Kapan terakhir kali kita bertemu? Ya, tanggal 3 Januari 2009. Saat
itu hari Sabtu, tepatnya Malam Minggu. Di Stasiun Tawang Semarang kau mengantar
kepergianku. Sayang sekali, yang kulihat ketika perpisahan itu adalah isak
tangismu, bukan senyummu. Aku sangat tahu dan paham isak tangismu itu karena
kau sangat benci dengan jarak yang menanamkan rindu.
Duhai, kaulah perempuan yang mengenalkanku tentang cinta dan
mengajarkan bagaimana mencinta. Masih kuingat kisah-kisah yang sering kau
ceritakan saat kita bersama. Kuingat juga beberapa impianmu yang belum
terlaksana. Perjuangan dan perngorbananmu yang penuh ketulusan dan kesabaran.
****************************
Aku banyak membaca buku. Aku juga mulai belajar dan sering menulis.
Untuk apa? Untuk ‘menyaingimu’. Untuk menanti diskusi-diskusi seru bersamamu. Aku
canangkan pada diriku sendiri untuk menulis bersamamu. Kita bersama membuat
sebuah karya. Namun sampai saat ini itu hanya angan-angan saja. Entah apakah
karya itu dapat terlaksana. Mungkin memang aku harus berjuang sendiri. Menghadapi
benang kusut yang kita coba urai bersama. Menjelajah lorong waktu dan dimensi
imaji kita. Ah, sudahlah.. seperti katamu; tak ada gunanya menulis tanpa makna,
bukan? Tapi setidaknya ini sangat berarti bagiku. Untuk sekedar melepas rindu.
*****************************
Kau terlalu istimewa. Meski keakraban kita hanya sekitar dua tahun
saja. Kita memiliki banyak sekali kesamaan; mulai dari nilai-nilai yang kita
junjung bersama, sampai hal-hal remeh temeh seperti asal orangtua, bahkan hari
dan tanggal lahir kita meski berbeda delapan bulan lamanya. Sehingga pada umur
yang sama, kita akan berulang tahun di hari dan tanggal yang sama pula. Begitu banyak
kenangan yang tak bisa dan tak kan pernah kulupakan. Kebersamaan denganmu
mengajarkan banyak hal. Bagiku kau segalanya. Seorang guru sekaligus sahabat
yang tak pernah sungkan menegur dan mengingatkan ketika salah. Meski bagimu, bisa
jadi aku layaknya orang-orang lain yang kutemui dalam kisah perjalananmu.
******************************
Terimakasih kalian masih (cukup sering) mengunjungiku. Meski hanya pada momen-momen tertentu. Padahal jarak
sudah sangat panjang membentang. Sedakar menyapa, memberi nasehat, mengutarakan
kekecewan, atau ngobrol dan bermain bersama. Layaknya kebersamaan kita dulu. Meski
dalam dunia yang bagi orang lain mungkin tak bisa dipercaya. Meski kadang aku
juga menyangsikan bahwa itu hanyalah karena aku terlalu rindu, hingga sampai
mewujud diri kalian seolah-olah sedang bersamaku. Tapi ketika aku benar-benar
membuka mata, yang tersisa hanyalah suara yang masih terngiang dan wajah yang
terus membayang. Bahkan terkadang aku benar-benar lupa aktivitas apa saja yang
kita lakukan bersama sebelumnya.
(Semoga) suatu saat nanti kita akan bertemu lagi. Aku akan terus
menunggu dan berusaha menyiapkan masa itu.