Dua
tahun yang lalu ketika amanah kuterima di atas pundakku, sebagai sekjen dalam
sebuah organisasi kekeluargaan. Mungkin memang sudah digariskan. Meski
sebenarnya aku siap menjadi apapun saat itu. Berbeda dengan satu tahun yang
lalu, ketika kembali aku dicalonkan sebagai ketua di dalamnya. Aku merasa bukan
saatnya lagi aku berada di sana, apalagi sebagai ketua. Ok kalo aku dipilih dua
tahun yang lalu, bukan satu tahun lalu saat itu.
Ah
sudahlah, biarkan itu menjadi cerita lain. Ada hal lain yang ingin aku
ceritakan sekarang. Dua tahun, satu tahun menjadi sekjen dan satu tahun menjadi
ketua di sebuah organisasi kekeluargaan. Satu hal dalam penekananku. Selain
fokus pada posisi dan peran layaknya sekjen dan ketua, ada satu peran lain yang
aku ambil. Aku selalu memposisikan diri sebagai kakak mereka. Bahkan ketika
terpilih sebagai ketua, aku mencoba menghilangkan istilah ketua di sana yang
notabene saat itu istilahnya terasa seperti kehirarkian. Namun, tak juga
mengiyakan ketika ada yang mengusulkan “abi” atau “ayah” sebagai kepala
organisasi, yang pada akhirnya tidak ada perubahan dan menggunakan kata ketua
saja.
Ya,
terlalu muluk-muluk memang jika aku disebut sebagai “abi” mereka, tapi dalam
lubuk hati paling dalam, aku ingin memposisikan diri sebagai orang yang tahu
bagaimana mereka dalam keluarga ini. Ya, meski tak memungkiri juga bahwa ini
termasuk sebuah organisasi. Bukan secara organisasi yang ingin aku ceritakan,
di sini aku hanya ingin bercerita tentang nuansa keluarga yang ada dalam
organisasi ini.
Campur
aduk rasanya; susah, senang, sedih, setiap emosi terungkapkan. Mendengar dan
mengetahui keluhan-keluhan, tantangan-tantangan, dan setiap permasalahan yang
dihadapi oleh para anggota (yang selanjutnya aku anggap sebagai adik atau
saudara bagi yang seumuran). Apapun itu; akademik, keluarga, organisasi,
finansial, keagamaan, kesehatan, bahkan masalah perasaan. Hampir semua memiliki
masalah hidup yang luar biasa atau memiliki pengalaman hidup yang luar biasa.
Yang
paling banyak permasalahannya adalah managemen waktu dengan
organisasi-organisasi dan atau kepanitiaan-kepanitiaan yang diikuti dan
motivasi lagi down karena banyak tekanan. Yang membedakan adalah
penyebab dari turunnya motivasi itu, sesuai dengan permasalahan hidup yang
mereka alami. Ada juga masalah sensitif, tentang perasaan. Ada yang jatuh
cinta, ada juga yang kehilangan cinta. J
Sebagai
seorang (yang berusaha menjadi) kakak, sungguh empati dan peduli tak bisa lagi
dihindarkan. Sebisa mungkin, berusaha mencari suatu langkah intervensi yang
bisa membantu dan cocok dengan yang bersangkutan. Akhirnya aku mencoba berbagai
cara untuk membantu, entah secara langsung maupun tidak langsung, meminta izin ataupun
tanpa meminta izin. Satu hal yang pasti, seorang kakak tak akan rela jika
adiknya sengsara, seorang kakak tak rela jika adiknya dihina, dan seorang kakak
akan merasa bersalah jika dia sama sekali tak tahu keadaan adiknya. Dia akan
berusaha jangan sampai tiba-tiba adiknya terperosok, terjebak, dalam sebuah
permasalahan yang luar biasa.
Dua
tahun berlalu, terasa waktu berputar begitu cepatnya. Melihat proses dan
dinamika mereka dengan permasalahan hidupnya. Sedikit demi sedikit ada yang
sudah mulai terbuka, ada yang masih belum terbuka, dan ada juga yang sudah
blak-blakan terbuka. Ada yang belum mengalami perubahan, ada yang mulai sedikit
peningkatan, ada juga yang peningkatannya selalu signifikan.
Kini,
mungkin sudah tiba saatnya. Sedikit demi sedikit melepas mereka. Melatih mereka
untuk lebih dewasa. Menyelesaikan masalah sendiri tanpa harus dibina. Meski
masih terasa berat rasanya untuk sedikit meninggalkannya. Karena selalu ada
rasa ingin jumpa. Karena kita keluarga.
Tulisan
ini hanya ke-GR-anku saja. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Tak tahu
apakah tulisan ini benar-benar menceritakan apa adanya. Hanya ke-GR-an orang
yang merasa menjadi kakak. Seolah menjadi bapak. Padahal biasa saja aku
melakukannya. Aku bukan siapa-siapa mereka. Hanya orang yang kebetulan
mengenal, mencoba memahami, kemudian mencoba membantu sebisa mungkin yang
dilakukan.
Tidak ada kata sungkan dalam keluarga. Ada momen yang
berbeda bersama keluarga. Selalu ada nuansa kerinduan dalam sebuah keluarga.
Karena keluarga selalu yang dicinta. Karena kita adalah keluarga.
No comments:
Post a Comment