan insting saling tolong menolongnya.
Akal pikiran yang merupakan kelebihan yang tidak dimiliki makhluk lain malah
lebih mementingkan ego pribadi daripada kepentingan bersama.
Aku
merasa malu ketika diceritakan Jat berteriak dengan marah “Siapa yang tadi
mendorong menceburkanku?”. Jangan-jangan kalau aku bisa berenang juga sama
dengan dia. Yang harus dalam kondisi terpaksa untuk menolong sesama. sudah
terlanjut tercebur, bukan? Masak mau kembali ke kapal sendiri, apa kata
penumpang lain nanti? Atau jika aku bukanlah Jat, sebagai penumpang lain yang
melihat. Aku merasa lebih malu lagi. Penumpang-penumpang itu lebih rendah
daripada semut dalam dunia nyata atau kurcaci dalam dunia dongeng barat. Semut atau
kurcaci, ketika salah satunya mengalami keadaan bahaya atau darurat, maka semua
akan ikut berkontribusi menolongnya. Mereka membentuk formasi sedemikian rupa
untuk menyelematkan temannya yang dalam keadaan bahaya. Gotong royong dan peduli
dengan yang lain sungguh tertanam kuat dalam otak mereka. berbeda dengan manusia
yang akal pikirannya sudah terkontaminasi dengan ego pribadi, yang terkadang
atau bahkan sering kali mementingkan diri sendiri. Lebih parah lagi, akan
sangat memalukan lagi jika ternyata aku adalah orang yang menceburkan Jat. Mungkin
karena memang tak bisa berenang dan punya keinginan untuk menolong, sehingga
mentoknya adalah menceburkan orang lain. Untung saja Jat pandai berenang, bisa
dibayangkan bagaimana jika Jat tidak bisa berenang? Hmmm, malah menjadi tambah
masalah saja.
Ya,
begitulah manusia. Sangat bervariasi tipenya. Ada yang mau menolong ketika
dalam keadaan terpaksa, ada yang ingin menolong tapi memang tak bisa
melakukannya, ada yang cuma menonton, ada yang abai saja, ada yang melempar
pelampung, atau ada yang memprovokasi untuk menunjuk satu orang untuk
menolongnya tapi kemudian dia lari atau tak mengurusnya lagi. Dan inilah yang
paling banyak kutemui, bersama-sama menceburkan ke kolam atau lautan kemudian menontonnya
dalam penderitaan atau berlari meninggalkan atau bahkan mentertawakan. Na’udzu
billah.
Semoga
kita berada pada peran yang paling baik J